"Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi.
"Terserah kamu saja". Ujar ibu sambil berlalu dari meja makan.Aku memejamkan mata dan mencoba menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku berusaha untuk mengontrol emosiku sekarang."Ya Allah, pagi-pagi ibu mas Hendi sudah membuat hatiku kembali tersayat. Akankah aku bisa bertahan menghadapi semua ini?". Aku kini mencoba mengadu kepada sang pencipta manusia.Semoga Engkau bisa mengubah hati ibu Sari dan mas Hendi, ya Allah. Bukankah Engkau sang pembolak balik hati manusia dan hanya Engkaulah yang tahu mana yang terbaik untuk umatmu."Bunda... Bunda....".Suara kecil Airin terdengar sayup-sayup. Aku segera bergegas menuju ke kamar tidurku, anak gadisku mungkin saja sudah bangun."Eh, anak bunda sudah bangun, ya?". Ucapku pelan sambil mengecup pipi gembulnya.Airin menggeliat pelan sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, "Bunda". Panggilnya lagi."Iya, apa sayang?". Kataku penuh dengan kelembutan.Aku menatap wajah Airin, anak satu-satunya aku dan mas Hendi. Begitu tega kau mas, menyakiti hatiku dan anak kita. Akankah kasih sayangmu kepada Airin juga akan berkurang dengan kehadiran wanita lain di rumah ini nanti.Aku langsung memeluk Airin erat, kulepaskan sakit yang mendera di dada dengan pelukan hangat pada Airin. Hanya Airin sebagai pelipur lara dalam hidupku sekarang, jika tidak ada Airin aku tidak tahu arah dan tujuanku saat ini."Bunda kerja dulu ya, Airin tinggal sama nenek". Ujarku sambil mengurai pelukan eratku.Airin hanya mengangguk dan tersenyum padaku dengan bibir mungilnya. Membuat aku kembali memeluknya karena gemas."Bunda mandiin dulu Airin ya, baru bunda bersiap berangkat kerja"."Iya, bunda".Lantas aku pun memandikan Airin agar ketika aku berangkat kerja anakku itu sudah bersih. Aku berusaha tidak pernah untuk merepotkan ibu mas Hendi walaupun sekarang ibu mas Hendilah yang menjaga Airin.Sudah cukup buatku merepotkan ibu mas Hendi dalam mengasuh Airin, aku tidak enak jika harus merepotkan mengenai urusan yang lain.-----"Hei.. Lagi ngapain sih melamun terus?". Suara cempreng Wiwin mengejutkan aku."Kamu kenapa sih Win mengagetkan aku gini, sih?". Kataku dengan kesal."Abis, kamu itu ya aku liatin dari tadi melamun saja, ngapain coba kamu melototi layar komputer kamu sampai tak berkedip". Wiwin berceloteh ria. "Eh, apa iya?". Jawabku kikuk."Kamu ada masalah apa, Lis?". Wiwin kini duduk di sampingku ingin berbicara serius."Tidak ada apa-apa, win". Kataku mencoba berbohong.Aku tidak bisa menceritakan masalah rumah tanggaku kepada Wiwin. Mungkin juga belum saatnya, semua orang tahu perbuatan mas Hendi kepadaku."Kau jangan berbohong, Lisna". Ujar Wiwin menginterogasiku."Ih, apaan sih win. Kamu kenapa lagi kepo gini". Aku mencoba berusaha cuek."Ya kalau tidak ada apa-apa, aku merasa senang, Lis. Bukan apa-apa, aku ini sahabatmu, aku tak ingin kau merasa tak ad tempat untuk bercerita". Ucap wiwin pelan."Iya, Win". Aku langsung memeluk sahabatku yang masih single ini.Kini ia juga memelukku erat, kami memang sudah saling menjalin persahabatan saat masih tinggal satu atap di panti asuhan. Takdir yang masih menjalin kami sampai bisa berdekatan hingga saat ini.Bedanya Wiwin masih memilih untuk sendiri dalam menjalani kehidupannya. Ia takut jika dia menikah, anaknya akan mengalami nasib yang sama seperti dia yang terbuang di panti asuhan. Ketakutan inilah yang menjadi alasan wiwin menjaga jarak dengan para pria di sekelilingnya."Ya sudah kamu sekarang ngapain sih ke ruangan kerja aku, emang kamu lagi luang?". Kataku seraya mengurai pelukan kami."Ada bos baru, Lis". Kata wiwin sambil menaik-naikkan alisnya."Bos baru, siapa? Apa dia yang menggantikan pak Surya?". Balasku balik kepo."Iya, dan kamu tahu tidak Lis, bos baru kita itu masih muda, single dan ganteng". Wiwin seolah sedang mempromosikan produk."Kamu sok tahu, win." Kataku cuek."Ah kamu, Lis. Sudah ah, aku balik lagi ya ke ruanganku". Wiwin malah menjadi kesal."Sana, gih. Jangan makan gaji buta". Kataku dengan terkikik pelan.Wiwin membalikkan badannya dan hanya melotot padaku. Aku tertawa kencang sekarang melihat reaksi Wiwin, senang rasanya mengerjainya hari ini."Ada apa ini?". Suara bass menghentikan tawaku dan spontan mulutku terkunci.Aku membelalakkan mataku saat tubuh Wiwin bergeser ke samping dan memperlihatkan sosok pria asing di depan pintu ruanganku. Wiwin tegak berdiri dengan wajah yang tertunduk, aku lantas menegakkan tubuhku berdiri dengan gugup.Apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa laki-laki ini, apakah dia bos baru yang dibicarakan oleh wiwin barusan? Ucapku dalam hati."Saya tanya sedang apa kalian di sini dan siapa yang tertawa keras di kantor ini?". Tanyanya kembali."Eh, anu pak". Wiwin berkata dengan terbata-bata takut akan kegarangan bos baru itu.Mendengar kalimat yang diucapkan Wiwin, aku menyadari bahwa benar laki-laki ini adalah bos baru kami."Maaf pak, kami hanya sedang mengupgrade semangat kami untuk bekerja kembali". Jawabku mencoba mencari aman."Kau, sekarang ke ruanganku". Tunjukknya mengarah ke wajahku."Eh, saya pak?". Aku malah mengarahkan telunjukku ke wajahku lagi.Bukannya mendapatkan jawaban, laki-laki yang kuyakini sebagai bos baru kami itu membalikkan badannya menjauhi ruanganku.Wiwin menatap bingung kepadaku, "Bagaimana ini?". Tanyanya."Aku tak tahu, aku temui dia dulu". Jawabku seadanya."Dia bos baru yang aku ceritakan tadi, hati-hati kata orang-orang kantor dia super galak". Wiwin memberi arahan kepadaku."Kau tenang saja". Kataku mencoba menenangkannya.Padahal dalam diriku, jantungku sedang berpacu cepat sekarang. Aku bahkan tak tahu apa yang akan aku terima dari sikapku tadi. Panggilannya tadi kepadaku membuatku bingung, atas dasar apa ia akan memarahiku."Ah, aku minta maaf saja nanti". Gumamku pelan.Kini aku berjalan tergesa menuju ruangan bos baru yang aku saja tidak tahu namanya. Hatiku dag dig dug tak karuan.Tok... Tok.. Tok..."Permisi, pak". Sapaku mencoba bicara sopan."Kau, masuk kemari, duduk di sini!". Perintahnya padaku tanpa melihat wajahku.Aku berjalan pelan sambil melirik dengan ekor mataku sosok laki-laki yang kini menghadap dinding kaca ruangan kerjanya. Tatapannya begitu jauh memandangi gedung-gedung tinggi di luar sana.Krek..Aku memutar kursi agar bisa aku duduki. Kini aku hanya bisa meremas kedua tangan menunggu kalimat yang akan keluar lagi dari mulut laki-laki yang masih membelakangiku ini."Siapa namamu?". Tanya dengan suara yang mengagetkanku."Nama saya Lisna, pak". Jawabku singkat."Kenapa suara tertawamu terdengar keras di kantor ini?" Kini ia bertanya sambil berjalan menuju kursi kebesarannya."Aku hanya tertawa pak, apa tidak boleh?". Kataku sekarang mencoba membentengi diri."Kau cukup berani bersuara seperti itu kepadaku". Jawabnya acuh."Apa anda tak pernah tertawa jika melihat sesuatu yang lucu, pak?". Kini aku malah balik bertanya."Kenapa sekarang kau yang bertanya padaku?". Ucapnya arogan."Sudah pak, jadi alasan apa yang membuat anda memanggil saya ke sini?". Balasku tanpa basa basi."Kerjakan proyek ini. Jika kau bisa menyelesaikan ini, kesalahan hari ini bisa aku lupakan". Katanya seraya menyodorkan sebuah berkas yang penuh dengan tumpukan kertas."Apa ini, pak?".Aku lantas mengambil tumpukan dokumen yang berisi hal-hal yang tidak aku mengerti itu. Data-data yang tertera di sana bukanlah hal yang menjadi bidang pekerjaanku sekarang."Ini bukan bagian pekerjaan saya di kantor ini, pak?". Tolakku dengan alasan jelas."Akan aku buatkan tim proyek tapi tetap kau yang bertanggung jawab atas proyek ini"."Apa, pak?". Aku berkata dengan bingung."Nanti siang kita mulai meeting, kau harus hadir".Kalimat terakhir bosku itu merupakan sebuah perintah yang tak bisa aku langgar sekarang. Aku keluar gontai dari ruangannya dan bersender di dinding.Meeting siang sebentar lagi akan dimulai, aku sudah duduk manis di ruangan rapat. Entah kemana semua orang, kini aku hanya seorang diri berada di ruangan ini."Selamat siang". Suara yang tak asing terdengar di gendang telingaku.Aku mendongakkan wajahku, kini netra mataku bertatapan dengan netra mata mas Hendi. Aku terkejut seketika, kenapa ada mas Hendi. Dari reaksi mas Hendi aku juga tahu bahwa dia juga terkejut saat melihatku.Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami."Laksmi". Gumamku menahan emosi.Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang masuk mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami."Laksmi". Gumamku menahan emosi. "Lisna, kenapa kau ada di sini". Ucap mas Hendi berkata pelan.Aku yang tak menyangka akan ketemu mas Hendi apalagi bersama istri barunya itu hanya mampu terdiam kini. Pertanyaan dari mas Hendi bukan sengaja tak ku jawab namun mataku lebih memilih menjawabnya dengan air mata.Sudah beberapa hari aku tak bertemu dengan mas Hendi, namun kali ini dia menampakkan batang hidungnya bersama madu yang tak pernah aku setujui. "Mas Hendi". Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku."Nanti kita bicara lagi". Ucap mas Hendi seraya menarik kursi buat Laksmi dan sekarang baru ia mendudukkan bokongnya di kur
"Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!".Deg.Ucapan yang keluar dari mulut mas Hendi sungguh melukai perasaanku yang masih sah sebagai istrinya. Setelah seminggu tak pulang ke rumah, malah menyuruh aku pergi dari rumah ini."Mas...". Gumamku pelan.Mas Hendi malah mengacuhkan panggilanku dan malah sibuk membawa barang-barang Laksmi. Kini mereka bertiga, mas Hendi, Laksmi dan ibu masuk ke dalam rumah meninggalkan aku dan Airin di luar rumah."Laksmi, ini kamarmu". Tunjuk ibu mas Hendi pada ruangan yang kemarin baru saja selesai aku bersihkan."Makasih ya bu". Ucap Laksmi dengan suaranya yang lembut."Ayo, Laksmi". Ajak mas Hendi menggamit lengan istri barunya itu.Aku yang seperti obat nyamuk di sini hanya diam melihat adegan demi adegan yang mereka lakukan. Mereka sudah tak menganggap keberadaan aku di sini."Apa benar mas, kau menginginkan aku pergi dari sini setelah kau menemukan wanita yang lebih muda dan kaya dariku?". Kataku pelan."Bunda, bunda, tante itu siapa?". Airi
"Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara.Aku menundukkan sedikit wajahku ke arah bawah sebagai refleks untuk menerima tamparan tangan mas Hendi. Namun, tangan kekar mas Hendi tak kunjung menyentuh pipi ini. Aku dongakkan wajahku untuk melihat apa yang terjadi."Sudahlah sayang, masa di hari pertama aku masuk ke rumah ini sudah ada kejadian mengenaskan dengan kakak maduku". Suara manja dari Laksmi pun terdengar di telingaku. Ternyata, Laksmi yang berusaha untuk mencegah mas Hendi melayangkan tangannya."Kau dengar itu Lisna? Istriku ini masih saja membelamu yang sudah tega menyakitinya". Ucap mas Hendi masih terbawa emosi."Istri kamu mas, terus aku siapa mas, apa aku juga bukan istrimu?". Tanyaku dengan nyalang.Jangan harap karena Laksmi mencoba mencegah tamparan mas Hendi untukku, aku akan berusaha berbaik hati padanya. Aku yakin ini hanya sebagai tipu muslihat dia untuk memikat hati ibu mertuaku.Lihat saja, baru satu perlakuan tersebut, mas Hendi malah langsung memban
"Kamu Lisna, dasar menantu tidak tahu diri". Suara ibu sungguh sakit terdengar di telingaku dan menyayat-yayat hatiku saat ini. Namun, aku sudah tak perduli lagi. Apa artinya baktiku selama ini jika balasannya adalah sebuah madu dari suamiku.Dipandang sebelah mata oleh mertuaku sendiri dan dibandingkan dengan wanita lain hanya karena aku tidak mempunyai uang. Jangan lupakan asal usulku yang tidak jelas, entah dilahirkan dari keluarga yang seperti apa."Ada apa ini bu, kok teriak-teriak?". Mas Hendi akhirnya keluar dari kamar dan menuju ke dapur.Aku yang melihat mas Hendi buru-buru keluar kamar hanya meliriknya dengan ekor mataku. Kemudian dengan melenggang kangkung, aku pun pergi meninggalkan mereka. "Istri kamu itu sudah tidak mau memasak dan menyiapkan makanan untuk makan malam kita". Ucap ibu kepada anaknya itu."Apa?". Balas mas Hendi seraya tangannya membuka tudung saji yang berada di atas meja.Mata mas Hendi membulat sempurna karena melihat tidak ada apapun di dalam tudung
Mulai hari ini, semuanya akan berubah. Aku tak mau lagi jika kalian memanfaatkan aku demi kepentingan kalian sendiri. Aku akan berjuang mas untuk mendapatkan tempatku kembali. Aku ingin kalian menyesali keputusan kalian telah membawakan madu itu di rumah kita."Lisna....". Kini, aku mendengar suara mas Hendi yang meneriakkan namaku."Bunda, ayah memanggil". Kini, Airin ikut bersuara karena ayahnya yang memanggil. Ia seolah ingin menghentikan bundanya untuk kembali berjalan mundur pulang ke rumah."Tidak, Airin. Kita akan terlambat jika kembali pulang". Kataku mencoba membujuk Airin."Bukankah hari ini Airin akan mulai bersekolah?". Lanjutku berbicara karena melihat Airin yang cemberut memajukan sedikit bibirnya ke depan."Iya bunda". Kata putri kecilku sepertinya ia menurut kali ini."Oke, mari kita berangkat ke sekolah". Ucapku riang sambil mengayunkan ringan tangan kanan Airin.Suara panggilan dari mas Hendi tak aku perdulikan. Seiring langkah kami yang menjauh begitu pula suara m
"Airin, bunda bekerja dulu ya, kamu tinggal bersama ibu guru Soraya. Nanti bunda jemput lagi setelah kamu pulang sekolah". Ucapku lembut memberikan pemahaman kepada Airin."Iya, bunda". Akhirnya aku bisa bernafas lega, ternyata airin mengerti dengan apa yang aku inginkan. Aku bisa meninggalkannya dengan tanpa rasa khawatir."Memang suamimu tak bisa menjemputnya, Lisna?"."Tidak, Soraya. Nanti aku ceritakan tentang pernikahanku". Ucapku berjanji agar tidak lagi mengulur waktu. Aku sungguh sudah sangat terlambat untuk ke kantor."Baiklah, hati-hati di jalan, Lisna. Tetap semangat!". Ucapan dari Soraya kujawab dengan isyarat anggukan dari kepalaku. Mungkin Soraya tahu apa sebenarnya maksud dari ucapanku barusan. Aku yakin dia pasti mengerti bahwa keadaan rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja.Aku tahu dari ekspresi wajahnya yang awalnya kaget namun mencoba menormalkan kembali mimik wajahnya. Mungkin dengan alasan untuk menyemangati aku bahwa semua tak usah dipikirkan sampai lelah
Malam ini mas Hendi tak lagi menyentuh lantai kamar ini. Entah masih dianggapnya aku ini istrinya atau tidak, aku tidak perduli. Aku juga sudah muak melihat dia bermesraan dengan laksmi. Aku tak sengaja keluar kamar dan bertemu mereka di ruang tengah lagi asyik bercumbu mesra. "Kalau tidak ditonton televisinya, dimatiin saja. Boros listrik". Ucapku kesal saat melihat mereka berdua. Aku pun dengan melenggang kangkung ke dapur untuk mengambil air minum. Airin suka haus di tengah malam saat tidurnya. Aku lupa menyiapkannya sebelum pergi tidur barusan. Dan kini aku harus mengambilnya sebelum tengah malam nanti Airin memintanya. Aku juga memang sengaja tidak keluar kamar setelah mandi dan memandikan Airin setelah pulang bekerja. Untung saja sebelum pulang, aku dan Airin makan diluar. Alasannya karena ingin membiarkan saja si Laksmi itu memasak untuk mertuanya tersayang, ibu dari mas Hendi suami yang telah ia rebut dariku. "Kalau mau bermesraan sana di kamar jangan disini". Aku menegu
"Apa yang terjadi? ". Aku membuka mataku dan melihat sekelilingku. "Aww... ". Teriakku refleks seraya memegang kepalaku yang tiba-tiba berdenyut, ada sedikit rasa sakit yang kurasakan saat ini. Setelah rasa sakit yang kurasa sedikit mereda, kualihkan pandanganku di ruangan ini. Kini aku berada di sebuah kamar mewah dan indah. Lalu, aku sadar sekarang aku sedang berada di sebuah ranjang berukuran king size yang empuk. Kilasan ingatan berputar di memoriku mengenai kejadian tadi malam. Aku mengingat bahwa ada tiga pemuda yang sedang menggodaku dan ingin berprilaku tidak baik padaku. "Kamu tidak akan bisa lari lagi dari kami, sayang"."Ayo, bawa wanita ini! " "Aku duluan, nanti kalian setelahku".Aku mendengar suara-suara nakal mereka saat ini. Aku tak mampu lagi membuka mataku karena jelas tubuhku tak kuat melawan obat tidur yang sudah aku telan tanpa sadar. Namun, sebelum kesadaranku benar-benar hilang, aku merasakan tubuhku ditarik paksa seseorang. Detik kemudian aku mendengarkan