Amara terpaksa menikah di usia muda untuk melunasi hutang keluarganya pada ibu dari calon suaminya, yang merupakan seorang rentenir. Lelaki yang akan menjadi suaminya adalah orang yang selama ini dia benci. Mampukah Amara melewati ujian yang datang dari suami yang dingin dan ibu mertua yang licik...?
Lihat lebih banyak"Kamu harus melunasi semua hutangmu saat ini juga!,"seorang perempuan berbicara dengan lantang. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan di rumah Pak Bardan yang sempit. Perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, yang mampu mengejutkan dan menghancurkan hati serta perasaan si pemilik rumah. Sanggul yang menjulang tinggi bagaikan sebuah bukit menghiasi kepala perempuan itu.
"Maaf, Bu. Aku belum berhasil mengumpulkan uangnya, tolong beri aku waktu satu bulan lagi, Bu."Pak Bardan berbicara dengan wajah tertunduk. Lelaki tua itu tidak berani menatap wajah Bu Ajeng, yang merupakan seorang lintah darat yang hampir setiap hari datang menagih hutang kerumah Pak Bardan.
Aku sudah bosan mendengar janji palsumu, Bardan! Setiap kali aku datang kamu selalu saja mengulur-ulur waktu untuk membayar hutangmu yang sudah menggunung." wanita itu mengibas-ngibaskan kipas yang dia genggam di wajahnya yang dihiasi make up tebal. Tatapannya tajam penuh kebencian pada lelaki yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Percayalah padaku, Bu. kali ini, aku akan menepati janjiku, aku akan membayar hutangku beserta bunganya bulan depan"
Mendengar ucapan Pak Brdan, Bu Ajeng berdecak kesal, wanita itu kembali berbicara dengan nada tinggi
"Aku sudah muak mendengar kata-kata yang sama sejak beberapa tahun yang lalu, Bardan!"
Pak Bardan menunduk sedih. Kali ini, sudah tidak ada harapan baginya untuk berkilah dari wanita yang tidak pernah lelah bertandang kerumahnya dengan membawa secarik kertas yang dibubuhi tanda tangan Pak Bardan tersebut.
"Aku sudah berusaha, Bu. Apa boleh buat, semakin hari hutangku semakin membengkak, itu karena bunganya terlalu tinggi, sehingga aku tidak akan pernah mampu melunasinya," Pak Bardan memberanikan diri mengungkapkan kekecewaannya pada rentenir perempuan itu. Pasalnya, lelaki yang ber usia enam puluh tahun itu selalu mencicil hutangnya setiap bulan. Tetapi, bukannya berkurang hutangnya malah semakin bertambah banyak. Semua itu karena kelicikan Bu Ajeng.
Semua penderitaan yang dialami Pak Bardan berawal ketika, Pak Bardan dan istrinya terpaksa meminta bantuan kepada Bu Ajeng untuk membayar biaya oprasi anak kedua mereka yang mengalami kecelakaan. Kala itu, mereka meminjam uang sebesar sepuluh juta rupiah pada Bu Ajeng. Namun, sudah tiga tahun mencicil sebesar lima ratus ribu rupiah setiap bulannya, hutang keluarga Pak Bardan tak juga lunas.
"Apa yang kamu katakan? Berani sekali kamu berkata seperti itu, setelah aku mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk pengobatan anakmu! Jika bukan karena aku, sudah pasti anakmu itu sekarang telah menjadi tulang belulang yang terkubur di dalam tanah." Bu Ajeng sinis. Sudut bibir atasnya naik beberapa centi, wanita itu menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Pak Bardan terdiam beberapa saat. Lelaki itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dia menarik napas dalam dan mencoba mengumpulkan segenap keberanian supaya Bu Ajeng tidak memeras keluarganya lagi. Batin lelaki itu sudah lelah dan memilih menyerah
"Tolong maafkan atas kelancanganku, Bu. Aku..aku tidak bisa lagi membayar hutang kepada Ibu, total uang yang sudah aku berikan selama ini sudah lebih dari perjanjian awal kita," suara Pak Bardan terdengar bergetar.
"Apa?." Bu Ajeng terkejut, kedua tangannya mengepal. Dadanya naik turun, emosinya memuncak mendengar perkataan Pak Bardan. Dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar perkataan semacam itu keluar dari mulut Pak Bardan. Lelaki tua yang selama ini selalu menuruti semua ucapannya, sekarang sudah mulai berani memberontak
"Apa kamu sudah lupa, Bardan. Menurut perjanjian awal kita, uang yang kamu pinjam dariku sebesar sepuluh juta itu, akan kamu kembalikan dengan bunga sebesar lima puluh persen dalam jangka waktu satu tahun. Dan ini sudah tahun ketiga. Namun hutangmu belum lunas juga , jadi bunganya juga sudah berlipat ganda." mata rentenir itu membulat sempurna, hingga bola matanya seperti akan melompat dari tempatnya. Tatapannya tajam penuh kebencian bagaikan burung elang yang siap memburu mangsa
"Mau bagaimana lagi? Aku sudah tidak sanggup lagi mengumpulkan uang. Selama ini kami selalu berusaha mengirit pengeluaran, kami juga sering makan dengan nasi putih yang ditaburi garam," mata Pak Bardan berkaca-kaca, tergambar jelas penyesalan dan rasa bersalah di matanya. Demi mencicil hutang pada Bu Ajeng dia sampai mengesampingkan kebutuhan rumah tagga yang menjadi kewajibannya sebagai kepala keluarga.
"Itu bukan urusanku! Mau kamu makan pakai garam ataupun kamu makan rumput sekalipun, aku akan tetap meminta kamu mengembalikan uang yang telah pinjam dariku beserta bunganya!"
"Aku akan memberikanmu waktu satu minggu, Bardan. Jika sampai waktu yang aku tentukan tapi kamu tidak bisa mengembalikan uangku, maka tanah beserta rumah ini, yang telah kamu jadikan sebagai jaminan ketika datang meminjam uang, akan aku ambil sebagai gantinya. Rumah ini akan menjadi milikku! Ini adalah kesempatan terahir kamu, kali ini aku tidak akan memberi ampunan padamu. Ingat baik-baik ucapanku, Bardan!." Bu Ajeng mengarahkan jari telunjuknya ke wajah lelaki yang sedang menatapnya dengan raut wajah sedih.
Bu Ajeng meninggalkan rumah Pak Bardan dengan senyum licik yang mengembang di bibirnya. Rentenir itu sudah yakin kalau Pak Bardan tidak akan pernah mampu membayar hutang yang begitu banyak padanya dalam waktu satu pekan
Perkataan Bu Ajeng telah menghancurkan harapan Pak Bardan. Jika sampai rumah yang mereka tempati selama ini diambil paksa oleh Bu Ajeng, kemana dia harus membawa istri dan anak-anaknya. Pak Bardan tak sanggup menghadapi kenyataan pahit yang begitu menyesakan dadanya. Kaki lelai itu seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tubuh ringkih Pak Bardan lunglai jatuh di lantai rumahnya yang hanya ber alaskan tanah.
Berbeda dengan Pak Bardan yang kehilangan harapan. Bu Ajeng pulang dengan senyum kemenangan, membayangkan rumah Pak Bardan sudah berada dalam genggaman.
Bu Ajeng mengendarai motornya dengan perasaan gembira karena sebentar lagi asetnya akan bertambah. Senyum kebahagiaan mengembang di bibirnya yang dipoles lipstik merah terang, yang dapat menggambarkan kepribadiannya yang berani, energik dan pantang menyerah dalam usahanya mengambil paksa harta orang lain.
Terdengar suara dering telepon yang membuat senyumnya memudar. Wanita itu memarkirkan motor yang dikendarainya di pinggir jalan setapak yang dikelilingi persawahan, itulah sebabnya setiap kali datang ke rumah Pak Bardan, Bu Ajeng tidak pernah mengendarai mobil. Wanita bersanggul itu merogoh tas yang disandangnya untuk mengambil benda pipih yang terus mengeluarkan suara dering
"Bik Ijah! Kenapa dia menelponku? Bik Ijah memang paling bisa merusak kebahagiaanku," lirih wanita itu. Dia bergegas menggeser gambar telepon di layar ponselnya
"Bu, Ibu harus segera pulang sekarang juga, Bu," terdengar suara Bik Ijah bergetar, entah apa sebabnya wanita di seberang telepon sana terdengar sangat panik....
Plak....Sebuah tamparan mendarat di pipi Amara yang putih dan bening, rupanya ucapan gadis itu telah berhasil memancing emosi Bu Ajeng yang sudah sejak tadi berusaha menahan amarah. Darah rentenir itu mendidih, bola matanya memerah, urat-urat di wajahnya tampak menonjol dan menegang, saat ini wajah Bu Ajeng terlihat lebih menyeramkan dari pada penampakan setan."Berani sekali kamu berkata seperti itu padaku! Ternyata kalian tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin akhlak! Bu Ajeng mengarahkan jari telunjuknya pada Amara. Tatapannya tajam, dadanya terlihat naik turun, napasnya tak beraturan, yang menjadi pertanda betapa murkanya rentenir itu pada saat ini.Sedangkan Amara terdiam mematung memegangi pipi kanannya yang terasa perih dan panas akibat tamparan Bu Ajeng, saking kerasnya tamparan itu membuat pipinya memerah membetuk bekas jari. Bu Sulas yang sedang berdiri tepat di sebelah putrinya terkejut melihat kejadian itu, kedua tangan Bu Sulas refleks menutup mulutnya yang terbuka
"Bapak sudah menduga jika hari ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat kamu pasti akan mengetahui tentang rahasia yang kami simpan darimu. Sekarang purti Bapak sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat." Pak Bardan kembali menghisap rokok yang hanya tersisa sedikit di tangannyaPak Bardan mulai menceritakan tentang hutangnya yang sudah menumpuk pada Bu Ajeng. Lelaki itu berbicara dengan suara yang terdengar berat, sesekali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, untuk mengurangi beban pikirannya yang membuat dadanya terasa sesak"Kenapa hutang kita sampai sebanyak itu? Kenapa selama ini Bapak dan Ibu tidak pernah bercerita mengenai masalah ini padaku?," Amara berkata dengan perasaan sedih. Dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk matanya, membuat pandangan gadis itu menjadi kabur.Bapak tidak mau mengganggu konsentrasi belajarmu, Nak. Bapak ingin kamu tetap fokus dan giat belajar, supaya kamu bisa meraih cita-citamu menjadi guru," jawab Pak Bardan. L
"Apa yang harus saya lakukan, Bu? Saya akan melalukan apapun yang Ibu minta jika saya mampu""kamu harus mencari seseorang yang bersedia menikah dengan Adit!""Maksud, Ibu...?" Bik Ijah tidak melanjutkan ucapannya"Maksudku, kamu carikan istri untuk Adit, apa masih kurang jelas?." Bu Ajeng memelototkan mata. Dia selalu mengeluarkan jurusnya yang satu ini jika merasa kesal pada lawan bicaranya."Tapi, Bu. Saya tidak punya kenalan keluarga kaya. Saya ini hanya seorang pembantu, Bu," Bik Ijah merasa heran dengan permintaan majikannya yang terlihat tidak biasa."Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu itu pembantu! Cari saja perempuan dari kampungmu, di sana pasti banyak perempuan yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi!." Bu Ajeng menyilangkan kedua kakinya, wanita itu berbicara dengan tegas dan mantap tampa gurat keraguan.Bik Ijah tak lagi bisa berkata-kata. Perkataan yang keluar dari mulut majikannya membuat wanita yang bekerja di rumah itu terkejut, merasa ada yang janggal dengan
"Ada apa, Bik? Apa yang terjadi?," Bu Ajeng seketika menjadi khawatir, pikirannya melayang memikirkan hal buruk yang mungkin telah terjadi di rumahnya."Bik, Bik, Bik Ijah. Bik...!," karena tak kunjung mendapat jawaban Bu Ajeng mengambil telepon yang menempel di telinganya, lalu memandangi layar benda pipih itu, ternyata sambungan teleponnya telah terputus, hal itu membuat Bu Ajeng bertambah khawatir. Dia segera memasukan kembali ponsel yang berwarna hitam itu kedalam tas sandang yang menggantung di bahunya."Aku harus tiba di rumah secepatnya! Berani sekali pembantu itu mematikan sambungan telepon ketika aku belum selesai bicara!." Bu Ajeng mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, motor itu meliuk-liuk di jalanan, menerobos di tengah ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalanan hitam.Tin,tin,tin,tin. Beberapa kali Bu Ajeng membunyikan klakson supaya kendaraan yang menghalangi jalannya memberikan dia ruang untuk melaju kencang. Sudah beberapa kali wanita bersanggul tinggi itu
"Kamu harus melunasi semua hutangmu saat ini juga!,"seorang perempuan berbicara dengan lantang. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan di rumah Pak Bardan yang sempit. Perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, yang mampu mengejutkan dan menghancurkan hati serta perasaan si pemilik rumah. Sanggul yang menjulang tinggi bagaikan sebuah bukit menghiasi kepala perempuan itu."Maaf, Bu. Aku belum berhasil mengumpulkan uangnya, tolong beri aku waktu satu bulan lagi, Bu."Pak Bardan berbicara dengan wajah tertunduk. Lelaki tua itu tidak berani menatap wajah Bu Ajeng, yang merupakan seorang lintah darat yang hampir setiap hari datang menagih hutang kerumah Pak Bardan.Aku sudah bosan mendengar janji palsumu, Bardan! Setiap kali aku datang kamu selalu saja mengulur-ulur waktu untuk membayar hutangmu yang sudah menggunung." wanita itu mengibas-ngibaskan kipas yang dia genggam di wajahnya yang dihiasi make up tebal. Tatapannya tajam penuh kebencian
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen