Share

Bab 5. Menyebalkan

Tak membuang waktu lama, aku langsung mengambil laptop dan beberapa barang-barangku yang tertinggal. Aku melirik jam di pergelangan tanganku sudah jam delapan malam, aku harus cepat kembali ke rumah Raka, sebelum hari semakin malam.

"Amira pamit pulang dulu ya Bu, Yah!" pamitku pada ayah dan ibu, yang masih ada di ruang tengah. Kulihat Mas Faisal juga sudah bersiap, dengan satu koper miliknya teronggok di dekatnya, sepertinya Mas Faisal pun akan pulang ke Bandung malam ini.

"Nggak makan dulu, Mir?" tanya ibu saat aku mencium punggung tangannya.

"Nggak usah, nanti di rumah aja, Ma. Keburu kemalaman soalnya."

"Cie! Yang sudah jadi istri, nggak berani pulang larut malam lagi deh sekarang! Hahaha!" Mas Faisal kembali meledekku. Aku hanya memutar bola mataku, jengah.

Padahal, mau aku pulang malam atau pulang pagi sekalipun, Raka nggak akan komplain, karena jelas tertulis di surat perjanjian itu, kalau diantara kami tidak boleh ikut campur urusan masing-masing.

"Ya nggak gitu juga, sih. Dah ah, Amira pamit dulu Mas, Mbak." Aku menyalami Mas Faisal dan Mbak Indah.

"Hati-hati ya Mir, sekalian Mbak juga pamit, mau kembali ke Bandung malam ini juga," ucap Mbak Indah, aku mengangguk tersenyum.

"Iya Mbak. Mbak juga hati-hati ya. Dan juga Nadia cantik, hati-hati ya." Aku mencolek gemas hidung bangir Nadia.

"Iya Tante."

"Baik-baik Lu Dek, sama suami. Jangan judes!" Aku merengut sambil mengerucutkan bibirku. Kesal rasanya, tapi kalau aku meladeni Mas Faisal bisa sampai pagi aku di sini. Aku harus bersikap sewajarnya di depan orang tuaku.

"Ya! Assalamualaikum!" sahutku kemudian.

"Wa'alaikumusalam, kamu yakin mau naik motor? kalau ada apa-apa, telpon Mas, ya!"

"Ya! 'Kan besok aku ke kafe, kalau motornya nggak aku bawa sekarang, besok aku naik apa?"

"Ya 'kan ada suami! Lupa, udah punya suami? Hem," timpal ayah.

Aku hanya nyengir kuda, padahal dalam hati, diantar oleh Raka sepertinya itu menjadi hal yang mustahil.

"Dah ya Ayah, Amira pulang dulu." Aku memilih untuk mengabaikan ucapan ayah tadi.

Untung saja jarak antara rumah ibu dan rumah Raka tak begitu jauh, hanya menempuh waktu dua puluh menit.

Sampai di halaman rumah, baru saja aku memarkirkan motorku, ponsel di dalam saku celanaku, bergetar. Aku langsung merogoh ponselku, dan melihat siapa yang menelpon. Baru saja aku hendak menggeser tombol hijau, panggilan itu terhenti, sepertinya karena terlalu lama berdering saat aku di perjalanan tadi.

Mama Rita, empat panggilan tak terjawab.

Beberapa detik kemudian, ponselku kembali bergetar, menampilkan nama Mama Rita di layar pipihku.

"Halo Assalamualaikum, Ma."

"Wa'alaikumusalam, Alhamdulillah akhirnya diangkat juga, Mir! Sejak tadi Mama telpon kamu nggak diangkat, Mama khawatir Mir, kamu nggak diapa-apain 'kan sama Raka? Raka juga sama, sejak tadi teleponnya mati."

Suara Mama Rita di seberang sana, terdengar begitu khawatir.

"Amira nggak apa-apa Ma. Tadi ada yang harus diambil sebentar di rumah Mama, jadi Amira pulang sebentar, ini sudah di rumah lagi kok."

"Raka mana? Kamu pulang ke rumah orang tuamu bersama Raka kan?"

"Raka? Hem, Raka ada Ma, sebentar." Aku langsung bergegas masuk ke dalam rumah mencari laki-laki dingin itu.

Ternyata dia tertidur di depan televisi, dengan kondisi tivi masih menyala.

"Raka, bangun! Sssttt! Ini Mama telepon!" Aku menggoyangkan tubuhnya. Sambil menjauhkan ponselku agar suaraku tak sampai terdengar oleh Mama. Raka sangat lelap tidurnya.

Hingga memaksaku untuk membangunkannya lebih keras.

"Raka!"

"Halo, Amira! Raka tidur? Berarti tadi kamu pulang ke rumah orang tuamu, sendirian? Iya? Raka bener-bener ya!" Suara Mama Rita sedikit meninggi.

Aku masih berusaha membangunkan Raka, akhirnya Raka terbangun. Dan aku langsung memberikan ponselku padanya, sedangkan bibirku mengucapkan kata 'mama' tanpa mengeluarkan suara.

"Hallo Ma!" ucap Raka. Kemudian Raka terdiam, mendengarkan Mama Rita sedang bicara.

"Ehm iya tadi aku, sibuk Ma," ucap Raka kemudian menatapku sekilas seraya menekan tombol speaker. Tatapannya mematikan. Tanpa ekspresi, apalagi senyum, lebih tepatnya mengerikan.

"Ehm iya Ma. Tadi Raka sangat kecapekan, karena acara kemarin. Ehm tadi juga Raka nawarin buat antar Amira pulang kok, tapi Amira yang nggak mau, Amira yang nyuruh Raka istirahat di rumah Ma." Aku berinisiatif untuk menutupi kebingungan Raka.

Meski terlihat tenang, aku paham, pasti dia bingung tadi mau jawab apa.

"Oh gitu, ya sudah. Mama kira Raka membiarkan kamu kesana sendiri. Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja, pokoknya kalau Raka berbuat yang tidak baik sama kamu, bilang sama Mama, nanti biar Mama yang tegur Raka, oke, Sayang!" ucap Mama Rita, terdengar sumringah.

"Iya Ma, pasti. Terimakasih Ma. Sekarang aku sama Raka mau makan malam dulu ya Ma."

"Oh ya, ya sudah makan yang banyak ya, biar nggak lemes pas bikin cucu buat Mama."

Kata-kata Mama Rita langsung membuatku menoleh ke arahnya, tapi Raka justru membuang pandangan.

"Mama bisa aja. Doain aja ya, Ma. Assalamualaikum." Panggilan berakhir.

Aku menghela napas lega. Sedangkan Raka bersikap biasa saja, datar.

Ia kembali melanjutkan acara nonton televisi. Dan aku langsung masuk ke kamar. Tak ada obrolan apapun di antara kami.

Aku masuk kamar dan langsung mengunci pintunya.

"Huh! Bilang makasih kek! 'Makasih ya Mir, udah bantu belain aku di depan Mama.' ini malah diem aja, nggak ada rasa terimakasihnya!" Aku tersungut-sungut sendiri di dalam kamar.

Aku meletakkan laptopku di atas kasur, baru teringat aku belum mengerjakan salat isya, aku keluar kamar untuk mengambil wudhu.

Saat kubuka pintu kamar, Raka tak ada lagi di depan televisi. Aku pun melenggang dengan santai ke kamar mandi, saat aku keluar dari kamar mandi, terlihat Raka baru saja masuk ke rumah, sepertinya habis membeli sesuatu di luar, tangan kanannya menenteng kantong plastik putih.

"Makanlah," katanya, lalu ia meletakkan kantong plastik itu di atas meja.

"Tahu saja aku sedang lapar, nanti pasti aku makan, mau salat dulu," jelasku. Tapi ia tetap acuh, seperti tak mendengar apapun yang kukatakan.

Ya Ampun! Benar-benar nyebelin banget sih! Aku gemas sendiri melihat tingkah lak-laki itu. Harusnya aku tadi tak perlu menjelaskan apapun padanya, percuma! Aku menepuk-nepuk bibirku sendiri.

Heran aku sama Evita, kenapa dia betah sekali menjalin hubungan dengan laki-laki modelan begini? Bahkan hubungan mereka, sampai bertahun-tahun, sejak kami masih SMA.

Tapi sekarang kenapa Evita justru meninggalkan Raka di hari pernikahannya? Benar-benar aneh! Dan sialnya kenapa harus aku yang jadi terjebak di dalam pernikahan ini?

_Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status