Tak membuang waktu lama, aku langsung mengambil laptop dan beberapa barang-barangku yang tertinggal. Aku melirik jam di pergelangan tanganku sudah jam delapan malam, aku harus cepat kembali ke rumah Raka, sebelum hari semakin malam.
"Amira pamit pulang dulu ya Bu, Yah!" pamitku pada ayah dan ibu, yang masih ada di ruang tengah. Kulihat Mas Faisal juga sudah bersiap, dengan satu koper miliknya teronggok di dekatnya, sepertinya Mas Faisal pun akan pulang ke Bandung malam ini."Nggak makan dulu, Mir?" tanya ibu saat aku mencium punggung tangannya."Nggak usah, nanti di rumah aja, Ma. Keburu kemalaman soalnya.""Cie! Yang sudah jadi istri, nggak berani pulang larut malam lagi deh sekarang! Hahaha!" Mas Faisal kembali meledekku. Aku hanya memutar bola mataku, jengah.Padahal, mau aku pulang malam atau pulang pagi sekalipun, Raka nggak akan komplain, karena jelas tertulis di surat perjanjian itu, kalau diantara kami tidak boleh ikut campur urusan masing-masing."Ya nggak gitu juga, sih. Dah ah, Amira pamit dulu Mas, Mbak." Aku menyalami Mas Faisal dan Mbak Indah."Hati-hati ya Mir, sekalian Mbak juga pamit, mau kembali ke Bandung malam ini juga," ucap Mbak Indah, aku mengangguk tersenyum."Iya Mbak. Mbak juga hati-hati ya. Dan juga Nadia cantik, hati-hati ya." Aku mencolek gemas hidung bangir Nadia."Iya Tante.""Baik-baik Lu Dek, sama suami. Jangan judes!" Aku merengut sambil mengerucutkan bibirku. Kesal rasanya, tapi kalau aku meladeni Mas Faisal bisa sampai pagi aku di sini. Aku harus bersikap sewajarnya di depan orang tuaku."Ya! Assalamualaikum!" sahutku kemudian."Wa'alaikumusalam, kamu yakin mau naik motor? kalau ada apa-apa, telpon Mas, ya!""Ya! 'Kan besok aku ke kafe, kalau motornya nggak aku bawa sekarang, besok aku naik apa?""Ya 'kan ada suami! Lupa, udah punya suami? Hem," timpal ayah.Aku hanya nyengir kuda, padahal dalam hati, diantar oleh Raka sepertinya itu menjadi hal yang mustahil."Dah ya Ayah, Amira pulang dulu." Aku memilih untuk mengabaikan ucapan ayah tadi.Untung saja jarak antara rumah ibu dan rumah Raka tak begitu jauh, hanya menempuh waktu dua puluh menit.Sampai di halaman rumah, baru saja aku memarkirkan motorku, ponsel di dalam saku celanaku, bergetar. Aku langsung merogoh ponselku, dan melihat siapa yang menelpon. Baru saja aku hendak menggeser tombol hijau, panggilan itu terhenti, sepertinya karena terlalu lama berdering saat aku di perjalanan tadi.Mama Rita, empat panggilan tak terjawab.Beberapa detik kemudian, ponselku kembali bergetar, menampilkan nama Mama Rita di layar pipihku."Halo Assalamualaikum, Ma.""Wa'alaikumusalam, Alhamdulillah akhirnya diangkat juga, Mir! Sejak tadi Mama telpon kamu nggak diangkat, Mama khawatir Mir, kamu nggak diapa-apain 'kan sama Raka? Raka juga sama, sejak tadi teleponnya mati."Suara Mama Rita di seberang sana, terdengar begitu khawatir."Amira nggak apa-apa Ma. Tadi ada yang harus diambil sebentar di rumah Mama, jadi Amira pulang sebentar, ini sudah di rumah lagi kok.""Raka mana? Kamu pulang ke rumah orang tuamu bersama Raka kan?""Raka? Hem, Raka ada Ma, sebentar." Aku langsung bergegas masuk ke dalam rumah mencari laki-laki dingin itu.Ternyata dia tertidur di depan televisi, dengan kondisi tivi masih menyala."Raka, bangun! Sssttt! Ini Mama telepon!" Aku menggoyangkan tubuhnya. Sambil menjauhkan ponselku agar suaraku tak sampai terdengar oleh Mama. Raka sangat lelap tidurnya.Hingga memaksaku untuk membangunkannya lebih keras."Raka!""Halo, Amira! Raka tidur? Berarti tadi kamu pulang ke rumah orang tuamu, sendirian? Iya? Raka bener-bener ya!" Suara Mama Rita sedikit meninggi.Aku masih berusaha membangunkan Raka, akhirnya Raka terbangun. Dan aku langsung memberikan ponselku padanya, sedangkan bibirku mengucapkan kata 'mama' tanpa mengeluarkan suara."Hallo Ma!" ucap Raka. Kemudian Raka terdiam, mendengarkan Mama Rita sedang bicara."Ehm iya tadi aku, sibuk Ma," ucap Raka kemudian menatapku sekilas seraya menekan tombol speaker. Tatapannya mematikan. Tanpa ekspresi, apalagi senyum, lebih tepatnya mengerikan."Ehm iya Ma. Tadi Raka sangat kecapekan, karena acara kemarin. Ehm tadi juga Raka nawarin buat antar Amira pulang kok, tapi Amira yang nggak mau, Amira yang nyuruh Raka istirahat di rumah Ma." Aku berinisiatif untuk menutupi kebingungan Raka.Meski terlihat tenang, aku paham, pasti dia bingung tadi mau jawab apa."Oh gitu, ya sudah. Mama kira Raka membiarkan kamu kesana sendiri. Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja, pokoknya kalau Raka berbuat yang tidak baik sama kamu, bilang sama Mama, nanti biar Mama yang tegur Raka, oke, Sayang!" ucap Mama Rita, terdengar sumringah."Iya Ma, pasti. Terimakasih Ma. Sekarang aku sama Raka mau makan malam dulu ya Ma.""Oh ya, ya sudah makan yang banyak ya, biar nggak lemes pas bikin cucu buat Mama."Kata-kata Mama Rita langsung membuatku menoleh ke arahnya, tapi Raka justru membuang pandangan."Mama bisa aja. Doain aja ya, Ma. Assalamualaikum." Panggilan berakhir.Aku menghela napas lega. Sedangkan Raka bersikap biasa saja, datar.Ia kembali melanjutkan acara nonton televisi. Dan aku langsung masuk ke kamar. Tak ada obrolan apapun di antara kami.Aku masuk kamar dan langsung mengunci pintunya."Huh! Bilang makasih kek! 'Makasih ya Mir, udah bantu belain aku di depan Mama.' ini malah diem aja, nggak ada rasa terimakasihnya!" Aku tersungut-sungut sendiri di dalam kamar.Aku meletakkan laptopku di atas kasur, baru teringat aku belum mengerjakan salat isya, aku keluar kamar untuk mengambil wudhu.Saat kubuka pintu kamar, Raka tak ada lagi di depan televisi. Aku pun melenggang dengan santai ke kamar mandi, saat aku keluar dari kamar mandi, terlihat Raka baru saja masuk ke rumah, sepertinya habis membeli sesuatu di luar, tangan kanannya menenteng kantong plastik putih."Makanlah," katanya, lalu ia meletakkan kantong plastik itu di atas meja."Tahu saja aku sedang lapar, nanti pasti aku makan, mau salat dulu," jelasku. Tapi ia tetap acuh, seperti tak mendengar apapun yang kukatakan.Ya Ampun! Benar-benar nyebelin banget sih! Aku gemas sendiri melihat tingkah lak-laki itu. Harusnya aku tadi tak perlu menjelaskan apapun padanya, percuma! Aku menepuk-nepuk bibirku sendiri.Heran aku sama Evita, kenapa dia betah sekali menjalin hubungan dengan laki-laki modelan begini? Bahkan hubungan mereka, sampai bertahun-tahun, sejak kami masih SMA.Tapi sekarang kenapa Evita justru meninggalkan Raka di hari pernikahannya? Benar-benar aneh! Dan sialnya kenapa harus aku yang jadi terjebak di dalam pernikahan ini?_Bersambung.Dua box berisi nasi dan ayam goreng krispi lengkap dengan saus sambal ada di meja makan. Aku langsung membuka satu box, toh juga tadi Raka sudah menawariku.Sekarang entah dia ada dimana, aku tak peduli. Karena perutku sudah sangat lapar, aku langsung melahap nasi milikku. Rasa kesal, emosi, juga hati ini yang belum menerima keadaan ini, tentu sangat menguras energi. Dan itu membuat nafsu makanku bertambah. Hanya beberapa menit saja makananku sudah habis tak tersisa. Tersisa satu box nasi milik Raka.Perutku masih terasa lapar, karena porsi nasinya sangat sedikit menurutku. Satu kepalan tangan. Aku mengusap perutku yang masih terasa lapar."Raka! Mau di makan nggak nasinya?" tanyaku setengah berteriak.Hening. Tak ada jawaban. Lagi ngapain sih tuh orang?"Raka! Kamu mau makan nggak? Kalau nggak di makan, aku yang makan ya!" teriakku lagi. Tapi masih tak ada jawaban.Daripada mubadzir 'kan? Mendingan aku makan, perutku masih lapar. Aku membuka lagi kotak nasi dan memakannya. Setelah h
"Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah."Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe."Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood."Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku."Mita, s
"Mama? Mama ngapain di sini?" tanya Raka begitu sampai di meja tempat kami duduk menunggunya. Sekilas kedua netra kami beradu."Ngapain? Main-main ke tempat usaha menantu Mama memang nggak boleh?" Raka hanya mengerutkan dahi. "Kamu pasti nggak tahu ya, kalau Amira ini ternyata pengusaha kuliner, nih lihat kafe-nya aja bagus, bersih, Dia sendiri lho yang merintisnya dari nol."Raka hanya diam, tak menanggapi apapun kata-kata mamanya. Melihat tak ada tanggapan apapun dari putranya, membuat menatap serius Wajah Raka.Raka yang merasa ditatap oleh mamanya langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini, dimana ada banyak pengunjung yang tengah menikmati makan siang, atau sekedar nongkrong di jam istirahat mereka.Kemudian ia tersenyum seraya mengangguk."Iya Mama benar. Mantu Mama memang hebat," ucap Raka yang aku yakini itu hanya pura-pura, tak lebih hanya untuk menghibur hati mamanya. Seulas senyum langsung terbit di wajah Mama Rita."Oh ya jelas! Sudah cantik, pinter us
"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
"Raka dan Amira pulang dulu ya Ma" ucap Raka membuat Mama tercenung."Ehm, nggak apa-apa kalau kita pulangnya nanti dulu, Mas." kataku saat melihat Mama Rita tak menjawab ucapan Raka."Ah, nggak apa-apa Mir, kalau kalian mau pulang sekarang, tidak apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mama nggak apa-apa." Mama Rita berkata seraya menyentuh lembut jemariku."Benar Mama nggak apa-apa? Apa perlu kita panggilkan dokter Ma?" tanyaku yang merasa khawatir akan kondisi kesehatan Mama. Tapi, Mama Rita menggeleng."Tidak perlu Mir. Mama hanya butuh istirahat saja." Akhirnya aku mengalah, kami berdua pamit. Raka lebih dulu keluar kamar Mama. "Amira, ingat ya, kalau Raka berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, bilang sama Mama," ucap Mama menatapku dalam. Aku pun mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Raka keluar rumah ini."Sebenarnya Mama Rita sakit apa, Raka?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Kondisi kesehatan Mama sedikit terganggu semenjak kecelakaan ya
"Terima kasih," balas Raka, sambil mendudukan diri di kursi kosong yang ada di dekatku. Akhirnya, aku memberikan semangkok mi instanku itu untuk Raka dan membiarkan dia memakannya sampai habis. Setelah itu, aku memilih untuk memasak makanan lain untuk diriku sendiri. Raka makan mie instan dengan lahap. Aku memilih untuk merebus dua butir telur.Setelah mie-nya habis Raka bangkit berdiri mengambil air minum kemudian melenggang begitu saja. "Eh, eh tunggu!" Buru-buru aku berdiri di hadapannya agar ia menghentikan langkah.Ia menatapku dengan dahi berkerut."Tuh beresin dulu mie-nya yang tumpah!" ucapku.Enak saja dia yang numpahin aku yang bersihin. Aku sudah berbaik hati berbagi mie instan milikku. Sekarang tugasnya membereskan kekacauan di dapur ini."Kau saja lah!" Ia mengibaskan tangannya. Tentu membuat netraku membeliak."Eh enggak, enggak! Kamu yang sudah membuat kekacauan ini Raka, jadi kau yang harus membersihkannya!" sungutku tak mau kalah."Ya sudah besok saja lah! Sekara
Seketika jantungku seperti berhenti sesaat, ketika Raka memanggilku dengan sebutan 'Sayang' terasa sangat ... aneh terdengar di telingaku."Sayang kok kamu malah diam." Lagi Raka berkata, kali ini bahkan tanpa canggung merangkul bahuku di depan Papa dan Mamanya.Aku hanya tersenyum kaku menanggapi ucapan Raka."Eh nggak apa-apa Mas," ucapku gugup.Kulihat Mama Rita tersenyum penuh arti menatap aku dan Raka secara bergantian."Ehm, sebentar Amira buatkan teh hangat dulu ya Ma, Pa." Papa dan Mama mengangguk. Bergegas aku berjalan cepat ke dapur, menetralisir degup jantung yang tiba-tiba berdetak cepat. Aih, baru juga dia bilang sayang boongan, tapi kenapa aku sudah segugup ini? Aku membuat tiga cangkir teh hangat, untuk Mama dan Papa, dan satu lagi untuk Raka.Dan kalian tahu, ini adalah kali pertama aku membuatkan minuman untuk dia. Ya, Suamiku. Aku bahkan tak tahu, minuman apa kesukaannya, aku buatkan saja teh manis.Aku keluar ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi tiga can
Aku tertegun, tanpa mampu berkata apa-apa."Iya Ma. Mama doain aja ya Ma." Raka yang menyahutinya, sambil mencium takzim punggung tangan ibunya. Mama Rita pun tersenyum hangat menatap Raka.Melepas kepergian mereka Raka merangkul pundakku seraya melambaikan tangannya pada kedua orangtuanya.Jangan ditanya suasana hatiku saat merasakan lengan kekar itu melingkar di bahuku. Jantungku berpacu lebih cepat. Satu tanganku menyelinap di balik hijabku, menekan dada ini, khawatir Raka bisa mendengar detak jantungku.Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, mesin mobil pun mulai menyala. Tapi tiba-tiba pintu mobil di samping kemudi kembali terbuka."Ya Allah Mama sampai lupa Sayang, ini tadi bawa ini dari rumah buat kalian berdua, ya Allah malah lupa tadi nggak di bawa masuk saat baru sampai sini." Mama Rita terkekeh sendiri menyadari kelupaannya."Ya Allah Ma. Repot-repot bawa makanan segala Ma." Aku menerima rantang susun dari tangan Mama."Nggak repot kok, kan masaknya di bantu Bik Ijah, ini m