LOGINRandy berjalan melewati lobi kantor dengan wajah santai dan dagu yang terangkat sedikit lebih tinggi. Bahu tegak, dada busung, dan kakinya melangkah mantap. Padahal setiap kali berpapasan dengan karyawan lain, Randy bisa mendengar dengan jelas bisikan-bisikan yang mencemooh dirinya. Juga melihat tatapan mata mengejek dari mereka.
Namun, tak ada satupun dari semua itu yang membuatnya menundukan kepala. Rekan kerjanya sampai keheranan, melihat ia tetap bisa berjalan penuh percaya diri. Seakan teguran Pak Wira kemarin, tidak menggores hatinya sama sekali. Randy bahkan masih sempat melempar senyum tipis ke beberapa orang yang menyapa, sebelum menghilang di balik pintu ruangannya.
“Akhirnya, aku bebas!” Randy menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya. “Wira si*lan! Gara-gara dia, semua orang menertawakanku! Br*ngsek!” ia mengumpat kesal.
Wajah santai yang ditunjukkan pada semua orang di luar sana, luntur seketika. Silih berganti dengan wajah masam dan dahi yang mengerut.
TOK! TOK! TOK!
Randy terlonjak kaget saat seseorang mengetuk pintu ruangannya. Ia buru-buru merapikan penampilan, kemudian mengubah mimik wajah kesalnya jadi biasa saja.
Seraya berpura-pura sibuk memegang pulpen dan beberapa lembar kertas, ia berteriak. “Masuk!”
“Ran, aku boleh masuk?” Seorang pria menyembulkan kepalanya saja dari pintu dengan senyum kuda.
“Oh, Rakean. Masuk,” ucap Randy.
Pria tersebut langsung masuk ke dalam ruangan Randy dan duduk di hadapannya. Ia adalah Rakean, rekan kerja yang berteman paling dekat dengannya. Sejak mereka masih menjadi karyawan magang sampai Randy menjabat sebagai manager sekarang.
“Ada apa, Sobat? Ngomong-ngomong, wajahmu segar sekali. Pasti karena kamu ambil izin cuti sehari kemarin, kan?” ujar Randy, menggoda rekan kerjanya.
Rakean sempat tersipu malu, sebelum berdehem untuk menetralkan suasana. “Justru itu. Aku agak menyesal tidak masuk kemarin. Aku dengar dari teman-teman yang lain, kamu ditegur Pak Wira. Benar, Ran?”
“Jadi … kamu sudah dengar juga, ya?”
“Gimana aku nggak dengar? Semua orang membicarakan pernikahanmu dan … teguran Pak Wira di pantry kemarin.” ia menunjukan gelagat sungkan dan berusaha menyamankan diri untuk bicara. “Aku mau memastikan keadaanmu setelah semua yang terjadi. Kamu baik-baik aja, kan?”
Di sinilah Randy langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi sendu, seraya berkata. “Aku merasa dipermalukan, Kean. Habis-habisan.” ia mendengus pelan sebelum melanjutkan kata. “Hari minggu pernikahanku dibatalkan sepihak karena uang mahar … saat aku menjawab pertanyaan orang-orang tentang pernikahanku, Pak Wira malah menegurku di depan semua orang. Aku dipermalukan.”
Rakean merasa iba. Melihat teman dekat yang ia kenal sejak dulu selalu bersemangat dan ambisius, kini tertunduk lesu. Ini bukan seperti Randy yang biasanya. Ia yakin bahwa masalah yang menimpa Randy begitu memukulnya telak. Rakean memutuskan untuk bangkit dari duduk dan menghampiri Randy, hanya untuk merangkulnya.
Menepuk pelan pundaknya, berusaha memberikan semangat. “Kamu jangan merasa kecil hati, Ran. Siapa tahu Tuhan punya cara untuk memberikanmu yang terbaik. Shea bukan jodohmu dan Pak Wira dikirimkan Tuhan sebagai pengingat. Agar kamu nggak berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Shea memang bukan jodohku …,” Randy menggantungkan kalimatnya, menatap Rakean dengan menunjukan senyum getir. “Dia sudah punya pria yang lebih baik dariku.”
Rakean mengernyitkan dahi. “Hah, siapa?”
“Orang yang menegurku kemarin,” ucap Randy.
Dengan seketika Rakean membulatkan mata dan mulut yang menganga tak percaya. “Maksudmu Shea menyukai Pak Wira?! Jangan mengada-ada kamu, Ran! Yang kutahu Shea bukan tipe perempuan seperti itu. Lagian, Pak Wira lebih pantas jadi ayahnya daripada calon suami!”
Randy hanya bisa tersenyum tipis menanggapi semua ucapan teman seperjuangannya. Ia tidak diam begitu saja. Tangannya merogoh kantong tas kerja yang ia bawa. Di dalam sana terdapat amplop coklat yang agak kecil dan tipis. Randy menyerahkan amplop tersebut pada Rakean yang menatapnya penuh pertanyaan.
“Itu semua bukti kalau Shea punya pria idaman lain … dan orang itu … Pak Wira.”
Tangan Rakean dengan tidak sabaran membuka amplop tersebut dan mengeluarkan semua isi di dalamnya. Ada beberapa lembar foto yang membuat mata Rakean membulat sempurna. Bahkan, ia sampai mengajukan pandangannya agar bisa melihat foto tersebut lebih teliti. Apakah benar apa yang lihat dalam foto tersebut Shea dan Pak Wira sedang bermesraan di berbagai tempat? Dan ada juga foto mereka masuk ke dalam hotel bersama?
“G*la, Ran! Kamu diam saja diperlakukan seperti ini sama Shea?! Semua orang membicarakanmu dari kejadian di pantry kemarin, lho!” seru Rakean, mulai naik pitam.
Randy mengusap kasar wajahnya dan menghembuskan nafas berat. “Lalu, aku harus apa? Di perusahaan ini, Pak Wira cukup terpercaya dibandingkan aku. Kemarin aja aku habis dipermalukan, apalagi kalau sekarang aku bertindak.”
Jawaban Randy malah membuat Rakean meradang. Tangannya meremas semua foto dalam genggaman dengan rahang mengatup. Ia sempat melangkah mundur, sebelum benar-benar membalikan tubuh menuju pintu keluar. Langkah kakinya yang menghentak terdengar jelas menjauhi ruangan Randy.
“Kean, kamu mau ke mana?!” ia berteriak saat melihat Rakean keluar dari ruangannya, seolah berusaha mencegahnya pergi.
Akan tetapi Randy tahu, kalau Rakean yang sedang diliputi amarah, dia tidak akan mendengarkan siapapun. Randy menyeringai di dalam ruangannya. Rakean yang loyal selalu bisa dimanfaatkan olehnya. Sebusuk apapun cerita yang dilontarkan, Rakean akan selalu mempercayai Randy.
Randy berjalan keluar ruangan dengan langkah kecil namun terburu-buru. Ia berpura-pura ingin mengejar Rakean yang sudah lebih dulu melenggang dengan wajah merah menahan amarah. Melihat ruang kerja karyawan sedang ramai, ia sengaja memanggil nama Rakean berulang kali dengan suara agak keras. Memancing perhatian semua orang di ruangan tersebut.
Seketika bisikan-bisikan samar memenuhi ruangan. Semua kepala yang menoleh ke arahnya, mulai mempertanyakan apa yang sedang terjadi di antara mereka.
“Rakean! Tunggu dulu! Jangan pergi ke tempat, Shea!” Randy terus mengejar Rakean yang tidak menggubris sama sekali. “Kamu akan menerima akibatnya kalau sampai menyentuh dia, Kean!”
Sekilas, kata-kata Randy seakan sedang memperingati rekan kerjanya. Tanpa orang-orang tahu, ada senyum tipis yang muncul di wajah Randy seiring langkah kakinya menuju departemen strategi brand. Departemen Shea berada. Senyuman Randy sepanjang jalan semakin lebar, ketika ia merasa ada beberapa langkah kaki mengikutinya.
Rakean mendorong kasar pintu departemen tempat Shea dan menghampirinya dengan wajah tak bersahabat. Randy semakin kegirangan dalam hati, saat melihat hampir semua karyawan menghentikan pekerjaan mereka dan mengerubungi mereka berdua.
“Shea!” panggil Rakean dengan nada tinggi. “Kamu mempermainkan Randy, ya? Bisa-bisanya membatalkan pernikahan dengan alasan mahar! Padahal kamu selingkuh, kan?”
Shea yang sedang sibuk bekerja di kubikelnya, mendongak dengan dahi berkerut. “Maksudmu apa, sih? Kalau nggak tahu apa-apa, jangan bicara yang bukan-bukan!”
“Halah! Kamu masih pura-pura polos!” Rakean mengangkat tangannya tinggi-tinggi di depan semua orang. “Nggak semua orang bisa kamu tipu, Shea! Di tanganku sudah ada banyak bukti perselingkuhan kamu!”
Ia melemparkan semua foto yang didapatkan dari Randy ke meja kerja Shea. Foto-foto yang berserakan tersebut membuat beberapa karyawan terbelalak. Karyawan yang berdiri di dekat mereka, menganga seraya mulai meributkan foto tersebut.
“Astaga! Bu Shea … dan Pak Wira?” ucap salah satu perempuan.
“Mustahil … Pak Wira bukannya sudah lama menikah?” sahut karyawan lain yang tak percaya pada foto yang berserakan di meja.
Shea berdiri di tempat dengan wajah kaku. Tangannya mengambil salah satu foto yang memperlihatkan sebuah mesraan antara dirinya dan Pak Wira. Shea benar-benar tidak tahu kapan ini terjadi? Ia sama sekali tidak pernah pergi berdua dengan Pak Wira selama bertahun-tahun bekerja di Mandakara Group. Dan foto-foto yang lain? Semua terasa asing dan baru bagi Shea. Tapi kenapa ada wajahnya di sana?
Sementara karyawan lain mulai ramai bergumam. Mulai menatap Shea dengan pandangan yang menghakimi dan penuh tuduhan macam-macam. Semua itu benar-benar mengiris hati Shea secara perlahan dan menyakitkan. Dalam jantungnya yang berdegup kencang, Shea yakin bahwa semua foto ini adalah fitnah.
“Kenapa? Kaget, rahasia busukmu sudah ketahuan?” Rakean menyeringai. “Pantas saja, banyak projek yang kamu ajukan pada Pak Wira langsung disetujui. Ternyata kalian ada main di belakang semua orang.”
Shea menarik napas panjang, dengan tangan yang mengepal, berusaha menguasai diri. “Itu bohong! Semua foto yang ada di meja ini, palsu! Aku sama sekali ….”
“Palsu? Kamu benar-benar berpikir karyawan di Mandakara Group itu b*doh?” Rakean memotong kalimat pembelaan diri Shea. “Aku terbiasa mengerjakan hal-hal berbau teknologi! Foto-foto itu sangat asli! Bagaimana kamu bisa bilang bahwa foto ini palsu?”
Randy menyeringai mendengar pembelaan Rakean yang tanpa ragu tersebut. Ia memang sengaja menyewa seorang editor profesional. Lihat hasilnya yang memuaskan itu! Semua orang, bahkan Rakean percaya dengan keaslian dari foto rekayasa tersebut. Ternyata dengan mengeluarkan sedikit uang, ia bisa melihat Shea merasa terpojok.
Sekarang, waktunya Randy masuk sebagai orang baik yang tersakiti. Menjadi bumbu pelengkap agar suasana semakin sedap untuk dinikmati.
“Kean, sudah cukup.” Randy melangkah maju, memposisikan diri di tengah-tengah Shea dan Rakean. “Jangan membuat keributan lagi soal pernikahanku. Aku sudah ikhlas kalau memang harus berakhir gagal. Biarkan saja.”
Rakean menatap kesal, Randy yang menundukan kepala. “Kamu itu terlalu baik, Ran! Masa kamu mau diinjak-injak perempuan penipu seperti dia! Ke mana harga dirimu sebagai laki-laki?!”
“Apa lagi yang perbuat, Randy?” Shea menatap tajam dengan suara bergetar di antara marah dan ketidak percayaan.
Randy menatap dalam Shea seperti pria yang penuh akan cinta. “Aku mencintaimu, Shea. Kalau memang Pak Wira yang terbaik untukmu … aku rela.”
Shea semakin geram dengan semua perlakuan mantan kekasihnya. “Kamu jangan ngomong sembarangan! Aku nggak punya hubungan apapun dengan Pak Wira!”
“Halah! Munafik! Aku akan mengadukan bukti perselingkuhan ini ke Pak Raga, agar kalian berdua dipecat dari perusahaan!” seru Rakean, mengumpulkan suara massa untuk mendukung tindakannya.
Semua karyawan setuju dengan keputusan Rakean yang ingin membawa ke petinggi perusahaan. Mereka tidak ingin sekantor dengan perusak rumah tangga orang dan tukang selingkuh. Randy membulatkan mata terkejut, saat mengetahui tindakan Rakean yang terlalu jauh. Pak Raga bukan orang yang menyenangkan untuk diajak bermain-main seperti ini.
Shea sendiri, mulai panik dan matanya tidak bisa menahan air mata. Semua orang sudah terhasut oleh cerita bohong yang dibuat Randy. Sekarang, apa yang bisa ia lakukan?
“Ada yang memanggil namaku?”
Semua suara yang memojokan Shea tertelan seketika. Kepala mereka secara serempak menoleh ke ambang pintu. Di sana berdiri seorang pria dengan postur tegak, berjas rapi, berwajah dingin tanpa ekspresi, dan berjalan perlahan membelah kerumunan. Ia adalah Raga, Chief Digital Officer dari Mandakara Group.
Rakean tersenyum lebar, menyambut kedatangannya. “Kebetulan ada Pak Raga di sini. Saya menemukan dua orang yang berselingkuh di kantor kita, Pak.”
“Pernikahan Shea dan Randy, lagi?” Raga menyilangkan tangan di dada. “Bukannya saya sudah pernah meminta Pak Wira menegur Randy untuk berhenti? Saya muak.”
Semua orang terdiam seribu bahasa karena rasa takut dan segan. Raga salah satu petinggi yang paling mereka hindari. Tak ada yang mau berurusan masalah dengannya.
Hanya Rakean, satu-satunya orang yang berbicara dengan lantang seraya memberikan foto-foto di meja pada Raga. “Ini, Pak! Bukti perselingkuhan antara Shea dan Pak Wira! Sebagai seorang petinggi di perusahaan ini, tolong bebaskan kantor ini perselingkuhan, Pak.”
Raga menerima semua foto yang diberikan Rakean dan melihatnya dengan seksama. Randy mulai dirundung rasa gelisah melihat ekspresi wajah Raga yang sulit ditebak. Apakah foto rekayasa miliknya bisa menipu orang secerdas Raga?
“Pak, foto itu palsu!” seru Shea.
“Bicara itu mudah,” ucap Raga setelah lama diam mengamati, “Randy sudah memberikan aku bukti perselingkuhan kalian. Sekarang tinggal kamu dan Pak Wira yang membuktikan bahwa foto ini palsu.”
Shea terdiam. Dalam kabut pikiran yang sibuk mencari cara agar bisa memberikan bukti. Raga bukan orang yang mudah percaya pada sekedar ucapan. Terlebih hubungan mereka selama ini tidak dekat sama sekali.
“Aku tunggu bukti yang kalian punya sampai besok. Kuharap bukti yang kamu punya bisa menolongmu dari pemecatan,” ujar Raga sebelum beranjak pergi.
Semua orang membubarkan diri, seiring dengan Raga yang menjauh. Meninggalkan Shea yang hampir menangis kali ini. Randy benar-benar keterlaluan, tidak pernah berhenti mengganggu Shea dengan semua kebohongan dan manipulasinya.
TING! Sebuah notifikasi email masuk ke ponsel Shea. Manik hazel Shea membulat seketika saat membuka pesan tersebut. Ia terkejut bukan main dengan semua yang dilihatnya.
“Ap-apa ini?”
Randy menatap lurus sebuah pintu kaca di ujung koridor lantai 4, kantor Mandakara Group. Ia mendorong pintu salah satu departemen dengan wajah setenang air. Ruangan yang ramai dengan suara mesin ketik dan tawa ringan mendadak senyap saat melihat Randy masuk. Hanya satu wanita di ujung ruangan yang sibuk, tidak menyadari kedatangannya.Beberapa karyawan menunjukkan beragam ekspresi ketika Randy mendekati kubikel Shea. Ada yang cekikikan sambil berbisik, menatap sinis, dan ada pula yang mendengus kesal. Mereka semua tahu, Randy datang bersama drama percintaannya.“Shea, aku mau ngomong sebentar,” tegas Randy. Jemari wanita itu berhenti menari di atas mesin ketik. Ia menoleh dengan wajah datar dan tatapan mata yang berat. Sepertinya Shea sudah malas dengan masalah yang dibawa Randy.“Apa lagi sekarang, Ran?”“Kamu minta ketemu Tika di rooftop, ya?” Randy mencondongkan tubuh ke arah meja. “Tika udah ceritakan semuanya ke aku. Kamu menamparnya karena cekcok soal pertunanganku, kan?”Udara
“Jadi, sepupu Pak Raga yang kirim orang itu ke rumah kita sampai Eyang ketakutan?” Suara Shea lantang, tangannya hampir menjatuhkan cangkir kopi. Ia memandang resah adik bungsunya yang terlihat santai menyeruput kopi, seolah mereka membicarakan hal sepele.Sore ini, aroma kopi segar dan roti panggang yang baru matang menggoda mereka untuk singgah. Di kafe kecil dekat rumah sakit, mereka duduk saling berhadapan. Cahaya jingga menembus kaca besar di samping meja, membingkai apik dua kakak beradik dalam pembicaraan serius.Drisa mengangguk pelan. “Nggak cuma itu, Kak. Luna juga minta orang itu buat menakut-nakuti Eyang sampai kabur dari rumah. Dia memanfaatkan demensia Eyang yang sering kambuh kalau lagi takut. Supaya Eyang nggak bisa pulang.” “Sebentar,” pinta Shea, mengangkat tangan memberi isyarat berhenti. “Kamu tahu dari mana kalau Luna yang melakukan ini?”“Aku tahu dari dia yang panik, saat aku bahas soal orang itu di depan orang tuanya. Pas aku keluar dari kamar Eyang, dia juga
Herawati tidak mau mengendurkan senyum sedikitpun selama menatap orang-orang yang datang menjenguknya. Dari Maya, Pradja, Mara, Raga, dan juga Drisa. Seakan-akan tubuhnya yang sedang terbaring di kasur rumah sakit dengan selimut tebal, bukanlah seorang pasien. Senyum tersebut berhasil menciptakan suasana yang hangat dan penuh suka cita. Akan tetapi, ada satu wanita yang duduk di sofa dan menatap lekat pada Drisa. Memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu dengan raut wajah yang sulit diartikan. Padahal orang tuanya sudah pulang sejak tadi, namun Luna memilih untuk tetap tinggal tanpa alasan yang jelas.“Luna, apa kabar?” sapa Mara, baru saja menghempaskan diri di sofa seraya tersenyum tipis pada wanita dengan riasan menor tersebut.Bukannya membalas, Luna malah tak bergeming. Jangankan menjawab, menoleh pada Mara saja tidak. Perilaku ini, tentu saja membuat ia jengkel karena merasa Luna tidak sopan mengabaikan orang yang lebih tua sedang bicara.“Kenapa mukanya ditekuk begitu, Kak? A
Lorong rumah sakit pada sore hari memang lebih sunyi. Bau obat-obatan dan cairan antiseptik menguasai hampir seluruh udara secara samar. Lampu di langit-langit yang memantulkan cahaya putih di dinginnya lantai. Menerangi langkah kaki seorang wanita sosialita bergaya centil. Tiba-tiba langkah kaki wanita itu terpaksa berhenti saat bahunya bertabrakan dengan bahu milik orang lain. Seorang perawat yang sedang berjalan ke arah berlawanan dengannya. Suara pletak! Terdengar saat tas jinjing yang menggantung di bahunya, terjatuh ke lantai. “Ya ampun!” cicit wanita tersebut, mendelik ke arah perawat yang buru-buru mengambilkan tasnya di lantai. “Kalau jalan pakai mata, dong!”Perawat muda di depannya menyodorkan tas dengan wajah ketakutan dan tangan yang gemetaran. “Ma-maaf, Bu. Saya nggak sengaja.”“Sini!” Ia merebut paksa tas kecil dari perawat itu dengan kasar. Jemari lentiknya mengusap setiap permukaan kulit tas itu dengan cermat, seolah sedang menilai kerusakan sekecil apapun. “Maaf,
Suara kantong plastik saling bergesekan memenuhi ruang makan rumah Wanda. Di meja makan, mereka meletakkan semua kantong plastik tersebut secara rapi dan tersusun. Mengeluarkan satu per satu isi dari setiap plastik, kemudian diperiksa ulang, sebelum dimasukkan ke dalam kulkas. Dari makanan ringan, sayur, buah, minuman, dan juga daging segar. Baya datang menyapa mereka dengan wajah sumringah. Tak hanya itu, ia juga menawarkan bantuan untuk menyusun bahan makanan baru di kulkas. “Ibu jadi belikan aku jus ini?” tanya Drisa, mengangkat jus kemasan yang tadi sempat menyita waktunya selama sepuluh menit untuk berpikir. “Kamu mau, kan?” Wanda melirik sekilas putri bungsunya, lalu tersenyum hangat. “Pasti Ibu kepancing sama si Nenek sihir itu, ya?” ujar Drisa, tangannya menaruh kembali minuman kemasan itu di atas meja bersama teman-teman sejawatnya. “Drisa,” tegur Wanda dengan nada lemah lembut, “Ibu tahu kamu kesal sama mereka. Tapi bukan berarti kamu jadi bersikap nggak sopan ke mereka
Drisa sibuk menimang-nimang barang di kedua tangannya. Ia berdiri di depan lorong pendingin supermarket yang anginnya membuat semakin betah. Di tangan kiri, Drisa memegang satu kotak susu strawberry berukuran 1 liter. Sedangkan di tangan kanannya, ada jus buah-buahan dengan ukuran yang sama. Ia terlihat frustasi karena tak dapat menentukan.“Hmmm … aku nggak bisa menolak kenikmatan susu strawberry kesukaanku ini,” gumam Drisa menatap barang di tangan kirinya, kemudian beralih ke tangan kanan. “Tapi harga kamu lebih ekonomis.”Tak lama, Wanda muncul membawa beberapa plastik berisikan aneka buah. Seperti apel, jeruk, dan anggur. Ia menaruh semua buah itu ke dalam troli yang sedari tadi didorong oleh Drisa.Wanda mengernyitkan dahi memperhatikan tingkah laku putri bungsunya. “Kamu lagi apa di situ, Dek? Perasaan dari tadi cuma di situ-situ aja.”“Aku bingung mau pilih yang mana, Bu.”“Bingung?” Wanda melihat barang-barang yang ada di tangan Drisa. “Bukannya itu susu kesukaan kamu. Kalau







