Dave mengalihkan pandangannya pada Alana. Wajahnya tampak begitu tenang ketika istrinya tampak menggebu-gebu saat bertanya. “Kamu tahu bukan jika dokter profesor itu mahal? Dan lagi, bagaimana bisa kamu dapat akses begitu cepat untuk melakukan pemeriksaan. Padahal antriannya tadi begitu banyak sekali?” Alana begitu menggebu-gebu saat bicara. “Jika kamu memberondong pertanyaan sebanyak itu, bagaimana aku menjawabnya?” Pandangan Dave lurus ke jalanan yang dilaluinya. Alana seketika diam. Ia terlalu menggebu-gebu sampai tak terkontrol. Dave mengalihkan pandangannya ke arah Alana. “Aku akan jawab dan jawabannya hanya satu. Pemilik rumah sakit itu adalah kenalan dari Pak Mahesa. Jadi aku dapat kemudahan itu.” Amarah yang tadi menggebu perlahan mulai mereda. Jika Mahesa yang membantu Dave, memang mungkin saja jika kemudahan itu didapatkan. Namun, Alana tidak yakin. Wajah Alana itu dibaca oleh Dave. Ia menebak jika Alana tidak percaya dengan apa yang dikatakan. “Kalau kamu tidak perc
Mata Alana memicing. “Apa yang aneh, Yah?” tanyanya penasaran. Alvin diam sejenak. Menimbang apa yang harus dikatakan pada anaknya. Setelah siang, akhirnya ia mulai berbicara dengan perlahan. “Jadi waktu di rumah sakit, ayah tidak mengantri. Padahal biasanya ayah harus lama mengantri.” Dahi Alana berkerut dalam. Sedikit bingung dengan penjelasan ayahnya. “Mungkin sedang sepi, Yah,” ucapnya menatap “Tidak, Alana. Justru antriannya banyak sekali.” Dave tidak pernah cerita seperti ini pada Alana. Dia hanya menceritakan keadaan ayahnya baik. Jika antriannya banyak, lalu bagaimana bisa ayahnya masuk lebih dulu dibanding pasien lain. Alana jelas bingung dalam hal ini. “Ayah juga beralih dokter. Ayah sekarang ditangani oleh profesor spesialis jantung di sana. Bukan dokter yang kemarin.” Seketika wajah Alana berubah semakin terkejut. Matanya yang awalnya menyipit seketika membulat sempurna. Ia tahu persis jika dokter profesor seperti itu mahal. Dulu Alana sengaja memeriksakan pada d
Belum selesai Alana bicara, tiba-tiba suara seseorang terdengar menyela ucapannya. Alana buru-buru mengalihkan pandangannya untuk melihat pemilik suara. Benar dugaanya, pemilik suara itu adalah Dave. Dengan langkah tenang, Dave menghampiri Alana dan Akram. Alana mengembuskan napasnya. Belum selesai urusan Alana dengan Akram, tiba-tiba saja Dave datang. Masalah pastinya akan semakin rumit jika Dave tahu. “Apa yang terjadi sebenarnya?” Dave menatap Alana sambil mengendikkan dagunya. Alana gugup. Bingung harus bagaimana menjelaskan pada Dave. “Apa yang kamu ganti ke Akram?” Dave menatap tajam pada Alana yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.Alana menelan salivanya. Tatapan Dave terasa begitu menakutkan. Tidak ada pilihan selain menjelaskan. “Kakakku meminjam uang pada Akram. Dia mengira Akram adalah kamu.” Alana menjelaskan sambil mengembuskan napasnya kesal mengingat apa yang dilakukan kakaknya. Dave langsung mengalihkan pandangan tajam pada Akram. Sorot matanya terlihat ti
Alana menatap kakaknya yang tampak terkejut melihat kedatangannya. Tadi, Alana melihat kakaknya ketika mobil yang ditumpangi hendak keluar dari kantor. Ia buru-buru meminta Dave berhenti. Kemudian turun untuk menemui kakaknya. Ia sangat penasaran sekali dengan kehadiran kakaknya itu. Karena ini kali pertama melihat kakaknya ke kantor. Jenny panik. Wajahnya seketika pucat. Seperti maling yang baru saja ketahuan.“Kak.” Alana menatap kakaknya sambil menepuk bahu kakaknya lagi. Meminta jawaban dari kakaknya itu. “Aku sedang melihat-lihat kantormu.” Suara Jenny tampak tenang.Sayangnya, tetap saja Alana curiga. Ia menatap mata kakaknya dalam-dalam untuk mencari kebohongan di dalamnya. “Aku tadi lewat sini. Karena itu, aku mampir. Aku mau tahu kantormu seperti apa,” jelas Jenny lagi. Alana masih menatap kakaknya penuh curiga. Ia tidak percaya begitu saja. “Kalau begitu aku pergi dulu.” Jenny segera berlalu pergi. Apa yang dilakukan kakaknya itu semakin membuat Alana curiga. Ia pun a
Jenny mengayunkan langkah menghampiri pria yang hendak masuk ke mobil itu. “Permisi, apa kamu masih mengenal aku?” Jenny menatap pria di depannya dengan lekat. Senyum manisnya menghiasi wajahnya. Berharap pria itu mengingatnya. Akram memerhatikan wanita di depannya. Butuh waktu sejenak untuk mengingat siapa wanita di depannya. Hingga akhirnya ia dapat mengenali wanita tersebut. “Kamu kakak Alana ‘kan,” ucap Akram. Jenny tersenyum ketika pria di depannya mengenalinya. “Iya, aku kakak Alana.” Ia menganggukkan kepalanya. “Ada apa kamu ke sini? Apa mencari Alana?” Akram yang hendak membuka pintu menutup kembali pintunya. “Tidak-tidak. Aku tidak sedang mencari Alana."Dahi Akram berkerut dalam. Sedikit bingung. “Lalu?” tanyanya. “Aku ingin menemuimu.” “Aku?” Akram menunjuk ke arahnya. “Iya, aku ingin bicara denganmu. Apa kamu punya waktu?” Jenny menatap Akram penuh harap. Sejujurnya Akram penasaran dengan apa yang akan dikatakan kakak Alana ini. Ia yakin pastinya ini berhubungan
Kini giliran Alana yang membulatkan matanya. Ia tidak menyangka kakaknya akan mengatakan hal itu. “Kak, mana bisa aku mengakhiri hubunganku begitu saja? Apalagi gara-gara kesalahan yang dibuat mama.” “Jadi kamu lebih memilih pacarmu itu dibanding mama?” Alana semakin dibuat terperangah dengan ucapan kakaknya. Semakin lama ucapan kakaknya semakin tak sesuai dengan topik pembicaraan. “Aku tidak memilih siapa-siapa, Kak. Tapi, yang dilakukan mama memang salah.” Suara Alana terdengar tegas. “Ingat, Alana. Hubunganmu dengan Dave bisa saja berakhir, tapi hubungan dengan kami tidak bisa berakhir. Harusnya kamu lebih memikirkan kami dibanding pacarmu.” Alana mengembuskan napasnya. Kakaknya seolah sengaja menumbuhkan rasa iba agar bisa luluh dan memberikan uang pada mamanya. “Justru aku memikirkan mama dengan membayar hutangnya pada Dave. Jika aku tidak membayar, apa mama mau membayarnya?” Alana menatap kesal pada kakaknya. “Sudahlah, Kak. Aku tidak mau memperpanjang ini. Sebaiknya Kak