"Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!".
Deg.Ucapan yang keluar dari mulut mas Hendi sungguh melukai perasaanku yang masih sah sebagai istrinya. Setelah seminggu tak pulang ke rumah, malah menyuruh aku pergi dari rumah ini."Mas...". Gumamku pelan.Mas Hendi malah mengacuhkan panggilanku dan malah sibuk membawa barang-barang Laksmi. Kini mereka bertiga, mas Hendi, Laksmi dan ibu masuk ke dalam rumah meninggalkan aku dan Airin di luar rumah."Laksmi, ini kamarmu". Tunjuk ibu mas Hendi pada ruangan yang kemarin baru saja selesai aku bersihkan."Makasih ya bu". Ucap Laksmi dengan suaranya yang lembut."Ayo, Laksmi". Ajak mas Hendi menggamit lengan istri barunya itu.Aku yang seperti obat nyamuk di sini hanya diam melihat adegan demi adegan yang mereka lakukan. Mereka sudah tak menganggap keberadaan aku di sini."Apa benar mas, kau menginginkan aku pergi dari sini setelah kau menemukan wanita yang lebih muda dan kaya dariku?". Kataku pelan."Bunda, bunda, tante itu siapa?". Airin yang menjawab pertanyaan yang sebenarnya kutujukan kepada mas Hendi.Aku menoleh ke arah bawah melihat wajah mungil Airin. Seketika hatiku terenyuh, sadar dengan keadaan kami berdua yang sekarang tak diinginkan."Bukan siapa-siapa, nak. Ayo kita masuk!". Kataku seraya menggendong Airin.Tak kuperdulikan lagi kehebohan ibu mas Hendi menyambut Laksmi, aku segera masuk ke kamar membawa Airin. Kupandangi kamar peraduan kami yang kini tinggal kenangan, nyatanya mas Hendi sudah punya tempat peraduan yang lain.Mataku mulai berembun, sudah sekuat tenaga untuk aku tahan agar tidak menetes. Ternyata pengorbanan yang aku lakukan selama ini tak ada artinya bagi mas Hendi beserta ibunya."Lis, kamu cuciin dong baju adik ipar kamu nih". Ucap ibu mas Hendi waktu itu.Masih teringat jelas di kepalaku, mereka menganggap aku hanya pembantu di rumah ini. Dila adik satu-satunya mas Hendi pun tak kalah sama. Sebelum dia tinggal di asrama, akulah yang mencucikan bajunya setiap hari.Aku tak pernah mengeluh, ku anggap sebagai baktiku kepada keluarga mas Hendi. Berharap hati ibu mertuaku luluh atas kehadiranku di rumah ini yang dari awal tak disetujuinya hanya karena aku bukanlah keturunan dari orang kelas atas."Lis, sebelum berangkat kerja nanti siapkan dulu ya barang-barang yang akan di bawa Dila ke asrama". Ucap ibu mas Hendi kala itu.Aku yang sudah bersiap berangkat kerja berusaha menolak dengan halus karena takut terlambat, "Ibu, Lisna kan mau berangkat kerja, apa tidak bisa Dila siapkan sendiri"."Kamu sudah berani melawan ibu ya, kalau selama ini ibu diam saja melihat pernikahan kalian, jangan salahkan ibu jika bertindak suatu saat nanti". Ucap ibu memberikan aku ultimatum."Bukan begitu, bu. Nanti Lisna terlambat".Kataku kesal karena melihat Dila yang hanya sibuk menscroll benda pipihnya dan tak berbuat apa-apa."Kamu kira, Dila juga tidak akan terlambat ke asrama?". Balas ibu sengit.Aku yang serasa mati kesal tidak bisa berbuat apa-apa. Entah apa salahnya ibu mas Hendi menyuruh anaknya si Dila yang sendiri mempersiapkan segala kebutuhannya. Toh, dia hanya ongkang-ongkang kaki saat ini."Baik, bu". Kataku pelan dan kini mulai mempersiapkan barang-barang Dila.Kejadian demi kejadian berputar ulang lagi di pikiranku. Sebegitu rendahnya aku di mata kalian sehingga dengan begitu tanpa perasaan kalian memperlakukan aku seperti ini.Kini aku kembali memeluk tubuh mungil Airin. Hanya dialah kekuatanku saat ini, sebagai penyemangat untuk aku menjalani kehidupan yang fana ini."Airin... Airin..."Suara ibu mas Hendi membuat aku menguraikan pelukanku kepada Airin. Kini, ibu mas Hendi sudah berada di depan pintu kamarku."Airin, sini yuk ikut Nenek". Ajak ibu mas Hendi kepada anakku."Mau kemana, bu?". Tanyaku heran tak biasanya ibu mas Hendi mengajak Airin."Ibu ajak Airin sebentar saja kamu sudah pelit seperti ini". Balas ibu kesal."Bukan seperti itu, bu". Balasku cepat."Lalu apa? Sudah, ibu ajak sebentar Airin. Kamu gak perlu sewot". Ujar ibu lagi tak suka."Bunda, Airin ikut nenek Sari dulu, ya". Suara imut keluar dari mulut Airin."Eh, iya". Kataku tak percaya Airin menghentikan perdebatan kata antara aku dan neneknya."Ayo, sini sama nenek". Kata ibu mas Hendi begitu lembut.Aku yang penasaran mengintip dari balik kain hordeng pintu kamarku. Ibu mas Hendi sebenarnya mau membawa Airin kemana."Ini anaknya mas Hendi, Airin namanya". Ibu memperkenalkan Airin kepada Laksmi.Entah kenapa seperti ada raut tak suka di wajah Laksmi saat melihat Airin, seperti itulah pemikiranku saat melihat reaksi Laksmi barusan."Eh, ini yang namanya Airin, kamu cantik banget ya". Balas Laksmi dengan suara yang dilembut-lembutkan.Ternyata ibu mas Hendi membawa Airin untuk diperkenalkan kepada Laksmi, tapi untuk apa? Apakah mereka juga akan mengambil Airin dariku? Tidak... Itu tidak akan pernah terjadi.Aku menggeleng pelan saat memikirkan jika itu terjadi. Sungguh aku akan memperjuangkan Airin sampai titik darah penghabisan. Atas dasar apa mereka ingin mengambil Airin dariku."Ayah, tante ini siapa?".Kudengar Airin menanyakan siapa Laksmi kepada ayahnya. Aku menatap intens kepada mas Hendi, jawaban apa yang akan dikeluarkan oleh mas Hendi untuk pertanyaan anaknya itu."Airin, kamu bisa memanggilnyadengan mama Laksmi".Degh..Jantungku berpacu cepat saat ini, kenapa jawaban mas Hendi seperti itu. Apakah benar dugaanku bahwa Airin akan mereka ambil dan aku akan mereka tendang segera dari rumah ini.Tak tahan terus menonton apa yang telah mereka lakukan, aku pun memberanikan keluar kamar, dan berkata, "Airin, kemari sayang, ikut sama bunda".Airin segera turun dari pangkuan mas Hendi dan berjalan ke arahku. Aku melihat mas Hendi sepertinya kesal akan sikapku barusan, sungguh aku tak perduli."Airin, kamu bisa masuk ke kamar bunda dulu. Nanti bunda ke sana sebentar lagi, ya". Kataku lembut kepada Airin."Iya, bunda". Airin pun segera berlari ke kamar.Aku sengaja menyuruh Airin masuk ke dalam kamar agar tidak melihat pertikaian di antara kami orang dewasa di ruangan ini. Aku tak mau mentalnya terganggu karena urusan orang tuanya saat ini."Lisna, kamu apa-apaan sih? Airin sedang mengenal Laksmi sebagai mamanya". Mas Hendi bicara blak-blakan tanpa memikirkan aku."Apa mas? memperkenalkan? buat apa mas? Perlu kamu ketahui hanya ada satu mas. Hanya aku bundanya di dunia ini, tak akan ada yang lain". Kataku dengan penuh penekanan."Kamu, Lis...".Setelah mas Hendi mengatakan itu, aku melihat tangan mas Hendi mengayun di udara dan mendarat di pipiku. Rasa panas menjalar di wajahku kini, sungguh aku tak percaya mas Hendi sudah main tangan sekarang."Mas... ". Ucapku seraya memegang pipi kananku."Kau jangan keterlaluan, Lis. Sudah cukup tingkahmu hari ini". Kata mas Hendi penuh keegoisan.Aku yang menunggu kata maaf dan perkataan bahwa ia tak sengaja saat menamparku ternyata hanyalah harapanku saja. Mas Hendi malah menganggap aku yang bersalah pada situasi ini."Hanya karena perempuan yang baru kau nikahi selama beberapa hari, kau tega menamparku. mas?". Tanyaku dengan mata yang sudah berembun kembali."Kalau kau tak suka, sudah ku bilang kita bisa sudahi pernikahan ini dan kau bisa pergi dari sini". Ucap mas Hendi tanpa rasa bersalah.Aku semakin geram saat melihat Laksmi yang merasa menang dalam situasi ini. Sikap mas Hendi pun sudah keterlaluan padaku, aku pun langsung gelap mata.Aku berjalan ke arah Laksmi dan menamparnya membalas tamparan mas Hendi kepadaku."Kau rasakan itu wanita tak tahu diri". Kataku dengan rasa senang.Mas Hendi pun langsung menarik tubuhku untuk menjauh dari Laksmi."Apa yang kau lakukan, Lisna?". Tanya mas Hendi penuh emosi."Biar dia tahu mas, bagaimana rasa sakit karena ditampar olehmu". Jawabku tegas."Kau sudah gila, Lis". Kata mas Hendi berapi-api."Apa mas? Aku sudah gila? Bukan aku yang gila mas tapi kamu. Kamu yang sudah mempermainkan pernikahan kita". Balasku dengan berapi-api pula."Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara."Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara.Aku menundukkan sedikit wajahku ke arah bawah sebagai refleks untuk menerima tamparan tangan mas Hendi. Namun, tangan kekar mas Hendi tak kunjung menyentuh pipi ini. Aku dongakkan wajahku untuk melihat apa yang terjadi."Sudahlah sayang, masa di hari pertama aku masuk ke rumah ini sudah ada kejadian mengenaskan dengan kakak maduku". Suara manja dari Laksmi pun terdengar di telingaku. Ternyata, Laksmi yang berusaha untuk mencegah mas Hendi melayangkan tangannya."Kau dengar itu Lisna? Istriku ini masih saja membelamu yang sudah tega menyakitinya". Ucap mas Hendi masih terbawa emosi."Istri kamu mas, terus aku siapa mas, apa aku juga bukan istrimu?". Tanyaku dengan nyalang.Jangan harap karena Laksmi mencoba mencegah tamparan mas Hendi untukku, aku akan berusaha berbaik hati padanya. Aku yakin ini hanya sebagai tipu muslihat dia untuk memikat hati ibu mertuaku.Lihat saja, baru satu perlakuan tersebut, mas Hendi malah langsung memban
"Kamu Lisna, dasar menantu tidak tahu diri". Suara ibu sungguh sakit terdengar di telingaku dan menyayat-yayat hatiku saat ini. Namun, aku sudah tak perduli lagi. Apa artinya baktiku selama ini jika balasannya adalah sebuah madu dari suamiku.Dipandang sebelah mata oleh mertuaku sendiri dan dibandingkan dengan wanita lain hanya karena aku tidak mempunyai uang. Jangan lupakan asal usulku yang tidak jelas, entah dilahirkan dari keluarga yang seperti apa."Ada apa ini bu, kok teriak-teriak?". Mas Hendi akhirnya keluar dari kamar dan menuju ke dapur.Aku yang melihat mas Hendi buru-buru keluar kamar hanya meliriknya dengan ekor mataku. Kemudian dengan melenggang kangkung, aku pun pergi meninggalkan mereka. "Istri kamu itu sudah tidak mau memasak dan menyiapkan makanan untuk makan malam kita". Ucap ibu kepada anaknya itu."Apa?". Balas mas Hendi seraya tangannya membuka tudung saji yang berada di atas meja.Mata mas Hendi membulat sempurna karena melihat tidak ada apapun di dalam tudung
Mulai hari ini, semuanya akan berubah. Aku tak mau lagi jika kalian memanfaatkan aku demi kepentingan kalian sendiri. Aku akan berjuang mas untuk mendapatkan tempatku kembali. Aku ingin kalian menyesali keputusan kalian telah membawakan madu itu di rumah kita."Lisna....". Kini, aku mendengar suara mas Hendi yang meneriakkan namaku."Bunda, ayah memanggil". Kini, Airin ikut bersuara karena ayahnya yang memanggil. Ia seolah ingin menghentikan bundanya untuk kembali berjalan mundur pulang ke rumah."Tidak, Airin. Kita akan terlambat jika kembali pulang". Kataku mencoba membujuk Airin."Bukankah hari ini Airin akan mulai bersekolah?". Lanjutku berbicara karena melihat Airin yang cemberut memajukan sedikit bibirnya ke depan."Iya bunda". Kata putri kecilku sepertinya ia menurut kali ini."Oke, mari kita berangkat ke sekolah". Ucapku riang sambil mengayunkan ringan tangan kanan Airin.Suara panggilan dari mas Hendi tak aku perdulikan. Seiring langkah kami yang menjauh begitu pula suara m
"Airin, bunda bekerja dulu ya, kamu tinggal bersama ibu guru Soraya. Nanti bunda jemput lagi setelah kamu pulang sekolah". Ucapku lembut memberikan pemahaman kepada Airin."Iya, bunda". Akhirnya aku bisa bernafas lega, ternyata airin mengerti dengan apa yang aku inginkan. Aku bisa meninggalkannya dengan tanpa rasa khawatir."Memang suamimu tak bisa menjemputnya, Lisna?"."Tidak, Soraya. Nanti aku ceritakan tentang pernikahanku". Ucapku berjanji agar tidak lagi mengulur waktu. Aku sungguh sudah sangat terlambat untuk ke kantor."Baiklah, hati-hati di jalan, Lisna. Tetap semangat!". Ucapan dari Soraya kujawab dengan isyarat anggukan dari kepalaku. Mungkin Soraya tahu apa sebenarnya maksud dari ucapanku barusan. Aku yakin dia pasti mengerti bahwa keadaan rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja.Aku tahu dari ekspresi wajahnya yang awalnya kaget namun mencoba menormalkan kembali mimik wajahnya. Mungkin dengan alasan untuk menyemangati aku bahwa semua tak usah dipikirkan sampai lelah
Malam ini mas Hendi tak lagi menyentuh lantai kamar ini. Entah masih dianggapnya aku ini istrinya atau tidak, aku tidak perduli. Aku juga sudah muak melihat dia bermesraan dengan laksmi. Aku tak sengaja keluar kamar dan bertemu mereka di ruang tengah lagi asyik bercumbu mesra. "Kalau tidak ditonton televisinya, dimatiin saja. Boros listrik". Ucapku kesal saat melihat mereka berdua. Aku pun dengan melenggang kangkung ke dapur untuk mengambil air minum. Airin suka haus di tengah malam saat tidurnya. Aku lupa menyiapkannya sebelum pergi tidur barusan. Dan kini aku harus mengambilnya sebelum tengah malam nanti Airin memintanya. Aku juga memang sengaja tidak keluar kamar setelah mandi dan memandikan Airin setelah pulang bekerja. Untung saja sebelum pulang, aku dan Airin makan diluar. Alasannya karena ingin membiarkan saja si Laksmi itu memasak untuk mertuanya tersayang, ibu dari mas Hendi suami yang telah ia rebut dariku. "Kalau mau bermesraan sana di kamar jangan disini". Aku menegu
"Apa yang terjadi? ". Aku membuka mataku dan melihat sekelilingku. "Aww... ". Teriakku refleks seraya memegang kepalaku yang tiba-tiba berdenyut, ada sedikit rasa sakit yang kurasakan saat ini. Setelah rasa sakit yang kurasa sedikit mereda, kualihkan pandanganku di ruangan ini. Kini aku berada di sebuah kamar mewah dan indah. Lalu, aku sadar sekarang aku sedang berada di sebuah ranjang berukuran king size yang empuk. Kilasan ingatan berputar di memoriku mengenai kejadian tadi malam. Aku mengingat bahwa ada tiga pemuda yang sedang menggodaku dan ingin berprilaku tidak baik padaku. "Kamu tidak akan bisa lari lagi dari kami, sayang"."Ayo, bawa wanita ini! " "Aku duluan, nanti kalian setelahku".Aku mendengar suara-suara nakal mereka saat ini. Aku tak mampu lagi membuka mataku karena jelas tubuhku tak kuat melawan obat tidur yang sudah aku telan tanpa sadar. Namun, sebelum kesadaranku benar-benar hilang, aku merasakan tubuhku ditarik paksa seseorang. Detik kemudian aku mendengarkan
"Apakah dia? Dan kini aku ada dirumahnya? ".Lantas aku pun dengan perlahan mengubah pandanganku dari wanita yang daritadi diam tak menjawab ke seseorang yang sudah memberitahuku. Dia bilang aku ada dirumahnya, tapi ini rumah siapa? batinku. "A-apa?". Aku melongo melihat seorang lelaki yang tak asing dan kini sudah berdiri tegap didepanku. Aku menelan salivaku dengan kasar, entah apa yang sedang aku alami sekarang ini. Kini bos baruku, pak Bayu, ada dihadapanku. "Aku ada dirumah pak Bayu? "."Iya, kamu ada dirumah saya".Kalimat berulang yang diucapkan pak Bayu menegaskan kepadaku bahwa benar kini aku sedang dirumahnya, tapi mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah seingatku hanya ada tiga pemuda yang ingin menggodaku?. "Minumlah obatnya terlebih dahulu, kamu tidak perlu khawatir. Itu bukan racun". Tunjuk pak Bayu yang mengarah ada sebutir pil yang dipegang oleh wanita tadi. "Berikan kepadanya, bi Inem! ". Perintah pak Bayu kepada wanita yang kini baru kutahu namanya adalah
"Kamu tidak tahu, tetapi saya tahu semuanya"."Apalagi maksud pak Bayu, jangan bertele-tele! ". Ucapku dengan tegas. "Kamu adalah putri dari pak Handoko"."Siapa dia? ". "Kamu adalah putri tunggal, anak satu-satunya dari pak Handoko dan ibu Siska pendiri perusahaan mebel di kota Yogyakarta"."Cerita konyol apa yang sedang pak Bayu katakan kepada saya. Saya yatim piatu dan dibesarkan di sebuah panti asuhan. Pak Bayu jangan mengada-ngada"."Aku tidak bohong. Terserah kamu percaya atau tidak"."Saya tidak perduli saya anak pak Handoko atau ibu Siska yang sedang anda bicarakan. Tidak penting lagi untuk sekarang". Ucapku dengan tegas. "Penting jika kamu ingin balas dendam".Aku pasti sudah gila karena minum obat tidur yang tak sengaja masuk ke dalam tubuhku. Ditambah berita konyol dari pak. bayu barusan membuatku semakin menjadi gila jika terus berada disini. Aku harus pulang, begitulah pemikiranku yang tepat untuk kondisi saat ini. "Terima kasih atas informasinya pak Bayu, saya pamit