Share

Bab 3. Mencoba Menjalani

"Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi.

"Terserah kamu saja". Ujar ibu sambil berlalu dari meja makan.

Aku memejamkan mata dan mencoba menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku berusaha untuk mengontrol emosiku sekarang.

"Ya Allah, pagi-pagi ibu mas Hendi sudah membuat hatiku kembali tersayat. Akankah aku bisa bertahan menghadapi semua ini?". Aku kini mencoba mengadu kepada sang pencipta manusia.

Semoga Engkau bisa mengubah hati ibu Sari dan mas Hendi, ya Allah. Bukankah Engkau sang pembolak balik hati manusia dan hanya Engkaulah yang tahu mana yang terbaik untuk umatmu.

"Bunda... Bunda....".

Suara kecil Airin terdengar sayup-sayup. Aku segera bergegas menuju ke kamar tidurku, anak gadisku mungkin saja sudah bangun.

"Eh, anak bunda sudah bangun, ya?". Ucapku pelan sambil mengecup pipi gembulnya.

Airin menggeliat pelan sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, "Bunda". Panggilnya lagi.

"Iya, apa sayang?". Kataku penuh dengan kelembutan.

Aku menatap wajah Airin, anak satu-satunya aku dan mas Hendi. Begitu tega kau mas, menyakiti hatiku dan anak kita. Akankah kasih sayangmu kepada Airin juga akan berkurang dengan kehadiran wanita lain di rumah ini nanti.

Aku langsung memeluk Airin erat, kulepaskan sakit yang mendera di dada dengan pelukan hangat pada Airin. Hanya Airin sebagai pelipur lara dalam hidupku sekarang, jika tidak ada Airin aku tidak tahu arah dan tujuanku saat ini.

"Bunda kerja dulu ya, Airin tinggal sama nenek". Ujarku sambil mengurai pelukan eratku.

Airin hanya mengangguk dan tersenyum padaku dengan bibir mungilnya. Membuat aku kembali memeluknya karena gemas.

"Bunda mandiin dulu Airin ya, baru bunda bersiap berangkat kerja".

"Iya, bunda".

Lantas aku pun memandikan Airin agar ketika aku berangkat kerja anakku itu sudah bersih. Aku berusaha tidak pernah untuk merepotkan ibu mas Hendi walaupun sekarang ibu mas Hendilah yang menjaga Airin.

Sudah cukup buatku merepotkan ibu mas Hendi dalam mengasuh Airin, aku tidak enak jika harus merepotkan mengenai urusan yang lain.

-----

"Hei.. Lagi ngapain sih melamun terus?". Suara cempreng Wiwin mengejutkan aku.

"Kamu kenapa sih Win mengagetkan aku gini, sih?". Kataku dengan kesal.

"Abis, kamu itu ya aku liatin dari tadi melamun saja, ngapain coba kamu melototi layar komputer kamu sampai tak berkedip". Wiwin berceloteh ria.

"Eh, apa iya?". Jawabku kikuk.

"Kamu ada masalah apa, Lis?". Wiwin kini duduk di sampingku ingin berbicara serius.

"Tidak ada apa-apa, win". Kataku mencoba berbohong.

Aku tidak bisa menceritakan masalah rumah tanggaku kepada Wiwin. Mungkin juga belum saatnya, semua orang tahu perbuatan mas Hendi kepadaku.

"Kau jangan berbohong, Lisna". Ujar Wiwin menginterogasiku.

"Ih, apaan sih win. Kamu kenapa lagi kepo gini". Aku mencoba berusaha cuek.

"Ya kalau tidak ada apa-apa, aku merasa senang, Lis. Bukan apa-apa, aku ini sahabatmu, aku tak ingin kau merasa tak ad tempat untuk bercerita". Ucap wiwin pelan.

"Iya, Win". Aku langsung memeluk sahabatku yang masih single ini.

Kini ia juga memelukku erat, kami memang sudah saling menjalin persahabatan saat masih tinggal satu atap di panti asuhan. Takdir yang masih menjalin kami sampai bisa berdekatan hingga saat ini.

Bedanya Wiwin masih memilih untuk sendiri dalam menjalani kehidupannya. Ia takut jika dia menikah, anaknya akan mengalami nasib yang sama seperti dia yang terbuang di panti asuhan. Ketakutan inilah yang menjadi alasan wiwin menjaga jarak dengan para pria di sekelilingnya.

"Ya sudah kamu sekarang ngapain sih ke ruangan kerja aku, emang kamu lagi luang?". Kataku seraya mengurai pelukan kami.

"Ada bos baru, Lis". Kata wiwin sambil menaik-naikkan alisnya.

"Bos baru, siapa? Apa dia yang menggantikan pak Surya?". Balasku balik kepo.

"Iya, dan kamu tahu tidak Lis, bos baru kita itu masih muda, single dan ganteng". Wiwin seolah sedang mempromosikan produk.

"Kamu sok tahu, win." Kataku cuek.

"Ah kamu, Lis. Sudah ah, aku balik lagi ya ke ruanganku". Wiwin malah menjadi kesal.

"Sana, gih. Jangan makan gaji buta". Kataku dengan terkikik pelan.

Wiwin membalikkan badannya dan hanya melotot padaku. Aku tertawa kencang sekarang melihat reaksi Wiwin, senang rasanya mengerjainya hari ini.

"Ada apa ini?". Suara bass menghentikan tawaku dan spontan mulutku terkunci.

Aku membelalakkan mataku saat tubuh Wiwin bergeser ke samping dan memperlihatkan sosok pria asing di depan pintu ruanganku. Wiwin tegak berdiri dengan wajah yang tertunduk, aku lantas menegakkan tubuhku berdiri dengan gugup.

Apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa laki-laki ini, apakah dia bos baru yang dibicarakan oleh wiwin barusan? Ucapku dalam hati.

"Saya tanya sedang apa kalian di sini dan siapa yang tertawa keras di kantor ini?". Tanyanya kembali.

"Eh, anu pak". Wiwin berkata dengan terbata-bata takut akan kegarangan bos baru itu.

Mendengar kalimat yang diucapkan Wiwin, aku menyadari bahwa benar laki-laki ini adalah bos baru kami.

"Maaf pak, kami hanya sedang mengupgrade semangat kami untuk bekerja kembali". Jawabku mencoba mencari aman.

"Kau, sekarang ke ruanganku". Tunjukknya mengarah ke wajahku.

"Eh, saya pak?". Aku malah mengarahkan telunjukku ke wajahku lagi.

Bukannya mendapatkan jawaban, laki-laki yang kuyakini sebagai bos baru kami itu membalikkan badannya menjauhi ruanganku.

Wiwin menatap bingung kepadaku, "Bagaimana ini?". Tanyanya.

"Aku tak tahu, aku temui dia dulu". Jawabku seadanya.

"Dia bos baru yang aku ceritakan tadi, hati-hati kata orang-orang kantor dia super galak". Wiwin memberi arahan kepadaku.

"Kau tenang saja". Kataku mencoba menenangkannya.

Padahal dalam diriku, jantungku sedang berpacu cepat sekarang. Aku bahkan tak tahu apa yang akan aku terima dari sikapku tadi. Panggilannya tadi kepadaku membuatku bingung, atas dasar apa ia akan memarahiku.

"Ah, aku minta maaf saja nanti". Gumamku pelan.

Kini aku berjalan tergesa menuju ruangan bos baru yang aku saja tidak tahu namanya. Hatiku dag dig dug tak karuan.

Tok... Tok.. Tok...

"Permisi, pak". Sapaku mencoba bicara sopan.

"Kau, masuk kemari, duduk di sini!". Perintahnya padaku tanpa melihat wajahku.

Aku berjalan pelan sambil melirik dengan ekor mataku sosok laki-laki yang kini menghadap dinding kaca ruangan kerjanya. Tatapannya begitu jauh memandangi gedung-gedung tinggi di luar sana.

Krek..

Aku memutar kursi agar bisa aku duduki. Kini aku hanya bisa meremas kedua tangan menunggu kalimat yang akan keluar lagi dari mulut laki-laki yang masih membelakangiku ini.

"Siapa namamu?". Tanya dengan suara yang mengagetkanku.

"Nama saya Lisna, pak". Jawabku singkat.

"Kenapa suara tertawamu terdengar keras di kantor ini?" Kini ia bertanya sambil berjalan menuju kursi kebesarannya.

"Aku hanya tertawa pak, apa tidak boleh?". Kataku sekarang mencoba membentengi diri.

"Kau cukup berani bersuara seperti itu kepadaku". Jawabnya acuh.

"Apa anda tak pernah tertawa jika melihat sesuatu yang lucu, pak?". Kini aku malah balik bertanya.

"Kenapa sekarang kau yang bertanya padaku?". Ucapnya arogan.

"Sudah pak, jadi alasan apa yang membuat anda memanggil saya ke sini?". Balasku tanpa basa basi.

"Kerjakan proyek ini. Jika kau bisa menyelesaikan ini, kesalahan hari ini bisa aku lupakan". Katanya seraya menyodorkan sebuah berkas yang penuh dengan tumpukan kertas.

"Apa ini, pak?".

Aku lantas mengambil tumpukan dokumen yang berisi hal-hal yang tidak aku mengerti itu. Data-data yang tertera di sana bukanlah hal yang menjadi bidang pekerjaanku sekarang.

"Ini bukan bagian pekerjaan saya di kantor ini, pak?". Tolakku dengan alasan jelas.

"Akan aku buatkan tim proyek tapi tetap kau yang bertanggung jawab atas proyek ini".

"Apa, pak?". Aku berkata dengan bingung.

"Nanti siang kita mulai meeting, kau harus hadir".

Kalimat terakhir bosku itu merupakan sebuah perintah yang tak bisa aku langgar sekarang. Aku keluar gontai dari ruangannya dan bersender di dinding.

Meeting siang sebentar lagi akan dimulai, aku sudah duduk manis di ruangan rapat. Entah kemana semua orang, kini aku hanya seorang diri berada di ruangan ini.

"Selamat siang". Suara yang tak asing terdengar di gendang telingaku.

Aku mendongakkan wajahku, kini netra mataku bertatapan dengan netra mata mas Hendi. Aku terkejut seketika, kenapa ada mas Hendi. Dari reaksi mas Hendi aku juga tahu bahwa dia juga terkejut saat melihatku.

Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.

Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami.

"Laksmi". Gumamku menahan emosi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status