"Ah ... Ng-nggak, Mas. Nggak apa-apa."
Plong!Rasanya hati Brian lega sekali mendengar kalimat itu keluar dari mulut gadis yang entah siapa namanya ini. Bahkan bisa Brian lihat gadis itu mencoba tersenyum, sebuah tanda otentik bahwa dia benar-benar baik-baik saja."Serius? Nggak ada yang sakit?" Brian membulatkan matanya, memastikan dengan betul-betul bahwa kejadian tadi tidak sampai membuat gadis ini menderita hal yang cukup serius."I-iya."Brian menghela napas dalam-dalam. Sebuah tindakan untuk mengekspresikan kelegaan hatinya. Kelegaan karena dari kejadian tadi tidak berdampak buruk pada gadis ini, ya walaupun parut di tangannya itu cukup panjang dan tentu saja akan sangat menganggu penampilan ketika luka itu sudah kering nanti, tapi itu tidak begitu buruk jika dibandingkan dengan gegar otak atau fraktur tulang, kan?"Kau itu! Hati-hati dong! Untung tadi aku bawa mobilnya pelan, coba kalau kenceng? Nggak bisa bayangin aku gimana nanti nasib kamu!" Brian mulai mengomel, sengaja untuk menyembunyikan degup jantungnya yang entah mengapa jadi berdebar tidak karuan melihat bagaimana mata jernih itu terus menatapnya.Kenapa dia jadi begini?Bisa Brian lihat mata jernih itu membeliak, tampak tidak percaya dan kemudian menatapnya dengan tatapan kesal."Loh, kenapa jadi nyalahin saya, Mas? Surat saya lengkap, nggak melanggar batas kecepatan. Mas pasti nih yang ugal-ugalan, terus jadi nyalahin saya!" Balasnya yang kontan membuat Brian jadi kesal.Matanya melotot, berani juga gadis ini ternyata! Brian mendengus, rasanya ia ingin menerkam gadis ini dan ... ah! Kenapa otak Brian jadi kriminal begini?"Aku nyalahin kamu, kau bilang?" Suara Brian melengking. "Kamu yang tadi naik motor ngga---.""Permisi, Mas, ini data pasiennya apakah sudah bisa diisi?"Sesosok perawat muncul, membuat kalimat Brian terputus. Fokus Brian tertuju pada perawat yang sejak tadi bolak-balik meminta data gadis ini untuk dokumen rekam medis dan lain-lain. Tapi Brian bisa apa? Dia tidak kenal gadis ini, jadi mana bisa Brian isi datanya? Dan agaknya saat ini adalah saat yang tepat untuk mengisi data penting itu."Bisa, Sus! Kebetulan sudah sadar nih orangnya! Merepotkan saja!" gerutu Brian lalu meraih papan itu dari tangan sang perawat.Brian membawa papan itu di tangannya, hendak siap menulis ketika gadis itu tampak mencoba bangkit dan menyingkirkan selang infus yang menancap di punggung telapak tangan kirinya."EH, KAMU MAU NGAPAIN?" tentu Brian berteriak, dia tidak jadi menulis, mencekal tangan gadis itu yang hendak melucuti selang infusnya."Mau pergi!" balas gadis itu sengit. "Mas pikir saya mau gitu ngerepotin, Mas? Mas yang nabrak saya, ya harusnya tanggung jawab dong! Kenapa sekarang jadi Mas ngatain saja merepotkan?"Brian melotot tajam menatap gadis itu. Emosinya terpancing. Lupa sudah bagaimana khawatirnya dia tadi."Mau pergi? Susah-susah aku bawa ke sini, kau mau pergi gitu aja?" Tentu Brian tidak terima. "Tau gitu kutinggal aja kau di TKP, biarin sekalian!"Kembali mata itu melotot, melayangkan tangan guna menggebuk punggung Brian. Sebuah tindakan yang di mata Brian cukup dan sangat berani sekali!"Kau ini! Tangan luka kayak gitu masih juga mau menganiaya orang?" Satu tangan Brian menarik telinga gadis itu kuat-kuat, membuat gadis itu kontan berteriak kencang."SAKIT!"Tirai berwarna hijau itu kembali tersingkap, muncul seorang perawat dengan wajah yang begitu panik."Kenapa, Mbak?""Itu, Sus, sekalian aja mending potong tangan dia!" Sahut Brian dengan begitu santai.Kembali tangan gadis itu memukuli Brian dengan membabi-buta. Sebuah pukulan yang entah mengapa rasanya begitu lain. Tidak sakit, sama sekali tidak. Rasanya malah seperti ... astaga, kenapa Brian bahkan sampai tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata?"Dasar nggak waras!" makinya kesal. "Maaf, Sus, saya nggak apa-apa.""Kalau ada apa-apa bisa panggil saya, ya! Sama untuk data pasien ditunggu dengan segera!"Brian mengangguk, kompak sekali dengan gadis itu yang tampak juga menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian mereka saling pandang, melemparkan tatapan tajam dan tidak bersahabat."Bisa kalem, nggak?" desis Brian yang jujur dibalik perasaan aneh yang menyergapnya, dia sendiri gemas dan sedikit kesal dengan gadis aneh ini."Bawel!" balas gadis itu sengit."Diamlah, aku butuh datamu!" Brian kembali duduk di kursi, bersiap dengan pulpen dan kertas yang menempel di papan yang tadi perawat berikan padanya. "Siapa namamu?""Heni." Sebuah jawaban ketus yang mampu membuat Brian rasanya ingin mengigit gadis itu sampai dia berteriak-teriak.Brian mendongakkan wajah, menatap gadis itu dengan tatapan kesal lalu memukulkan papan di tangannya dengan lembut ke kepala gadis itu."Heh! Serius ini buat data rumah sakit! Dan namanya cuma Heni doang?" Brian tidak mengerti, gadis yang tadi dia puja-puji cantik itu ternyata semenyebalkan ini!Heni, nama gadis itu, tampak mengelus kepalanya. Matanya melotot kesal ke arah Brian yang masih menatapnya dengan tatapan tajam, seolah-olah dia ingin melenyapkan Brian dari muka bumi ini."Ya selow dong, Mas! Nggak usah pakai mukul kepala segala! Kalau sampai gegar otak, situ mau tanggung jawab?" Protes gadis itu dengan suara melengking.Brian mendesah sambil memijit pelipisnya."Sejak awal aku sudah tanggung jawab, kan?" Brian mendengus perlahan. "Sudah! Siapa namamu, cepat!" Brian kembali hendak fokus pada pulpen dan kertas di tangan.Heni merebut papan dan pulpen itu dari tangan Brian, menuliskan sendiri datanya. Brian bersandar di kursi, melipat dua tangan di dada dan menatap Heni dengan tatapan tajam. Sebuah tatapan yang sengaja dia buat begitu tajam untuk menutupi perasaan aneh yang sejak tadi menjalar di hati Brian.Heni ... Jadi nama gadis ini Heni? Heni siapa? Dia cukup cantik, Brian akui itu. Tapi kalau melihat bagaimana sikap gadis ini, kenapa Brian jadi kesal setengah mati kepadanya? Perasaan apa ini? Apakah benar posisi Karina di hati Brian secepat ini tergantikan? Atau ini hanya sebuah kekaguman sesaat?Brian terus menatap wajah itu dari tempatnya duduk. Kalau diam begini, kecantikan Heni jadi berlipat ganda. Tetapi kenapa Brian malah suka jika gadis itu membeliak dan menggerutu kepadanya? Menyebalkan memang, tapi kenapa hal itu malah seolah membuat semarak hati Brian?Brian masih terlena menatap wajah itu, hingga kemudian tampak gadis itu menyodorkan papan tepat ke depan wajahnya. Matanya menatap langsung ke dalam mata Brian. Sebuah tatapan tajam, namun mampu melelehkan sebuah kebekuan di hati Brian yang paling dalam."Nih, udah!"Brian meraih papan itu, matanya melirik kertas yang tertempel di sana. Ia menahan diri agar tidak menampakkan senyum ketika membaca identitas gadis menyebalkan itu.'Heni Saraswati?'Nama itu otomatis terekam dan tersimpan dalam memori ingatan Brian, kenapa rasanya begitu gembira bisa tahu nama lengkap dan identitas lengkap gadis ini?“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,