Anisa sudah tak tahan dengan segala hinaan. Kini ia pun mencoba membela diri dengan membantah semua ucapan ibu mertua.“Ayo jawab, kalian bingung dengan apa yang saya lakukan. Saya muak, Bu dengan semua hinaan kalian. Terserah, kalian mau mengadakan aku pada Mas Wisnu atau tidak. Aku tidak peduli, mulai sekarang, lakukan apa yang kalian bisa. Kalau kalian lapar, masak sendiri. Kalau tidak pesan saja online. Mulai saat ini, jangan pernah berteriak lagi memanggil namaku!”“Awas saja kamu, kami pasti melaporkan kamu,” oceh Bu Atik.“ Terserah.”Anisa melenggang ke kamar dan meninggalkan Bu Atik dan Windy yang melongok melihat sikap berontak dari menantu yang selama ini mereka perlakukan sebagai pembantu.“Bu, si Nisa punya kekuatan dari mana bisa melawan ibu?” tanya Windy heran.“Ibu juga heran, sejak beberapa hari sih ibu perhatikan, kira-kira kenapa, ya? Coba kamu telepon kakak kamu, tanyakan dan sekalian laporin aja tingkah istrinya itu. Biar tahu rasa si Nisa itu.”Bu Atik menyunggin
“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan mara
Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer
Bu Asih menjelaskan semuanya pada Anisa, bagaimana mereka bisa berada di kampung itu dan meninggalkan keluarga mereka di Jakarta. Hal itu bentuk protes sang ayah karena tak bisa menerima semua yang telah di putuskan oleh kakeknya Anisa.Jiwa pemberontak sang ayah begitu kuat, dia pun rela menjadi miskin demi harga diri. Kini, semua sudah berlalu dan Amara ingin mengajak keponakan dan Kakak iparnya kembali ke Jakarta dan menjalankan wasiat yang di berikan oleh sang ayah.“Apa aku enggak salah dengar? Ayah adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta dulu?” tanya Anisa.“Iya, dulu memang kamu semua tak bisa melakukan apa pun untuk membuat kakek kamu sadar. Namun, ternyata sebenarnya kakek kamu sudah mengetahui rencana jahat istri barunya. Dia membiarkan ayahmu pergi bukan dengan senang hati. Tapi, sepanjang hidup kakek kamu sangat menyesal saat kehilangan anak laki-laki yang paling siap sayang,” ujar Amara.“Tante kenapa baru sekarang mencari kami?” Pertanyaan itu begitu saja terlontar
Anisa membanting ponsel ke kasurnya. Tidak menyangka akan seperti ini. Pesan masuk Wisnu membuatnya tak berselera melakukan apa pun. Bahkan memasukkan keperluan ke dalam koper saja malas.“Ada apa, Nis?” tanya sang ibu.“Itu, Mas Wisnu. Dia bilang aku masih istrinya dan enggak akan menceraikan aku. Siapa yang enggak kesal, mana mau aku bermadu seperti itu. Dia pikir hebat melakukan poligami?” Anisa terus saja menggerutu.“Bisa kita selesaikan, apalagi Tante kamu orang hebat. Nanti dia yang menyelesaikan. Jangan cemas.” Bu Asih menenangkan Anisa.Anisa pun tak membalas pesan masuk suaminya. Ia hanya melihat dan kembali merapikan beberapa barang yang akan di siapkan.Bu Asih memandang foto sang suami. Entah, apa suaminya bahagia dengan keputusan mereka kembali ke Jakarta. Namun, sesuai dengan apa yang di wasiatkan sang suami, memang almarhum menginginkan Anisa kembali ke Jakarta agar keluarga Wisnu tak semena-mena dan membuktikan kalau Anisa bukan kalangan biasa.“Nis, sampai Jakarta ki
Semua pelayan pun menunduk hormat, Anisa benar-benar merasa menjadi orang kaya mendadak. Biasanya ia di teriaki Bu Atik untuk mengerjakan sesuatu. Jika saat ini, ia yang bisa berteriak dan meminta di ambilkan sesuatu.Netranya memandang kagum setiap detail isi rumah megah itu. Beberapa foto dan ia kembali menatap sebuah foto keluarga. Di sana ada ayahnya yang masih terlihat sangat muda. Rasa sedih kembali muncul, saat ia mendapat kebahagiaan, tapi sang ayah pun tiada.“Biar Tante antar ke kamar kamu, Mbak Asih sekalian yuk,” ujar Amara.Tante Amara mengantar Anisa dan Bu Asih ke kamar mereka. Setelah itu saat di kamar Anisa, Amara pun duduk di tepi ranjang.“Apa kamu ingin sesuatu?” tanya sang tante.“Tidak, Tan. Tapi, sepetinya aku butuh bertemu dengan Mas Wisnu. Tapi, aku tidak mau memberitahu dulu kehidupanku yang sekarang, biarlah mereka menganggap aku masih gembel. Aku akan menyelesaikan semua.”“Kabari Tante jika kamu butuh sesuatu. Di sini kita hanya tinggal ber empat.”“Suami
Amara menarik napas saat ingin mengatakan hal sebenarnya pada Bu Asih. Ia takut sang kakak tak percaya dengan apa yang akan dikatakannya, terlebih tentang wasiat dari sang ayah tentang masa depan perusahaan mereka.“Ini, bisa Mbak baca.” Amira menyerahkan sebuah pernyataan dari kertas kecil. Asih pun membacanya, perlahan dan ia menatap tak percaya pada Amira.“Aku agak ragu untuk mengatakan hal ini karena takut Mbak Asih tak percaya,” ujar Amira.“Apa harus secepatnya?” tanya Asih.“Seharusnya lebih cepat, aku enggak tahu kalau Anisa itu punya suami. Makanya sejak lama kami mencari, agar lebih cepat menikahkan Abas dan Anisa. Apa Mbak percaya dengan apa yang aku katakan?” tanya Amira.“Mbak percaya karena sebelum meninggal, Mas Anjar pernah mengatakan hal ini. Tapi belum tahu dengan siapa Anisa akan menikah. Tapi, Mas Anjar bilang kalau Anisa seharusnya menikah dengan pilihan kakek agar harta kekayaan tak jatuh ke tangan orang yang salah. Apalagi jika kami tak memiliki keturunan laki-