Share

BAB 6

Author: Krite
last update Last Updated: 2022-11-06 23:55:48

Aku dan Alea sedang dalam angkutan umum perjalanan pulang ke panti.

Alea dari tadi diam saja. Mungkin masih ngantuk, lagi pula aku tidak ingin mengajak Alea berbicara juga karena masih shock akan pembicaraan aku dan mas Azmi di kafetaria tadi.

Aku akan menjadi istrinya dan dia juga akan menjadi suamiku. Setelah menikah nanti, bagaimana mungkin aku tidak mengurus mas Azmi sedangkan dia akan jadi ladang pahala untukku?

Bahkan mas Azmi bilang, “Kembali lagi nanti saat akan akad. Tidak perlu menjenguk kakek!

Apa-apaan pria itu.

***

Anak-anak panti sepertinya sudah selesai sarapan. Mereka sedang belajar bersama di halaman panti. Tia dan Lastri sedang mengajar mereka.

Aku dan Alea menghampiri bu Sri yang masih duduk di meja makan. Ibu Sri ini merupakan ibu panti di sini. Kami giliran mencium tangan beliau.

"Bagaimana keadaan kakek yang kalian tolong itu?"

"Dia ada riwayat jantung bu. Tadi pagi dokter bilang keadaan kakek sudah membaik tapi masih harus dirawat, soalnya keadaannya masih perlu perawatan dan belum sembuh total," jelas Alea. Dia menjelaskan apa yang dokter ucapkan tadi karena saat dokter itu datang hanya ada Alea di ruangan kakek Amar.

"Syukurlah kalau memang sudah membaik. Kalian sudah sarapan?"

"Sudah, tapi Fitri lapar lagi," ucapku terkekeh.

Perutku memang perut kampung, sudah diberi makan sandwich tapi kalau belum bertemu nasi terasa seperti belum makan.

"Ya sudah. Makan dahulu sana," ucap bu Sri menunjuk meja makan yang masih tersedia nasi goreng di dalam satu mangkuk besar.

"Alea mau tidur saja bu," ucap Alea tiba-tiba saja berdiri dan pergi masuk ke dalam kamar. Mungkin tubuhnya pegal karena tidur di atas sofa.

Aku dan ibu bingung dengan sikap Alea. Dia jadi pendiam karena yang kami tahu Alea itu orangnya ceria.

Tadi saat aku dan mas Azmi masuk ke ruangan kakek Amar, Alea sedang duduk di samping kakek Amar dan sedang menggenggam tangan kakek Amar. Aku lihat kakek Amar sudah bangun juga dari tidurnya.

Tadi pagi wajah kakek Amar sudah tidak ada pandangan layu dan ekspresi menahan sakit lagi.

"Bu, ada yang mau Fitri bicarakan."

"Ada apa Fit?" tanya Bu Sri mengerutkan keningnya.

"Kita bicara di kamar ibu boleh?" tanyaku. Sepertinya ia paham kalau apa yang akan kami bicarakan cukup penting. Bu Sri mengangguk dan tersenyum menenangkan ke arahku.

*

Aku menceritakan semua yang aku alami saat menolong kakek Amar. Bu Sri mendengarkan aku bercerita tanpa memotong sedikit pun ucapanku. Aku bercerita sambil memeluk Bu Sri.

“Menurut ibu bagaimana?”

“Dari lubuk hati ibu yang paling dalam jujur saja ibu tidak mau kamu menikah secepat ini.“

“Fitri juga sudah menolak. Tapi pria itu kekeh mengajak Fitri untuk menikah.”

Bu Sri menerawang.

“Apa maksud kakek Amar dan pria itu untuk menikahkan kamu dengan cucunya itu?”

“Itu Fitri juga tidak tahu.”

Aku makin mengeratkan pelukanku pada Bu Sri.

Tok tok

Bu. Ini Alea,” teriak suara itu dari luar kamar ibu Sri.

“Masuk saja Lea,” balas bu Sri.

Alea masuk ke dalam kamar bu Sri dan ikut memeluk bu Sri dari samping. Jadi kami berdua memeluk bu Sri dengan erat di kedua sisi.

“Lea tadi katanya mau tidur,” ucap Bu Sri.

“Lea tidak bisa tidur bu. Ini gara-gara kakek Amar,” rajuk Alea.

Aku mengerutkan kening.

Bu Sri mengusap pipi Lea, “Kenapa, hm?”

“Kakek Amar meminta Lea menikah juga.”

Apa?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Menikah   BAB 27

    “Fit! Fitri!” Kaget saat mendengar suara seorang pria yang teriak-teriak dari arah ruang tamu. Aku tetap saja memakan buah-buahan yang sudah aku kupas dan tidak menghiraukan suara pria yang teriak-teriak itu. Jujur saja itu sangat mengganggu, tapi biarkan saja. Tiba-tiba saja ada seorang pria tampan yang datang dengan terengah-engah muncul di dekat pintu dapur. “Heh! Fitri!” Bug … Dia menggebrak meja. Haris … Ya, pria yang teriak-teriak itu Haris. Aku tidak heran sama sekali kalau dia akan datang menemui ku. Dia pasti akan bertanya ini-itu tentang pernikahan kemarin. Haris duduk dengan terengah di kursi makan di hadapanku. “Ada apa?” ucap ku lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulutku. “Aku yang harusnya bertanya seperti itu. Ada apa? Bagaimana mungkin kamu menikah dengan kakakku?” tanya Haris to the point dengan raut muka keras. Aku bangkit dari duduk ku lalu mengambilkan segelas air putih untuk Haris. “Seperti yang kakek Amar katakan. Aku menolong kakek saat sakit jantun

  • Mendadak Menikah   BAB 26

    “Non mau tanya apa?”Aku menghela napas. Aku tahu aku salah dengan mencari tahu tentang mas Azmi pada mereka bertiga itu salah, tapi mereka lebih tahu dariku tentang mas Azmi. Aku yakin mereka pasti curiga dengan hubungan aku dengan mas Azmi dan mereka juga akan tahu jika hubunganku dengan mas Azmi tidak baik-baik saja.“Mas Azmi, mbok. Semuanya,” tegasku.“Maksudnya?” Mereka bertiga terlihat bingung.“Kalian sudah lama kerja dengan mas Azmi ‘kan?”“Kami sudah bekerja selama 2 tahun. Tepat saat rumah ini pertama kali ditempati sama den Azmi.”“Jadi rumah ini baru 2 tahun?”Mbok Tarsih, Risa dan Tari mengangguk.“Kalau mbok tahu makanan kesukaan mas Azmi?”“Begini deh, non. Saya bakal cerita tentang den Azmi. Jadi saat pertama kali kami kemari, kami hanya bekerja saat pagi hari untuk membereskan rumah dan memasak sarapan. Lalu kita akan kembali bekerja lagi saat sore hari untuk menyiapkan makan malam. Bahkan dari awal kami tidak diperbolehkan ke rumah utama jika ada den Azmi.”Fitri

  • Mendadak Menikah   BAB 25

    Di taman kecil ini aku hanya duduk di kursi besi yang tersedia di tengah taman.“Aku harus merencanakan cara menaklukan mas Azmi,”Tapi bagaimana caranya?Ah, aku tahu!Aku pergi menuju sebuah bangunan kecil yang ada di sebelah rumah utama.Yup, rumah khusus seluruh pembantu rumah tangga ini tinggal. Aku akan menemui mbok Tarsih. Aku akan mewawancarai mbok Tarsih.Di depan rumah itu terdapat dua orang wanita muda yang sedang mengobrol di teras, mereka mungkin beberapa tahun di atasku. Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan mereka, karena mereka menggunakan bahasa yang sepertinya berasal dari Jawa Timur, terkesan keras.Kenapa aku tahu? Karena teman sekolahku ada yang berasal dari kota Solo dan bahasa yang dia gunakan saat berbincang bersama ibunya saat itu sangat pelan dan pembawaannya anggun.Maaf aku tidak bermaksud mendiskreditkan sesuatu, semua ini hanya berdasarkan penglihatanku saja.Salah seorang dari mereka menyadari kedatanganku lantas dia langsung berdiri dan sedikit m

  • Mendadak Menikah   BAB 24

    “Aku siap!” ucapku lantang. Mas Azmi menaikkan alisnya meremehkan.Jujur saja aku malu saat mengatakannya. Tapi aku sudah memikirkan ini semua jauh-jauh hari. Selama masa ujian, saat siang hari aku belajar bersama Haris, Salman dan Caca, sedangkan saat malam hari aku berselancar di media sosial mencari tata cara menjadi istri yang baik, termasuk cara menyenangkan suami.Memang se-niat itu aku memikirkan pernikahan ini. Tapi baru juga kurang dari satu hari, yang kurasa justru jauh dari rumah tangga yang akan bahagia. Tidak sesuai dengan yang selama ini aku baca di media sosial.Aku memang tidak mau menikah di usia se-dini ini, tapi jika memang mas Azmi adalah jodohku yang sudah dipersiapkan oleh tuhan maka aku harus menerimanya. Untuk kedepannya mengenai rumah tangga ini kita tidak bisa memprediksi, tinggal jalani saja.“Baguslah kalau kamu siap. Jadi saya tidak perlu buang uang untuk sewa wanita malam. Sudah dapat yang gratis ini,” ucap mas Azmi enteng, seolah aku wanita yang tidak me

  • Mendadak Menikah   BAB 23

    Tubuhku cukup segar setelah mandi barusan.Hari ini hari sabtu dan kemarin aku baru saja selesai melaksanakan ujian, otomatis hari ini libur bagi seluruh pelajar sepertiku. Hah enaknya…Sudah jam 7 pagi, pasti mas Azmi sudah turun ke bawah untuk sarapan. Lebih baik aku bergegas ikut sarapan bersamanya.Benar saja tebakanku, mas Azmi sedang menyimpan tas kerjanya di kursi. Saat dia mengangkat mangkuk nasi goreng itu aku lantas berteriak, “Stop, mas!” Mas Azmi berjingkat kaget. Aku mempercepat langkahku menuju ke arahnya. “Biar aku yang hangatkan nasinya!”Aku mengambil mangkuk besar itu dari genggaman mas Azmi. Dia masih diam, mungkin masih shock akan teriakan yang berasal dariku tadi.Mata mas Azmi melotot tajam. Aku tidak menghiraukan pelototan mas Azmi dan berbalik menuju microwave yang ada di dapur.5 menit berlalu. Dengan meyibukkan diriku sendiri melakukan entah apa pun itu yang ada di dapur setidaknya dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Dari tadi mas Azmi melotot tajam da

  • Mendadak Menikah   BAB 22

    Biasanya selepas subuh aku membereskan kamar lalu membantu ibu dan anak-anak panti yang kebagian memasak di dapur. Tapi saat ini aku hanya duduk di ranjang dan tidak melakukan apa pun. Sangat aneh jika aku tidak melakukan apa pun.“Lebih baik aku ke dapur saja.”Aku beranjak menuju dapur. Berbeda dengan keadaan rumah semalam yang sepi, saat ini justru terbilang ramai. Ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membereskan rumah. Saat aku melewati mereka, mereka tersenyum ke arahku dan aku membalas senyuman mereka.Tengkukku tiba-tiba gatal, aku merasa justru dan merasa tak pantas mendapat senyuman sopan dari orang-orang yang lebih tua dariku. Malu lebih tepatnya, semua itu karena mereka lebih tua dariku tapi mereka seolah segan padaku.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang sibuk di counter dapur. Aku menghampirinya. “Saya bantu, bu,” kataku sambil senyum ke arah ibu tersebut. Ibu itu sangat kaget mendengar suaraku yang tiba-tiba.“Astagfirulloh! Ya ampun, non! Mbok kaget.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status