"Bagaimana?"
Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?"Oke."Aku pun membubuhkan tanda tangan di bawah, lalu memberikannya kembali surat itu pada Raka.Ia mengangguk."Ini, simpanlah. Dan mulai sekarang kau bisa menempati kamar depan ini, dan aku di kamar itu, ucapnya sambil menunjuk dua kamar yang masih tertutup pintunya. Aku mengangguk. Kemudian bangkit seraya menarik koperku.Raka pun bangkit dan masuk ke kamarnya. Tatapan Raka sejak kemarin masih tak berubah, jangankan tersenyum, melihatku rasanya enggan. Ia hanya bicara seperlunya saja seperti tadi saat memberikan surat perjanjian itu.Aku mengerti, saat ini pasti hatinya tidak baik-baik saja.Aku memperhatikan ruangan yang akan menjadi kamarku ini. Sebuah ruangan yang tidak lebih besar dari kamarku di rumah, dengan nuansa serba putih dan dua jendela berukuran sedang. Sebuah kasur berukuran size nomor dua, dengan seprei berwarna putih juga ada lemari di sudut kamar. Tak ada kamar mandi di dalam kamar.Aku mengedarkan pandangan menatap sekeliling kamar ini. Aku yakin ini adalah kamar untuk tamu. Berhubung pernikahan ini adalah sebuah pernikahan yang tak diinginkan, aku rela harus tidur di kamar kecil ini.Dan sekarang kami berdua harus menjalani pernikahan sandiwara di depan kedua orang tua kami.Aku mulai menata baju dan barang-barangku. Memasukkannya ke dalam lemari. Hingga baru kusadari aku lupa membawa laptopku. Aku menepuk jidat, kenapa barang sepenting itu harus terlupa.Setiap malam aku harus membaca laporan, serta memantau perkembangan usahaku. Usaha yang sudah kurintis sejak lulus kuliah.dulu.Bergegas aku merapikan semuanya, dan aku harus segera pulang ke rumah, untuk mengambil benda itu, sebelum malam makin larut.Aku keluar kamar, namun Raka tak ada. Aku coba mencarinya ke dapur, sama, juga tak ada.Hingga netra ini menangkap sosoknya tengah duduk di taman belakang. Ya, rumah satu lantai dengan gaya minimalis ini, terbilang cukup besar, ada taman kecil di belakang yang di penuhi rumput Jepang dan beberapa bunga anggrek dan bunga lainnya berwarna-warni, ada kolam ikan yang makin menambah indah dekorasi taman ini, cukup nyaman untuk bersantai di dalam rumah, harusnya.Ya, harusnya begitu, tapi tidak denganku, mungkin tempat ternyamanku di rumah ini adalah di kamar.Aku lihat Raka sedang duduk di kursi dengan kepala tertunduk dalam, dua tangannya masih memegang ponselnya. Aku melirik ponsel itu, aplikasi chat berwarna hijau menampakkan kontak nama Evita. Sepertinya ia sedang berusaha menghubungi Evita."Ekhem! Raka, sepertinya aku harus pulang sebentar ke rumah, laptopku ketinggalan," ucapku yang terdiri di belakangnya.Ia langsung mengangkat kepalanya, dan langsung menggelapkan layar ponsel miliknya."Terserah," jawabnya. Singkat, padat dan terkesan tidak peduli. Bahkan menoleh ke arahku pun tidak.Aku pun langsung berbalik badan dan langsung memesan taksi online. Sekalian ambil laptop, sekalian aku bawa motorku kesini, aku biasa pulang pergi kerja dengan mengendarai motor.Meski ayah ada mobil, aku lebih suka naik motor, menurutku lebih cepat karena bisa menyalip di tengah kemacetan."Ternyata, takdir bisa berjalan se-aneh ini ya?" gumamku, setelah taksi perlahan bergerak meninggalkan area rumah milik Raka. Sebuah rumah yang akan aku tinggali, karena sudah menyandang status sebagai istri dari Raka.Lima belas menit kemudian, aku sampai di area depan rumah orang tuaku. Sebelum keluar dari taksi, aku bisa melihat keluargaku yang sedang berkumpul di teras dan menatap ke arah taksi yang sedang aku naiki sekarang. "Wih pengantin baru!" ucap ibu, saat aku memasuki area teras."Pengantin baru? Pengantin paksa ini mah!" tukasku, sambil menyalami kedua orang tuaku dan juga kakakku, Mas Faisal dan Mbak Indah, juga Nadia keponakanku."Tante Amira jahat ih, pas jadi pengantin aku nggak dia ajak, jadi kan aku nggak lihat Tante Amira pas di rias cantik kayak princes!" Nadia, bocah Lima tahun itu berkata sesaat setelah aku mencium kedua pipinya yang gembil.Eh, ni anak, nggak tahu apa tantenya ini korban paksaan dari orang tua.Aku menatap sinis ke arah ibu, ayah dan Mas Faisal, mereka semua seakan menahan tawa mendengar ucapan Nadia."Ehm, Nadia Sayang, Tante Amira juga jadi pengantin dadakan, jadi nggak sempet ngasih tahu Nadia, nanti kapan-kapan kita berdua foto-foto ala princess mau nggak?" tanyaku sambil tersenyum.Nadia langsung melebarkan senyumnya."Mau! Mau Tante!""Oke. Kapan-kapan ya, sekarang Tante lagi buru-buru mau ambil laptop Tante ketinggalan."Aku kembali menatap Mama, Papa juga Mas Faisal."Puas!" sungutku, sebelum berlalu masuk ke kamar.Perasaan kesal kembali muncul di dalam hatiku, berbanding terbalik dengan senyuman lebar yang terpampang jelas pada wajah Ayah, Ibu dan Mas Faisal sekarang."Eh pengantin baru jangan kesal gitu! Seharusnya, sekarang kamu tuh datang sambil senyum, bukannya marah-marah." Kak Faisal menatapku sambil tersenyum.Kebiasaan Mas Faisal yang suka menjahiliku sepertinya akan semakin bertambah, setelah dia mengetahui status baruku sekarang.Aku mendaratkan bobotku di sofa, kemudian menghela napas kasar. Berhadapan dengan Raka yang hanya diam saja sudah membuat energiku terkuras, apalagi berhadapan dengan mulut keluargaku yang akan terus meledekku sekarang.Ibu juga sangat antusias saat melihat kedatanganku. Dia duduk di sampingku, kemudian memegang lenganku.'Di mana Raka? Kok kamu nggak diantar sama suamimu itu?" tanya ibu.Aku menggeleng."Sepertinya dia kelelahan sekarang, terus aku juga nggak ada niatan untuk minta tolong sama dia," jawabku asal."Wah kelelahan? Memangnya kemarin malam kalian main sampai berapa ronde? Sampai pagi kah?"Semua orang tertawa mendengar pertanyaan itu.Jika yang mengatakan kalimat itu adalah Mas Faisal, sudah bisa kupastikan tangan ini mendarat dengan mulus pada wajahnya. Namun, karena yang mengatakan kalimat itu adalah ibu, jadi aku sekuat tenaga menahan setan dalam diriku untuk tidak berbuat kasar kepadanya."Bu, aku masih kesal loh sama keputusan ibu sama ayah kemarin. Seharusnya, kalian bisa berpikir matang sebelum memutuskan semuanya. Aku nggak pernah sekalipun kepikiran untuk jalin hubungan dengan orang asing, dengan cara seperti ini!"Aku hanya manusia biasa. Kejadian kemarin dan ucapan keluargaku hari ini, jelas membuat perasaan kesal. Sungguh, aku tidak bisa memahami bagaimana jalan pikiran kedua orang tuaku.Meskipun aku tahu, mereka mungkin menginginkan yang terbaik untukku. Tapi haruskah dengan cara seperti ini? Menikahkan aku secara mendadak, menjadi pengantin pengganti hanya untuk menolong kehormatan keluarga mereka?!"Amira, Ayah dan Ibu juga memikirkan semuanya dengan matang. Justru, karena kami sudah sangat yakin, jadi kami langsung menyetujui pernikahanmu dengan Raka kemarin. Ayah yakin, semuanya pasti akan baik-baik saja,” ucap ayah. Aku hanya membuang pandangan, kesal saja, dengan sikap ayah, yang biasanya sangat mengerti aku, tapi hari itu ayah begitu berbeda, keinginannya tak terbantahkan.Ayah memiliki kepercayaan yang begitu besar kepada Om Saiful dan Tante Rita, orang tua Raka. Saking besarnya rasa percaya itu, beliau sampai mengorbankan putrinya untuk menyelamatkan kehormatan keluarga itu.Ibu mengusap lenganku."Raka pasti bisa jadi suami yang baik untuk kamu, Amira. Ibu yakin, orang tua Raka juga sangat menyayangimu, sama seperti kami menyayangimu. Jadi, kamu juga harus bisa jadi istri dan menantu yang baik untuk mereka.” imbuhnya. Aku hanya membuang napas kasar.Beban di pundakku terasa semakin berat sekarang. Orang tuaku memiliki harapan besar dari pernikahan mendadakku dengan Raka kemarin.Aku jadi berpikir, bagaimana kalau orang tuaku dan orang tua Raka mengetahui tentang perjanjian kontrak yang sudah kami setujui bersama? Sudah aku pastikan, mereka pasti akan merasa sangat kecewa kepada kami.Namun, bagaimanapun juga, yang menjalani pernikahan ini adalah aku dan Raka. Kami adalah dua orang asing yang tiba-tiba disatukan dalam janji pernikahan, tanpa sekalipun mengenal satu sama lain lebih dalam.Bayangan wajah Raka yang jelas-jelas kurang menerima keberadaanku sebagai istrinya, tiba-tiba melintas begitu saja dalam kepalaku. Membuat suasana hatiku semakin gelap sekarang."Apa ayah dan ibu harapkan dari pasangan yang dipaksa untuk menikah dalam waktu singkat, hanya beberapa menit, tanpa saling mengenal? Kalian juga pasti tahu, kalau perasaan Raka jelas belum membaik, karena Evita tiba-tiba meninggalkannya kemarin. Dan aku tahu pasti, Raka ... sangat mencintai Evita,” ucapku pada ibu dan ayah, sambil menatap wajah keduanya bergantian. Nada suaraku mendadak melemah pada kalimat terakhirku.Ayah dan ibu saling tatap, sebelum kemudian kembali menatap ke arahku."Masalah Evita, Ayah yakin Raka bisa melupakan semuanya. Percaya sama ayah Mira, kalau Raka pasti bisa mencintaimu, karena cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu."Aku hanya membuang napas dan mengalihkan pandangan ke arah lain.Sayangnya aku tidak mempercayai itu, cinta Raka untukku mungkin tidak akan tumbuh, karena hatinya sudah menjadi milik Evita sekarang.Adanya surat perjanjian itu, sudah menjadi bukti awal, kalau Raka sudah menutup rapat hatinya hanya untuk Evita dan tidak mungkin membiarkan orang lain mengisi hatinya.Termasuk aku … istrinya sendiri._Bersambung.Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me