LOGIN“Jadi, sepupu Pak Raga yang kirim orang itu ke rumah kita sampai Eyang ketakutan?” Suara Shea lantang, tangannya hampir menjatuhkan cangkir kopi. Ia memandang resah adik bungsunya yang terlihat santai menyeruput kopi, seolah mereka membicarakan hal sepele.Sore ini, aroma kopi segar dan roti panggang yang baru matang menggoda mereka untuk singgah. Di kafe kecil dekat rumah sakit, mereka duduk saling berhadapan. Cahaya jingga menembus kaca besar di samping meja, membingkai apik dua kakak beradik dalam pembicaraan serius.Drisa mengangguk pelan. “Nggak cuma itu, Kak. Luna juga minta orang itu buat menakut-nakuti Eyang sampai kabur dari rumah. Dia memanfaatkan demensia Eyang yang sering kambuh kalau lagi takut. Supaya Eyang nggak bisa pulang.” “Sebentar,” pinta Shea, mengangkat tangan memberi isyarat berhenti. “Kamu tahu dari mana kalau Luna yang melakukan ini?”“Aku tahu dari dia yang panik, saat aku bahas soal orang itu di depan orang tuanya. Pas aku keluar dari kamar Eyang, dia juga
Herawati tidak mau mengendurkan senyum sedikitpun selama menatap orang-orang yang datang menjenguknya. Dari Maya, Pradja, Mara, Raga, dan juga Drisa. Seakan-akan tubuhnya yang sedang terbaring di kasur rumah sakit dengan selimut tebal, bukanlah seorang pasien. Senyum tersebut berhasil menciptakan suasana yang hangat dan penuh suka cita. Akan tetapi, ada satu wanita yang duduk di sofa dan menatap lekat pada Drisa. Memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu dengan raut wajah yang sulit diartikan. Padahal orang tuanya sudah pulang sejak tadi, namun Luna memilih untuk tetap tinggal tanpa alasan yang jelas.“Luna, apa kabar?” sapa Mara, baru saja menghempaskan diri di sofa seraya tersenyum tipis pada wanita dengan riasan menor tersebut.Bukannya membalas, Luna malah tak bergeming. Jangankan menjawab, menoleh pada Mara saja tidak. Perilaku ini, tentu saja membuat ia jengkel karena merasa Luna tidak sopan mengabaikan orang yang lebih tua sedang bicara.“Kenapa mukanya ditekuk begitu, Kak? A
Lorong rumah sakit pada sore hari memang lebih sunyi. Bau obat-obatan dan cairan antiseptik menguasai hampir seluruh udara secara samar. Lampu di langit-langit yang memantulkan cahaya putih di dinginnya lantai. Menerangi langkah kaki seorang wanita sosialita bergaya centil. Tiba-tiba langkah kaki wanita itu terpaksa berhenti saat bahunya bertabrakan dengan bahu milik orang lain. Seorang perawat yang sedang berjalan ke arah berlawanan dengannya. Suara pletak! Terdengar saat tas jinjing yang menggantung di bahunya, terjatuh ke lantai. “Ya ampun!” cicit wanita tersebut, mendelik ke arah perawat yang buru-buru mengambilkan tasnya di lantai. “Kalau jalan pakai mata, dong!”Perawat muda di depannya menyodorkan tas dengan wajah ketakutan dan tangan yang gemetaran. “Ma-maaf, Bu. Saya nggak sengaja.”“Sini!” Ia merebut paksa tas kecil dari perawat itu dengan kasar. Jemari lentiknya mengusap setiap permukaan kulit tas itu dengan cermat, seolah sedang menilai kerusakan sekecil apapun. “Maaf,
Suara kantong plastik saling bergesekan memenuhi ruang makan rumah Wanda. Di meja makan, mereka meletakkan semua kantong plastik tersebut secara rapi dan tersusun. Mengeluarkan satu per satu isi dari setiap plastik, kemudian diperiksa ulang, sebelum dimasukkan ke dalam kulkas. Dari makanan ringan, sayur, buah, minuman, dan juga daging segar. Baya datang menyapa mereka dengan wajah sumringah. Tak hanya itu, ia juga menawarkan bantuan untuk menyusun bahan makanan baru di kulkas. “Ibu jadi belikan aku jus ini?” tanya Drisa, mengangkat jus kemasan yang tadi sempat menyita waktunya selama sepuluh menit untuk berpikir. “Kamu mau, kan?” Wanda melirik sekilas putri bungsunya, lalu tersenyum hangat. “Pasti Ibu kepancing sama si Nenek sihir itu, ya?” ujar Drisa, tangannya menaruh kembali minuman kemasan itu di atas meja bersama teman-teman sejawatnya. “Drisa,” tegur Wanda dengan nada lemah lembut, “Ibu tahu kamu kesal sama mereka. Tapi bukan berarti kamu jadi bersikap nggak sopan ke mereka
Drisa sibuk menimang-nimang barang di kedua tangannya. Ia berdiri di depan lorong pendingin supermarket yang anginnya membuat semakin betah. Di tangan kiri, Drisa memegang satu kotak susu strawberry berukuran 1 liter. Sedangkan di tangan kanannya, ada jus buah-buahan dengan ukuran yang sama. Ia terlihat frustasi karena tak dapat menentukan.“Hmmm … aku nggak bisa menolak kenikmatan susu strawberry kesukaanku ini,” gumam Drisa menatap barang di tangan kirinya, kemudian beralih ke tangan kanan. “Tapi harga kamu lebih ekonomis.”Tak lama, Wanda muncul membawa beberapa plastik berisikan aneka buah. Seperti apel, jeruk, dan anggur. Ia menaruh semua buah itu ke dalam troli yang sedari tadi didorong oleh Drisa.Wanda mengernyitkan dahi memperhatikan tingkah laku putri bungsunya. “Kamu lagi apa di situ, Dek? Perasaan dari tadi cuma di situ-situ aja.”“Aku bingung mau pilih yang mana, Bu.”“Bingung?” Wanda melihat barang-barang yang ada di tangan Drisa. “Bukannya itu susu kesukaan kamu. Kalau
Tika menyeberangi panas terik matahari di area rooftop gedung Mandakara Group. Udara panas yang menyelimuti atap beton itu terasa membakar, tetapi tak membuatnya mengurungkan niat. Ia memenuhi panggilan Shea untuk datang ke sana seorang diri. Senyumnya mengembang saat melihat perempuan tersebut berdiri di salah satu sisi. Dalam sorot matanya, Tika seperti tengah mengabsen sekaligus mengagumi Shea.Rambut terurai indah, tubuh ideal yang dibalut blazer ungu muda dan celana warna senada. Riasan tipis yang terlukis di wajah Shea, namun tetap memancarkan kecantikan. Pantas saja, banyak pria yang membicarakannya sampai sekarang. Kecantikan Shea masih mengagumkan meski perempuan tersebut hanya menatapnya lekat tanpa tersenyum. “Ada apa kamu memanggilku ke sini, Shea?” tanya Tika, ringan. “Lihat ke sini …,” Shea menunjuk tempat paling pojok yang terhimpit di antara pagar rooftop dan pilar besar. “Kamu ingat sebuah kenangan yang ada di sini?”Tika memiringkan sedikit kepala seraya menatap d







