Tubuh Anisa hampir saja oleng jika Abas tak menangkapnya. Abas menyimpan ponsel itu di meja, lalu mengambil air untuk Anisa. Siapa yang berani mengancam langsung ke Anisa pikir Abas. “Kamu jangan panik,” ujar Abas. Lalu ia memberikan minuman pada Anisa agar ia tak terus menerus ketakutan dengan pesan masuk yang belum jelas dari siapa. “A—aku bukan takut miskin, tapi aku takut jika mereka berbuat sesuatu denganku atau ibu.”“Iya, aku paham. Kita cari tahu nanti,” ujar Abas. Abas paham ketakutan Anisa, ia pun akan berusaha mencari tahu siapa yang nekat melakukan hal itu. Namun, ia sepertinya curiga pada satu nama yaitu Hendra, pria itu sejak kemarin mencoba menekan sang ibu. Harta tak di bawa mati, tapi Abas dan ibunya tak rela jika jatuh ke tangan yang lain karena perusahaan itu adalah jerih payah kakek dan nenek. Abas mencoba menelepon beberapa teman detektif untuk mencari tahu. Untuk sementara, Anisa terus bersamanya agar tak ada yang mengganggu Anisa. Apalagi ia terlihat
Sinta menyunggingkan senyum puas lalu membantu Anisa untuk berjalan. Ia membopongnya ke mobil, netranya kunang-kunang lalu barulah saat sampai mobil Anisa tertidur.Sinta mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Hendra. Lalu, ia menuruti apa yang di perintahkan oleh pria itu untuk membawa Anisa ke suatu tempat. Tak butuh waktu lama, Sinta pun sudah membawa Anisa ke sebuah rumah kosong. Ia di bantu beberapa orang suruhan Hendra untuk membantu Sinta. “Halo Sayang, kamu hebat,” puji Hendra. Pria itu sudah membungkam Anisa dan menguncinya di kamar tertutup. Sementara, ia membawa Sinta ke kamar satu lagi.“Iya dong, Om. Bagaimana uang yang di janjikan?” tanya Sinta.“Tentu, dong aku enggak akan lupa. Tapi, kamu sini dulu.” Hendra menarik tubuh Sinta ke dalam dekapannya. Tangan pria itu sudah bergerak ke seluruh tubuh hingga ke bagian dada Sinta. “Argh,” desah Sinta.“Sayang, kamu sexy,” bisik Hendra di telinga Sinta.Pria itu perlahan membuka baju Sinta lalu kembali membuat pe
“Sialan!” Abas berteriak keras hingga membuat sekeliling menatapnya, begitu juga dengan Wisnu yang juga heran dengan Abas.Sambungan itu terputus sampai membuat Abas panik. Napasnya tersengal-sengal memikirkan Anisa yang kini berada di tempat tidak aman.“Ada apa?” tanya Wisnu.Abas menceritakan apa yang sedang terjadi, ia pun bercerita tentang Hendra, orang yang ingin mengambil semua harta milik Anisa. Kini, ancaman itu terjadi dan Abas kecolongan menjaga Anisa.“Kita ke kafe sebelah,” ujar Wisnu.Abas pun mengikuti apa yang Wisnu katakan, mereka ingin melihat rekaman cctv. Keduanya ingin tahu apa Sinta terlibat dengan semua yang menimpa Anisa. Setelah meminta izin pihak kafe, mereka dapat melihat CCtv itu. Terlihat saat Sinta dan Anisa masuk, terlihat sangat biasa dan tak ada yang harus di curigai. “Itu, coba pause!” titah Wisnu.Pria itu menunjukkan saat Sinta membopong Anisa lalu di sambut beberapa pria yang membantunya memasukkan ke mobil. “Ya, itu Sinta. Pause saat m
Mbak Lastri terkesiap saat ada panggilan masuk ke ponsel Anisa. Ia menatap dengan penuh kebimbangan untuk menerima panggilan atau tak menjawabnya. Namun, ia kasihan melihat Anisa yang sejak tadi di siksa Sinta. Mbak Lastri pun tak senang dengan wanita yang di bawa oleh Tuannya. Namun, ia tak bisa berkhianat karena ia terlalu peduli dengan pria bernama Hendra itu. Lagi, panggilan masuk itu terus berdering. Akhirnya Mbak Lastri membuka pesan masuk lalu mengirimkan share lokasi di mana Anisa kini berada.[Nisa, ini kamu yang Kirim?]Mbak Lastri bingung membalasnya. Tangan itu gemetar saat mendengar teriakkan Anisa dari ruangan di mana dia di sekap. Secepatnya ia pun mengetik balasan.[Cepat datang ke sini. Aku hampir mati, aku tidak bisa banyak membalas]Mbak Lastri langsung menyimpan kembali ponsel itu. Lalu bangkit ke luar kamar untuk melihat Anisa.Sementara, Sinta pun semakin menjadi saat kembali menginjak kaki Anisa. Lalu tangan itu menjambak rambut panjangnya. Sejak tadi i
Bu Asih terlanjut sakit hati dengan Wisnu dan keluarganya. Bahkan melihat wajah pria itu saja sudah tak mau. Pengusiran secara halus sampai kasar pun ia lakukan. Bukan karena sudah menjadi kaya raya seperti yang di katakan Bu Atik. Akan tetapi, lebih ke rasa sakit hati setelah anaknya terusir dan perlakuan mereka padanya. Di jadikan pembantu tanpa di bayar dan kenyataan yang harus diterima Anisa saat Wisnu berselingkuh.“Sebaiknya kamu pergi dulu,” pinta Abas. Dengan berat hati Wisnu pergi walau ia ingin sekali bertemu dengan Anisa. Ia tak bisa tetap di sana karena akan memperuncing masalah. Pria itu pamit dan gegas pergi.“Sebaiknya kamu jangan percaya sama orang yang telah berkhianat. Ibu enggak mau kalau ternyata dia memiliki akal bulus dan membuat semuanya hancur,” ujar Bu Atik. “Iya, Bu. Maaf,” jawab Abas.Mereka semua masuk ke ruangan Anisa karena suster mengabari Anisa sudah sadar. Sang ibu memeluk Anisa dengan cemas, melihat beberapa luka lebam membuat Bu Asih miris d
“Memang kenyataannya, kan. Lihat Windy, baru beberapa bulan menikah saja sudah di ceraikan. Alasan utama adalah ketidak becusan Windy mengurus suami. Saat Fahmi bekerja, dia malah keluyuran bahkan ke rumah ini untuk menumpang makan. Apa namanya kalau kamu tidak bisa mendidik anak?” Pak Hartawan meninggikan suara.Bu Atik tidak terima, tapi memang kenyataannya sang suami benar. Windy seolah-olah tak mengerti dengan tugasnya sebagai seorang istri.Pak Hartawan pun kembali meminum teh hangatnya. Ia merasa hidupnya kini sudah tak ada gairah untuk lebih baik karena merasa masa depannya hancur dalam perbisnisan.Terdengar deru mobil Wisnu, Bu Atik gegas menghampiri sang anak karena pusing menghadapi sang suami yang sejak tadi terus saja mengomel. “Nu, kamu baru pulang, dari mana?” tanya sang ibu.Wajah Wisnu terlihat sangat lelah, ia malas juga menjawab pertanyaan sang ibu. Namun, Bu Atik terus saja mendesak.“Bertemu teman, siapa tahu bisa menanamkan saham di perusahaan Papa. Aku capek, b
“Semua hal yang tidak mungkin bisa saja terjadi, semisal saat Anisa berubah pikiran dan kembali pada Wisnu. Hal itu tentu tidak terduga bukan, apalagi jika Anisa melihat sisi baik laki-laki itu. Apa saya tidak cemas?” Bi Asih sedikit menarik napas dalam saat ia membayangkan hal yang tak akan terduga.Amira pun tak berpikir sampai ke sana. Ia hanya percaya jika Anisa itu tidak gegabah dan sudah bisa membedakannya saat dirinya kaya raya akan ada orang-orang yang dulu menjauh kini akan mendekat dengan sengaja.“Ibu tidak usah cemas, aku tidak akan kembali pada dia,” ujar Anisa yang tanpa sengaja mendengar perbincangan keduanya. Bu Asih merasa tidak enak saat Anisa tiba-tiba datang. Hanya saja ia mencemaskan sang anak yang takutnya jatuh kembali ke lubang yang sama. Hal itu tak ia inginkan terjadi kedua kalinya.“Walau Mas Wisnu berulang kali meminta rujuk, aku tetap pada pendirian kalau tidak akan pernah kembali padanya. Kenapa Ibu harus mencemaskan masalah ini?” “Maafkan ibu, Nis
Abas menggeleng lalu ia menarik kepala Anisa dan mencium pucuk rambutnya. Ia percaya kalau Anisa tidak akan berpikir untuk kembali pada Wisnu. “Hm, Nis.” Wisnu sudah berada di ambang pintu menunggu keduanya yang sedang bermesraan. Api cemburu sedikit membakar hati Wisnu, apalagi saat pria itu mencium pucuk rambut mantan istrinya itu.“Aku ke luar saja dulu,” pamit Abas.”Anisa mengangguk lalu melihat Abas yang sudah ke luar dari ruangan. Sementara, Wisnu memenangkan diri dari rasa cemburu. “Kabar kamu Bagaimana?” tanya Wisnu.“Bisa kamu lihat sendiri aku sudah bisa kembi bekerja.” Anisa menjawab santai.“Maaf untuk semuan yang telah aku lakukan. Aku berharap kamu bisa memaafkan aku walau memang itu sangat sulit. Banyak hal yang aku alami dan aku yakin itu semua buah dari apa yang aku tanam,” ujar Wisnu.Anisa tak bisa berkata-kata mendengar semua pengakuan dari mantan suaminya. Tidak ingin seperti kemarin, Anisa bersikap dingin dan enggan terlalu memberikan rasa iba padanya