Share

Bab 4. Laksmi

Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang masuk mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.

Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami.

"Laksmi". Gumamku menahan emosi.

"Lisna, kenapa kau ada di sini". Ucap mas Hendi berkata pelan.

Aku yang tak menyangka akan ketemu mas Hendi apalagi bersama istri barunya itu hanya mampu terdiam kini. Pertanyaan dari mas Hendi bukan sengaja tak ku jawab namun mataku lebih memilih menjawabnya dengan air mata.

Sudah beberapa hari aku tak bertemu dengan mas Hendi, namun kali ini dia menampakkan batang hidungnya bersama madu yang tak pernah aku setujui.

"Mas Hendi". Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku.

"Nanti kita bicara lagi". Ucap mas Hendi seraya menarik kursi buat Laksmi dan sekarang baru ia mendudukkan bokongnya di kursi.

Aku melihat Laksmi bergelanyut manja dan duduk di kursi yang disiapkan mas Hendi di sebelahnya. Ada senyum manis yang dilontarkan mas Hendi ke Laksmi tanpa perduli bagaimana perasaanku saat ini.

Aku mengusap spontan air mata yang menetes dari sudut mataku ketika atasanku, pak Bayu, sosok laki-laki yang baru kuketahui namanya itu masuk ke dalam ruangan ini.

"Maaf, saya sedikit terlambat". Pak Bayu memulai meeting kali ini.

Meeting yang dilaksanakan selama tiga puluh menit itu tak bisa aku ikuti dengan fokus. Mataku hanya fokus kepada mas Hendi dan Laksmi. Entah kenapa aku bisa menjalin satu proyek dengan mereka.

Mas Hendi memang bekerja sebagai tenaga ahli di bidang pemasaran dan baru ku tahu saat ini, Laksmi ternyata merupakan anak perempuan CEO dimana mas Hendi bekerja. Pantas saja ibu mas Hendi menyetujui pernikahan mereka, Laksmi adalah anak orang kaya.

"Jadi, bagaimana saudari Lisna?". Tanya pak Bayu padaku.

"Eh, iya pak Bayu". Jawabku terbata.

Melihat sikapku yang gugup dan tak bisa menjawab, pak Bayu langsung mengambil alih meeting kali ini.

"Baiklah, proyek ini akan ditangani langsung oleh karyawan saya, Lisna. Dan saya harap kerja sama kita akan berjalan dengan baik". Ucap pak Yoga menyelamatkan nyawaku kali ini.

"Baik, terima kasih atas kepercayaannya kepada kami, pak Bayu. Perusahaan anda tidak salah untuk memilih kami untuk bekerja sama". Balas mas Hendi menyakinkan.

"Oke, kami tunggu kabar baiknya".

Kalimat terakhir dari pak Bayu mengakhiri diskusi kami hari ini. Mas Hendi dan Laksmi sudah keluar dari ruangan ini, tak terkecuali pak Bayu. Kini aku sendirian di sini, aku memilih untuk tetap berada di ruangan untuk menetralkan hatiku yang tak karuan.

"Lisna". Suara berbisik terdengar pelan di telingaku.

Aku menoleh ke arah pintu yang kini sudah tertutup pelan dan melihat sosok mas Hendi berdiri di belakang pintu.

"Mas Hendi". Kataku pelan seraya berdiri dan berjalan ke arahnya.

"Kau kenapa ada dalam proyek ini, aku tak mau Laksmi merasa tak senang hanya karena maslah sepele seperti ini". Ucap mas Hendi membuat tanganku spontan menggantung di udara.

Aku yang berencana ingin memeluknya karena rindu yang tak tertahan kini terdiam di tempatku. Mas Hendi malah sengaja menepis tanganku dan berkata lagi.

"Apa yang sedang kau rencanakan, Lis?".

"Mas, apa kau tak merindukanku, merindukan anak kita?". Tanyaku gamblang.

"Mas, kapan kau pulang mas, ini sudah lewat tujuh hari, mas?". Tanyaku lagi.

Air mata kini sudah menganak sungai di kedua pipiku namun tak jua mematahkan ego mas Hendi. Ia hanya memilih mengabaikan diriku dan mengatakan hal yang lain.

"Jangan macam-macam, Lis. Kau akan tahu akibatnya". Ucap mas Hendi lalu memegang kenop pintu untuk keluar.

"Mas Hendi...". Panggilku seraya menarik tangan kirinya berusaha untuk menghentikannya.

Mas Hendi hanya melirik tarikan tangannya tanpa melihatku, "Lepaskan, Lis, aku harus pergi".

"Mas, apa kau sungguh tak perduli lagi kepada kami, mas?". Tanyaku kembali mengiba jawaban dari seorang laki-laki pemilik hatiku.

"Sudahlah, aku tak punya waktu bicara hal yang tak penting". Kata mas Hendi hingga ia mengibaskan tanganku dan pergi.

Aku merosotkan tubuhku ke lantai saat mas Hendi pergi dari ruangan ini. Jiwaku kini benar-benar rapuh sekarang. Mas Hendi ternyata benar-benar sudah berubah, aku tak mengenal sosok mas Hendi yang sekarang.

Sementara itu, tanpa Lisna ketahui, ada sepasang mata yang mengamati interaksi yang terjadi pada mereka.

-----

"Bunda... Bunda...". Teriakan kecil dari Airin menyambutku saat sampai di rumah.

Aku menyambutnya dengan duduk berjongkok seraya membuka lebar kedua tanganku untuk memeluknya. "Airin, anak bunda".

"Iya, bunda". Kembali suaranya membahagiakan jiwaku yang rapuh.

"Bunda, Airin sudah mandi. Bunda bau, belum mandi ya?". Celotehnya membuatku tertawa geli.

"Pintar anak bunda sudah mandi. Mandi sama siapa?". Tanyaku penasaran.

Tak biasanya jam segini saat aku pulang Airin sudah mandi. Saat aku pulang dari kantor, rutinitasku selama ini adalah memandikan Airin terlebih dahulu sebelum mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah menumpuk.

"Nenek Sari yang mandikan bunda. Bunda, katanya ayah mau pulang hari ini".

Deg mendengar Airin mengucapkan kata "Ayah" aku terlonjak kaget. Dan kenapa tak biasanya ibu mas Hendi memandikan cucunya seperti ini, apa ada hal yang tak kuketahui.

Brum... Brum...

Tak lama aku mendengar suara mobil mewah berwarna hitam memasuki halaman rumah kami. Aku seperti mengenali mobil tersebut, sama seperti mobil yang dibawa mas Hendi seminggu yang lalu beserta berita pernikahannya.

"Mas Hendi". Ucapku spontan.

Kini aku berdiri dari posisi jongkokku dan mendekatkan Airin di sisi kananku. Jantungku berdetak tak karuan, apa benar mas Hendi pulang dengan membawa maduku untuk tinggal di sini.

Waktu seolah berjalan dengan lambat, suara detakan jantungku pun seolah terdengar keras. Aku melihat mas Hendi keluar duluan dan ia kini membuka pintu kursi penumpang, seorang wanita berpakaian sexy dan berdandan menor keluar.

"Kau benar-benar membawanya pulang, mas Hendi". Gumamku saat ini.

Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini saat melihat mereka berdua. Sepasang manusia yang kini berjalan ke hadapanku sedang tersenyum bahagia karena di mabuk cinta.

"Apa maksudnya ini, mas?". Aku bertanya karena sudah tak tahan lagi melihat mereka bermesraan di depanku.

Bukannya menjawab pertanyaanku, mas Hendi malah memanggil ibunya yang masih berada di dalam rumah, "Ibu, Hendi pulang".

Aku yang diacuhkan seperti patung menahan emosiku. Aku melihat ibu mertuaku itu tergopoh-gopoh keluar dari kamar menyambut anak dan menantunya.

"Eh, kamu sudah datang, Hendi. Sini Laksmi, ayo masuk. Lisna sudah menyiapkan kamar kalian". Kata ibu mas Hendi cuek tak memperdulikan perasaanku juga.

"Iya, bu". Jawab Laksmi dengan suara manja.

"Mas Hendi". Teriakku kini agak keras.

Teriakanku sukses membuat mas Hendi, Laksmi dan ibu Sari menghentikan semua langkahnya untuk masuk ke dalam rumah.

"Mas, kamu mau aku tinggal bersama dia, mas?". Tanyaku tanpa basa basi.

"Kalau kamu tidak suka, itu urusanmu". Jawab mas Hendi tanpa rasa bersalah.

"Apa, mas?". Aku berkata tak percaya saat mendengar jawaban mas Hendi.

"Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!".

"A-apa, mas?".

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status