Share

BAB 3

Aku dan Alea masih berdiri di dekat brankar kakek Amar.

“Untung saja besok libur. Jadi tidak masalah pulang malam,” ucapku lega.

“Ibu bagaimana? Dia pasti khawatir. Ini pertama kalinya kita keluar malam lewat dari jam sepuluh,”-- Alea melihat jam pada telepon genggam miliknya--”Lihat teh, sudah jam sebelas lewat,” ucap Alea.

Aku terkekeh, “Tidak mungkin juga menghubungi ibu sekarang. Pasti ibu sudah tidur. Sebenarnya teteh sudah kirim pesan tadi saat di dalam mobil pada ibu. Ibu balas katanya hati-hati saat pulang nanti, katanya jangan pulang dahulu malam ini. Nanti pulangnya saat subuh saja.”

“Hah … Syukurlah … Aku pikir ibu akan marah,” lega Alea.

Hmm …

Fokusku dan Alea teralih saat mendengar suara yang berasal dari kakek Amar. Aku melihat mata kakek bergerak pelan dan kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit.

Tangan kakek Amar terangkat sedikit. Otomatis aku menggenggam telapak tangan kakek Amar dan mendekatkan kepalaku saat melihat kakek yang membuka mulut seolah ingin berbicara, “Kek?” tanyaku.

Telingaku mendekat ke arah mulut kakek Amar, “Te-terima kasih,” ucap kakek Amar dengan pelan dan tersendat.

Aku tersenyum, “Sama-sama, kek. Kakek harus sembuh. Tadi saya sudah telepon keluarga kakek. Mungkin sebentar lagi sampai.”

Kakek Amar tersenyum teduh.

“Kek, nama saya Alea, sedangkan ini namanya Fitri,” ucap Alea tiba-tiba sambil menepuk pundakku. Kakek Amar mengangguk kecil dan tersenyum.

Dari arah luar terdengar suara gaduh, seperti ada orang yang berlari. Benar saja ada pria yang berlari ke arah station perawat. Laki-laki itu berperawakan tinggi, tidak terlalu kekar namun cukup tampan. Raut wajah panik sangat terlihat di sana.

Samar aku mendengar, “Amar Sugeng Nataprawira dimana?”

Seorang perawat menunjuk ke arah aku dan Alea. Saat pria itu melihat kami, lalu dia mengalihkan pandangan ke arah brankar di hadapan kami, “Kakek!”

Dia berjalan cepat ke arah kami, “Ya ampun kakek. Kakek tidak apa-apa? Ada yang sakit? Dadanya sakit lagi?” ucap pria itu panik saat sudah sampai ke dekat brankar kakek Amar. Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dengan lancar. Padahal aku yakin kakek Amar tidak sanggup menjawab semua pertanyaan itu.

Kakek Amar hanya menggeleng ringan.

Pria itu menggenggam telapak tangan kakek Amar yang satunya lagi, sedangkan yang satunya lagi masih aku genggam. Bahkan genggaman tangan kakek Amar tidak mengendur sama sekali meski cucunya sudah tiba.

“Azmi …” panggil kakek Amar pelan.

“Ya, kek,” ucap pria bernama Azmi itu sambil mendekatkan kepalanya ke wajah kakek Amar.

“Kalian berdua menikah lah,” pinta kakek Amar pelan dengan mengeratkan pegangan tangannya pada tanganku.

“Iya … Nanti Azmi menikah.”

“Dengan Fitri.”

Apa?

Aku?

Kedua mataku membola. Apa maksudnya semua ini? Aku harus menikah? Dengan pria ini? Bahkan kenal pun tidak.

Alea menyenggol lenganku. Aku menoleh pada Alea. Senyum menggoda yang ku dapatkan saat melihat wajah Alea.

“Siapa Fitri? Aku tidak punya teman maupun rekan kerja bernama Fitri,” ucap pria itu.

“Ini Fitri,” ucap kakek Azmi mengalihkan pandangan ke arahku. Otomatis pria itu juga melihat ke arahku.

Aku hanya bisa menelan ludah.

Gugup sekali dipandang oleh pria setampan Azmi ini.

“Kamu yang namanya Fitri?” tanya Azmi dengan pandangan yang tidak bisa aku tebak apa maksud dari pandangan itu.

“Iya,” ucapku serak saking gugup.

Azmi-Azmi itu menghela napas keras.

“Baiklah kalau-” ucap Azmi. Namun aku segera menyela ucapannya.

“Tapi maaf kek. Saya tidak bisa. Saya masih sekolah,” ucapku menolak permintaan kakek Amar.

“Ini permintaan terakhir dalam hidup saya. Saya mohon terima permintaan terakhir saya,” ucap kakek Amar lirih dan pelan. Matanya berlinang air mata di pelupuk mata kakek Amar tanpa terjatuh.

Aku menggeleng pelan. Barulah air mata itu jatuh dari pelupuk mata kakek Azmi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status