Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang masuk mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.
Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami."Laksmi". Gumamku menahan emosi."Lisna, kenapa kau ada di sini". Ucap mas Hendi berkata pelan.Aku yang tak menyangka akan ketemu mas Hendi apalagi bersama istri barunya itu hanya mampu terdiam kini. Pertanyaan dari mas Hendi bukan sengaja tak ku jawab namun mataku lebih memilih menjawabnya dengan air mata.Sudah beberapa hari aku tak bertemu dengan mas Hendi, namun kali ini dia menampakkan batang hidungnya bersama madu yang tak pernah aku setujui."Mas Hendi". Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku."Nanti kita bicara lagi". Ucap mas Hendi seraya menarik kursi buat Laksmi dan sekarang baru ia mendudukkan bokongnya di kursi.Aku melihat Laksmi bergelanyut manja dan duduk di kursi yang disiapkan mas Hendi di sebelahnya. Ada senyum manis yang dilontarkan mas Hendi ke Laksmi tanpa perduli bagaimana perasaanku saat ini.Aku mengusap spontan air mata yang menetes dari sudut mataku ketika atasanku, pak Bayu, sosok laki-laki yang baru kuketahui namanya itu masuk ke dalam ruangan ini."Maaf, saya sedikit terlambat". Pak Bayu memulai meeting kali ini.Meeting yang dilaksanakan selama tiga puluh menit itu tak bisa aku ikuti dengan fokus. Mataku hanya fokus kepada mas Hendi dan Laksmi. Entah kenapa aku bisa menjalin satu proyek dengan mereka.Mas Hendi memang bekerja sebagai tenaga ahli di bidang pemasaran dan baru ku tahu saat ini, Laksmi ternyata merupakan anak perempuan CEO dimana mas Hendi bekerja. Pantas saja ibu mas Hendi menyetujui pernikahan mereka, Laksmi adalah anak orang kaya."Jadi, bagaimana saudari Lisna?". Tanya pak Bayu padaku."Eh, iya pak Bayu". Jawabku terbata.Melihat sikapku yang gugup dan tak bisa menjawab, pak Bayu langsung mengambil alih meeting kali ini."Baiklah, proyek ini akan ditangani langsung oleh karyawan saya, Lisna. Dan saya harap kerja sama kita akan berjalan dengan baik". Ucap pak Yoga menyelamatkan nyawaku kali ini."Baik, terima kasih atas kepercayaannya kepada kami, pak Bayu. Perusahaan anda tidak salah untuk memilih kami untuk bekerja sama". Balas mas Hendi menyakinkan."Oke, kami tunggu kabar baiknya".Kalimat terakhir dari pak Bayu mengakhiri diskusi kami hari ini. Mas Hendi dan Laksmi sudah keluar dari ruangan ini, tak terkecuali pak Bayu. Kini aku sendirian di sini, aku memilih untuk tetap berada di ruangan untuk menetralkan hatiku yang tak karuan."Lisna". Suara berbisik terdengar pelan di telingaku.Aku menoleh ke arah pintu yang kini sudah tertutup pelan dan melihat sosok mas Hendi berdiri di belakang pintu."Mas Hendi". Kataku pelan seraya berdiri dan berjalan ke arahnya."Kau kenapa ada dalam proyek ini, aku tak mau Laksmi merasa tak senang hanya karena maslah sepele seperti ini". Ucap mas Hendi membuat tanganku spontan menggantung di udara.Aku yang berencana ingin memeluknya karena rindu yang tak tertahan kini terdiam di tempatku. Mas Hendi malah sengaja menepis tanganku dan berkata lagi."Apa yang sedang kau rencanakan, Lis?"."Mas, apa kau tak merindukanku, merindukan anak kita?". Tanyaku gamblang."Mas, kapan kau pulang mas, ini sudah lewat tujuh hari, mas?". Tanyaku lagi.Air mata kini sudah menganak sungai di kedua pipiku namun tak jua mematahkan ego mas Hendi. Ia hanya memilih mengabaikan diriku dan mengatakan hal yang lain."Jangan macam-macam, Lis. Kau akan tahu akibatnya". Ucap mas Hendi lalu memegang kenop pintu untuk keluar."Mas Hendi...". Panggilku seraya menarik tangan kirinya berusaha untuk menghentikannya.Mas Hendi hanya melirik tarikan tangannya tanpa melihatku, "Lepaskan, Lis, aku harus pergi"."Mas, apa kau sungguh tak perduli lagi kepada kami, mas?". Tanyaku kembali mengiba jawaban dari seorang laki-laki pemilik hatiku."Sudahlah, aku tak punya waktu bicara hal yang tak penting". Kata mas Hendi hingga ia mengibaskan tanganku dan pergi.Aku merosotkan tubuhku ke lantai saat mas Hendi pergi dari ruangan ini. Jiwaku kini benar-benar rapuh sekarang. Mas Hendi ternyata benar-benar sudah berubah, aku tak mengenal sosok mas Hendi yang sekarang.Sementara itu, tanpa Lisna ketahui, ada sepasang mata yang mengamati interaksi yang terjadi pada mereka.-----"Bunda... Bunda...". Teriakan kecil dari Airin menyambutku saat sampai di rumah.Aku menyambutnya dengan duduk berjongkok seraya membuka lebar kedua tanganku untuk memeluknya. "Airin, anak bunda"."Iya, bunda". Kembali suaranya membahagiakan jiwaku yang rapuh."Bunda, Airin sudah mandi. Bunda bau, belum mandi ya?". Celotehnya membuatku tertawa geli."Pintar anak bunda sudah mandi. Mandi sama siapa?". Tanyaku penasaran.Tak biasanya jam segini saat aku pulang Airin sudah mandi. Saat aku pulang dari kantor, rutinitasku selama ini adalah memandikan Airin terlebih dahulu sebelum mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah menumpuk."Nenek Sari yang mandikan bunda. Bunda, katanya ayah mau pulang hari ini".Deg mendengar Airin mengucapkan kata "Ayah" aku terlonjak kaget. Dan kenapa tak biasanya ibu mas Hendi memandikan cucunya seperti ini, apa ada hal yang tak kuketahui.Brum... Brum...Tak lama aku mendengar suara mobil mewah berwarna hitam memasuki halaman rumah kami. Aku seperti mengenali mobil tersebut, sama seperti mobil yang dibawa mas Hendi seminggu yang lalu beserta berita pernikahannya."Mas Hendi". Ucapku spontan.Kini aku berdiri dari posisi jongkokku dan mendekatkan Airin di sisi kananku. Jantungku berdetak tak karuan, apa benar mas Hendi pulang dengan membawa maduku untuk tinggal di sini.Waktu seolah berjalan dengan lambat, suara detakan jantungku pun seolah terdengar keras. Aku melihat mas Hendi keluar duluan dan ia kini membuka pintu kursi penumpang, seorang wanita berpakaian sexy dan berdandan menor keluar."Kau benar-benar membawanya pulang, mas Hendi". Gumamku saat ini.Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini saat melihat mereka berdua. Sepasang manusia yang kini berjalan ke hadapanku sedang tersenyum bahagia karena di mabuk cinta."Apa maksudnya ini, mas?". Aku bertanya karena sudah tak tahan lagi melihat mereka bermesraan di depanku.Bukannya menjawab pertanyaanku, mas Hendi malah memanggil ibunya yang masih berada di dalam rumah, "Ibu, Hendi pulang".Aku yang diacuhkan seperti patung menahan emosiku. Aku melihat ibu mertuaku itu tergopoh-gopoh keluar dari kamar menyambut anak dan menantunya."Eh, kamu sudah datang, Hendi. Sini Laksmi, ayo masuk. Lisna sudah menyiapkan kamar kalian". Kata ibu mas Hendi cuek tak memperdulikan perasaanku juga."Iya, bu". Jawab Laksmi dengan suara manja."Mas Hendi". Teriakku kini agak keras.Teriakanku sukses membuat mas Hendi, Laksmi dan ibu Sari menghentikan semua langkahnya untuk masuk ke dalam rumah."Mas, kamu mau aku tinggal bersama dia, mas?". Tanyaku tanpa basa basi."Kalau kamu tidak suka, itu urusanmu". Jawab mas Hendi tanpa rasa bersalah."Apa, mas?". Aku berkata tak percaya saat mendengar jawaban mas Hendi."Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!"."A-apa, mas?"."Stop, pak Bayu". Sampai dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh pak Bayu, membuat Lisna tidak kuat lagi untuk mendengar kalimat berikutnya. "Baiklah, jika kamu sudah siap, aku akan kembali melanjutkan. Itu teserah kamu, aku sebelumnya sudah mengingatkan". Ucap pak Bayu tanpa rasa bersalah. Hanya hening yang terasa di ruangan besar bercat putih bernuansa gaya klasik tersebut. Lisna masih mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Satu pertanyaan didalam pikirannya, apakah ayah dan ibunya begitu menderita saat kehilangan aku, anaknya yang nyatanya masih hidup hingga detik ini. Selang beberapa menit kemudian, Lisna malah mengajukan pertanyaan kepada pak Bayu. Ia malah memilih untuk bertanya daripada meminta kembali jalan cerita tersebut untuk dilanjutkan. "Apakah kedua orang tuaku masih hidup? ".Pak Bayu menghela nafas saat mendengar pertanyaan dari Lisna. Sedangkan, di pihak Lisna ia mengerutkan dahinya, apakah maksud dari helaan nafas pak bayu? Apakah sekarang kedua orang
"Kamu awasi terus, laporkan padaku jika ada sesuatu yang mencurigakan, apapun itu". Sebuah perintah baru saja ia keluarkan untuk Hendi, laki-laki yang secara hukum dan agama masih sah menjadi suami seorang wanita yang bernama Lisna. Ia sengaja melakukan hal tersebut karena mengetahui bahwa Lisna sudah keluar angkat kaki dari rumah suaminya itu. Dan itu artinya kesepakatan ia dan Lisna sudah mulai berjalan mulai sekarang. Aksi pun harus segera ia laksanakan sesuai keinginannya."Baik, Tuan". Setelah mengatakan kesanggupannya untuk mematuhi titah atasannya, salah satu bawahan Bayu segera meninggalkan dirinya. Bawahan tersebut merupakan salah satu andalan Bayu dan dengan sigap melakukan pekerjaan yang sudah ia kuasai selama ini. Tak akan ada kecacatan, begitulah hal yang harus terjadi.Tok... Tok.... Selang beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar di ruang kerja Bayu. Bayu menerka siapa yang datang kepadanya di waktu seperti ini, apakah Lisna? Ternyata ia sudah tak sabar ingi
""Mas kita perlu bicara? ". Ucapku saat tahu mas Hendi tiba dirumah. Aku memang sudah menunggunya sedari tadi. Aku beruntung, mas Hendi pulang tidak terlalu malam hari ini sehingga aku tak perlu terlalu lama untuk menunggu mas Hendi dengan bosan disini. Satu lagi keberuntungan padaku, saat ini Laksmi sedang berada di kamarnya, sehingga aku tak perlu berdebat jika saja dia merasa aku akan merebut mas Hendi. "Mau bicara apa? Besok saja, mas capek". Ungkap mas Hendi tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Aku menghela nafas pelan agar bisa tetap sabar menghadapi tingkah mas Hendi saat ini. "Biar Lisna bawakan mas". Tawarku saat melihat mas Hendi kepayahan untuk memegang tas kerjanya seraya ia ingin melepas dasinya. Entah apa yang terjadi dengan mas Hendi sekarang, ia tampak tak beraturan. Bukannya menjawab mas Hendi terdiam terpaku. Kini wajahnya ia perlihatkan di depan wajahku. Beberapa detik kemudian, keluar juga jawabannya yang malah mengoyak hati ini. "Tidak usah". Akhirnya tangank
Mulai dari sekarang, aku akan hitung mundur. Jika kamu tidak mau bantuanku, kamu hanya harus diam saja". Jelas Pak Bayu. "Jika saya setuju?". Tanyaku meminta penjelasan, aku takut akan salah mengartikan ucapan yang dibicarakan pak Bayu barusan. "Ya, kamu tinggal bilang "Iya". Oke, aku akan menghitung mundur, Satu... Dua....."."Tunggu sebentar pak Bayu... ". Ucapku cepat. "Ti... "."Iya". Kataku lagi dengan cepat. Pak Bayu memang tidak main-main, dia memaksaku untuk membuat keputusan tanpa berpikir terlebih dahulu. Tadi saja dia tak bergeming saat aku memohon untuk memintanya menunggu sebentar. "Iya, aku setuju. Kini aku ingin meminta bantuan yang pak Bayu tawarkan kemarin". Sambungku lagi. "Baiklah. Aku sudah menyangka kamu bukanlah orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti ini". "Dengan satu syarat". Ucapku mengajukan persyaratan dalam kesepakatan kami berdua. "Syarat, apa itu?". Tanya pak Bayu dengan dahi yang mengkerut. Mungkin dia tak akan menyangka bahw
"Kamu harus segera berani melepaskannya, Lis. Yakinkan dirimu, untuk apa mempertahankan hubungan menyakitkan seperti ini"."Apa aku harus berpisah dengan mas Hendi, itu maksudmu Win? ". Tanyaku memperjelas pernyataan Wiwin. "Iya Lisna, apalagi".Aku menghela nafas memikirkan perkataan Wiwin. "Kenapa, apa yang membuatmu tidak berani. Apakah kamu masih mencintai suamimu itu?. "Aku belum berani memutuskan, Win". Ucapku pelan. "Baiklah terserah padamu. Aku hanya tak ingin jika kamu tersakiti terus prilaku mas Hendi yang seperti ini". "Terima kasih atas saranmu. Sudahlah tidak usah kita bicarakan tentang rumah tanggaku". Kataku malas. Kalau membicarakan mengenai mas Hendi aku semakin lelah. Tak ingin saja mengulang lagi ingatanku tentang pengkhianatan lelaki yang katanya akan mencintaiku seumur hidupnya. "Baiklah, nanti kita mengobrol lagi. Aku ke ruanganku dulu ya". Ucap Wiwin mengakhiri obrolan kami pagi ini. "Iya kerjalah yang rajin. Jangan makan gaji buta saja karena bergosip".
"Kenapa ini semua terjadi kepadaku? ". Ucapku dengan putus asa. Aku berdiri di depan jendela kamarku, memandang jalan yang ada di luar rumah. Kamarku memang berada di bagian depan rumah ini. Jendela pun terletak di depan menghadap matahari terbit. Jalan hidupku sungguh berliku sekali, kebahagiaan yang pernah aku rasakan saat menikah dengan mas Hendi. Namun, kebahagiaan yang diberikan olehnya justru dicabut juga oleh mas Hendi. "Apa benar yang dikatakan oleh pak Bayu jika aku merupakan anak pak Handoko dan ibu Siska?". "Lalu untuk apa pak Bayu memberitahukan itu kepadaku?"."Terus jika aku anak mereka, apa ada yang berubah dalam hidupku?"."Kalau aku memang mempunyai orang tua, kenapa mereka membuangku dan menaruhku di sebuah panti asuhan?"."Apakah mereka tidak menginginkan aku? "."Jadi siapa aku sebenarnya? ".Bertubi-tubi pertanyaan aku layangkan untuk diriku sendiri. Entah tiba-tiba aku memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Bayu sewaktu aku berada di rumahnya. Aku menjadi sa