Home / Romansa / Mendadak Menikah / Pertemuan Tak Terduga

Share

Mendadak Menikah
Mendadak Menikah
Author: Fischa Rina Susanti

Pertemuan Tak Terduga

last update Huling Na-update: 2021-03-25 09:21:27

"Apa? Dijodohkan? Bunda, sebentar lagi Qila 25 tahun. Apa tidak bisa menunggu sampai Qila benar-benar siap. Lagian, jaman sekarang mana ada jodoh-jodohan." 

"Memangnya kenapa? Kamu itu mau dijodohkan Ayah sama anak sahabatnya dulu. Anak itu juga kelihatannya baik." Bunda menerawang langit-langit kamar sambil tersenyum. 

"Eh ... tahu dari mana Bunda?" tanyaku dengan bibir tetap mengerucut. 

"Bunda pernah ketemu, waktu jenguk ayahnya di rumah sakit. Anaknya ganteng, baik, sopan dan ramah. Kamu kalau ketemu, pasti juga langsung suka."

"Idih ... Bunda apa'an, sih! Main suka-suka aja. Emangnya Qila cewek yang gampang suka apa sama cowok," sungutku. Lalu, berbaring memunggui Bunda. 

"Makanya sampai sekarang kamu nggak punya pacar."

Mendengar Bunda menyebut kata pacar, aku kembali duduk dan menatap dengan memasang mimik wajah penuh tanda tanya. 

"Kamu kenapa begitu?" tanya Bunda. 

"Pacar? Ayah sama Bunda ngelarang Qila pacaran. Sekarang, malah nanyain pacar ke Qila," ujarku.

"Haha ... iya-ya. Makanya, Bunda sama Ayah cari'in jodoh buat kamu. Ta'aruf."

"Qila nggak mau! Qila mau nikah sama cowok pilihan Qila sendiri, Bun," rengekku bak anak kecil. 

"Sudah ada?" tanya Bunda. 

"Ya ... belum, sih. Cuma, 'kan--"

"Nah, jadi tidak usah banyak mengelak lagi. Nurut aja sama Bunda." Bunda langsung berdiri dan ke luar dari kamarku. 

Kenapa bisa bunda berpikiran ingin menikahkan aku secepat ini? Ah ... yang benar saja. Jadi, ini alasan Bunda dan Ayah tidak memperbolehkan aku pacaran. 

Kututup wajah dengan bantal. Pasti orang yang mau dijodohkan denganku itu usianya jauh lebih tua dariku. Mungkin karena dia terlihat dewasa, makanya Bunda suka. 

***

Senin pagi, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Kusapa Ayah dan Bunda sekedarnya, tidak berniat untuk ikut sarapan bersama. Pasti nanti yang dibahas masalah perjodohan lagi. Aku benar-benar tidak ingin membahasnya. 

"Ayah-Bunda. Qila berangkat, ya. Assalammualaikum." Kuciumi punggung tangan keduanya dengan cepat dan langsung berlari ke luar rumah. 

Tidak kuhiraukan panggilan Bunda yang mengajak duduk untuk sarapan terlebih dahulu. 

Kupacu motor scoopy kesayangan dengan kecepatan sedang. Pikiran ini masih memikirkan soal perjodohan. Mereka masih saja menganggapku anak kecil, padahal usiaku sebentar lagi akan masuk 25 tahun. 

Sesampainya di kantor, aku bersiul-siul kecil dengan riang. Kebiasaanku setiap pagi, membuat penjaga selalu tersenyum saat melihatku datang. 

"Non Ceria pagi sekali datangnya," sapa Pak Rahmat. 

"Hehe ... lagi semangat pagi ini, Pak," jawabku.

"Kalau begitu selamat bekerja, Non Ceria."

"Sama-sama, Pak Rahmat." 

Aku berlalu masuk, Pak Rahmat selalu memanggilku dengan nama 'ceria'. Itu karena aku selalu datang dengan wajah yang ceria dan penuh semangat. Pekerjaan ini adalah segalanya bagiku, karena dulu sangat sulit sekali melamar pekerjaan di sini. 

"Uhuy ... ada yang tumben datang pagi-pagi." Seseorang menyenggol lenganku.

Naya, teman di kantor. Ia sama cerianya denganku, tapi dia terlalu bucin. Setiap bertemu, selalu saja menceritakan tentang kekasihnya yang entah siapa. 

"Qil, kamu tahu nggak--"

"Nggak," jawabku cepat memotong kalimatnya. 

"Belum selesai tahu!" sungutnya dengan mencubit pelan tanganku. 

"Hehe ... apa'an?"

"Kita bakal kedatangan bos baru di kantor."

"Loh, kenapa? Pak Cakra?" Kuputar kursi menghadap Naya. 

"Pak Cakra udah sakit-sakitan, jadi dia menyerahkan sepenuhnya perusahaan ini pada anak satu-satunya."

"Oh, ya? Hmm ...." 

"Penasaran sama bos yang baru."

"Penasaran kenapa? Yang ganti cuma bosnya, 'kan? Peraturan kantor tetap sama, dilarang ngobrol pas lagi kerja!" ucapku dengan penekanan. 

"Yee ... dasar! Padahal tadi kamunya juga mau diajak ngobrol."

Aku hanya terkekeh geli melihat Naya yang bersungut-sungut. Tidak lama, aku berdiri lagi untuk ke kamar mandi. Hajat yang satu ini memang susah untuk ditahan. 

Aku berlari ke kamar mandi kantor. Setelah selesai dan kembali duduk di kursi kerja. Naya duduk menyamping menghadapku. 

"Kasihan, kamu nggak dapet acara perkenalan sama bos ganteng tadi," katanya dengan penuh semangat. 

"Bosnya sudah datang? Ah ... pasti waktu aku ke kamar mandi tadi."

"Waaah ... kamu rugi nggak ketemu, orangnya ganteng. Senyumnya juga menawan. Andai aku belum punya pacar--"

"Heh ... ngayal jangan ketinggian jatohnya sakit." 

"Aku bilang seandainya. Gimana, sih. Susah kalau ngomongin cowok sama kamu, Qila. Nggak pernah nyambung. Atau jangan-jangan--"

"Jangan-jangan apa?!" sentakku dengan mata melotot padanya. Naya bergidik menatapku. 

"Heh! Aku ini masih normal, tahu!" Kugeser kursi lebih masuk ke bawah meja. Enak saja dia berpikir aku tidak normal. 

***

Pulang bekerja, saat akan memutar balik motor ke luar parkiran kantor, secara tidak sengaja motorku menyenggol betis seseorang. Spontan ku parkirkan lagi motor dan meminta maaf. 

"Maaf, aku tidak sengaja. Maaf, ya. Kamu tidak apa-apa, 'kan?" ucapku dengann kedua tangan menangkup. 

"Tidak apa-apa," jawabnya datar sambil membersihkan celananya yang sedikit kotor. 

"Bener? Aku nggak sengaja tadi." Aku masih merasa tidak enak, karena sudah membuat celananya kotor. 

"Kalau begitu, kenapa tidak kamu bersihkan sekalian?" ucapnya menatapku.

"A-apa? M-maksudnya, aku bersihkan--"

"Cepat, bersihkan." Laki-laki itu meletakkan satu kakinya di pijakan motorku. 

"T-tapi--"

"Katanya mau minta maaf."

"I-iya. T-tapi, eh ... tapi nggak gini juga kali! 'Kan, kotornya juga nggak seberapa," protesku. 

"Ya, sudah. Maaf tidak bisa diterima," ucapnya. 

"Eh ... eh ... sini!" Kuangkat satu kakinya dengan sengaja, hingga membuatnya jatuh terduduk. Untung aku pakai sarung tangan, jadi kulit tanganku tidak langsung menyentuh celananya. 

Melihat itu, sontak saja aku tertawa. Meski merasa bersalah, tapi ekspresinya benar-benar membuatku tidak bisa menahan tawa. 

"Qila!" teriak Naya, aku menoleh. 

Naya berlari mendekat, wajahnya terlihat pucat saat melihat seorang laki-laki yang berdiri dengan raut wajah kesal di depanku. 

"K-kamu ngapain, Qil?" bisik Naya gugup di telingaku. 

"Nih, mau ngerjain aku. Ya, aku kerjain balik," jawabku santai. 

"Qila! Jangan bercanda, deh. Kamu nggak tahu dia siapa," lirih Naya dengan tetap memandang takut sosok di depanku. 

"Siapa?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di dada. 

"D-dia, bos kita yang baru. Anaknya Pak Cakra." Bisikan pelan dari Naya sukses membuat seluruh tubuhku lemas. 

"B-bos?" Mataku melotot tak percaya. 

"Hmm ...." Laki-laki itu menggumam. 

"Pak, s-saya m-minta maaf. Tadi--"

"Siapa nama kamu?" tanyanya.

"Nama saya Qila, Pak." Aku menunduk lesu. Pasrah masuk daftar karyawan berkelakuan buruk. 

"Qila? Hmm ... kita akan bertemu lagi nanti."

"Ha?" Aku terkejut. 

"Simpan keterkejutanmu untuk nanti, Qila," bisiknya ditelingaku. 

Ia berlalu meninggalkanku dan Naya yang masih terpana akan kejadian barusan. Ya, Tuhan! Apa yang sudah kulakukan. 

"Sekarang apa?" bisik Naya.

"Entah, Nay. A-aku ... tidak tahu kalau--"

"Kamu, sih! Asal marahin orang nggaj jelas. Nggak tahu orangnya siapa, main seruduk aja." Naya meninggalkanku yang berdiri mematung memperhatikan langkahnya yang semakin menjauh.

'Ah ... dasar aku! Bisa-bisanya memarahi seorang bos di depan perusahaannya sendiri'

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mendadak Menikah   Perempuan dari Masa Lalu

    "Selamat pagi, Aqila. Gimana tidurnya tadi malam?" Azka tidur menyamping menghadapku, sampai embusan napasnya terasa di wajah."Jangan dekat-dekat, napasmu bau," ujarku pelan sambil tetap menutup mata."Bangun. Kamu tidak ingin jalan-jalan?" tanyanya sambil mengerucutkan bibirku dengan tangannya."Azka, jangan ganggu. Aku masih ngantuk," ujarku tetap dengan nada pelan."Baiklah. Aku akan segera mandi dan jalan-jalan di pantai sendirian. Bisa saja banyak bule di sini." Azka berucap sambil melangkah turun dari kasur."Biarin!" tekanku padanya.Meskipun masih dengan mata terpejam, tapi aku sama sekali tidak tidur. Hanya sedang malas saja untuk bangkit. Aku bisa mendengar suara gemericik air di kamar mandi, juga saat Azka mengganti pakaian di kamar."Kamu bener nggak mau ikut aku jalan-jalan?" tanyanya lagi. Wangi parfum suamiku itu menguar di udara."Nggak, ah. Ngantuk," jawabku tanpa membuka mata.

  • Mendadak Menikah   Honeymoon Yang Tertunda

    "Azka, kita beneran mau ke Bali?""Menurutmu?""Mana kutahu. Kan, kamu yang bilang sendiri mau ngajakin ke Bali. Gimana sih kamu.""Ciiee ... berharap banget honeymoon ke Bali.""Ck ... ya, udah. Nggak usah ke sana. Aku nggak jadi ikut!""Wah, ngambekan nih?" Azka mencubit gemas hidungku."Sakit, Azka!""Siap-siap sekarang, kita berangkat.""Ke Bali?""Enggak. Ke Bandara.""Iya, tapi mau ke Bali, kan?""Nggak tahu, deh. Liat ntar aja.""Ih, Azka! Suka banget, deh. Sehari aja nggak jahil gimana?""Ntar kamu kangen.""Kepedean!""Emangnya enggak?""Kangen.""Nah? Udahlah, mau ke Bali nggak?""Mau dong.""Aku tunggu di mobil."Akhirnya, hanya dengan sebuah kata ingin ke Bali saja, Azka langsung membawaku ke sana. Keinginan yang selalu aku impikan sedari kecil, baru hari ini tercapai.Benar saja, kami ke Bali menggunak

  • Mendadak Menikah   Jatuh Cinta

    "Semoga kamu tidak akan mengingat masa lalumu lagi saat di Bali nanti. Tapi, maaf kalau harus ditunda dua hari lagi. Ada keperluan mendadak di perusahaan.""Tidak apa-apa. Aku mengerti. Maaf, Azka. Sebenarnya aku malu menceritakan ini. Tapi, percayalah kalau kehormatanku sebagai wanita masih kujaga sampai saat ini."Tanpa diduga, Azka malah memelukku dengan erat. Ia menciumi pucuk kepalaku dengan lembut berulang kali. Berulang kali pula kata maaf terucap dari bibirnya."Aku sudah berusaha, bahkan mempelajari semuanya. Tapi, bayangan saat orang itu memaksaku membuat aku ketakutan.""Maafkan aku yang selalu memaksakan kehendak. Aku tidak tahu masalahmu sangat berat. Aku tidak tahu dengan trauma yang kamu rasakan selama ini, Qila.""Tidak apa-apa. Ke depannya, aku akan semakin berusaha. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik dan sempurna untukmu.""Jangan memaksakan diri. Aku mencintaimu dan menikahimu bukan hanya karena itu. Meski tida

  • Mendadak Menikah   Masa Lalu Qila

    "Bunda, Qila kangen Bunda," lirihku sambil terus mengusap air mata yang mengalir di pipi.Bagaimana caranya aku mengatakan pada Azka tentang trauma masa laluku itu? Aku takut Azka berpikir, ini semua hanya karena aku ingin menghindar darinya.Ya Allah, tolong bantu Qila.Aku terus saja terisak, hingga tanpa sadar sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut."Bunda!" seruku dan berbalik."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku lagi saat melihat Azka sudah duduk di tepi ranjang."Sejak tadi. Aqila, ada apa denganmu? Maafkan aku sudah terlalu memaksamu untuk keinginanku.""Tidak apa-apa. Bukankah wajar seorang suami meminta haknya pada istrinya? Tapi, a-aku bukan ha-hanya tidak siap. Melainkan ...," ucapku terjeda."Melainkan apa?""Azka, maukah kamu mendengar ceritaku? Tapi, aku mohon jangan membenciku setelah ini.""Tidak mungkin aku membencimu, Qila. Ceritakan saja, aku siap

  • Mendadak Menikah   Butuh Psikiater

    Paginya, aku bangun dengan mata yang masih sembab. Setelahnya aku langsung mandi dan mengenakan pakaian yang bagus. Azka yang melihat itu tampak menghela napas berat. Ia mungkin berpikir aku akan kembali masuk kerja."Azka, aku boleh ikut ke kantor?" tanyaku."Jadi, kamu tidak mengindahkan apa yang kukatakan?" Azka kembali bertanya."Ijinkan aku pergi."Azka menarik napas dan mengembuskannya pelan. Ia tampak sedang mengatur perasaan yang mungkin ingin marah. Namun, aku punya suatu rencana."Baiklah. Terserah padamu."Azka menggeser kursi dan beranjak pergi. Kuikuti langkahnya menuju mobil dan ikut masuk ke dalam mobil itu. Azka tampak kaget, tapi aku hanya diam meski tahu apa yang membuatnya begitu heran.Azka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya keheningan. Bahkan, suara AC saja bisa terdengar. Musik tidak pernah dinyalakan saat ada aku di dalam mobil, kar

  • Mendadak Menikah   Jangan Pernah Berubah

    Aku tiba di rumah lebih dulu, setelah sebelumnya menghubungi Azka untuk meminta ijinnya. Karena Azka masih sibuk di luar."Gara-gara udah lama nggak kerja, badanku jadi capek semua," lirihku sambil merebahkan diri di kasur.Sambil memejamkan mata, aku membayangkan wajah Azka. Kenapa mereka segitunya hanya karena ingin menarik perhatian laki-laki itu.Huh ... Azka itu 'kan, suamiku. Dasar centil! Mereka itu apa tidak bisa, ya, cari laki-laki lain. Kenapa malah harus memperebutkan suami orang.Azka pasti juga nanti malah sok-sokan kalau aku bilang mereka semua tergila-gila padanya."Ngelamunin apanya, sih?"Hah ... sekarang suara Azka malah seperti jelas di telingaku."Azka, Azka. Kenapa mereka--""Kenapa apanya?"Aku terlonjak dan langsung membuka mata."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku kaget."Sejak tadi. Suami pulang, bukannya disambut malah dilamunin. Ngel

  • Mendadak Menikah   Memperebutkan Hati CEO Tampan

    [Azka, aku lapar. Lupa bawa dompet. Pinjam ke teman-teman nggak enak.]Kukirim pesan via Wa pada Azka. Entah kenapa dompet yang sangat penting untuk dibawa itu malah ketinggalan di rumah.Kenapa Azka belum juga membalas pesanku? Padahal sudah centang dua meski abu-abu. Azka memang mematikan mode baca di Wanya. Sok sibuk sekali CEO tampan itu."Makanlah."Sebuah kotak makanan kini ada di atas meja kerja. Aku kaget saat melihat Azka berdiri di samping. Tentu saja dengan semua mata dan pandangan anak-anak kantor mengarah pada kami.'Tuhan. Apa-apaan ini!'"Te-terima kasih, Az ...eh, Pak Azka," ucapku kemudian."Cepatlah makan. Jangan sampai terlambat, aku tidak ingin kamu sakit, Qila," ujarnya lagi.'Azkaaaa ...!' teriakku dalam hati.Ia berjalan santai meninggalkanku yang ditatap penuh tanda tanya oleh para karyawan kantor."Apa liat-liat?!" seruku sambil memelototi me

  • Mendadak Menikah   Aku Cemburu!

    Satu bulan kemudian."Siap, Sayang?" tanya Azka."Hu'um."Aku mengangguk. Kemudian, mengikuti langkah Azka menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, kupandangi lagi rumah yang selama ini menyimpan banyak kenanganku bersama ayah dan bunda.Aku tidak bisa tinggal di sini. Bayang-bayang kenangan bersama ayah dan bunda terus terngiang. Bahkan, aku bisa terduduk lunglai saat sedang mencuci piring hanya karena ingat saat-saat bersama bunda di dapur rumah ini. Tidak terasa air mataku mengalir."Qila, masuklah."Ucapan Azka membuatku tersadar dari lamunan."Qila pergi dulu Ayah, Bunda. Selamat tinggal," lirihku.Mobil Azka bergerak membelah jalanan yang padat dengan kendaraan. Aku tidak pindah ke luar kota, hanya saja mencari tempat yang lebih jauh dari rumahku yang dulu.Azka yang meminta untuk pindah. Ia tidak tega melihatku terus saja menangisi kepergian ayah dan bunda.

  • Mendadak Menikah   Jangan Bundaku!

    Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku."Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir.Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu."Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah!"Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi."Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung.""A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan.Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku."A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila kata

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status