Share

Bab 5. Satu Atap

"Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!".

Deg.

Ucapan yang keluar dari mulut mas Hendi sungguh melukai perasaanku yang masih sah sebagai istrinya. Setelah seminggu tak pulang ke rumah, malah menyuruh aku pergi dari rumah ini.

"Mas...". Gumamku pelan.

Mas Hendi malah mengacuhkan panggilanku dan malah sibuk membawa barang-barang Laksmi. Kini mereka bertiga, mas Hendi, Laksmi dan ibu masuk ke dalam rumah meninggalkan aku dan Airin di luar rumah.

"Laksmi, ini kamarmu". Tunjuk ibu mas Hendi pada ruangan yang kemarin baru saja selesai aku bersihkan.

"Makasih ya bu". Ucap Laksmi dengan suaranya yang lembut.

"Ayo, Laksmi". Ajak mas Hendi menggamit lengan istri barunya itu.

Aku yang seperti obat nyamuk di sini hanya diam melihat adegan demi adegan yang mereka lakukan. Mereka sudah tak menganggap keberadaan aku di sini.

"Apa benar mas, kau menginginkan aku pergi dari sini setelah kau menemukan wanita yang lebih muda dan kaya dariku?". Kataku pelan.

"Bunda, bunda, tante itu siapa?". Airin yang menjawab pertanyaan yang sebenarnya kutujukan kepada mas Hendi.

Aku menoleh ke arah bawah melihat wajah mungil Airin. Seketika hatiku terenyuh, sadar dengan keadaan kami berdua yang sekarang tak diinginkan.

"Bukan siapa-siapa, nak. Ayo kita masuk!". Kataku seraya menggendong Airin.

Tak kuperdulikan lagi kehebohan ibu mas Hendi menyambut Laksmi, aku segera masuk ke kamar membawa Airin. Kupandangi kamar peraduan kami yang kini tinggal kenangan, nyatanya mas Hendi sudah punya tempat peraduan yang lain.

Mataku mulai berembun, sudah sekuat tenaga untuk aku tahan agar tidak menetes. Ternyata pengorbanan yang aku lakukan selama ini tak ada artinya bagi mas Hendi beserta ibunya.

"Lis, kamu cuciin dong baju adik ipar kamu nih". Ucap ibu mas Hendi waktu itu.

Masih teringat jelas di kepalaku, mereka menganggap aku hanya pembantu di rumah ini. Dila adik satu-satunya mas Hendi pun tak kalah sama. Sebelum dia tinggal di asrama, akulah yang mencucikan bajunya setiap hari.

Aku tak pernah mengeluh, ku anggap sebagai baktiku kepada keluarga mas Hendi. Berharap hati ibu mertuaku luluh atas kehadiranku di rumah ini yang dari awal tak disetujuinya hanya karena aku bukanlah keturunan dari orang kelas atas.

"Lis, sebelum berangkat kerja nanti siapkan dulu ya barang-barang yang akan di bawa Dila ke asrama". Ucap ibu mas Hendi kala itu.

Aku yang sudah bersiap berangkat kerja berusaha menolak dengan halus karena takut terlambat, "Ibu, Lisna kan mau berangkat kerja, apa tidak bisa Dila siapkan sendiri".

"Kamu sudah berani melawan ibu ya, kalau selama ini ibu diam saja melihat pernikahan kalian, jangan salahkan ibu jika bertindak suatu saat nanti". Ucap ibu memberikan aku ultimatum.

"Bukan begitu, bu. Nanti Lisna terlambat".Kataku kesal karena melihat Dila yang hanya sibuk menscroll benda pipihnya dan tak berbuat apa-apa.

"Kamu kira, Dila juga tidak akan terlambat ke asrama?". Balas ibu sengit.

Aku yang serasa mati kesal tidak bisa berbuat apa-apa. Entah apa salahnya ibu mas Hendi menyuruh anaknya si Dila yang sendiri mempersiapkan segala kebutuhannya. Toh, dia hanya ongkang-ongkang kaki saat ini.

"Baik, bu". Kataku pelan dan kini mulai mempersiapkan barang-barang Dila.

Kejadian demi kejadian berputar ulang lagi di pikiranku. Sebegitu rendahnya aku di mata kalian sehingga dengan begitu tanpa perasaan kalian memperlakukan aku seperti ini.

Kini aku kembali memeluk tubuh mungil Airin. Hanya dialah kekuatanku saat ini, sebagai penyemangat untuk aku menjalani kehidupan yang fana ini.

"Airin... Airin..."

Suara ibu mas Hendi membuat aku menguraikan pelukanku kepada Airin. Kini, ibu mas Hendi sudah berada di depan pintu kamarku.

"Airin, sini yuk ikut Nenek". Ajak ibu mas Hendi kepada anakku.

"Mau kemana, bu?". Tanyaku heran tak biasanya ibu mas Hendi mengajak Airin.

"Ibu ajak Airin sebentar saja kamu sudah pelit seperti ini". Balas ibu kesal.

"Bukan seperti itu, bu". Balasku cepat.

"Lalu apa? Sudah, ibu ajak sebentar Airin. Kamu gak perlu sewot". Ujar ibu lagi tak suka.

"Bunda, Airin ikut nenek Sari dulu, ya". Suara imut keluar dari mulut Airin.

"Eh, iya". Kataku tak percaya Airin menghentikan perdebatan kata antara aku dan neneknya.

"Ayo, sini sama nenek". Kata ibu mas Hendi begitu lembut.

Aku yang penasaran mengintip dari balik kain hordeng pintu kamarku. Ibu mas Hendi sebenarnya mau membawa Airin kemana.

"Ini anaknya mas Hendi, Airin namanya". Ibu memperkenalkan Airin kepada Laksmi.

Entah kenapa seperti ada raut tak suka di wajah Laksmi saat melihat Airin, seperti itulah pemikiranku saat melihat reaksi Laksmi barusan.

"Eh, ini yang namanya Airin, kamu cantik banget ya". Balas Laksmi dengan suara yang dilembut-lembutkan.

Ternyata ibu mas Hendi membawa Airin untuk diperkenalkan kepada Laksmi, tapi untuk apa? Apakah mereka juga akan mengambil Airin dariku? Tidak... Itu tidak akan pernah terjadi.

Aku menggeleng pelan saat memikirkan jika itu terjadi. Sungguh aku akan memperjuangkan Airin sampai titik darah penghabisan. Atas dasar apa mereka ingin mengambil Airin dariku.

"Ayah, tante ini siapa?".

Kudengar Airin menanyakan siapa Laksmi kepada ayahnya. Aku menatap intens kepada mas Hendi, jawaban apa yang akan dikeluarkan oleh mas Hendi untuk pertanyaan anaknya itu.

"Airin, kamu bisa memanggilnya

dengan mama Laksmi".

Degh..

Jantungku berpacu cepat saat ini, kenapa jawaban mas Hendi seperti itu. Apakah benar dugaanku bahwa Airin akan mereka ambil dan aku akan mereka tendang segera dari rumah ini.

Tak tahan terus menonton apa yang telah mereka lakukan, aku pun memberanikan keluar kamar, dan berkata, "Airin, kemari sayang, ikut sama bunda".

Airin segera turun dari pangkuan mas Hendi dan berjalan ke arahku. Aku melihat mas Hendi sepertinya kesal akan sikapku barusan, sungguh aku tak perduli.

"Airin, kamu bisa masuk ke kamar bunda dulu. Nanti bunda ke sana sebentar lagi, ya". Kataku lembut kepada Airin.

"Iya, bunda". Airin pun segera berlari ke kamar.

Aku sengaja menyuruh Airin masuk ke dalam kamar agar tidak melihat pertikaian di antara kami orang dewasa di ruangan ini. Aku tak mau mentalnya terganggu karena urusan orang tuanya saat ini.

"Lisna, kamu apa-apaan sih? Airin sedang mengenal Laksmi sebagai mamanya". Mas Hendi bicara blak-blakan tanpa memikirkan aku.

"Apa mas? memperkenalkan? buat apa mas? Perlu kamu ketahui hanya ada satu mas. Hanya aku bundanya di dunia ini, tak akan ada yang lain". Kataku dengan penuh penekanan.

"Kamu, Lis...".

Setelah mas Hendi mengatakan itu, aku melihat tangan mas Hendi mengayun di udara dan mendarat di pipiku. Rasa panas menjalar di wajahku kini, sungguh aku tak percaya mas Hendi sudah main tangan sekarang.

"Mas... ". Ucapku seraya memegang pipi kananku.

"Kau jangan keterlaluan, Lis. Sudah cukup tingkahmu hari ini". Kata mas Hendi penuh keegoisan.

Aku yang menunggu kata maaf dan perkataan bahwa ia tak sengaja saat menamparku ternyata hanyalah harapanku saja. Mas Hendi malah menganggap aku yang bersalah pada situasi ini.

"Hanya karena perempuan yang baru kau nikahi selama beberapa hari, kau tega menamparku. mas?". Tanyaku dengan mata yang sudah berembun kembali.

"Kalau kau tak suka, sudah ku bilang kita bisa sudahi pernikahan ini dan kau bisa pergi dari sini". Ucap mas Hendi tanpa rasa bersalah.

Aku semakin geram saat melihat Laksmi yang merasa menang dalam situasi ini. Sikap mas Hendi pun sudah keterlaluan padaku, aku pun langsung gelap mata.

Aku berjalan ke arah Laksmi dan menamparnya membalas tamparan mas Hendi kepadaku.

"Kau rasakan itu wanita tak tahu diri". Kataku dengan rasa senang.

Mas Hendi pun langsung menarik tubuhku untuk menjauh dari Laksmi.

"Apa yang kau lakukan, Lisna?". Tanya mas Hendi penuh emosi.

"Biar dia tahu mas, bagaimana rasa sakit karena ditampar olehmu". Jawabku tegas.

"Kau sudah gila, Lis". Kata mas Hendi berapi-api.

"Apa mas? Aku sudah gila? Bukan aku yang gila mas tapi kamu. Kamu yang sudah mempermainkan pernikahan kita". Balasku dengan berapi-api pula.

"Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status