Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir.
Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu!"Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di laboratorium radiologi sebelum dokter Anies sampai lebih dulu.Stase radiologi ini sebenarnya cukup membosankan. Heni tipe orang yang lebih suka berinteraksi langsung dengan pasien. Dan memandangi print out hitam putih itu? Sungguh membosankan sekali!Heni hampir sampai di laboratorium radiologi ketika matanya menatap sosok itu. Itu kan ...Lelaki dengan celana bahan warna krem dan kemeja biru itu melangkah dengan senyum mereka ke arah Heni, membuat Heni langsung salah tingkah. Siapa memangnya yang tidak salah tingkah kalau di tatap dan diberi senyuman seindah itu oleh lelaki berparas malaikat yang juga calon spesialis? Klepek-klepek dijamin!"Pagi banget datangnya, Dek?" sapanya sambil mengulurkan tangan.Heni tersenyum membalas uluran tangan itu dengan jantung berdegup. Matanya menatap wajah ganteng dan manis yang berdiri di hadapannya."Iya, Bang. Takut telat." jawab Heni singkat."Takut telat apa takut sama dokter Tandang?"Tawa Heni sontak pecah, ia terkekeh dengan satu tangan menutup mulut. Sementara sosok ganteng di sebelahnya itu hanya tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala perlahan."Ya semuanya, Bang. Takut semua."Siapa yang tidak takut dengan radiolog satu itu? Judes dan galaknya tingkat dewa, membuat Heni kadang sampai terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah dokter itu dulu lulus sarjana langsung auto spesialis? Nggak koas dan lain-lain dulu? Kenapa rasanya dia sama sekali tidak punya rasa empati pada para keset dan sendal rumah sakit?"Sudah aku duga! Nggak ada yang nggak takut sama dia." desis suara itu perlahan."Abang takut juga sana dia?" rasanya tawa Heni kembali ingin meledak, namun mati-matian dia tahan karena tidak ingin Gibran ilfeel dan merasa tidak nyaman dengannya."Tentulah! Kelulusan Abang ada di tangan dia, Dek. Jadi cari aman ajalah!" Gibran terkekeh, menghela napas perlahan lalu menoleh menatap Heni yang kebetulan juga menoleh menatap wajah itu. "Udah sarapan?"Apa?Heni tertegun mendapat pertanyaan itu. Sarapan? Mana sempat Heni sarapan kalau bayangan wajah horor dokter Tandang terus menghantui Heni? Jadilah dia langsung gas ke rumah sakit begitu selesai mandi.Sebuah gelengan kepala Heni lakukan sebagai jawaban dari pertanyaan yang Gibran ajukan. Membuat lelaki itu tersenyum lalu meraih tangan Heni yang menariknya dengan lembut. Sebuah tindakan yang membuat Heni melongo dan pasrah ditarik oleh lelaki itu."Kita sarapan dulu ya? Cukup kok waktunya, dikira dokter Tandang mahasiswanya nggak butuh sarapan apa." Gibran bergumam sendiri, sementara Heni?Heni membeku dan pasrah saja ketika tangan itu terus menariknya pergi menyusuri koridor rumah sakit. Mereka melangkah sambil mengobrol santai, mengabaikan sepasang mata yang menatap tidak senang ke arah mereka.Lelaki itu berdiri agak jauh, wajahnya tidak lepas dari dua punggung yang makin lama makin terlihat kecil dari tempatnya berdiri. Tangan lelaki itu mengepal kuat, wajahnya datar dan kaku. Membuat siapa saja yang menatap wajah itu akan bergidik ngeri dan bisa mengerti bagaimana suasana hati lelaki itu saat ini."Kurang ajar!"***Brian masuk ke dalam mobil. Rencananya dia hendak mengejutkan Heni dengan tiba-tiba datang dan menemuinya. Tetapi nyatanya bukan Heni yang berhasil Brian kejutkan, malah sebaliknya!Brian memukul setir mobil dengan kesal. Kenapa sih dari dulu saingan dan musuh Brian itu residen? Ah agaknya bukan residen juga, tapi spesialis juga! Yang menikung Karina sudah spesialis, bukan residen lagi!"Begini amat suka sama cewek ya ampun!" Brian mendesah, mengusap wajahnya dengan gusar.Jika kemarin dia kalah telak, kali ini tidak akan Brian biarkan! Brian akan berjuang dan Heni tidak akan terlepas dari genggamannya, tidak akan!"Jangan sebut namaku kalo aku nggak bisa nikahin kamu, Hen! Ingat baik-baik itu!" Brian mencengkram kuat setir mobil, sedetik kemudian ia teringat sesuatu dan dengan tergesa-gesa merogoh saku celananya.Benda yang dia ambil tentu ponsel, dan nomor yang Brian hubungi ... siapa lagi kalau bukan Julius? Brian menanti panggilannya dengan sedikit gelisah, hatinya tidak tenang sebelum siasatnya berhasil.Wajah tegang Brian berubah sumringah ketika sapaan itu menyapa telinganya dengan segera."Halo, Yan, kenapa?"***"Ah nggak mungkin ah!" Gibran mencebik, menyuapkan nasi soto ke dalam mulut.Sementara Heni, kepalanya terangguk pelan sambil menyeruput teh hangat yang dia pesan untuk menemani nasi soto yang juga menjadi pilihan Heni untuk sarapan hari ini."Eh masa? Serius kamu nggak ada pacar, Hen?" kembali Gibran bertanya, wajahnya nampak terkejut luar biasa.Heni melongo, dia memang tidak ada pacar dan apakah itu melanggar hukum? Kenapa Gibran sampai terkejut macam ini? Para lelaki itu memang terkadang lebay sekali!"Serius lah, Bang. Mikir ujian stase aja kemut-kemut kepala pake nambah masalah mau pacaran segala. Males ah!" Heni kembali fokus pada makanan yang ada di depannya, apakah ini masuk ke dalam salah satu modus buaya yang sering orang-orang ceritakan?Gibran terkekeh, ia tidak lagi bersuara, malah menyuapkan nasi ke dalam mulut dan nampak mengunyah nasi itu perlahan-lahan. Sementara Heni? Dia tengah sibuk menuangkan lagi sambal ke dalam mangkuknya lebih banyak lagi. Agaknya Heni tidak peduli pada harga cabai yang melambung tinggi. Baginya makan tidak pedas itu tidak nikmat."Hen, malam minggu nanti ada acara?"Heni yang baru saja menyuapkan nasi soto yang dia tambahi sambal sontak tersedak. Bukan karena rasa pedas yang kini mendominasi rasa sotonya, tetapi ia terkejut dengan pertanyaan yang dulu pernah dia dapatkan dari seseorang. Sebuah pertanyaan yang malah menghadirkan sosok itu dalam benaknya."Be-belum tau, Bang. Aku jaga sore kalo nggak salah." tentu Heni ingat betul dengan jadwalnya, mana boleh dia lupa? Bisa-bisa hukumannya akan sedikit berat."Nonton yuk, Hen? Mau kan? Nanti Abang traktir."Sebuah ajakan yang kembali melemparkan Heni pada kenangannya bersama seseorang. Heni tertegun, bukan memikirkan jawaban akan ajakan Gibran, tetapi memikirkan seseorang yang entah mengapa semenjak mereka berbeda tempat dinas, rasanya hati Heni menjadi begitu sepi.Kenapa Heni diam-diam merindukan saat mereka bersama? Ada apa dengannya?Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri. Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari. "Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih. "Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk
"Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini
Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai
Brian menghentikan mobilnya di depan gerbang kost Heni, sejenak dia menoleh, di saat yang bersamaan, Heni tampak juga tengah menoleh menatapnya. "Makasih banyak buat malam ini, Mas."Brian tersenyum, nada suara Heni begitu lembut. Sangat manis sekali di dengar. Kepala Brian terangguk, refleks tangan Brian terulur mengelus kepala Heni dengan begitu lembut. Melihat sikap Heni yang semanis ini, sikap tengil dan menyebalkan milik Brian mendadak lenyap. Dia tidak ingin sikap manis dan menggemaskan Heni ini berubah jadi sikap menyebalkan seperti biasanya. "Besok malam aku jemput. Nggak lupa sama janji kamu, kan?" Brian ikut bersuara dengan begitu lembut, menyamai nada lembut Heni. Senyum itu merekah, sebuah senyum manis yang mampu membuat Brian rasanya ingin memepet Heni lalu meraup bibirnya hingga gadis ini kehilangan napas. Namun pikiran Brian masih jernih, tentu dia tidak boleh gegabah karena bisa jadi sikap gegabahnya malah membuat semua usaha Brian jadi sia-sia. "Tentu. Kabari aja
Brian kontan menggaruk kepalanya, ini masalah Kelvin kenapa jadi dia yang ikut dibuat pusing? Tak tahukah Kelvin kalau Brian sendiri tengah dibuat pusing oleh kisah asmaranya sendiri? Bagaimana cara dia menyakinkan Heni itu sudah cukup membuat kepala Brian sakit! Terlebih saingan Brian sekali lagi tidak bisa diremehkan! Seorang calon spesialis. "Nyokap elu nyusul ke Surabaya? Bawain calon elu kesana gitu?" Brian terpaksa harus meladeni curhatan Kelvin, mau bagaimana lagi? Disaat Brian galau masalah percintaan, Kelvin lah yang selalu punya banyak waktu untuk mendengar setiap keluh kesah Brian mengenai persoalan asmaranya yang selalu ketiban nasib sial! "Iyalah!" tukas Kelvin membenarkan tebakan Brian. "Gila, seniat itu nyokap gue pengen liat gue kawin, Yan!"Brian terkekeh, agaknya setelah ini, gantian Brian yang akan memiliki nasib yang sama dengan nasib sahabatnya. Dipaksa menikah karena usia yang sudah cukup matang? Ah kenapa di negara ini semua orang terlalu memusingkan umur sih?
[ Jangan lupa besok malam! ]Heni mendesah, ia menatap pesan yang baru saja masuk ke dalam ponsel. Siapa lagi kalau bukan Brian yang mengiriminya pesan itu? Heni meletakkan ponsel di dada, matanya lurus menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang membayangkan pasar malam di alun-alun yang besok akan dia datangi bersama Brian. Dari banyak postingan di media sosial, pergi ke sana memang asyik sih. Banyak wahana bermain yang sebenarnya tidak memiliki klaim asuransi dan sedikit memacu adrenalin. Tapi fakta bahwa pengunjung tidak diberi jaminan asuransi ternyata tidak membuat wahana-wahana itu sepi pengunjung. Banyak orang yang rela antri untuk bisa naik dan menikmati wahana tersebut. Heni tersenyum, ia tidak tertarik dengan wahana-wahana itu, dia tertarik dengan suasana ramai dengan lampu-lampu gemerlap yang cantik dan begitu indah dilirik. Ada sesuatu yang ingin Heni beli di sana besok, cotton candy raksasa! Yang bisa dibentuk sesuai keinginan. Ponsel yang tergeletak di dada k
Gibran segera turun dari mobil ketika mendapati motor Heni masih diparkiran. Ia mendekati motor itu dan mendekatkan tangan ke salah satu bagian. Dingin. Tidak terasa panas atau hangat sekalipun. Itu artinya sejak semalam motor ini ada di sini? Ah! Bukankah dokter itu bawa mobil semalam? Pasti Heni diantar pulang olehnya setelah menjenguk teman Heni yang sakit. Tapi ... siapa bilang kalau Heni benar-benar mengunjungi temannya yang sedang sakit? Bagaimana kalau mereka pergi kencan? Gibran mendesah, ia menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkan halaman parkir dengan hati dan pikiran yang berkecamuk.Sepertinya Gibran perlu sesegera mungkin menyatakan perasannya kepada Heni. Kalau tidak, bisa-bisa Heni digebet dokter itu. Ini tidak bisa dibiarkan! Gibran menyusuri koridor rumah sakit, matanya berbinar ketika mendapati sosok itu melangkah dari pintu depan. Dengan segera Gibran mempercepat langkah. Mengejar langkah Heni yang tengah menuju tangga untuk naik ke lantai dua, lantai di mana
Heni segera menutup pintu kamar mandi. Napasnya terengah. Jantung Heni berdegup dua kali lebih cepat. Gibran benar-benar menyukainya! Terbukti dengan pernyataan cinta yang tadi dia katakan pada Heni di koridor menuju kantin rumah sakit."Aku suka sama kamu, Hen. Aku jatuh cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar Abang, Hen?"Sebuah pertanyaan yang tadi hampir merontokkan jantung Heni. Tanpa tedeng aling-aling, Gibran langsung menyatakan cintanya. Meminta Heni menjadi pacar lelaki itu. Heni mendesah. Sebenarnya kurangnya si Gibran ini apa? Ganteng iya ... residen iya, dan bukankah Heni selama ini mengincar residen untuk dia gebet dan pacari? Kenapa begitu dia mendapatkan mangsa, Heni melepaskannya begitu saja? Seharusnya Heni terima dan sanggupi ajakan Gibran untuk berpacaran. Bukankah memang itu keinginan Heni? Dapat pacar atau bahkan suami calon dokter spesialis? Tapi kenapa malah Heni tolak? Heni menepuk jidatnya, mencoba menghirup udara banyak-banyak karena sejak tadi dadanya