Share

Guardian

“Masuk Jill, Ibu mau menyampaikan sesuatu … di depan wali kamu.”

Sekarang kening Jillian mengkerut semakin dalam. Sejak kapan Kenzo menjadi walinya?

Tapi tak ayal, kakinya ia langkahkan juga masuk lebih jauh ke ruangan bu Eva.

Perlahan kaki Jillian melangkah sambil memberikan sorot mata penuh tanya—Jillian menatap Kenzo.

Tapi Kenzo hanya diam begitu tenang dengan punggung tegapnya yang tegak, ekspresi pria itu datar tapi tidak dingin.

“Jadi, barusan Ibu sudah bicara sama pak Kenzo-wali kamu meny—“

“Sejak kapan Om jadi wali aku?” Jillian menyela ucapan Bu Eva.

Tidak bisa untuk tidak bertanya, bila perlu berdebat dengan Kenzo meski dihadapan bu Eva.

Karena ia harus tahu kenapa Kenzo bisa menggantikan peran daddynya.

“Sekarang wali kamu itu pak Yuda, Irma dan saya … mendiang pak Adolf membuat surat wasiat yang meminta kami untuk menjadi wali kamu … Amira sibuk menangani perusahaan sementara ini dan pak Yuda sedang ada sidang, mau enggak mau saya yang harus ke sini memenuhi panggilan sekolah.” Kenzo menjelaskan apa yang disampaikan Yuda ketika memintanya untuk datang memenuhi panggilan sekolah Jillian.

Jillian tidak bisa mendebat karena jika menyangkut wasiat berarti itu sudah menjadi ketetapan daddynya.

Pandangannya ia alihkan kepada bu Eva setelah sebelumnya mendelik sebal pada Kenzo.

Semenjak mengetahui jika daddy menjodohkannya dengan Kenzo—Jillian jadi membenci Kenzo.

Ia sendiri tidak mengerti, padahal jika daddynya telah meninggal pasti perjodohan itu pun sudah tidak berlaku bukan?

Bu Eva kembali melanjutkan maksud tujuannya memanggil Jillian dan mengundang wali Jillian ke sekolah untuk memberitau jika nilai ulangan harian Jillian sangat buruk sehingga Jillian harus banyak melakukan remedial untuk syarat bisa mengikuti Ujian Akhir Sekolah.

Jillian menatap nanar wajah Eva, nilai hariannya saja buruk lalu bagaimana ia bisa lulus dalam Ujian Akhir Sekolah?

Apakah bisa Jillian dengan otaknya yang pas-pas melewati semua ini?

Jillian jadi menyesal tidak belajar dengan sungguh-sungguh di masa lalu.

Bu Eva memberi ultimatum agar Jillian giat belajar untuk mengejar ketinggalannya.

Beliau juga meminta Kenzo untuk mengawasi Jillian belajar di rumah.

Kenapa hidup Kenzo jadi repot seperti ini?

Belum menikah tapi sudah harus mengurus seorang anak, memperhatikan belajarnya agar lulus dalam ujian sekolah.

Jillian dan Kenzo keluar dari ruangan bu Eva setelah Jillian dan Kenzo menyanggupi semua yang diminta bu Eva mengenai remedial dari setiap pelajaran yang akan dilakukan bulan depan sebelum dilaksanakannya Ujian Akhir Sekolah.

Sesungguhnya remedial itu dibuat untuk membuat Jillian belajar lebih keras menghadapi Ujian Akhir Sekolah dan nilainya nanti bisa menambah poin bilamana nilai Ujian Akhir Sekolah Jillian di bawah rata-rata.

Tatapan Jillian kosong saat menapaki kakinya di sepanjang lorong diikuti Kenzo dari belakang.

Hingga kini ia berada di pelataran parkir, tidak ada satu siswa pun yang ia lihat. Mereka semua sudah kembali ke rumah.

Jillian baru ingat jika tadi mengirim pesan di grup meminta Izora dan Kirana untuk menunggunya

Langkah Jillian terhenti, merogoh ponsel dari dalam tas lalu ia membaca pesan yang di kirim Izora dan Kirana di dalam grup membalas pesannya yang menyebutkan jika mereka tidak bisa menemani Jillian karena memiliki urusan lain.

Keduanya meminta maaf membuat senyum kecut Jillian tersungging di bibirnya.

“Jill, ikut mobil saya … saya mau bicara.”

Kalimat perintah itu membuat Jillian mendongak, keluar dari kubangan memprihatinkan tentang hubungan ia dan para sahabatnya.

Kenzo membuka pintu mobil di bagian belakang mempersilahkan Jillian masuk.

Jillian menatap Kenzo sesaat, netra coklat itu menyorotnya begitu dalam hingga mampu membuat Jillian terhipnotis dan melangkah mendekat mengikuti perintah Kenzo masuk ke dalam mobil pria itu tanpa protes maupun perdebatan.

Kenzo menutup pintu setelah Jillian masuk, memutar setengah bagian mobil sambil memberi kode kepada pak Ujang jika Jillian akan ikut bersamanya.

Kenzo masuk dari pintu lain dan duduk di samping Jillian di kabin belakang.

Hening menyergap selama beberapa lama, Jillian sibuk memandang ke arah luar dengan tatapan kosong.

Semenjak kepergian daddy—Jillian memang sering melamun bahkan senyumnya pun surut tidak pernah muncul lagi.

Tanpa Jillian sadari, Kenzo mengawasinya dari samping.

“Jill,” panggil Kenzo.

Jillian mengerjap, belum mengalihkan tatapannya dari jendela—lalu menurunkan pandangan menatap jemarinya yang bertaut di atas paha.

“Apa,” sahut Jillian ketus tapi dengan nada rendah.

“Saya akan panggil guru les untuk kamu, setiap hari sepulang sekolah dia akan datang mengajari kamu semua mata pelajaran … saya rasa sebulan cukup untuk kamu mengejar ketinggalan itu.”

“Terserah.” Jillian balas menjawab malas-malasan.

“Saya, Amira dan pak Yuda yang akan mengawasi kamu mulai sekarang.”

“Enggak usah! Aku benci Tante Amira, aku benci Om Kenzo.”

Kejujuran itu diucapkan Jillian dengan nada biasa tanpa emosi.

“Saya salah apa?” Kenzo bertanya, ada nada tidak terima terselip di sana.

“Om tiba-tiba hadir begitu aja, awalnya mau dijodohin sama Jill terus sekarang jadi wali Jill … om Yuda cukup, Jill enggak butuh tante Amira sama om Kenzo.”

“Kamu bilang sama daddy kamu, saya hanya menjalankan wasiatnya … saya menghormati daddy kamu.”

Suasana kembali hening, air mata Jillian luruh. Selanjutnya, hanya isak tangis tertahan yang mendominasi selama sisa perjalanan pulang.

Jillian merindukan daddynya, beliau selalu punya cara untuk membuatnya merasa dilindungi dan disayangi.

Terbukti dari daddy mewasiatkan agar tiga orang yang bisa dipercaya untuk menjaga Jillian.

Tapi sayangnya Jillian tidak menyukai dua diantaranya.

Sesaat kemudian mobil yang dikemudikan driver tiba di halaman rumah Jillian.

Jillian turun dari mobil Kenzo.

“Jill!” seru Kenzo sedikit memberi penekanan.

Langkah Jillian yang hendak masuk ke dalam rumah terhenti.

“Saya enggak akan pulang sebelum kamu menyetujui rencana saya.”

“Iya, ya udah … terserah!”

Sesungguhnya Jillian telah menyetujui rencana Kenzo ketika pria itu mengatakannya karena memang ia membutuhkan bantuan guru les untuk bisa lulus dari sekolahnya.

Tapi Jillian gengsi jika langsung menyetujui, ia tidak ingin tampak seperti gadis penurut di depan Kenzo.

***

“Jill, bu Salamah bilang kalau kamu belum makan malam.”

Amira masuk ke dalam kamar Jillian. Si pemilik kamar sedang terbaring di atas ranjang dengan beberapa buku berserakan.

Belajar adalah kegiatan yang paling Jillian benci tapi harus ia lakukan karena sang daddy sudah tidak ada untuk membuat dirinya lulus dengan bantuan uang.

“Jill,” panggil Amira lagi dengan suara lembut.

“Jill enggak laper, Tante Amira pulang aja.” Suara Jillian tercetus lemah tapi dingin.

“Dan membiarkan Rangga menginap di sini lalu merusak kamu?” sindir Amira menebak isi kepala Jillian.

“Memangnya apa peduli Tante?” Jillian menegakan tubuh menatap tidak suka pada wanita yang usianya sebaya dengan Kenzo.

“Ya, harusnya Tante enggak usah peduliin kamu … kamu juga membenci Tante ‘kan? Tapi Tante terikat pesan dari daddy kamu yang katanya Tante harus menyayangi kamu dan melindungi kamu … jika bukan pak Adolf yang meminta, Tante enggak akan mau.”

Amira menyimpan nampan berisi makan malam Jillian di atas meja belajar.

“Mau enggak mau kamu harus menerima Tante ada di sekitar kamu sampai kamu benar-benar dewasa dan menemukan pria yang bertanggung jawab atas kamu … tapi bukan pria seperti Rangga,” sambung Amira masih mengomel.

“Sekarang makan dan jangan tidur malem-malem, pak Kenzo bilang besok akan ada guru les yang datang jadi besok Tante sendiri yang akan jemput kamu sekolah.”

Amira keluar dari kamar, tidak lupa menutup pintu kamar Jillian dengan lembut.

“Kalau aja gue enggak ngeliat lo meluk daddy waktu itu, mungkin gue enggak akan sebenci ini sama lo.” Jillian menggeram sambil mencengkeram selimut erat.

Matanya menatap ke arah pintu penuh kebencian.

Beberapa hari setelah kepergian mommy, Jillian melihat daddynya berada di pelukan Amira begitu mesra.

Kejadian itu ia lihat pagi hari, di ruang makan rumah ini.

Entah apa yang sebenarnya mereka lakukan saat itu tapi meski di depannya, Jillian tidak melihat sikap aneh di antara mereka berdua bahkan kesan profesional yang selalu ditunjukkan tapi hati Jillian tidak pernah bisa mempercayai Amira, hingga detik ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status