Aku dimadu oleh suami tanpa izinku hanya karena aku tak memuaskan ibunya, mertuaku karena aku bukan keluarga kaya raya. Seseorang datang kepadaku mengabarkan bahwa aku adalah pewaris tahta kekayaan yang sudah lama hilang. Aku yang telah berpuas akan cacian dan sakit hati dari keluarga suamiku, pergi meninggalkan rumah mas Hendi. Aku ingin membuktikan pada mas Hendi serta ibu Sari, mertuaku bahwa aku adalah permata yang ia buang demi sebuah kerikil di jalanan. Aku akan membuat pelajaran kepada pelakor yang menjadi maduku itu juga, bahwa merebut kebahagiaan seorang istri adalah sebuah kesalahan besar.
View More"Aku sudah menikahi Laksmi. Kini semua terserah padamu, kau mau tetap melanjutkan pernikahan ini atau tidak!".
Bak petir di siang bolong, perkataan mas Hendi barusan menyambar-nyambar hatiku. Aku sesaat tak bisa memikirkan apa-apa, bingung, tak percaya, sedih, amarah, semua campur menjadi satu."Apa mas?". Kembali aku bertanya."Kau pikirkanlah apa yang telah kuucapkan tadi, Lis". Mas Hendi berkata penuh keegoisan.Lantas mas Hendi pergi begitu saja meninggalkan aku dan anak semata wayang kami di rumah ini. Aku beranjak dan melangkahkan kaki untuk mengejar mas Hendi yang sudah berada di teras rumah kami."Mas...". Aku sedikit berteriak memanggil suamiku.Mas Hendi berbalik dan menghentikan langkahnya kemudian berkata tegas padaku, "Aku akan pergi, satu minggu lagi baru pulang".Aku yang mendengar ucapan mas Hendi langsung menyadari apa maksudnya, terlebih aku melihat ada seorang perempuan yang berdandan menor di kursi depan mobilnya. "Apakah itu Laksmi mas? Apakah dia maduku?". Aku bertanya dengan berapi-api."Iya". Kata mas Hendi singkat, lalu pergi melangkahkan kakinya kembali."Jangan menghubungiku, Lisna. Aku tak mau kau ganggu". Mas Hendi kembali mematahkan hatiku."Mas, mas Hendi. Begitu tega kamu, mas. Mas.. mas.. ". Aku berteriak seperti orang gila memanggil mas Hendi yang tak lagi memperdulikanku."Tega sekali kau, Mas. Kini apakah kau akan berbulan madu dengan pelakor itu". Gumamku pelan, merasakan sakit saat membayangkan suamiku memadu kasih dengan wanita lain.Kini mas Hendi benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku masih terpaku memandangi mobil hitam yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mataku.Jangan ditanya bagaimana perasaanku, kini air mataku sudah menganak sungai. Tumpah seperti air mengalir."Bunda... Bunda....".Kicauan Airin, anak tunggalku yang masih berusia tiga tahun ini membuatku mengalihkan pandanganku dari ujung jalan ke arah bawah. Melihat Airin yang sedang menarik-narik dasterku yang sedikit usang dan ada robek sedikit di ujungnya."Ayah kemana, bunda?". Celotehnya.Pertanyaan dari Airin malah membuat air mataku jatuh lebih banyak lagi. Bagaimana aku menjelaskan kepada anak ini bahwa ayahnya menikah lagi dan dia mempunyai dua ibu sekarang."Airin...". Aku langsung memeluk anak gadisku itu.Aku tumpahkan air mataku kembali dalam pelukan anakku ini. Mungkin ia tak akan mengerti bahwa bundanya sedang merasakan sebuah pengkhianatan dari ayah kandungnya."Ayo, kita masuk, nak". Ucapku seraya mengelap sudut mata dan kedua pipiku.Aku mengendong Airin agar segera masuk ke dalam rumah. Aku tak tahu kalau ia terbangun, mungkin mendengar keributan antara Ayah dan bundanya."Kenapa bunda menangis?". Airin bertanya padaku karena melihat air mataku yang kini menetes kembali di pipiku.Ah, iya aku lupa. Airin sudah cukup besar untuk mengetahui keadaan di sekelilingnya. Sekarang Airin dalam gendonganku, dia pasti melihat lebih jelas mata yang mulai sembab ini."Tidak apa-apa, Airin. Kamu sudah bangun? Gak mau tidur lagi?". Tanyaku menawarkan kepada Airin."Iya, bunda. Airin mau tidur sama bunda". Ucap Airin membuat aku gemas.Melihat wajah Airin membuat aku menemukan kekuatanku kembali. Demi anak ini, aku harus kuat menghadapi pengkhianatan mas Hendi dan pelakor itu. Kuciumi wajah Airin, tanda cinta antara aku dan mas Hendi.Tok.... Tok...Aku menajamkan telingaku, suara ketokan pintu terdengar. Ah, apa ibu mertuaku sudah pulang ya dari kampung sebelah? Gumamku pelan.Aku melihat Airin sudah kembali tidur, aku berangkat dari kasur dengan pelan-pelan agar Airin tidak terbangun. Aku keluar kamar dan membukakan pintu untuk ibu mas Hendi."Kamu lama amat sih bukain pintunya?". Sapaanku kasar dari ibu mertuaku, ibu Sari, sudah kebal di telingaku.Namun, entah kenapa kali ini, hatiku seperti tertusuk belati tajam. Sakit, sungguh sakit. Mendapati kenyataan pernikahan kedua mas Hendi tanpa persetujuanku dan kini sikap mertuaku yang tak pernah ramah padaku."Maaf bu, tadi Lisna lagi ngeloni Airin supaya tidur kembali". Kataku dengan intonasi pelan bak menantu yang patuh.Aku selalu tak pernah melawan ibu mertuaku ini walau sekalipun. Aku menghormatinya dan menganggap ibu Sari sebagai ibu kandungku sendiri.Aku memperlakukannya seperti itu karena dari kecil aku tak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu. Aku hidup sebatang kara di sebuah panti asuhan."Alah, gak usah banyak alasan kamu. Ini kamu taruh di kamar ibu". Titah ibu Sari seraya menyerahkan padaku sebuah tas besar."Iya, ibu". Kataku singkat.Aku meletakkan sebuah tas besar berwarna merah itu di sudut kamar Ibu. Beberapa hari yang lalu ibu Sari pamit ingin mudik ke kampung sebelah katanya. Berpapasan juga dengan Mas Hendi yang meminta izin mau dinas luar, tinggallah aku sendiri bersama Airin di rumah ini.Mataku tidak sengaja melihat sebuah soevenir yang tergantung di tas ibu mertuaku. Entah kenapa, tangan ini meraih gantungan kunci itu. Otakku menyuruhku untuk menyentuhnya."The Wedding, Hendi dan Maya, 01 September 2023".Mulutku membaca apa yang terukir pada gantungan kunci berbentuk hati yang berwarna merah muda itu. Mataku membulat sempurna karena seketika aku menyadari bahwa ini adalah soevenir pernikahan suamiku dan maduku itu."Apakah kepergian ibu kemarin adalah untuk menghadiri pernikahan mas Hendi dan bukan menjenguk keluarganya?"."Lantas, apakah mas Hendi menikah di hari itu, dan tidak dinas luar seperti yang ia katakan padaku kemarin?"."Apakah semua orang menyetujuinya dan menutupi semua ini dariku?".Pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalaku saat ini. Aku terduduk lemas di sudut kamar ibu di depan tas merahnya.Jika aku tak melihat gantungan ini, apakah selamanya ibu Sari akan menutupi ketahuannya akan pernikahan kedua anaknya, suamiku itu."Sari...". Suara teriakan ibu terdengar.Aku spontan terbangun dan menegakkan tubuhku. Panggilan ibu Sari sama halnya bagai perintah tak tertulis di rumah ini. Aku segera melangkahkan kaki ke luar kamar."Iya, bu". Ucapku saat berada di hadapannya."Mana air dinginnya, ibu haus. Kamu ngapain lagi, lama sekali di kamar ibu". Ibu berkata seraya mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas yang terbuat dari kayu tersebut."Hidupkan dulu kipas anginnya sebelum ke dapur ya!". Teriak ibu tanpa melihat diriku.Aku menghembuskan nafas pelan, dan mengontrol emosiku. Aku harus tetap tenang saat ini, ada Airin buah hatiku yang masih harus aku jaga dan lindungi.Kini, aku mencoba tak perduli lagi dengan mas Hendi dan keluarganya. Ternyata hanya aku yang menganggap mereka sebagai keluargaku namun mereka hanya menganggap aku sebagai penumpang di rumah ini."Cepat, Lisna". Teriak ibu tak sabar."Sebentar bu, Lisna pecahin dulu batu esnya". Aku pun sedikit berteriak agar ibu mendengar ucapanku."Jangan banyak-banyak esnya, Lis. Kamu ingin mertuamu ini batuk". Ucapnya sedikit pelan namun masih terdengar di gendang telingaku.Entah kenapa, ibu Sari tidak menerimaku dengan ramah sejak aku menjadi istri mas Hendi. Katanya aku bukan dari keluarga berada, hanya menang paras saja sehingga mas Hendi meminangku.Untung saja aku masih bekerja saat ini sehingga tidak mengandalkan gaji mas Hendi untuk keperluanku sehari-hari dan Airin. Mas Hendi juga begitu perhitungan dengan aku dan anaknya, mungkin otaknya sudah dicuci dengan ibu mertuaku."Ini, bu. Es Jeruknya seperti biasanya, rasa kesukaan ibu yang tidak terlalu manis". Pelan aku berkata karena melihat ibu yang sedang memejamkan mata.Aku tak mau kejadian dulu terulang lagi, hanya karena aku memberitahunya makanan sudah siap dan mengajaknya untuk makan. Saat itu ibu Sari sedang merebahkan tubuhnya di kursi tamu.Bukannya ucapan terima kasih karena telah menyiapkan santapan makan siang malah caci maki yang kudengar. Katanya suara berisikku mengganggu tidur indahnya."Hmm.. Iya". Balas ibu Sari tanpa membuka matanya."Saya ke kamar dulu ya, bu". Suaraku pelan kuucapkan lagi, sungguh takut ia terganggu."Tunggu..". Tiba-tiba ibu Sari membuka matanya.Aku yang hendak membalikkan badan, urung kulakukan, "Iya, bu". Ucapku lagi."Seminggu lagi akan datang tamu ibu dan mas Hendi, kamu siapkan kamar tamu ya". Kini ibu bangun mengangkat tubuhnyadan duduk di kursi."Tamu?". Aku sedikit ambigu dengan kata "tamu" yang diucapkan ibu.Apalagi tamu yang dimaksud ibu adalah tamu ibu dan mas Hendi, apakah maduku itu akan juga tinggal di sini. Apakah mereka akan kembali menyiksaku dengan hal ini juga?."Iya, kau siapkan saja. Jangan banyak tanya!"Aku lantas memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu mertuaku, "Apakah tamu itu adalah Laksmi, bu?".Seolah tak menyangka akan ketahuanku mengenai menantu keduanya itu, ibu Sari menjadi salah tingkah dengan pertanyaanku barusan."Kalau kau sudah tahu, kenapa harus bertanya lagi?". Balas ibu sengit kepadaku.Aku memejamkan mata saat mendengar kejujuran dari ibu Sari. Ujian apalagi ini yang harus aku hadapi kali ini."Mas Hendi apakah belum puas kau menyakitiku, apakah benar aku harus mempertahankan pernikahan ini, mas?". Ucapku dalam hati."Stop, pak Bayu". Sampai dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh pak Bayu, membuat Lisna tidak kuat lagi untuk mendengar kalimat berikutnya. "Baiklah, jika kamu sudah siap, aku akan kembali melanjutkan. Itu teserah kamu, aku sebelumnya sudah mengingatkan". Ucap pak Bayu tanpa rasa bersalah. Hanya hening yang terasa di ruangan besar bercat putih bernuansa gaya klasik tersebut. Lisna masih mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Satu pertanyaan didalam pikirannya, apakah ayah dan ibunya begitu menderita saat kehilangan aku, anaknya yang nyatanya masih hidup hingga detik ini. Selang beberapa menit kemudian, Lisna malah mengajukan pertanyaan kepada pak Bayu. Ia malah memilih untuk bertanya daripada meminta kembali jalan cerita tersebut untuk dilanjutkan. "Apakah kedua orang tuaku masih hidup? ".Pak Bayu menghela nafas saat mendengar pertanyaan dari Lisna. Sedangkan, di pihak Lisna ia mengerutkan dahinya, apakah maksud dari helaan nafas pak bayu? Apakah sekarang kedua orang
"Kamu awasi terus, laporkan padaku jika ada sesuatu yang mencurigakan, apapun itu". Sebuah perintah baru saja ia keluarkan untuk Hendi, laki-laki yang secara hukum dan agama masih sah menjadi suami seorang wanita yang bernama Lisna. Ia sengaja melakukan hal tersebut karena mengetahui bahwa Lisna sudah keluar angkat kaki dari rumah suaminya itu. Dan itu artinya kesepakatan ia dan Lisna sudah mulai berjalan mulai sekarang. Aksi pun harus segera ia laksanakan sesuai keinginannya."Baik, Tuan". Setelah mengatakan kesanggupannya untuk mematuhi titah atasannya, salah satu bawahan Bayu segera meninggalkan dirinya. Bawahan tersebut merupakan salah satu andalan Bayu dan dengan sigap melakukan pekerjaan yang sudah ia kuasai selama ini. Tak akan ada kecacatan, begitulah hal yang harus terjadi.Tok... Tok.... Selang beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar di ruang kerja Bayu. Bayu menerka siapa yang datang kepadanya di waktu seperti ini, apakah Lisna? Ternyata ia sudah tak sabar ingi
""Mas kita perlu bicara? ". Ucapku saat tahu mas Hendi tiba dirumah. Aku memang sudah menunggunya sedari tadi. Aku beruntung, mas Hendi pulang tidak terlalu malam hari ini sehingga aku tak perlu terlalu lama untuk menunggu mas Hendi dengan bosan disini. Satu lagi keberuntungan padaku, saat ini Laksmi sedang berada di kamarnya, sehingga aku tak perlu berdebat jika saja dia merasa aku akan merebut mas Hendi. "Mau bicara apa? Besok saja, mas capek". Ungkap mas Hendi tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Aku menghela nafas pelan agar bisa tetap sabar menghadapi tingkah mas Hendi saat ini. "Biar Lisna bawakan mas". Tawarku saat melihat mas Hendi kepayahan untuk memegang tas kerjanya seraya ia ingin melepas dasinya. Entah apa yang terjadi dengan mas Hendi sekarang, ia tampak tak beraturan. Bukannya menjawab mas Hendi terdiam terpaku. Kini wajahnya ia perlihatkan di depan wajahku. Beberapa detik kemudian, keluar juga jawabannya yang malah mengoyak hati ini. "Tidak usah". Akhirnya tangank
Mulai dari sekarang, aku akan hitung mundur. Jika kamu tidak mau bantuanku, kamu hanya harus diam saja". Jelas Pak Bayu. "Jika saya setuju?". Tanyaku meminta penjelasan, aku takut akan salah mengartikan ucapan yang dibicarakan pak Bayu barusan. "Ya, kamu tinggal bilang "Iya". Oke, aku akan menghitung mundur, Satu... Dua....."."Tunggu sebentar pak Bayu... ". Ucapku cepat. "Ti... "."Iya". Kataku lagi dengan cepat. Pak Bayu memang tidak main-main, dia memaksaku untuk membuat keputusan tanpa berpikir terlebih dahulu. Tadi saja dia tak bergeming saat aku memohon untuk memintanya menunggu sebentar. "Iya, aku setuju. Kini aku ingin meminta bantuan yang pak Bayu tawarkan kemarin". Sambungku lagi. "Baiklah. Aku sudah menyangka kamu bukanlah orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti ini". "Dengan satu syarat". Ucapku mengajukan persyaratan dalam kesepakatan kami berdua. "Syarat, apa itu?". Tanya pak Bayu dengan dahi yang mengkerut. Mungkin dia tak akan menyangka bahw
"Kamu harus segera berani melepaskannya, Lis. Yakinkan dirimu, untuk apa mempertahankan hubungan menyakitkan seperti ini"."Apa aku harus berpisah dengan mas Hendi, itu maksudmu Win? ". Tanyaku memperjelas pernyataan Wiwin. "Iya Lisna, apalagi".Aku menghela nafas memikirkan perkataan Wiwin. "Kenapa, apa yang membuatmu tidak berani. Apakah kamu masih mencintai suamimu itu?. "Aku belum berani memutuskan, Win". Ucapku pelan. "Baiklah terserah padamu. Aku hanya tak ingin jika kamu tersakiti terus prilaku mas Hendi yang seperti ini". "Terima kasih atas saranmu. Sudahlah tidak usah kita bicarakan tentang rumah tanggaku". Kataku malas. Kalau membicarakan mengenai mas Hendi aku semakin lelah. Tak ingin saja mengulang lagi ingatanku tentang pengkhianatan lelaki yang katanya akan mencintaiku seumur hidupnya. "Baiklah, nanti kita mengobrol lagi. Aku ke ruanganku dulu ya". Ucap Wiwin mengakhiri obrolan kami pagi ini. "Iya kerjalah yang rajin. Jangan makan gaji buta saja karena bergosip".
"Kenapa ini semua terjadi kepadaku? ". Ucapku dengan putus asa. Aku berdiri di depan jendela kamarku, memandang jalan yang ada di luar rumah. Kamarku memang berada di bagian depan rumah ini. Jendela pun terletak di depan menghadap matahari terbit. Jalan hidupku sungguh berliku sekali, kebahagiaan yang pernah aku rasakan saat menikah dengan mas Hendi. Namun, kebahagiaan yang diberikan olehnya justru dicabut juga oleh mas Hendi. "Apa benar yang dikatakan oleh pak Bayu jika aku merupakan anak pak Handoko dan ibu Siska?". "Lalu untuk apa pak Bayu memberitahukan itu kepadaku?"."Terus jika aku anak mereka, apa ada yang berubah dalam hidupku?"."Kalau aku memang mempunyai orang tua, kenapa mereka membuangku dan menaruhku di sebuah panti asuhan?"."Apakah mereka tidak menginginkan aku? "."Jadi siapa aku sebenarnya? ".Bertubi-tubi pertanyaan aku layangkan untuk diriku sendiri. Entah tiba-tiba aku memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Bayu sewaktu aku berada di rumahnya. Aku menjadi sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments