Demi melunasi hutang keluarganya, Amara dipaksa menikah dengan Adit, yang merupakan musuh bebuyutannya sebelum lelaki itu menjadi cacat karena kecelakaan Amara mengira hidupnya akan berakhir dalam penderitaan. Namun, semakin lama tinggal di rumah rentenir itu, dia justru menemukan bahwa Bu Ajeng menyimpan rahasia besar. Adit bukanlah anak kandung Bu Ajeng, melainkan pewaris sah keluarga kaya raya. Ketika cinta mulai tumbuh diantara mereka, rahasia masa lalu terbongkar satu persatu. Adit harus memilih, tetap setia pada Amara yang tulus mencintainya, atau menyerah pada godaan kekuasaan dan meninggalkan Amara...? Apakah cinta bisa bertahan ketika pernikahan diawali dengan paksaan?
Lihat lebih banyak"Kamu harus melunasi semua hutangmu saat ini juga!," seorang perempuan berbicara dengan lantang. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan di rumah Pak Bardan yang sempit. Perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, yang mampu mengejutkan dan menghancurkan hati serta perasaan si pemilik rumah. Sanggul yang menjulang tinggi bagaikan sebuah bukit menghiasi kepala perempuan itu.
"Maaf, Bu. Aku belum berhasil mengumpulkan uangnya, tolong beri aku waktu satu bulan lagi, Bu."Pak Bardan berbicara dengan wajah tertunduk. Lelaki tua itu tidak berani menatap wajah Bu Ajeng, yang merupakan seorang lintah darat yang hampir setiap hari datang menagih hutang kerumah Pak Bardan.
Aku sudah bosan mendengar janji palsumu, Bardan! Setiap kali aku datang kamu selalu saja mengulur-ulur waktu untuk membayar hutangmu yang sudah menggunung." wanita itu mengibas-ngibaskan kipas yang dia genggam di wajahnya yang dihiasi make up tebal. Tatapannya tajam penuh kebencian pada lelaki yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Percayalah padaku, Bu. kali ini, aku akan menepati janjiku, aku akan membayar hutangku beserta bunganya bulan depan"
Mendengar ucapan Pak Brdan, Bu Ajeng berdecak kesal, wanita itu kembali berbicara dengan nada tinggi
"Aku sudah muak mendengar kata-kata yang sama sejak beberapa tahun yang lalu, Bardan!"
Pak Bardan menunduk sedih. Kali ini, sudah tidak ada harapan baginya untuk berkilah dari wanita yang tidak pernah lelah bertandang kerumahnya dengan membawa secarik kertas yang dibubuhi tanda tangan Pak Bardan tersebut.
"Aku sudah berusaha, Bu. Apa boleh buat, semakin hari hutangku semakin membengkak, itu karena bunganya terlalu tinggi, sehingga aku tidak akan pernah mampu melunasinya," Pak Bardan memberanikan diri mengungkapkan kekecewaannya pada rentenir perempuan itu. Pasalnya, lelaki yang ber usia enam puluh tahun itu selalu mencicil hutangnya setiap bulan. Tetapi, bukannya berkurang hutangnya malah semakin bertambah banyak. Semua itu karena kelicikan Bu Ajeng.
Semua penderitaan yang dialami Pak Bardan berawal ketika, Pak Bardan dan istrinya terpaksa meminta bantuan kepada Bu Ajeng untuk membayar biaya oprasi anak kedua mereka yang mengalami kecelakaan. Kala itu, mereka meminjam uang sebesar sepuluh juta rupiah pada Bu Ajeng. Namun, sudah tiga tahun mencicil sebesar lima ratus ribu rupiah setiap bulannya, hutang keluarga Pak Bardan tak juga lunas.
"Apa yang kamu katakan? Berani sekali kamu berkata seperti itu, setelah aku mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk pengobatan anakmu! Jika bukan karena aku, sudah pasti anakmu itu sekarang telah menjadi tulang belulang yang terkubur di dalam tanah." Bu Ajeng sinis. Sudut bibir atasnya naik beberapa centi, wanita itu menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Pak Bardan terdiam beberapa saat. Lelaki itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dia menarik napas dalam dan mencoba mengumpulkan segenap keberanian supaya Bu Ajeng tidak memeras keluarganya lagi. Batin lelaki itu sudah lelah dan memilih menyerah
"Tolong maafkan atas kelancanganku, Bu. Aku..aku tidak bisa lagi membayar hutang kepada Ibu, total uang yang sudah aku berikan selama ini sudah lebih dari perjanjian awal kita," suara Pak Bardan terdengar bergetar.
"Apa?." Bu Ajeng terkejut, kedua tangannya mengepal. Dadanya naik turun, emosinya memuncak mendengar perkataan Pak Bardan. Dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar perkataan semacam itu keluar dari mulut Pak Bardan. Lelaki tua yang selama ini selalu menuruti semua ucapannya, sekarang sudah mulai berani memberontak
"Apa kamu sudah lupa, Bardan. Menurut perjanjian awal kita, uang yang kamu pinjam dariku sebesar sepuluh juta itu, akan kamu kembalikan dengan bunga sebesar lima puluh persen dalam jangka waktu satu tahun. Dan ini sudah tahun ketiga. Namun hutangmu belum lunas juga , jadi bunganya juga sudah berlipat ganda." mata rentenir itu membulat sempurna, hingga bola matanya seperti akan melompat dari tempatnya. Tatapannya tajam penuh kebencian bagaikan burung elang yang siap memburu mangsa
"Mau bagaimana lagi? Aku sudah tidak sanggup lagi mengumpulkan uang. Selama ini kami selalu berusaha mengirit pengeluaran, kami juga sering makan dengan nasi putih yang ditaburi garam," mata Pak Bardan berkaca-kaca, tergambar jelas penyesalan dan rasa bersalah di matanya. Demi mencicil hutang pada Bu Ajeng dia sampai mengesampingkan kebutuhan rumah tagga yang menjadi kewajibannya sebagai kepala keluarga.
"Itu bukan urusanku! Mau kamu makan pakai garam ataupun kamu makan rumput sekalipun, aku akan tetap meminta kamu mengembalikan uang yang telah pinjam dariku beserta bunganya!"
"Aku akan memberikanmu waktu satu minggu, Bardan. Jika sampai waktu yang aku tentukan tapi kamu tidak bisa mengembalikan uangku, maka tanah beserta rumah ini, yang telah kamu jadikan sebagai jaminan ketika datang meminjam uang, akan aku ambil sebagai gantinya. Rumah ini akan menjadi milikku! Ini adalah kesempatan terahir kamu, kali ini aku tidak akan memberi ampunan padamu. Ingat baik-baik ucapanku, Bardan!." Bu Ajeng mengarahkan jari telunjuknya ke wajah lelaki yang sedang menatapnya dengan raut wajah sedih.
Bu Ajeng meninggalkan rumah Pak Bardan dengan senyum licik yang mengembang di bibirnya. Rentenir itu sudah yakin kalau Pak Bardan tidak akan pernah mampu membayar hutang yang begitu banyak padanya dalam waktu satu pekan
Perkataan Bu Ajeng telah menghancurkan harapan Pak Bardan. Jika sampai rumah yang mereka tempati selama ini diambil paksa oleh Bu Ajeng, kemana dia harus membawa istri dan anak-anaknya. Pak Bardan tak sanggup menghadapi kenyataan pahit yang begitu menyesakan dadanya. Kaki lelai itu seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tubuh ringkih Pak Bardan lunglai jatuh di lantai rumahnya yang hanya ber alaskan tanah.
Berbeda dengan Pak Bardan yang kehilangan harapan. Bu Ajeng pulang dengan senyum kemenangan, membayangkan rumah Pak Bardan sudah berada dalam genggaman.
Bu Ajeng mengendarai motornya dengan perasaan gembira karena sebentar lagi asetnya akan bertambah. Senyum kebahagiaan mengembang di bibirnya yang dipoles lipstik merah terang, yang dapat menggambarkan kepribadiannya yang berani, energik dan pantang menyerah dalam usahanya mengambil paksa harta orang lain.
Terdengar suara dering telepon yang membuat senyumnya memudar. Wanita itu memarkirkan motor yang dikendarainya di pinggir jalan setapak yang dikelilingi persawahan, itulah sebabnya setiap kali datang ke rumah Pak Bardan, Bu Ajeng tidak pernah mengendarai mobil. Wanita bersanggul itu merogoh tas yang disandangnya untuk mengambil benda pipih yang terus mengeluarkan suara dering
"Bik Ijah! Kenapa dia menelponku? Bik Ijah memang paling bisa merusak kebahagiaanku," lirih wanita itu. Dia bergegas menggeser gambar telepon di layar ponselnya
"Bu, Ibu harus segera pulang sekarang juga, Bu," terdengar suara Bik Ijah bergetar, entah apa sebabnya wanita di seberang telepon sana terdengar sangat panik....
Keesokan paginya setelah kaki Adit dipijat untuk yang pertama kalinya. Amara menemani suaminya untuk menikmati udara segar di kampung halamannya, Amara dengan penuh kesabaran dan kasih sayang mendorong kursi roda Adit, melewati jalan kampung yang dikelilingi hamparan sawah yang hijau"Kamu gak kapok kan?," tanya Amara, ketika merek berjalan sudah agak jauh"Kapok? Kenapa?""Tadi, sewaktu kakimu di pijat... Aku lihat kamu sangat kesakitan"Adit terkekeh, ada rasa bahagia yang menjalar di hatinya. "Kamu perhatian banget sama aku. Aku beruntung banget ya, Ra. Bisa berjodoh sama kamu," ucapnya"Aku gak akan pernah kapok, walaupun tadi aku sangat kesakitan. Aku akan terus berusaha agar aku bisa berjalan, aku ingin membahagiakan kamu. Kamu adalah semangat hidupku, Ra. Kamu adalah takdir terindah, yang di ukir Tuhan dalam rangkaian cerita hidupku. Aku sayang banget sama kamu, Ra "Ucapan itu begitu sederhana, tetapi bagi Amara terasa bagai aliran listrik kecil yang menjalar dari telinga h
Bik Ijah menatap Amara dan Adit secara bergantian, kedua orang itu juga masih setia menunggu jawaban pembantu rumah itu. Setelah diam membisu beberapa saat, Bik Ijah menggeleng pelan"Maaf, Bibik tidak tau siapa perempua ini," ucapnya dengan raut wajah sedih, karena telah mengecewakan Adit dan juga AmaraAdit menghembuskn napas kasar, dan mengacak-acak rambutnya yang telah tertata rapi"Ah... Sial! Kita tidak akan pernah tau siapa perempuan itu," ucapnya frustasi"Jangan menyerah dulu, Den. Kita masih punya harapan. Mulai sekarang aku akan mengawasi setiap gerak gerik Non Adel dan juga Bu Ajeng. Aku akan mengabari kalian jika ada sesuatu yang mencurigakan dari mereka""Yang dikatakan bibik benar, sekarang kita harus tetap pada rencana awal kita, agar Bu Ajeng tidak curiga, jika kita telah mengetahui rencana jahatnya. Kita akan tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara waktu, di sana kita akan menjebak orang suruhan Bu Ajeng," tegas Amara. "Bibik setuju dengan Non Mara. Kita harus
"Ibu payah, kenapa tidak Ibu suruh aja orang untuk mempe*k*sa anak kampung itu. Dengan cara seperti itu aku yakin, Bang Adit akan merasa jijik dan meninggalkan istrinya yang sudah ternoda. Dan Amara juga akan menderita, dia akan menanggung malu dan di hina, serta di cibir orang2 di sekitarnya sepanjang hidupnya. Bukankah itu terdengar sangat sempurna, Bu?" Adel berbicara dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dia dengan begitu teganya berencana menghancurkan hidup Amara, dan ingin menjatuhkannya ke dasar jurang kehidupan yang paling dalam. membayangkan penderitaan Amara membuat Adel merasa senangBu Ajeng menjentikkan ujung jarinya, matanya berbinar bahagia. Mendengar ide dari putrinya membuatnya sangat bersemangat, dia sependapat dengan anaknya, dengan cara seperti itu, kebencian dan dendamnya pada sang menantu yang dianggap sebagai ancaman bisa terbalaskan"Kamu memang anak Ibu yang paling pinter, " ucapnya, lalu mengecup kening Adel."Aku akan meminta Joko melakukan seperti apa ya
"Kenapa Ibu marah? Bukankah seharusnya Ibu senang jika aku bisa kembali berjalan seperti dulu?," Adit berbicara dengan lembut, dia berusaha keras menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya, dia tidak mau membuat keributan. Karena nanti pasti Amara yang akan terkena imbasnya, dia harus tetap bersabar, hingga benar2 sembuh dan bisa melindungi Amara dari Adel dan juga ibunyaMendengar pertanyaan Adit, Bu Ajeng sadar jika dia sudah melakukan kesalahan, tentu saja dia harus memperbaiki kecerobohannya itu dengan memainkan sandiwara baru"Adit.. Bukan begitu maksud Ibu, belajar berjalan setelah sekian lama duduk di kursi roda.. Itu akan sulit. Ibu hanya tidak ingin melihatmu menderita selama menjalani prosesnya yang tidak mudah, karena kamu belum tentu berhasil, dari pada nanti sudah bersusah payah dan tidak membuahkan hasil. Maka dari itu Ibu mencegahmu, Ibu sayang sama kamu, Nak. Percayalah, Ibu tidak punya maksud lain." Bu Ajeng terpaksa mengukir senyum palsu di bibirnya, untuk meng
"Masalah yang satu belum selesai, sekarang datang lagi masalah baru. Jika tau akan menjadi seperti ini, aku tidak akan mendatangi rumah Joko. Lelaki bren*sek itu telah berani mengancamku. Dia kembali mengungkit kejadian di masa lalu yang sudah aku lupakan" Sepanjang perjaan Bu Ajeng tak henti2nya menggerutu. Kemarahanya pada Joko begitu besar, dadanya terasa sesak seperti sedang di himpit batu, Bu Ajeng melampiaskan dengan memukul-mukul stir mobil yang sedang dia kemudikan, untuk membantu mengurangi bebannya***Di tempat lain, Adit dan Amara sedang duduk di taman belakang rumah, canda tawa menghiasi kebersamaan mereka yang telah disatukan oleh cintaAdit menggenggam erat jemari Amara, matanya menatap jauh pada seekor burung kecil yang hinggap di atas pohon cemara yang tumbuh subur di sudut tempat itu"Aku ingin sembuh," ucapnya pelan, tetapi masih bisa terdengar jelas di telinga Amara yang langsung menoleh padanya. Amara menaikkan sedikit alisnya, ingin mendengar kembali kata2 yang
Bu Ajeng merasa mual ketika mengingat setiap kata pujian yang diucapkan Adit untuk istrinya. Kata2 itu bahkan masih terus terngiang di telinga Bu Ajeng sampai sekarang, rasa bencinya yang mendalam bukan hanya untuk Amara, tetapi juga sudah merambat pada Adit. Dia sangat tidak suka melihat mental Adit yang sempat terpuruk mulai pulih, karena itu merupakan ancaman besar baginya dan Adel. "Aku harus segera menjalankan rencanaku. Jika perlu, aku akan menyingkirkan gadis kampung itu, agar dia tidak bisa lagi menjadi penyemangat hidup untuk Adit"Bu Ajeng keluar rumah mengendarai mobilnya, kali ini dia keluar bukan untuk menagih hutang, melainkan untuk menemui seseorang yang dia anggap bisa menjadi senjatanya untuk menghancurkan hubungan Amara dan AditMobil yang dikendarai Bu Ajeng melaju dengan kecepatan sedang, berbaur dengan ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalannan. Setalah berkendara selama tiga puluh menit, Bu Ajeng akhirnya tiba di tempat tujuan, dia memarkirkan mobilnya di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen