Senyum Anisa begitu terpancar saat Sinta tak bisa melawan dirinya. Kini, Sinta tinggal menunggu nasib saja. Sementara, Anisa sudah mempersiapkan sesuatu untuk Sinta.“Ini pekerjaan, bukan masalah pribadi. Tidak bisa di campur adukkan. Tidak ada hak Anda mengatakan saya seperti itu,” ujar Sinta membela diri.“Ya, ada dong. Kalau kamu sedang banyak pikiran, otomatis pekerjaan kamu terganggu. Ini buktinya bulan lalu zero. Kosong, apa saja yang kamu lakukan!”Anisa melempar berkas laporan ke wajah Sinta.Hal itu membuat Sinta kembali menjadi bahan pergunjingan bagi para karyawan yang mengintip di jendela.“Saya kasih waktu satu bulan, jika tidak naik 50 %, maka kamu harus siap mengajukan surat pengunduran diri.”Sinta mengangkat kepala, ia terkesiap oleh ancaman Anisa. Mantan istri suaminya itu tidak main-main dengan pembalasannya.Bibir Sinta bergetar hebat, ia tak tahu harus mengatakan apa. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan mengiyakan apa yang dikatakan Anisa.“Silakan kembali.”Diki da
Windy menarik rambut Sinta, lalu tak mau kalah Sinta pun menarik rambut Windy. Keduanya saling jambak dengan kencang.Bu Atik mencoba merelai dengan menarik dan mendorong Sinta. Namun, kekuatannya tak bisa menahan Sinta yang semakin menarik rambut Windy.“Sudah, cukup!” teriak Bu Atik. Namun, keduanya masih terlihat saling tarik menarik. Bu Atik kembali mendekat, ia mencoba kembali menarik tangan Sinta. Akan tetapi, Sinta menangkis hingga mendorong tubuh ibu mertuanya terjatuh dan kepalanya membentur meja.“Ibu!” Pak Hartawan yang baru saja datang langsung menghampiri sang istri.Sinta dan Windy yang sejak tadi saling menjambak pun melirik ke arah sumber suara. Windy langsung menghampiri sang ibu yang sudah pingsan.Pak Hartawan langsung membawa sang istri ke rumah sakit. Tak ketinggalan Windy pun masuk dalam mobil.Sementara, Sinta pun kembali ke kamar. Istri kedua Wisnu itu tak hentinya bolak-balik memikirkan nasib Bu Atik.“Apa aku harus ke luar saja dari rumah ini? Tapi, ke mana?”
Tubuh Anisa bergetar hebat mendengar pernyataan dari Abas. Sejujurnya, ia begitu lemah, tapi ia mencoba kuat agar tidak ada yang tahu jika saat berhadapan dengan musuhnya Anisa merasa sangat takut.“Tidak ada yang bisa mengambil harta ini, termaksud kamu,” ujar Anisa sembari menatap Abas.“Aku? Kamu pikir aku akan merebut hartamu?” Abas tersenyum aneh.“Tidak ada yang tahu bukan, pengkhianatan berkedok pengambilan.”Untuk saat ini Anisa belum bisa percaya dengan siapa pun. Bahkan pada sang Tante yang selama ini sudah membantunya. Bukan tidak berterima kasih. Hanya saja, pengalaman hidup membuat ia tak mudah percaya begitu saja.Bisa saja sang tante juga anaknya malah memanfaatkan dirinya. Semua tidak ada yang tahu, banyak pula orang kepercayaan, seperti pembantu yang setia saja berselingkuh degan majikannya.“Jadi, kamu sampai detik ini belum juga percaya denganku?” tanya Abas.“Begitulah.”“Nis, sampai sini cukup. Tante mau ke luar dulu. Kamu mau ikut apa di rumah?”“Aku mau ke rumah
Windy masih diam seribu bahasa setelah sang ayah mengomeli habis-habisan. Pak Hartawan pun mengantarnya langsung ke rumah, terlihat mobil Fahmi pun sudah bertengger di halaman rumah. Lalu, saat mendengar suara deru mobil, suami Windy pun ke luar.Pria itu menghampiri dan mencium punggung kedua orang tua sang istri.“Maaf, Nak Fahmi. Ibu tadi ada kecelakaan sedikit di rumah jadi Windy mengantar sebentar,” ujar Pak Hartawan.“Iya, Pa. Tadi Windy pun sudah bilang. Tapi, saya tidak bisa ke rumah sakit,” ujar Fahmi.Setelah pamit, kedua orang tua Windy pun langsung pamit dan pergi dari rumah menantunya. Di dalam mobil pak Hartawan terus mengingatkan sang istri agar tidak melakukan hal gegabah. Apalagi bertengkar dengan Sinta seperti hari ini.“Bukan sama Ibu, kok.” Bu Atik masih saja membela diri.“Terserah mau salah siapa, tapi Papa hanya mengingatkan. Apalagi jika ibu mengganggu Anisa lagi. Jangan sampai Anisa marah dan membuat hancur perusahaan Papa. Mau jadi gembel?”Bu Atik bergidik n
Wisnu tak bisa menjawab semua yang dilontarkan oleh Anisa. Ia pun menyesal karena dulu tidak menghentikan sikap sang ibu yang sudah keterlaluan.“Bahkan, saat aku ingin proses bayi tabung, ibumu menolak dengan alasan buang-buang uang saja. Tapi, dia malah selalu menyalahkan aku atas kemandulan kamu!”“Aku tidak mandul, Nisa. Jaga bicara kamu,” ujar Wisnu emosi.“Cukup, jangan pernah berteriak di depan Anisa. Lebih baik kita pergi, Nis,” ucap Abas.“Tunggu.” Wisnu menarik lengan Anisa, tapi Abas gegas melepaskannya.“Jangan pernah sentuh calon istri saya atau kubuat Anda jatuh miskin. Camkan itu!”Tanpa banyak bicara, Abas menggandeng Anisa ke luar dari ruang persidangan meninggalkan Wisnu yang tak berpikir jika Abas mengancam dengan tegas.“Sial!”Wisnu terus menggerutu, harusnya ia masih bisa bersama Anisa jika ia tak menikah lagi. Sungguh penyesalan yang datang terlambat. Kecantikan Sinta mampu membuat ia berpaling.Sementara di mobil, Anisa tak berani menatap Abas. Kejadian tadi sa
Bu Atik sibuk mencari jawaban, sedangkan Anisa merasa ada hal baru yang membuat ia bahagia. Wanita yang di pilih untuk menggantikan posisinya membuat keributan di rumah mantan suaminya.Sudah pasti Sinta tidak cocok dengan Ibu mertua dan iparnya yang seperti ratu dan tuan putri itu. Anisa menyunggingkan senyum saat Bu Atik terlihat membuang muka darinya.“Itu loh, Mbak Anisa, menantu Jeng Atik kerja dan enggak mau mengurus rumah,” celetuk Bu Widia.“ih, cari saja pembantu. Masa menantu dijadikan pembantu, lagi pula suami Bu Atik pasti kaya raya. Membayar pembantu tidak kan membuat bangkrut perusahaan bukan?”Wajah Bu Atik memerah, dirinya merasa dipermalukan oleh Anisa. Sementara, Bu Widia dan teman yang lain pun setuju dengan ucapan Anisa.“Benar, tuh Jeng Atik. Dari pada ribut sama menantu, lebih baik kita mah ngalah, lagi pula sudah capek kerja malah di suruh berberes rumah.” Lagi, salah satu dari teman mereka ikut bicara.“Iya, Jeng. Tenang saja, saya bisa kok bayar 2 pembantu sek
Wajah yang sudah masam bertambah masam mendengar Abas mengatakan saham yang akan mereka berikan untuk investasi hanya sedikit. Tidak sesuai dengan apa yang mereka ajukan dan bayangkan.Wisnu menarik napas lalu membuang kasar. Ia merasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kehilangan berlian dan membuang kesempatan emas. Lagi, ia menyesal setiap melihat Anisa yang semakin hari semakin berkilau dengan beberapa berlian yang ia pakai di jari manis.Ia pun teringat saat bersamanya, Anisa sudah cantik, tapi sayang tak begitu ia manjakan hingga kecantikan aslinya tak terlihat seperti sekarang.“Bagaimana Pak Wisnu, jika Anda tidak menyetujui, kami bisa menarik kembali. Itu hanya tawaran saja,” ujar Abas.Sementara, Anisa sibuk membaca beberapa dokumen yang akan ia tanda tangani sampai tak sempat memperhatikan wajah mantan suaminya.Wisnu melirik ke sang ayah, Pak Hartawan sudah pasrah dan mengangguk saat Wisnu memberikan kode untuk menerima atau tidak. Mau bagaimana lagi, mereka sangat membutuh
“Ya sudah, aku temani. Makan cepat,” ujar Abas pasrah.“Yakin enggak mau makan?” tanya Anisa lagi.“Yakin.”Namun, suara perut Abas pun mematahkan semuanya. Anisa tertawa mendengar suara tak di undang itu. Lalu ia memesan makanan karena sudah lapar. Sementara, Abas menahan dahaganya karena ia tak mau makan di tempat itu.Anisa kasihan melihat Abas yang sepetinya lapar tapi malah menahan semuanya. Ia pun mencoba menyuapi sedikit nasi, awalnya di tolak. Tapi, Anisa terus memaksa dengan membulatkan matanya.Wajah Abas berubah pucat, lalu ia mengambil tisu dan membuang makanan Yang ada di mulutnya. Lalu, ia ke luar dengan cepat dan memuntahkan sisa makanan di pinggir mobilnya.Anisa merasa tidak enak, tapi ia menghabiskan dulu makanannya. Tidak peduli ia telah membuat Abas seperti itu. Setelah selesai, ia menghampiri Abas yang tak kembali ke warteg. Abas terlihat menyenderkan tubuh di jok mobil saat Anisa mengetuk jendela dan meminta buka.“Maaf, Bas.”“Walau aku lapar, aku tidak mau maka