"Ada apa, Bik? Apa yang terjadi?," Bu Ajeng seketika menjadi khawatir, pikirannya melayang memikirkan hal buruk yang mungkin telah terjadi di rumahnya.
"Bik, Bik, Bik Ijah. Bik...!," karena tak kunjung mendapat jawaban Bu Ajeng mengambil telepon yang menempel di telinganya, lalu memandangi layar benda pipih itu, ternyata sambungan teleponnya telah terputus, hal itu membuat Bu Ajeng bertambah khawatir. Dia segera memasukan kembali ponsel yang berwarna hitam itu kedalam tas sandang yang menggantung di bahunya.
"Aku harus tiba di rumah secepatnya! Berani sekali pembantu itu mematikan sambungan telepon ketika aku belum selesai bicara!." Bu Ajeng mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, motor itu meliuk-liuk di jalanan, menerobos di tengah ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalanan hitam.
Tin,tin,tin,tin. Beberapa kali Bu Ajeng membunyikan klakson supaya kendaraan yang menghalangi jalannya memberikan dia ruang untuk melaju kencang. Sudah beberapa kali wanita bersanggul tinggi itu nyaris mengakibatkan kecelakaan, dan sudah beberapa kali juga wanita itu di hadiahi teriakan kebencian serta kata-kata makian dari para pengguna jalan yang berlalu lalang. Tetapi wanita itu tidak perduli, dia tetap melaju kencang menjadi penguasa jalanan hingga sampai di tempat tujuan. Bu Ajeng menghentikan motornya di sebuah rumah mewah. Terdengar suara derit roda ketika Bu Ajeng menekan rem motor matic itu.
"Bik,Bik,Bik." Bu Ajeng masuk ke dalam rumahnya dengan tergesa langkah kakinya sedikit berlari, sambil berteriak memanggil pembantu. Dia tidak sabar ingin mengetahui apa yang saat ini sedang terjadi di dalam rumah itu. Mendengar sang majikan telah tiba, Bik Ijah bergegas menghampiri.
"Den Adit, Bu. Den Adit mencoba bunuh diri lagi, dia mencoba terjun dari jendela." Bik Ijah berbicara dengan nada takut yang dibalut rasa khawatir. Perempuan paruh baya itu sudah bekerja di rumah Bu Ajeng sejak Aditiya masih kecil, dia mengasuh kedua anak rentenir itu dengan penuh kasih sayang, seperti merawat anaknya sendiri.
"Apa?." Bu Ajeng berlari ke kamar Aditiya, atau yang lebih akrab dipanggil Adit. Adit merupakan anak sulungnya yang menempati kamar di lantai dua. Ini sudah yang ketiga kalinya Adit mencoba mengakhiri hidupnya. Sejak mengalami kecelakaan satu tahun yang lalu, lelaki yang berusia dua puluh lima tahun itu kehilangan semangat hidup. Adit tidak bisa menerima kenyataan sejak dokter menyatakan kedua kakinya lumpuh dan hanya keajaiban yang bisa membuatnya pulih kembali.
Bu Ajeng membuka pintu kamar Adit, dia bisa bernapas lega ketika melihat anak laki-lakinya tidak terluka sedikit pun.
"Adit, kamu kenapa, Nak? Kenapa kamu mencoba terjun dari jendela kamarmu? Apa kamu tidak menyanyangi Ibu, Nak? Kenapa kamu ingin meninggalkan Ibu?," Bu Ajeng tidak kuasa menahan air matanya. Tangannya mengusap lembut rambut putranya. Lelaki yang duduk di atas kursi roda itu hanya diam membisu, dia sama sekali tidak berniat menjawab runtunan pertanyaan yang dilontarkan Bu Ajeng. Tatapannya kosong, matanya redup tak bercahaya.
Sebelum mengalami kecelakaan , Adit adalah lelaki yang humoris, dia juga sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya, lelaki itu bahkan jarang pulang. Namun, sejak kecelakaan yang menimpanya Adit selalu mengurung diri di dalam kamar, dia juga jarang berbicara, seringkali dia mengamuk tampa alasan dan menghancurkan barang-barang yang ada di kamar itu.
"Adit, Ibu sayang sama kamu, kamu adalah belahan jiwa Ibu, jangan pernah melakukan hal konyol seperti ini lagi ya, Nak." Bu Ajeng memeluk tubuh anaknya, saat tangannya menyentuh bahu Adit, dia merasakan betapa kurus anak sulungnya sekarang, tubuh yang dulu kekar itu sudah tidak ada lagi, tubuh itu hanya tersisa tulang yang dibungkus kulit.
Bu Ajeng menangis sekeras-kerasnya agar suara tangisnya terdengar oleh seisi rumah, supaya semua mengira kalau dia benar-benar menyanyangi Adit dengan tulus.
Setelah wanita itu merasa puas mengeluarkan air mata buayanya, dia kembali melancarkan kata-kata bualan agar terlihat perhatian.
"Adit, kamu kalau perlu sesuatu jangan sungkan untuk mengatakannya pada Ibu, atau jika ada yang ingin kamu ceritakan Ibu ada di luar. Kamu tidak sendirian, Ibu akan selalu ada untuk kamu, Nak." Bu Ajeng kembali memeluk tubuh anaknya erat, lalu mengecup pucuk kepala anak itu sebelum meninggalkan kamar Adit. Namun Adit sama sekali tidak menanggapi ucapan ibunya. Lelaki itu sudah mulai lelah menghadapi sikap Bu Ajeng yang selalu pura-pura baik di hadapannya.
Setelah menutup pintu kamar Adit dari luar, Bu Ajeng menghapus air matanya, senyum misterius menghiasi bibir merahnya. Wanita itu melangkahkan kaki menuju ruang TV.
"Bik, Bik, Bibik!
Bik Ijah yang sedang membersihkan dapur lari tergesa ketika mendengar panggilan dari sang majikan yang galak
"Lama banget sih, Bik. Pita suaraku sudah mau putus berteriak dari tadi! Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Adit terlihat sangat sedih." Bu Ajeng menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa empuk berwarna merah yang ada di sampingnya
"Saya juga tidak tahu, Bu. Ketika saya mengantarkan makanan ke kamar, Aden. Setelah mengetuk pintu beberapa kali tidak ada jawaban. Saya langsung membuka pintu kamar itu dan melihat sebagian tubuh Den Adit sudah menggantung di jendela, beruntung kaki Den Adit tersangkut di kursi rodanya"
"Kamu bagaimana sih, Bik! Kamu bekerja di rumah ini di gaji untuk mengurus semua orang yang ada di sini, Bik. Jadi, kamu harus bekerja dengan benar," omel Bu Ajeng
"Maaf, Bu. Tadi saya sedang memasak di dapur," suara Bik ijah terdengar serak. Dia merasa sedih, setiap kali Adit mencoba menyakiti dirinya selalu saja Bik Ijah yang terkena imbasnya
Adit pernah keracunan obat, dia sengaja meminum obat yang diresepkan dokter untuknya dalam satu waktu. Dia juga pernah mencoba menyayat pergelangan tangannya, dan sekarang dia mencoba terjun dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Setiap kali peristiwa buruk itu terjadi Bik Ijah lah yang menjadi bulan-bulanan majikannya. Bik Ijah yang selalu di salahkan dan dianggap tidak bekerja dengan baik.
"Jangan banyak alasan, Bik. Aku bisa memecat kamu kapan saja! Masih banyak orang di luar sana yang mau bekerja di rumah ini!," ucap Bu Ajeng sambil memalingkan wajah, dia tidak sudi menatap wajah Bik Ijah yang memelas.
"Tolong, jangan pecat saya, Bu. Saya tidak akan mengulangi kesalahan ini. Saya akan menjaga Den Adit dengan lebih baik lagi," Bik Ijah mulai menangis. Meskipun bekerja di rumah Bu Ajeng membuatnya merasa tertekan, tetapi wanita itu harus tetap bertahan demi uang. Dengan bekerja di rumah itu dia bisa membantu pengobatan suaminya yang sedang terbaring lemah, karena mengalami lumpuh di kampung halamannya
"Jika kamu masih mau bekerja di rumah ini, kamu harus melakukan sesuatu untukku...."
Plak....Sebuah tamparan mendarat di pipi Amara yang putih dan bening, rupanya ucapan gadis itu telah berhasil memancing emosi Bu Ajeng yang sudah sejak tadi berusaha menahan amarah. Darah rentenir itu mendidih, bola matanya memerah, urat-urat di wajahnya tampak menonjol dan menegang, saat ini wajah Bu Ajeng terlihat lebih menyeramkan dari pada penampakan setan."Berani sekali kamu berkata seperti itu padaku! Ternyata kalian tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin akhlak! Bu Ajeng mengarahkan jari telunjuknya pada Amara. Tatapannya tajam, dadanya terlihat naik turun, napasnya tak beraturan, yang menjadi pertanda betapa murkanya rentenir itu pada saat ini.Sedangkan Amara terdiam mematung memegangi pipi kanannya yang terasa perih dan panas akibat tamparan Bu Ajeng, saking kerasnya tamparan itu membuat pipinya memerah membetuk bekas jari. Bu Sulas yang sedang berdiri tepat di sebelah putrinya terkejut melihat kejadian itu, kedua tangan Bu Sulas refleks menutup mulutnya yang terbuka
"Bapak sudah menduga jika hari ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat kamu pasti akan mengetahui tentang rahasia yang kami simpan darimu. Sekarang purti Bapak sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat." Pak Bardan kembali menghisap rokok yang hanya tersisa sedikit di tangannyaPak Bardan mulai menceritakan tentang hutangnya yang sudah menumpuk pada Bu Ajeng. Lelaki itu berbicara dengan suara yang terdengar berat, sesekali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, untuk mengurangi beban pikirannya yang membuat dadanya terasa sesak"Kenapa hutang kita sampai sebanyak itu? Kenapa selama ini Bapak dan Ibu tidak pernah bercerita mengenai masalah ini padaku?," Amara berkata dengan perasaan sedih. Dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk matanya, membuat pandangan gadis itu menjadi kabur.Bapak tidak mau mengganggu konsentrasi belajarmu, Nak. Bapak ingin kamu tetap fokus dan giat belajar, supaya kamu bisa meraih cita-citamu menjadi guru," jawab Pak Bardan. L
"Apa yang harus saya lakukan, Bu? Saya akan melalukan apapun yang Ibu minta jika saya mampu""kamu harus mencari seseorang yang bersedia menikah dengan Adit!""Maksud, Ibu...?" Bik Ijah tidak melanjutkan ucapannya"Maksudku, kamu carikan istri untuk Adit, apa masih kurang jelas?." Bu Ajeng memelototkan mata. Dia selalu mengeluarkan jurusnya yang satu ini jika merasa kesal pada lawan bicaranya."Tapi, Bu. Saya tidak punya kenalan keluarga kaya. Saya ini hanya seorang pembantu, Bu," Bik Ijah merasa heran dengan permintaan majikannya yang terlihat tidak biasa."Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu itu pembantu! Cari saja perempuan dari kampungmu, di sana pasti banyak perempuan yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi!." Bu Ajeng menyilangkan kedua kakinya, wanita itu berbicara dengan tegas dan mantap tampa gurat keraguan.Bik Ijah tak lagi bisa berkata-kata. Perkataan yang keluar dari mulut majikannya membuat wanita yang bekerja di rumah itu terkejut, merasa ada yang janggal dengan
"Ada apa, Bik? Apa yang terjadi?," Bu Ajeng seketika menjadi khawatir, pikirannya melayang memikirkan hal buruk yang mungkin telah terjadi di rumahnya."Bik, Bik, Bik Ijah. Bik...!," karena tak kunjung mendapat jawaban Bu Ajeng mengambil telepon yang menempel di telinganya, lalu memandangi layar benda pipih itu, ternyata sambungan teleponnya telah terputus, hal itu membuat Bu Ajeng bertambah khawatir. Dia segera memasukan kembali ponsel yang berwarna hitam itu kedalam tas sandang yang menggantung di bahunya."Aku harus tiba di rumah secepatnya! Berani sekali pembantu itu mematikan sambungan telepon ketika aku belum selesai bicara!." Bu Ajeng mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, motor itu meliuk-liuk di jalanan, menerobos di tengah ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalanan hitam.Tin,tin,tin,tin. Beberapa kali Bu Ajeng membunyikan klakson supaya kendaraan yang menghalangi jalannya memberikan dia ruang untuk melaju kencang. Sudah beberapa kali wanita bersanggul tinggi itu
"Kamu harus melunasi semua hutangmu saat ini juga!,"seorang perempuan berbicara dengan lantang. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan di rumah Pak Bardan yang sempit. Perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, yang mampu mengejutkan dan menghancurkan hati serta perasaan si pemilik rumah. Sanggul yang menjulang tinggi bagaikan sebuah bukit menghiasi kepala perempuan itu."Maaf, Bu. Aku belum berhasil mengumpulkan uangnya, tolong beri aku waktu satu bulan lagi, Bu."Pak Bardan berbicara dengan wajah tertunduk. Lelaki tua itu tidak berani menatap wajah Bu Ajeng, yang merupakan seorang lintah darat yang hampir setiap hari datang menagih hutang kerumah Pak Bardan.Aku sudah bosan mendengar janji palsumu, Bardan! Setiap kali aku datang kamu selalu saja mengulur-ulur waktu untuk membayar hutangmu yang sudah menggunung." wanita itu mengibas-ngibaskan kipas yang dia genggam di wajahnya yang dihiasi make up tebal. Tatapannya tajam penuh kebencian