Kami berjalan bersama menuju ruang rawat inap untuk kakek Amar.
Jika dilihat lorong rumah sakit yang kami lalui ini sangat berbeda dengan pada umumnya. Lorong rumah sakit yang kami lewati ini terkesan mewah. Bahkan seperti lorong yang ada di hotel-hotel.
Sebelum masuk ke ruang rawat inap tempat kakek Amar dirawat, kami melewati sebuah pintu kaca sensor, di mana jika ada orang yang akan masuk ke dalam maka pintu itu akan terbuka dengan sendirinya.
Pada pintu kaca itu terdapat tulisan ‘VVIP’
Hmm … Pantas saja lorong ini cukup mewah, ternyata jalan menuju ruang VVIP. Ruangan khusus orang-orang kaya.
Aku melihat Alea yang dari tadi tidak melepas genggaman tanganku. Alea seperti orang yang terkesima dengan lorong ini, tidak jarang dia membuka mulutnya tanda terkesima dengan apa yang dia lihat. Bukan hanya Alea, tapi aku juga. Aku jadi makin penasaran dengan isi ruang rawat inapnya.
Kakek Amar masih terbaring di atas brankar yang di dorong oleh 2 perawat, mas Azmi berjalan di samping kakek Amar lalu aku dan Alea berjalan di belakang mereka.
“Ini benar rumah sakit teh?” bisik Alea padaku.
“Benar.”
“Sungguh mewah.”
Aku hanya tersenyum maklum mendengar reaksi dari Alea. Kami dari kecil hanya tinggal di panti asuhan. Jangankan memiliki kamar sendiri-sendiri, dalam ruangan ukuran 4x4 saja ditempati oleh 4 orang.
Bisa kalian bayangkan pengapnya seperti apa.
Maka dari itu melihat hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan.
Kami memasuki salah satu ruangan yang ada di sebelah kiri. Tertera angka 7 pada pintu.
Saat pintu dibuka, makin terpana lah kami dengan suasana kamar tersebut. Ruangan ini terasa sejuk, tidak sepanas saat di UGD, padahal sekarang bisa dibilang tengah malam. Di dalam ruangan itu terdapat 2 tempat tidur, satu khusus pasien dan satu lagi khusus wali pasien. Tempat tidurnya juga bukan dari brankar tapi seperti single bed. Televisi, lemari pendingin, sofa, lemari kecil dan kamar mandi dalam, semuanya ada di sana.
Aku bingung dengan isi ruang VVIP ini. Ini rumah sakit atau kosan mewah?
Kakek Amar dipindahkan ke atas ranjang dibantu dua perawat itu dan mas Azmi.
Mas?
Bolehkah aku panggil ‘mas’?
Nanti akan aku tanyakan.
Setelah memindahkan kakek Amar, mas Azmi melihati kami masih berdiri di dekat pintu.
“Kalian masuklah. Duduklah di sofa,” titah mas Azmi.
Tanpa disuruh dua kali, aku dan Alea menuruti perintah mas Azmi dengan mendudukkan tubuh kami di atas sofa.
“Hah … Enaknya,” lega Alea. Dia memijat lututnya. Hal yang sama kulakukan juga. Siapa yang tidak pegal, semenjak sampai rumah sakit kami sama sekali belum duduk.
Mas Azmi membuka lemari pendingin lalu mendekati kami dan duduk di single.
Dua kaleng minuman soda mas Azmi berikan untuk kami, “Kalian tidur saja dahulu malam ini di sini. Saya titip kakek sebentar. Ada yang harus saya ambil di rumah.”
Mas Azmi menatapku lekat dengan wajah datar. Aku gugup, “Mas, kami boleh tidur di ranjang sana?” pintaku pada mas Azmi menunjuk ranjang samping kakek Amar.
“Pakai saja.”
Aku ingin membicarakan terkait permintaan kakek Amar, baru saja aku akan membuka mulut dia sudah langsung menyela saja, “Terkait permintaan kakek tadi tidak perlu diambil pusing. Kita bisa bicarakan itu besok.”
Apakah dia paranormal? Dia bisa menebak apa yang ingin aku ucapkan.
Setelah itu dia pergi entah ke mana.
“Fit! Fitri!” Kaget saat mendengar suara seorang pria yang teriak-teriak dari arah ruang tamu. Aku tetap saja memakan buah-buahan yang sudah aku kupas dan tidak menghiraukan suara pria yang teriak-teriak itu. Jujur saja itu sangat mengganggu, tapi biarkan saja. Tiba-tiba saja ada seorang pria tampan yang datang dengan terengah-engah muncul di dekat pintu dapur. “Heh! Fitri!” Bug … Dia menggebrak meja. Haris … Ya, pria yang teriak-teriak itu Haris. Aku tidak heran sama sekali kalau dia akan datang menemui ku. Dia pasti akan bertanya ini-itu tentang pernikahan kemarin. Haris duduk dengan terengah di kursi makan di hadapanku. “Ada apa?” ucap ku lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulutku. “Aku yang harusnya bertanya seperti itu. Ada apa? Bagaimana mungkin kamu menikah dengan kakakku?” tanya Haris to the point dengan raut muka keras. Aku bangkit dari duduk ku lalu mengambilkan segelas air putih untuk Haris. “Seperti yang kakek Amar katakan. Aku menolong kakek saat sakit jantun
“Non mau tanya apa?”Aku menghela napas. Aku tahu aku salah dengan mencari tahu tentang mas Azmi pada mereka bertiga itu salah, tapi mereka lebih tahu dariku tentang mas Azmi. Aku yakin mereka pasti curiga dengan hubungan aku dengan mas Azmi dan mereka juga akan tahu jika hubunganku dengan mas Azmi tidak baik-baik saja.“Mas Azmi, mbok. Semuanya,” tegasku.“Maksudnya?” Mereka bertiga terlihat bingung.“Kalian sudah lama kerja dengan mas Azmi ‘kan?”“Kami sudah bekerja selama 2 tahun. Tepat saat rumah ini pertama kali ditempati sama den Azmi.”“Jadi rumah ini baru 2 tahun?”Mbok Tarsih, Risa dan Tari mengangguk.“Kalau mbok tahu makanan kesukaan mas Azmi?”“Begini deh, non. Saya bakal cerita tentang den Azmi. Jadi saat pertama kali kami kemari, kami hanya bekerja saat pagi hari untuk membereskan rumah dan memasak sarapan. Lalu kita akan kembali bekerja lagi saat sore hari untuk menyiapkan makan malam. Bahkan dari awal kami tidak diperbolehkan ke rumah utama jika ada den Azmi.”Fitri
Di taman kecil ini aku hanya duduk di kursi besi yang tersedia di tengah taman.“Aku harus merencanakan cara menaklukan mas Azmi,”Tapi bagaimana caranya?Ah, aku tahu!Aku pergi menuju sebuah bangunan kecil yang ada di sebelah rumah utama.Yup, rumah khusus seluruh pembantu rumah tangga ini tinggal. Aku akan menemui mbok Tarsih. Aku akan mewawancarai mbok Tarsih.Di depan rumah itu terdapat dua orang wanita muda yang sedang mengobrol di teras, mereka mungkin beberapa tahun di atasku. Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan mereka, karena mereka menggunakan bahasa yang sepertinya berasal dari Jawa Timur, terkesan keras.Kenapa aku tahu? Karena teman sekolahku ada yang berasal dari kota Solo dan bahasa yang dia gunakan saat berbincang bersama ibunya saat itu sangat pelan dan pembawaannya anggun.Maaf aku tidak bermaksud mendiskreditkan sesuatu, semua ini hanya berdasarkan penglihatanku saja.Salah seorang dari mereka menyadari kedatanganku lantas dia langsung berdiri dan sedikit m
“Aku siap!” ucapku lantang. Mas Azmi menaikkan alisnya meremehkan.Jujur saja aku malu saat mengatakannya. Tapi aku sudah memikirkan ini semua jauh-jauh hari. Selama masa ujian, saat siang hari aku belajar bersama Haris, Salman dan Caca, sedangkan saat malam hari aku berselancar di media sosial mencari tata cara menjadi istri yang baik, termasuk cara menyenangkan suami.Memang se-niat itu aku memikirkan pernikahan ini. Tapi baru juga kurang dari satu hari, yang kurasa justru jauh dari rumah tangga yang akan bahagia. Tidak sesuai dengan yang selama ini aku baca di media sosial.Aku memang tidak mau menikah di usia se-dini ini, tapi jika memang mas Azmi adalah jodohku yang sudah dipersiapkan oleh tuhan maka aku harus menerimanya. Untuk kedepannya mengenai rumah tangga ini kita tidak bisa memprediksi, tinggal jalani saja.“Baguslah kalau kamu siap. Jadi saya tidak perlu buang uang untuk sewa wanita malam. Sudah dapat yang gratis ini,” ucap mas Azmi enteng, seolah aku wanita yang tidak me
Tubuhku cukup segar setelah mandi barusan.Hari ini hari sabtu dan kemarin aku baru saja selesai melaksanakan ujian, otomatis hari ini libur bagi seluruh pelajar sepertiku. Hah enaknya…Sudah jam 7 pagi, pasti mas Azmi sudah turun ke bawah untuk sarapan. Lebih baik aku bergegas ikut sarapan bersamanya.Benar saja tebakanku, mas Azmi sedang menyimpan tas kerjanya di kursi. Saat dia mengangkat mangkuk nasi goreng itu aku lantas berteriak, “Stop, mas!” Mas Azmi berjingkat kaget. Aku mempercepat langkahku menuju ke arahnya. “Biar aku yang hangatkan nasinya!”Aku mengambil mangkuk besar itu dari genggaman mas Azmi. Dia masih diam, mungkin masih shock akan teriakan yang berasal dariku tadi.Mata mas Azmi melotot tajam. Aku tidak menghiraukan pelototan mas Azmi dan berbalik menuju microwave yang ada di dapur.5 menit berlalu. Dengan meyibukkan diriku sendiri melakukan entah apa pun itu yang ada di dapur setidaknya dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Dari tadi mas Azmi melotot tajam da
Biasanya selepas subuh aku membereskan kamar lalu membantu ibu dan anak-anak panti yang kebagian memasak di dapur. Tapi saat ini aku hanya duduk di ranjang dan tidak melakukan apa pun. Sangat aneh jika aku tidak melakukan apa pun.“Lebih baik aku ke dapur saja.”Aku beranjak menuju dapur. Berbeda dengan keadaan rumah semalam yang sepi, saat ini justru terbilang ramai. Ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membereskan rumah. Saat aku melewati mereka, mereka tersenyum ke arahku dan aku membalas senyuman mereka.Tengkukku tiba-tiba gatal, aku merasa justru dan merasa tak pantas mendapat senyuman sopan dari orang-orang yang lebih tua dariku. Malu lebih tepatnya, semua itu karena mereka lebih tua dariku tapi mereka seolah segan padaku.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang sibuk di counter dapur. Aku menghampirinya. “Saya bantu, bu,” kataku sambil senyum ke arah ibu tersebut. Ibu itu sangat kaget mendengar suaraku yang tiba-tiba.“Astagfirulloh! Ya ampun, non! Mbok kaget.”