Share

BAB 5

Author: Krite
last update Last Updated: 2022-11-06 23:05:20

“Teteh yakin mau nikah sama pria itu?” tanya Alea yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa sedangkan aku di atas ranjang.

“Teteh kan masih pelajar. Kalau ada yang tahu teteh menikah pasti nanti beasiswa teteh dicabut.”

“Tapi teh, Azmi-azmi itu sepertinya akan menuruti permintaan kakeknya.”

“Tidak. Intinya teteh mau sekolah dahulu. Yang ada di pikiran teteh sekarang itu lulus sekolah supaya teteh bisa dapat pekerjaan yang bagus.”

“Paling kalau lulusan SMA ujung-ujungnya nanti kerja di pabrik.”

“Tidak masalah. Setidaknya teteh tidak harus kepanasan mengirim susu ke warung-warung padahal gaji tidak seberapa.”

Itu lah pembicaraan kami sebelum tidur.

Sebenarnya kebiasaan ini selalu kami lakukan sebelum tidur. Aku, Alea, Tia dan Lastri akan bergiliran membicarakan hal-hal yang kita alami sehari penuh, terkadang mereka juga tidak hanya jadi pendengar tapi sebagai pemberi solusi juga di saat salah satu dari kita sedang tertimpa masalah.

***

Jam 5 subuh aku terbangun. Waktunya solat subuh. Seperti sudah menjadi alarm alami kalau jam 5 subuh itu sudah bangun.

Aku bangun dan membuka lemari kecil yang ada di samping pintu toilet. Tidak ada mukena, sajadah juga tidak ada.

Aku keluar dari ruang VVIP tersebut. Aku akan meminjam mukena dan sajadah pada perawat. Aku menuju perawat station yang berada di luar pintu kaca.

Di sana hanya ada satu perawat yang sedang fokus pada komputer.

“Mbak,” panggilku pada perawat itu.

Perawat itu menatapku lalu tersenyum sopan, “Ya bu, ada yang bisa saya bantu?”

Bu? Aku belum setua itu.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “Kalau mushola di mana?”

“Mushola ada di lantai 1,” jawab perawat itu.

“Terima kasih.”

Aku bergegas menuju mushola. Aku tidak mengajak Alea, karena dia masih halangan.

Sampai di mushola aku langsung menunaikkan kewajibanku sebagai muslim.

Tidak lama, aku kembali lagi menuju ruangan kakek Amar.

Saat mau masuk lift, ada mas Azmi di dalam lift dengan membawa tas besar.

Mas Azmi menatapku lekat, “Mumpung kau ada di sini kita ke kafetaria dahulu.”

“Iya, mas.”

Mas Azmi mengerutkan kening mendengar panggilanku padanya. Selanjutnya dia menekan tombol 3 pada lift.

Ya, kafetaria ada di lantai 3.

Aku duduk di salah satu kursi di sana dan mas Azmi sedang membeli makanan.

Mas Azmi menyerahkan sepotong sandwich dan susu coklat padaku.

“Jadi Fitri …”

“Ya mas …”

“Terkait permintaan kakek semalam, bisa kah kamu menyetujuinya?”

Aku yang sedang mengunyah sandwich itu otomatis terhenti mendengar pertanyaan dari mas Azmi. Meski mas Azmi hanya menatapku dengan datar, tapi pandangan mata itu penuh dengan aura intimidasi.

“Maaf mas, tapi saya masih sekolah.”

“Kelas berapa?”

“Kelas 3 SMA.”

“Punya KTP?”

“Punya.”

“Good. Kamu sudah bukan anak di bawah umur lagi dan umur kamu sudah cukup mampu untuk menikah.”

Aku menggelengkan kepalaku tak percaya, “Mas bahkan aku besok masih harus ujian.”

“Jadi permasalahannya itu? Ujian?”

“Bukan itu saja, tapi-”

Mas Azmi mengangkat tangannya, menyuruh aku berhenti bicara.

“Kita akan menikah setelah kamu menyelesaikan ujian. Setelah menikah kamu sepenuhnya tanggung jawabku. Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali. Masalah finansial aku akan memberimu uang setiap bulannya, pergunakan uang itu dengan baik. Cukup menguntungkan bukan?” ucap final mas Azmi dengan pandangan remeh.

Aku hanya diam menunggu kelanjutan ucapan mas Azmi, aku yakin dia belum selesai bicara.

“Tapi sebagai gantinya … Kamu jangan pernah mencampuri urusanku dan urus saja dirimu sendiri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Menikah   BAB 27

    “Fit! Fitri!” Kaget saat mendengar suara seorang pria yang teriak-teriak dari arah ruang tamu. Aku tetap saja memakan buah-buahan yang sudah aku kupas dan tidak menghiraukan suara pria yang teriak-teriak itu. Jujur saja itu sangat mengganggu, tapi biarkan saja. Tiba-tiba saja ada seorang pria tampan yang datang dengan terengah-engah muncul di dekat pintu dapur. “Heh! Fitri!” Bug … Dia menggebrak meja. Haris … Ya, pria yang teriak-teriak itu Haris. Aku tidak heran sama sekali kalau dia akan datang menemui ku. Dia pasti akan bertanya ini-itu tentang pernikahan kemarin. Haris duduk dengan terengah di kursi makan di hadapanku. “Ada apa?” ucap ku lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulutku. “Aku yang harusnya bertanya seperti itu. Ada apa? Bagaimana mungkin kamu menikah dengan kakakku?” tanya Haris to the point dengan raut muka keras. Aku bangkit dari duduk ku lalu mengambilkan segelas air putih untuk Haris. “Seperti yang kakek Amar katakan. Aku menolong kakek saat sakit jantun

  • Mendadak Menikah   BAB 26

    “Non mau tanya apa?”Aku menghela napas. Aku tahu aku salah dengan mencari tahu tentang mas Azmi pada mereka bertiga itu salah, tapi mereka lebih tahu dariku tentang mas Azmi. Aku yakin mereka pasti curiga dengan hubungan aku dengan mas Azmi dan mereka juga akan tahu jika hubunganku dengan mas Azmi tidak baik-baik saja.“Mas Azmi, mbok. Semuanya,” tegasku.“Maksudnya?” Mereka bertiga terlihat bingung.“Kalian sudah lama kerja dengan mas Azmi ‘kan?”“Kami sudah bekerja selama 2 tahun. Tepat saat rumah ini pertama kali ditempati sama den Azmi.”“Jadi rumah ini baru 2 tahun?”Mbok Tarsih, Risa dan Tari mengangguk.“Kalau mbok tahu makanan kesukaan mas Azmi?”“Begini deh, non. Saya bakal cerita tentang den Azmi. Jadi saat pertama kali kami kemari, kami hanya bekerja saat pagi hari untuk membereskan rumah dan memasak sarapan. Lalu kita akan kembali bekerja lagi saat sore hari untuk menyiapkan makan malam. Bahkan dari awal kami tidak diperbolehkan ke rumah utama jika ada den Azmi.”Fitri

  • Mendadak Menikah   BAB 25

    Di taman kecil ini aku hanya duduk di kursi besi yang tersedia di tengah taman.“Aku harus merencanakan cara menaklukan mas Azmi,”Tapi bagaimana caranya?Ah, aku tahu!Aku pergi menuju sebuah bangunan kecil yang ada di sebelah rumah utama.Yup, rumah khusus seluruh pembantu rumah tangga ini tinggal. Aku akan menemui mbok Tarsih. Aku akan mewawancarai mbok Tarsih.Di depan rumah itu terdapat dua orang wanita muda yang sedang mengobrol di teras, mereka mungkin beberapa tahun di atasku. Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan mereka, karena mereka menggunakan bahasa yang sepertinya berasal dari Jawa Timur, terkesan keras.Kenapa aku tahu? Karena teman sekolahku ada yang berasal dari kota Solo dan bahasa yang dia gunakan saat berbincang bersama ibunya saat itu sangat pelan dan pembawaannya anggun.Maaf aku tidak bermaksud mendiskreditkan sesuatu, semua ini hanya berdasarkan penglihatanku saja.Salah seorang dari mereka menyadari kedatanganku lantas dia langsung berdiri dan sedikit m

  • Mendadak Menikah   BAB 24

    “Aku siap!” ucapku lantang. Mas Azmi menaikkan alisnya meremehkan.Jujur saja aku malu saat mengatakannya. Tapi aku sudah memikirkan ini semua jauh-jauh hari. Selama masa ujian, saat siang hari aku belajar bersama Haris, Salman dan Caca, sedangkan saat malam hari aku berselancar di media sosial mencari tata cara menjadi istri yang baik, termasuk cara menyenangkan suami.Memang se-niat itu aku memikirkan pernikahan ini. Tapi baru juga kurang dari satu hari, yang kurasa justru jauh dari rumah tangga yang akan bahagia. Tidak sesuai dengan yang selama ini aku baca di media sosial.Aku memang tidak mau menikah di usia se-dini ini, tapi jika memang mas Azmi adalah jodohku yang sudah dipersiapkan oleh tuhan maka aku harus menerimanya. Untuk kedepannya mengenai rumah tangga ini kita tidak bisa memprediksi, tinggal jalani saja.“Baguslah kalau kamu siap. Jadi saya tidak perlu buang uang untuk sewa wanita malam. Sudah dapat yang gratis ini,” ucap mas Azmi enteng, seolah aku wanita yang tidak me

  • Mendadak Menikah   BAB 23

    Tubuhku cukup segar setelah mandi barusan.Hari ini hari sabtu dan kemarin aku baru saja selesai melaksanakan ujian, otomatis hari ini libur bagi seluruh pelajar sepertiku. Hah enaknya…Sudah jam 7 pagi, pasti mas Azmi sudah turun ke bawah untuk sarapan. Lebih baik aku bergegas ikut sarapan bersamanya.Benar saja tebakanku, mas Azmi sedang menyimpan tas kerjanya di kursi. Saat dia mengangkat mangkuk nasi goreng itu aku lantas berteriak, “Stop, mas!” Mas Azmi berjingkat kaget. Aku mempercepat langkahku menuju ke arahnya. “Biar aku yang hangatkan nasinya!”Aku mengambil mangkuk besar itu dari genggaman mas Azmi. Dia masih diam, mungkin masih shock akan teriakan yang berasal dariku tadi.Mata mas Azmi melotot tajam. Aku tidak menghiraukan pelototan mas Azmi dan berbalik menuju microwave yang ada di dapur.5 menit berlalu. Dengan meyibukkan diriku sendiri melakukan entah apa pun itu yang ada di dapur setidaknya dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Dari tadi mas Azmi melotot tajam da

  • Mendadak Menikah   BAB 22

    Biasanya selepas subuh aku membereskan kamar lalu membantu ibu dan anak-anak panti yang kebagian memasak di dapur. Tapi saat ini aku hanya duduk di ranjang dan tidak melakukan apa pun. Sangat aneh jika aku tidak melakukan apa pun.“Lebih baik aku ke dapur saja.”Aku beranjak menuju dapur. Berbeda dengan keadaan rumah semalam yang sepi, saat ini justru terbilang ramai. Ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membereskan rumah. Saat aku melewati mereka, mereka tersenyum ke arahku dan aku membalas senyuman mereka.Tengkukku tiba-tiba gatal, aku merasa justru dan merasa tak pantas mendapat senyuman sopan dari orang-orang yang lebih tua dariku. Malu lebih tepatnya, semua itu karena mereka lebih tua dariku tapi mereka seolah segan padaku.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang sibuk di counter dapur. Aku menghampirinya. “Saya bantu, bu,” kataku sambil senyum ke arah ibu tersebut. Ibu itu sangat kaget mendengar suaraku yang tiba-tiba.“Astagfirulloh! Ya ampun, non! Mbok kaget.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status