Share

Bab 4. Pisah Kamar

"Bagaimana?"

Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.

Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?

"Oke."

Aku pun membubuhkan tanda tangan di bawah, lalu memberikannya kembali surat itu pada Raka.

Ia mengangguk.

"Ini, simpanlah. Dan mulai sekarang kau bisa menempati kamar depan ini, dan aku di kamar itu, ucapnya sambil menunjuk dua kamar yang masih tertutup pintunya. Aku mengangguk. Kemudian bangkit seraya menarik koperku.

Raka pun bangkit dan masuk ke kamarnya. Tatapan Raka sejak kemarin masih tak berubah, jangankan tersenyum, melihatku rasanya enggan. Ia hanya bicara seperlunya saja seperti tadi saat memberikan surat perjanjian itu.

Aku mengerti, saat ini pasti hatinya tidak baik-baik saja.

Aku memperhatikan ruangan yang akan menjadi kamarku ini. Sebuah ruangan yang tidak lebih besar dari kamarku di rumah, dengan nuansa serba putih dan dua jendela berukuran sedang. Sebuah kasur berukuran size nomor dua, dengan seprei berwarna putih juga ada lemari di sudut kamar. Tak ada kamar mandi di dalam kamar.

Aku mengedarkan pandangan menatap sekeliling kamar ini. Aku yakin ini adalah kamar untuk tamu. Berhubung pernikahan ini adalah sebuah pernikahan yang tak diinginkan, aku rela harus tidur di kamar kecil ini.

Dan sekarang kami berdua harus menjalani pernikahan sandiwara di depan kedua orang tua kami.

Aku mulai menata baju dan barang-barangku. Memasukkannya ke dalam lemari. Hingga baru kusadari aku lupa membawa laptopku. Aku menepuk jidat, kenapa barang sepenting itu harus terlupa.

Setiap malam aku harus membaca laporan, serta memantau perkembangan usahaku. Usaha yang sudah kurintis sejak lulus kuliah.dulu.

Bergegas aku merapikan semuanya, dan aku harus segera pulang ke rumah, untuk mengambil benda itu, sebelum malam makin larut.

Aku keluar kamar, namun Raka tak ada. Aku coba mencarinya ke dapur, sama, juga tak ada.

Hingga netra ini menangkap sosoknya tengah duduk di taman belakang. Ya, rumah satu lantai dengan gaya minimalis ini, terbilang cukup besar, ada taman kecil di belakang yang di penuhi rumput Jepang dan beberapa bunga anggrek dan bunga lainnya berwarna-warni, ada kolam ikan yang makin menambah indah dekorasi taman ini, cukup nyaman untuk bersantai di dalam rumah, harusnya.

Ya, harusnya begitu, tapi tidak denganku, mungkin tempat ternyamanku di rumah ini adalah di kamar.

Aku lihat Raka sedang duduk di kursi dengan kepala tertunduk dalam, dua tangannya masih memegang ponselnya. Aku melirik ponsel itu, aplikasi chat berwarna hijau menampakkan kontak nama Evita. Sepertinya ia sedang berusaha menghubungi Evita.

"Ekhem! Raka, sepertinya aku harus pulang sebentar ke rumah, laptopku ketinggalan," ucapku yang terdiri di belakangnya.

Ia langsung mengangkat kepalanya, dan langsung menggelapkan layar ponsel miliknya.

"Terserah," jawabnya. Singkat, padat dan terkesan tidak peduli. Bahkan menoleh ke arahku pun tidak.

Aku pun langsung berbalik badan dan langsung memesan taksi online. Sekalian ambil laptop, sekalian aku bawa motorku kesini, aku biasa pulang pergi kerja dengan mengendarai motor.

Meski ayah ada mobil, aku lebih suka naik motor, menurutku lebih cepat karena bisa menyalip di tengah kemacetan.

"Ternyata, takdir bisa berjalan se-aneh ini ya?" gumamku, setelah taksi perlahan bergerak meninggalkan area rumah milik Raka. Sebuah rumah yang akan aku tinggali, karena sudah menyandang status sebagai istri dari Raka.

Lima belas menit kemudian, aku sampai di area depan rumah orang tuaku. Sebelum keluar dari taksi, aku bisa melihat keluargaku yang sedang berkumpul di teras dan menatap ke arah taksi yang sedang aku naiki sekarang.

"Wih pengantin baru!" ucap ibu, saat aku memasuki area teras.

"Pengantin baru? Pengantin paksa ini mah!" tukasku, sambil menyalami kedua orang tuaku dan juga kakakku, Mas Faisal dan Mbak Indah, juga Nadia keponakanku.

"Tante Amira jahat ih, pas jadi pengantin aku nggak dia ajak, jadi kan aku nggak lihat Tante Amira pas di rias cantik kayak princes!" Nadia, bocah Lima tahun itu berkata sesaat setelah aku mencium kedua pipinya yang gembil.

Eh, ni anak, nggak tahu apa tantenya ini korban paksaan dari orang tua.

Aku menatap sinis ke arah ibu, ayah dan Mas Faisal, mereka semua seakan menahan tawa mendengar ucapan Nadia.

"Ehm, Nadia Sayang, Tante Amira juga jadi pengantin dadakan, jadi nggak sempet ngasih tahu Nadia, nanti kapan-kapan kita berdua foto-foto ala princess mau nggak?" tanyaku sambil tersenyum.

Nadia langsung melebarkan senyumnya.

"Mau! Mau Tante!"

"Oke. Kapan-kapan ya, sekarang Tante lagi buru-buru mau ambil laptop Tante ketinggalan."

Aku kembali menatap Mama, Papa juga Mas Faisal.

"Puas!" sungutku, sebelum berlalu masuk ke kamar.

Perasaan kesal kembali muncul di dalam hatiku, berbanding terbalik dengan senyuman lebar yang terpampang jelas pada wajah Ayah, Ibu dan Mas Faisal sekarang.

"Eh pengantin baru jangan kesal gitu! Seharusnya, sekarang kamu tuh datang sambil senyum, bukannya marah-marah." Kak Faisal menatapku sambil tersenyum.

Kebiasaan Mas Faisal yang suka menjahiliku sepertinya akan semakin bertambah, setelah dia mengetahui status baruku sekarang.

Aku mendaratkan bobotku di sofa, kemudian menghela napas kasar. Berhadapan dengan Raka yang hanya diam saja sudah membuat energiku terkuras, apalagi berhadapan dengan mulut keluargaku yang akan terus meledekku sekarang.

Ibu juga sangat antusias saat melihat kedatanganku. Dia duduk di sampingku, kemudian memegang lenganku.

'Di mana Raka? Kok kamu nggak diantar sama suamimu itu?" tanya ibu.

Aku menggeleng.

"Sepertinya dia kelelahan sekarang, terus aku juga nggak ada niatan untuk minta tolong sama dia," jawabku asal.

"Wah kelelahan? Memangnya kemarin malam kalian main sampai berapa ronde? Sampai pagi kah?"

Semua orang tertawa mendengar pertanyaan itu.

Jika yang mengatakan kalimat itu adalah Mas Faisal, sudah bisa kupastikan tangan ini mendarat dengan mulus pada wajahnya. Namun, karena yang mengatakan kalimat itu adalah ibu, jadi aku sekuat tenaga menahan setan dalam diriku untuk tidak berbuat kasar kepadanya.

"Bu, aku masih kesal loh sama keputusan ibu sama ayah kemarin. Seharusnya, kalian bisa berpikir matang sebelum memutuskan semuanya. Aku nggak pernah sekalipun kepikiran untuk jalin hubungan dengan orang asing, dengan cara seperti ini!"

Aku hanya manusia biasa. Kejadian kemarin dan ucapan keluargaku hari ini, jelas membuat perasaan kesal. Sungguh, aku tidak bisa memahami bagaimana jalan pikiran kedua orang tuaku.

Meskipun aku tahu, mereka mungkin menginginkan yang terbaik untukku. Tapi haruskah dengan cara seperti ini? Menikahkan aku secara mendadak, menjadi pengantin pengganti hanya untuk menolong kehormatan keluarga mereka?!

"Amira, Ayah dan Ibu juga memikirkan semuanya dengan matang. Justru, karena kami sudah sangat yakin, jadi kami langsung menyetujui pernikahanmu dengan Raka kemarin. Ayah yakin, semuanya pasti akan baik-baik saja,” ucap ayah. Aku hanya membuang pandangan, kesal saja, dengan sikap ayah, yang biasanya sangat mengerti aku, tapi hari itu ayah begitu berbeda, keinginannya tak terbantahkan.

Ayah memiliki kepercayaan yang begitu besar kepada Om Saiful dan Tante Rita, orang tua Raka. Saking besarnya rasa percaya itu, beliau sampai mengorbankan putrinya untuk menyelamatkan kehormatan keluarga itu.

Ibu mengusap lenganku.

"Raka pasti bisa jadi suami yang baik untuk kamu, Amira. Ibu yakin, orang tua Raka juga sangat menyayangimu, sama seperti kami menyayangimu. Jadi, kamu juga harus bisa jadi istri dan menantu yang baik untuk mereka.” imbuhnya. Aku hanya membuang napas kasar.

Beban di pundakku terasa semakin berat sekarang. Orang tuaku memiliki harapan besar dari pernikahan mendadakku dengan Raka kemarin.

Aku jadi berpikir, bagaimana kalau orang tuaku dan orang tua Raka mengetahui tentang perjanjian kontrak yang sudah kami setujui bersama? Sudah aku pastikan, mereka pasti akan merasa sangat kecewa kepada kami.

Namun, bagaimanapun juga, yang menjalani pernikahan ini adalah aku dan Raka. Kami adalah dua orang asing yang tiba-tiba disatukan dalam janji pernikahan, tanpa sekalipun mengenal satu sama lain lebih dalam.

Bayangan wajah Raka yang jelas-jelas kurang menerima keberadaanku sebagai istrinya, tiba-tiba melintas begitu saja dalam kepalaku. Membuat suasana hatiku semakin gelap sekarang.

"Apa ayah dan ibu harapkan dari pasangan yang dipaksa untuk menikah dalam waktu singkat, hanya beberapa menit, tanpa saling mengenal? Kalian juga pasti tahu, kalau perasaan Raka jelas belum membaik, karena Evita tiba-tiba meninggalkannya kemarin. Dan aku tahu pasti, Raka ... sangat mencintai Evita,” ucapku pada ibu dan ayah, sambil menatap wajah keduanya bergantian. Nada suaraku mendadak melemah pada kalimat terakhirku.

Ayah dan ibu saling tatap, sebelum kemudian kembali menatap ke arahku.

"Masalah Evita, Ayah yakin Raka bisa melupakan semuanya. Percaya sama ayah Mira, kalau Raka pasti bisa mencintaimu, karena cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu."

Aku hanya membuang napas dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

Sayangnya aku tidak mempercayai itu, cinta Raka untukku mungkin tidak akan tumbuh, karena hatinya sudah menjadi milik Evita sekarang.

Adanya surat perjanjian itu, sudah menjadi bukti awal, kalau Raka sudah menutup rapat hatinya hanya untuk Evita dan tidak mungkin membiarkan orang lain mengisi hatinya.

Termasuk aku … istrinya sendiri.

_Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status