Anisa sudah tak tahan dengan segala hinaan. Kini ia pun mencoba membela diri dengan membantah semua ucapan ibu mertua.
“Ayo jawab, kalian bingung dengan apa yang saya lakukan. Saya muak, Bu dengan semua hinaan kalian. Terserah, kalian mau mengadakan aku pada Mas Wisnu atau tidak. Aku tidak peduli, mulai sekarang, lakukan apa yang kalian bisa. Kalau kalian lapar, masak sendiri. Kalau tidak pesan saja online. Mulai saat ini, jangan pernah berteriak lagi memanggil namaku!”
“Awas saja kamu, kami pasti melaporkan kamu,” oceh Bu Atik.
“ Terserah.”
Anisa melenggang ke kamar dan meninggalkan Bu Atik dan Windy yang melongok melihat sikap berontak dari menantu yang selama ini mereka perlakukan sebagai pembantu.
“Bu, si Nisa punya kekuatan dari mana bisa melawan ibu?” tanya Windy heran.
“Ibu juga heran, sejak beberapa hari sih ibu perhatikan, kira-kira kenapa, ya? Coba kamu telepon kakak kamu, tanyakan dan sekalian laporin aja tingkah istrinya itu. Biar tahu rasa si Nisa itu.”
Bu Atik menyunggingkan senyum puas karena setelah mereka melaporkan kelakuan Anisa, sudah pasti Wisnu akan memarahinya.
Bu Atik mencoba menghubungi Wisnu, sama seperti hanya Anisa tadi. Tak ada jawaban dan sudah jelas ponsel milik sang anak tak aktif.
“Win, kakak kamu ke mana sih, ibu sudah hubungi tapi kok enggak aktif, heran.” Bu Atik menggerutu kesal.
Windy pun mencoba menghubunginya lagi, sama saja tak ada jawaban. Keduanya menjadi kesal karena saat seperti ini malah tak bisa menghubungi Wahyu. Bu Atik pun duduk merengut sembari menyalakan TV.
“Bu, kayanya kita harus bikin Anisa ke luar dari rumah ini.”
“Terus, kalau dia ke luar, siapa yang mau bantu ibu, kamu? Heleh, kamu aja makan sama nyuci baju suami masih numpang di sini. Kalau enggak, kamu aja tinggal di sini, bantu-bantu ibu dan abis itu kita usir Anisa,” ujar Bu Atik.
Wajah Windy langsung berubah, ia tak sependapat dengan ibunya kali ini. Sama saja dia akan di perlakukan sebagai pembantu.
“Hih, enggak lah, aku tetep di rumah suamiku. Ini aja karena mesin cuci rusak, terus malas masak, namanya pengantin baru, Bu,” jawab Windy.
Bu Atik sudah menduga jawaban dari sang anak. Mana mau Windy menggantikan Anisa menjadi pesuruh di rumah ibunya sendiri.
***
Sudah Hampir 3 hari Wisnu tak ada kabar, kini pria itu datang dengan sebuah kejutan yang membuat Anisa merasa begitu sesak di dada.
Wisnu menggandeng Sinta datang ke rumah. Ia memberitahu pada sang ibu jika dirinya telah menikahi Sinta demi mendapatkan keturunan. Senyum kemenangan membuat Anisa geram menatap wanita sexy yang kini menjadi madunya.
“Kurang ngajar kamu, Mas!” pekik Anisa lantang. Ia mendorong tubuh suaminya dengan kencang, sedangkan Wisnu mencoba menenangkan Anisa.
“Heh, Nisa, kamu harus terima dengan keputusan Wisnu. Kamu kan enggak bisa kasih keturunan, wajar anakku menikah lagi,” cerca Bu Atik.
“Tapi enggak kaya gini ceritanya, aku enggak setuju Mas Wisnu menikah lagi, haram bagiku, Bu!”
“Sadar kamu, Nis. Harusnya kamu berterima kasih karena kamu masih di pertahankan anak saya, enggak di buang begitu saja.” Kalimat Bu Atik kembali membuat Anisa meringis perih. Bagaimana bisa ibu mertuanya sangat kejam memperlakukan dirinya. Bahkan, menyetujui pernikahan kedua sang suami.
Netra Anisa tak henti menatap Sinta yang kerap berada di samping sang suami. Jawa panas menjalar ke seluruh tubuh, ia pun murka dan menarik rambut panjang Sinta. Sang madu meringis kesakitan, sebuah tamparan keras mengenai pipi Anisa saat ia dengan brutal menarik dan menjambak rambut istri kedua suaminya.
Tatapan tajam penuh kebencian terpancar dari sorotan mata Anisa. Sembari memegangi pipinya yang perih, ia pun berjanji akan membuat mereka semua menyesal karena memperlakukannya seperti ini.
“Maaf, Sayang.” Wisnu mencoba mendekati Anisa. Ia menepis tangan sang suami, lalu memundurkan langkah.
“Cih, aku enggak sudi kamu sentuh. Setelah apa yang kamu dan keluarga kamu lakukan, kali ini enggak bisa terima. Aku memang miskin, aku memang orang dari kampung, tapi aku masih punya harga diri!”
“Halah, berapa sih harga diri kamu itu, orang miskin jangan belagu, mau minta cerai, yakin mau jadi gembel di luar sana?” Bu Atik malah terus saja memperkeruh.
“Bu, sudah. Aku dan Sinta datang untuk memberi tahukan kalau kamu sudah menikah, bukan untuk membuat keributan. Nisa, aku mohon kamu terima Sinta menjadi adik madu kamu, aku yakin kalian bisa akur.”
Anisa tertawa mendengar apa yang dikatakan sang suami. Lucu pikirnya, selama ini ia seperti pembantu, lalu sang suami dengan santai datang membawa madu dengan alasan mereka belum juga di karuniai anak.
“Lalu, kamu pikir aku bisa terima. Setelah ini, apa kamu yakin akan punya anak? Kalau dia tak bisa memberikan kamu anak, apa kamu akan menikah lagi sampai kamu memiliki anak tanpa tahu kalau sebenarnya mungkin kamu yang mandul!”
“Diam, cukup, Nis!” teriak Wisnu lantang. Ia kesal dengan apa yang di katakan oleh Anisa.
“Aku sehat, bisa memberikan banyak anak untuk suamimu. Tidak seperti kamu yang tidak sehat alias mandul. Lagi pula mana mungkin Mas Wisnu yang mandul,” ujar Sinta.
“Oke, fine. Kita lihat, siapa di sini yang mandul. Tapi, aku enggak rela di madu, ceraikan aku, Mas!” Anisa berteriak lantang.
Mereka semua yang ada di sana tercengang mendengar permintaan Anisa, termaksud Wisnu yang tak akan menyangka jika sang istri akan serius meminta untuk bercerai.
“Gila kamu, kamu masih bisa menjadi istriku asal kamu mau menerima Sinta menjadi madumu,” ujar Wisnu.
“Iya, aku memang gila, lebih gila jika aku menerima dia menjadi maduku! Keputusan aku sudah bulat, ceraikan aku, Mas!”
“Baik, aku talak kamu, Nisa mulai sekarang.”
Sinta ingin bertepuk tangan merayakan kemenangannya, sedangkan ibu dan adiknya Wisnu ikut menyunggingkan senyum puas melihat Anisa di ceraikan Wisnu.
“Kalau begitu, sepertinya kamu enggak bisa berlama-lama di sini,” ujar Bu Atik.
“Iya, benar. Kemasi barang kamu dan silakan tinggalkan rumah ini,” tambah Windy.
Anisa langsung melangkah meninggalkan ruang tamu dan langsung gegas merapikan beberapa baju yang akan di bawanya. Tak lama ia pun ke luar dengan menggeret koper.
“Bagus deh, oh, iya cek aja dulu koper itu. Takutnya, dia bawa barang berharga,” ujar Sinta. Perempuan kedua itu sangat senang melihat Anisa keluar dari rumah Wisnu. Apalagi ia akan berkuasa karena hanya dirinya istri Wisnu satu-satunya.
“Silakan saja, tapi aku bukan kamu yang suka mencuri, apalagi merebut suami orang,” ujar Anisa sembari tersenyum lebar.
***
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya