Share

BAB 4

Kami berjalan bersama menuju ruang rawat inap untuk kakek Amar.

Jika dilihat lorong rumah sakit yang kami lalui ini sangat berbeda dengan pada umumnya. Lorong rumah sakit yang kami lewati ini terkesan mewah. Bahkan seperti lorong yang ada di hotel-hotel.

Sebelum masuk ke ruang rawat inap tempat kakek Amar dirawat, kami melewati sebuah pintu kaca sensor, di mana jika ada orang yang akan masuk ke dalam maka pintu itu akan terbuka dengan sendirinya.

Pada pintu kaca itu terdapat tulisan ‘VVIP’

Hmm … Pantas saja lorong ini cukup mewah, ternyata jalan menuju ruang VVIP. Ruangan khusus orang-orang kaya.

Aku melihat Alea yang dari tadi tidak melepas genggaman tanganku. Alea seperti orang yang terkesima dengan lorong ini, tidak jarang dia membuka mulutnya tanda terkesima dengan apa yang dia lihat. Bukan hanya Alea, tapi aku juga. Aku jadi makin penasaran dengan isi ruang rawat inapnya.

Kakek Amar masih terbaring di atas brankar yang di dorong oleh 2 perawat, mas Azmi berjalan di samping kakek Amar lalu aku dan Alea berjalan di belakang mereka.

“Ini benar rumah sakit teh?” bisik Alea padaku.

“Benar.”

“Sungguh mewah.”

Aku hanya tersenyum maklum mendengar reaksi dari Alea. Kami dari kecil hanya tinggal di panti asuhan. Jangankan memiliki kamar sendiri-sendiri, dalam ruangan ukuran 4x4 saja ditempati oleh 4 orang.

Bisa kalian bayangkan pengapnya seperti apa.

Maka dari itu melihat hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan.

Kami memasuki salah satu ruangan yang ada di sebelah kiri. Tertera angka 7 pada pintu.

Saat pintu dibuka, makin terpana lah kami dengan suasana kamar tersebut. Ruangan ini terasa sejuk, tidak sepanas saat di UGD, padahal sekarang bisa dibilang tengah malam. Di dalam ruangan itu terdapat 2 tempat tidur, satu khusus pasien dan satu lagi khusus wali pasien. Tempat tidurnya juga bukan dari brankar tapi seperti single bed. Televisi, lemari pendingin, sofa, lemari kecil dan kamar mandi dalam, semuanya ada di sana.

Aku bingung dengan isi ruang VVIP ini. Ini rumah sakit atau kosan mewah?

Kakek Amar dipindahkan ke atas ranjang dibantu dua perawat itu dan mas Azmi.

Mas?

Bolehkah aku panggil ‘mas’?

Nanti akan aku tanyakan.

Setelah memindahkan kakek Amar, mas Azmi melihati kami masih berdiri di dekat pintu.

“Kalian masuklah. Duduklah di sofa,” titah mas Azmi.

Tanpa disuruh dua kali, aku dan Alea menuruti perintah mas Azmi dengan mendudukkan tubuh kami di atas sofa.

“Hah … Enaknya,” lega Alea. Dia memijat lututnya. Hal yang sama kulakukan juga. Siapa yang tidak pegal, semenjak sampai rumah sakit kami sama sekali belum duduk.

Mas Azmi membuka lemari pendingin lalu mendekati kami dan duduk di single.

Dua kaleng minuman soda mas Azmi berikan untuk kami, “Kalian tidur saja dahulu malam ini di sini. Saya titip kakek sebentar. Ada yang harus saya ambil di rumah.”

Mas Azmi menatapku lekat dengan wajah datar. Aku gugup, “Mas, kami boleh tidur di ranjang sana?” pintaku pada mas Azmi menunjuk ranjang samping kakek Amar.

“Pakai saja.”

Aku ingin membicarakan terkait permintaan kakek Amar, baru saja aku akan membuka mulut dia sudah langsung menyela saja, “Terkait permintaan kakek tadi tidak perlu diambil pusing. Kita bisa bicarakan itu besok.”

Apakah dia paranormal? Dia bisa menebak apa yang ingin aku ucapkan.

Setelah itu dia pergi entah ke mana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status