Share

Bab 3. Surat Perjanjian

Aku mengabaikan apa yang ia katakan tadi. Terserah dia kalau memang mau cari Evita. Alhamdulillah kalau bisa ketemu dan aku terbebas dari pernikahan ini. Aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan, tanpa merespon apa yang di katakan Raka.

Terlihat ia bangun dari sofa, meraih jaket dan kunci mobilnya, lalu keluar kamar.

Ah, malah bagus dia tak ada, aku bisa tidur nyenyak, gumamku. Dan mulai memejamkan mata.

Baru saja aku hampir terlelap, di luar kamar terdengar keributan.

"Ada apalagi sih! Mau tidur aja susah banget, ada saja gangguannya," gerutuku.

Sayup-sayup bisa kudengar suara Tante Rita.

"Masuk! Mama bilang, masuk! Buat apa kamu cari perempuan itu lagi! Sudah bagus keluarga ini mau menolong kita, kalau tidak keluarga kita sudah di buat malu sama perempuan itu!"

"Ma, biar Aku cari Evita malam ini Ma."

"Enggak! Jangan bikin gara-gara lagi kamu Ka! Jangan bikin malu Mama sama Papa di depan keluarganya Pak Mustafa! Mereka sudah sangat baik mau membantu kita!"

Aku menempelkan satu telingaku di balik pintu kamar, karena begitu penasaran. Rupanya, Raka kena semprot sama mamanya.

"Tapi Ma!"

"Nggak ada tapi-tapian! Kalau kamu sayang sama Mama dan Papa, kamu nurut! Masuk kembali ke kamar, temani istrimu!" titah Tante Rita.

Ah, maksudku Mama Rita. Karena beliau kini sudah menjadi ibu mertuaku.

Aku langsung kembali naik ke ranjang dan menutup kembali tubuhku dengan selimut. Aku berbaring membelakangi pintu. Suara derit pintu terbuka, sepertinya Raka kembali masuk ke kamar, tak jadi mencari Evita.

Pagi menjelang. Entah jam berapa aku terlelap. Aku lihat Raka masih bergelung selimut, terlelap di sofa.

Aku langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi, membiarkan Raka yang masih terlelap. Aku pun tak berani membangunkannya.

Selesai mandi aku langsung turun ke dapur bergabung sama ibu dan Mama Rita yang mulai mempersiapkan acara walimah. Dua orang tetangga yang diminta ibu untuk membantu di rumah ini pun sudah siap dengan tugas masing-masing.

Jam sepuluh acara di gelar, banyak tetangga yang datang, tak terkecuali Bu Inneke yang baru kemarin nyinyir mengataiku Perawan tua.

"Alhamdulillah, akhirnya laku juga Amira," cetusnya begitu ia masuk ke dapur menemui ibu.

Laku? Dia kira aku ini barang jualan, di bilangnya laku. Aku menggerutu tanpa berani menyela, karena di sini ada banyak orang.

"Alhamdulillah Bu, doa saya terkabul, semalam Amira menikah, ini mendadak, karena situasi." Ibu menyahut.

"Situasi mendadak? Amira nggak kena gerebek karena mesum, lalu kemudian di nikahkan 'kan?"

"Astaghfirullah, ya enggak lah! Tolong kalau ngomong itu di jaga, takutnya menjadi fitnah!" Kali ini Mama Rita yang menyahut.

"Ya barangkali, namanya anak muda jaman sekarang, kalau nggak hamidun duluan ya kena grebek, lalu dinikahkan mendadak." Rasa nyeri menjalar di hati ini, mendengar ucapan Bu Inneke.

"Maaf Bu, saya bukan perempuan seperti itu, jadi tolong jangan bicara yang tidak-tidak," tegasku.

"Iya. Maaf Bu Inneke kalau kemari hanya untuk menebar fitnah yang nggak bener, sebaiknya ibu tunggu di depan." Ibu berkata sambil menunjuk ke arah ruang tamu, dimana ayah dan Papa Saiful tengah menggelar permadani di ruang tamu hingga teras rumah.

"Sudah jangan dipikirkan omongan orang. Kami semua juga tahu, pernikahan kalian mendadak bukan karena seperti itu." Mama Rita mengelus pelan pundakku. Aku tersenyum padanya. Beliau memang sangat baik padaku.

"Iya Ma, makasih ya."

"Mama yang makasih sama kamu, mau jadi menantu Mama." Lagi Mama Rita tersenyum hangat padaku.

"Raka mana?"

"Masih tidur Ma, aku nggak berani bangunin dia, sepertinya dia kecapekan."

Mama Rita hanya tersenyum.

"Ya sudah, biarkan nanti saja dibangunkan untuk sarapan sama-sama."

Aku mengangguk dan kembali membantu pekerjaan dapur yang bisa aku kerjakan.

"Sarapan sudah siap, sana kamu bangunin suamimu Mir!" pinta Ibu padaku.

Aku justru bengong.

"Nggak apa-apa, sana bangunin Raka. Kalian pasti masih canggung ya, nggak apa-apa nanti lama-lama juga terbiasa," ucap Mama Rita seolah tahu perasaanku.

Aku pun berjalan ke kamar untuk membangunkan Raka.

Tapi saat aku masuk kamar, ternyata kosong. Raka tak ada. Lalu tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok Raka yang hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang hingga lututnya. Reflek aku berteriak dan menutup wajahku dengan kedua tangan.

Raka pun terkejut melihatku ada di kamar, secepat kilat ia kembali masuk ke kamar mandi.

Sejenak kami berdua sama-sama diam. Aku menakan erat dada ini, menetralisir degup jantung yang tiba-tiba bergejolak

"Ekhem! Raka, di suruh turun untuk sarapan sama-sama," ucapku berusaha tenang, meski sebenarnya aku begitu gugup.

"Ya. Nanti aku turun," sahutnya dari dalam kamar mandi.

"Oke." Aku pun langsung bergegas keluar kamar dan kembali menutup pintu kamar, sambil menekan dada ini.

"Kenapa Dek?!" Aku terlonjak kaget, tiba-tiba ada Mas Faisal dibelakangku.

"Oh, nggak apa-apa Mas, aku nggak apa-apa."

"Hayo abis ngapain? Kok kayaknya tegang gitu?" Ledeknya.

"Siapa yang tegang, eh, kok Mas sudah sampai rumah kapan sampai?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tadi malam, saat semua orang sudah tidur."

"Oh. Ya sudah aku kembali turun ke bawah ya!" Aku langsung berusaha kabur darinya supaya tidak di tanya macam-macam.

"Eh tunggu, suamimu mana? Mas pengin kenal!"

"Ada di kamar, sebentar lagi juga turun," sahutku sambil menuruni anak tangga.

Acara tasyakuran walimah pun akhirnya berjalan dengan lancar, dan sore ini juga Raka di depan orangtuaku memintaku untuk ikut dengannya tinggal di rumah pribadinya.

Tentu ayah tidak keberatan. Beliau justru senang karena dengan begitu kami bisa hidup mandiri, begitu katanya.

Ibu membantuku mengemasi barang-barangku di kamar. Sedangkan Raka bersama papa mamanya, masih bercengkrama dengan Ayah dan Mas Faisal di ruang tengah.

"Nanti kamu di sana harus taat sama suamimu ya Mir, wajib hukumnya seorang istri taat pada suaminya." Ibu membantuku memasukkan baju-baju ke dalam koper sambil memberi nasihat padaku. Aku hanya menjawab iya sambil sesekali mengangguk.

Entah apa jadinya nanti di sana, pernikahan macam apa ini yang nanti aku jalani.

Kedua keluarga ikut mengantarkan kami ke rumah yang memang sudah disiapkan Raka untuk di tempatinya Setelah menikah.

Setelah melihat dan berkeliling melihat semua ruangan rumah ini, akhirnya ibu dan ayah pamit pulang, pun dengan Mama Rita dan Papa Saiful. Kini tinggal kami berdua di rumah ini, kembali pada suasana canggung menyelimuti kami.

Baru saja aku hendak bangkit dari sofa, Raka duduk di dekatku, dan menyodorkan sebuah amplop padaku.

"Apa ini?" tanyaku menatap sepucuk amplop putih diatas meja.

"Buka aja," sahutnya datar tanpa ekspresi.

Aku pun meraihnya dan melihat isinya. Sebuah surat perjanjian.

"Maksudnya?"

"Kamu baca dulu."

'Surat perjanjian' yang isinya.

1. Raka dan Amira tidak boleh tidur satu kamar.

2. Amira tidak boleh menyentuh barang-barang pribadi milik Raka, begitu juga sebaliknya.

3. Amira tidak boleh mengatur atau menanyakan kemana Raka pergi.

4. Di larang ikut campur urusan masing-masing.

5. Tidak boleh melaporkan tentang perjanjian ini pada orang tua masing-masing.

"Kalau setuju kamu boleh langsung tanda tangan di bawahnya. Masing-masing kita pegang satu lampiran," ucap Raka.

Sejenak aku termenung.

"Bagaimana?"

Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.

Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status