"Usir Evita dari rumah ini sekarang!" ucapku tanpa menoleh sedikitpun pada Raka yang baru saja menutup pintu kamar ini. Rupanya ia langsung menyusulku ke kamar."Amira, please! Beri aku waktu sebentar lagi saja. Aku janji dalam dua hari ini, kita akan dapat informasi tentang keluarganya. Dan setelah itu aku akan langsung meminta Evita untuk pergi dari rumah ini."Aku menggeleng tak percaya, seraya membalikkan tubuhku berhadapan dengannya."Atau jangan-jangan kamu masih berharap untuk kembali sama dia?!" sarkasku.Beberapa saat Raka diam kemudian menggeleng."Jujur padaku Raka!" sentakku."Aku– aku sendiri bingung dengan perasaanku."Berlinang air mataku mendengar kata itu keluar dari mulutnya. Apa ini artinya dia mengakui bahwa hatinya masih mencintai Evita.Cepat-cepat aku menyeka air mataku yang menganak di pipi."Oke. Baiklah. Kembalilah padanya dan aku yang akan pergi dari rumah ini."Aku melangkah membuka lemari pakaian dan mulai mengeluarkan beberapa helai baju."Amira, Sayang.
Setelah Evita pergi dari rumah ini, aku merasa lega. Aku bereskan kamar depan yang di pakai Evita untuk tidur. Tisu berserakan dimana-mana, aku hanya menggeleng melihat betapa berantakannya kamar ini. Beberapa hanger yang harusnya ada di dalam lemari gantung, kini ada di lantai ada juga yang di atas kasur. Bantal ada di lantai, seprei sudah copot separo. Astaghfirullah.Sejak dulu Evita nggak berubah. Aku melepas sepreinya, menggantinya dengan yang baru, lalu mengambil sapu dan membersihkan lantainya.Ketika aku membereskan bantal, ternyata di bawahnya ada sebuah kertas robek. Seperti sengaja di robek, ada tulisan tergores di sana 'Akan aku ambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku'Aku tercengang. Apa ini tulisan tangan Evita?Apa maksudnya? Apakah ini maksudnya ia ingin kembali memiliki Raka?Mendadak wajahku terasa panas, seiring dengan degup jantung yang berdetak cepat. Aku menggeleng. Aku nggak akan biarkan itu terjadi.Raka milikku sekarang, dan selamanya akan jadi milikk
"Mita, sudah kamu siapkan semua yang aku kirim tadi?" tanyaku melalui panggilan telepon."Beres semuanya. Tenang aja.""Bagus. Besok aku ke Kafe tinggal eksekusi. Kamu bantu aku, jangan lupa Kafe besok tutup jam lima sore, biar aku fokus menyiapkan dinner makan malamku dengan Raka."Aku ingin benar-benar menyiapkan hari ulang tahun Raka. Aku ingin yang spesial, berharap ia akan merasa bahagia dan menjadi momen indah yang selalu melekat dalam ingatannya."Cieee, yang sekarang jadi bucin sama suami. Tuh kan apa aku bilang, yang dulu benci jadi sekarang cinta kaaannn!" ledek Mita.Aku menggaruk tengkuk merasa malu dengan apa yang pernah kukatakan dulu. Ah, Mita ingat saja dia tentang tantangannya dulu."Kamu nggak lupa kan sama tantangan kita dulu, aku akan dapat makan gratis selama sebulan," lanjutnya lagi diiringi tawa riang di seberang sana."Oh, ehm itu.""Aku mau mulai besok, kamu traktir aku!" ucap Mita terkekeh."Ya iya! Kerja dulu yang bener kamu! Awas kalau nggak bener.""Siap,
Aku turun dari taksi, menatap gedung tinggi nan megah di jantung kota ini. Hari sudah hampir gelap, semilir angin mulai berhembus menggoyangkan daun-daun pohon palm yang berjejer di pelataran apartemen.Entah mengapa hati ini yakin untuk datang kemari. Sesuai alamat yang tertera di berkas itu. Aku meluncur kemari.Aku mulai melangkah memasuki area apartemen. Tak begitu ramai, hunian orang kaya memang berbeda, terlihat lebih privasi. Bahkan di lobby ada sekuriti yang berjaga.Aku mantapkan langkah menuju ke Lobi. Berjalan ringan memindai sekeliling. Hanya beberapa orang terlihat lalu lalang keluar masuk ke area gedung.Aku harus berjalan agak ke dalam sampai ada lift untuk naik ke atas, tapi aku ragu, karena aku tak memiliki akses untuk masuk ke area hunian apartemen. Tentunya tidak sembarang orang bisa masuk ke area sana, hanya yang memiliki akses atau dijemput oleh pemilik untuk bisa masuk.Aku terus melangkah tanpa keraguan, melewati begitu saja sekuriti keamanan yang ada di lobi.
Raka Pov.[Tak kusangka, cinta yang kuperjuangkan nyatanya tega mengkhianati, hanya demi sepenggal kisah masa lalunya.]Sebuah pesan masuk dari Amira sontak membuat detak jantungku seakan berhenti sejenak.Disertai sebuah foto aku dan Evita duduk di Coffe shop ini.Aku langsung menoleh mencarinya. Aku yakin Amira berada di sekitar sini, dan melihatku sedang bersama Evita sekarang ini.Aku meneguk saliva dengan begitu sudah payah."Kamu kenapa?" tanya Evita menyadari perubahan sikapku yang tiba-tiba. Aku masih celingukan mencari sosok wanita yang telah menjadi istriku."Hei, cari siapa?""Amira ada di sini.""Hah! Apa? Mana? Mana?" Evita langsung mengedarkan pandangannya ikut mencari keberadaan Amira. Tapi tak ada. Aku tak menemukannya.Aku meraup kasar wajahku. Aku yakin Amira saat ini pasti sangat marah besar padaku."Nggak ada kok! Ngaco kamu!" cetus Evita."Aku yakin dia ada di sini, dia mengirim pesan dan foto kita di meja ini," jelasku, dengan suara bergetar.Beberapa saat aku m
Aku bergegas keluar rumah, menyalakan mesin mobil, tujuanku saat ini adalah rumah mertuaku. Mungkin Amira ada di sana, seperti kemarin ketika dia memergoki ada Evita di kantor. Aku melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Berharap bisa segera sampai di rumah mertuaku.Begitu sampai, aku memarkirkan mobil di halaman, bergegas turun."Assalamualaikum," seruku seraya mengetuk pintu."Waalaikum salam!" Terdengar suara sahutan dari dalam. Pintu pun terbuka."Raka!" ucap Ayah sambil menatap ke arah belakang tubuhku. Seolah mencari sesuatu."Iya Ayah.""Amira mana? Kamu sendirian?" tanyanya. Dari responnya seperti ini, itu artinya Amira tak ada di sini.Seketika hati ini makin dilanda gelisah.Tatapan netra Ayah juga mendadak berubah, seakan langsung menyadari ada yang tak beres aku kemari seorang diri, tanda ada Amira bersamaku."Masuk. Duduk dulu," ujarnya kemudian. Aku mengangguk dan mengekor di belakang laki-laki yang mengenakan kacamata, dan masih memakai sarung dan kaos ob
Evita kembali mencoba menghubungiku lagi, tapi aku mengabaikannya, dan memilih mematikan daya ponselku.Aku yang sedang pusing begini, bisa-bisanya dia menawarkan hal konyol begitu. Astaghfirullah! Untung aku masih punya iman.Kembali pikirkan tertuju pada Amira. Kemana dia ya Allah! Aku mengusap kasar rambutku.Aku buka media sosial berlogo huruf F, berharap bisa menemukan keberadaan Amira.Aku buka akun milikku, dan langsung mengunjungi profil Amira.Amira bukan tipe wanita yang aktif di sosial media. Kulihat di wall pribadinya juga sepi, tak ada unggahan status ataupun unggahan video di sana. Terakhir foto yang di unggah di sana adalah foto wisudanya, bersama Ayah, ibu dan Mas Faisal.Aku langsung mengirim pesan di masangger. Aku sangat berharap ia mau membalas dan memberitahu keberadaannya saat ini.[Amira Sayang, kamu dimana? Aku mohon maafkan aku, beritahu aku dimana kamu berada, aku jemput kamu Sayang.]Aku kirim pesan itu padanya. Beberapa menit berlalu masih senyap, tak ada
Aku mengemudikan mobil menuju ke rumah salah satu teman Amira, Caca namanya, sesuai dengan informasi yang kudapatkan dari Mita.Mita bilang ia pernah datang ke rumahnya Caca bersama Amira, waktu itu Caca pernah memesan makanan untuk sebuah acara di rumahnya.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya aku sampai di depan sebuah rumah dengan gaya minimalis, cat dinding abu-abu dan pintunya berwarna putih. Pagar rumahnya berwarna putih, dan halaman tak seberapa luas dengan pohon mangga tak begitu besar di sudut halaman."Assalamualaikum!" seruku.Kondisi rumah tampak sepi. Aku mengucapkan salam sekali lagi, akhirnya seorang wanita berumur sekitar enam puluh puluh tahunan tergopoh-gopoh keluar rumah."Eh ada tamu? Maaf tadi Ibu di belakang? Apa ini calonnya Caca? Wah ganteng juga ya, ayo masuk! Masuk! Mari." Gaya sambutan dari Ibu itu tentu membuatku bingung."Eh maaf Bu, maaf! Sa–saya bukan calonnya Caca, tapi saya suaminya temannya Caca. Nama saya Raka."Ibu yang mengenakan jilbab berwarn