"Apa yang harus saya lakukan, Bu? Saya akan melalukan apapun yang Ibu minta jika saya mampu"
"kamu harus mencari seseorang yang bersedia menikah dengan Adit!"
"Maksud, Ibu...?" Bik Ijah tidak melanjutkan ucapannya
"Maksudku, kamu carikan istri untuk Adit, apa masih kurang jelas?." Bu Ajeng memelototkan mata. Dia selalu mengeluarkan jurusnya yang satu ini jika merasa kesal pada lawan bicaranya.
"Tapi, Bu. Saya tidak punya kenalan keluarga kaya. Saya ini hanya seorang pembantu, Bu," Bik Ijah merasa heran dengan permintaan majikannya yang terlihat tidak biasa.
"Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu itu pembantu! Cari saja perempuan dari kampungmu, di sana pasti banyak perempuan yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi!." Bu Ajeng menyilangkan kedua kakinya, wanita itu berbicara dengan tegas dan mantap tampa gurat keraguan.
Bik Ijah tak lagi bisa berkata-kata. Perkataan yang keluar dari mulut majikannya membuat wanita yang bekerja di rumah itu terkejut, merasa ada yang janggal dengan perintah yang diberikan Bu Ajeng padanya. Bagaimana mungkin, orang yang terkenal paling kaya di wilayah itu seperti Bu Ajeng bersedia memiliki menantu orang miskin yang putus sekolah dari kampung.
"Bagaimana? Apa kamu bisa?," tanya Bu Ajeng. Wanita itu sudah tidak sabar ingin segera mendapat jawaban atas pertanyaannya
"Sebelumnya saya mau minta maaf, Bu. Bukankah Ibu punya banyak teman yang setara dengan keluarga Ibu? Tetapi kenapa Ibu mau mencari gadis desa sebagai istri Den Adit? Apa Ibu tidak akan merasa malu jika teman-teman Ibu mengetahui asal usul wanita yang akan Ibu jadikan sebagai istri Den Adit?"
"Kamu tidak perlu tau alasannya. Tugas kamu hanya mencarikan perempuan miskin yang akan menikah dengan Adit, hanya itu saja. Selebihnya kamu tidak boleh ikut campur!," tegas Bu Ajeng membuat nyali Bik Ijah menciut, wanita itu memelintir kain serbet yang sejak tadi berada di tangannya untuk mengurangi rasa takut pada majikan. Bik Ijah hanya bisa menghela napas, dia tidak bisa mengubah kemauan majikannya meskipun dia ingin.
"Adel, anak kedua Bu Ajeng yang baru saja pulang dari sekolah mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar, dia penasaran dengan kata-kata ibunya yang tadi sempat dia dengar.
"Apa aku tidak salah dengar, Bu? Ibu akan mencarikan jodoh untuk Bang Adit?," Adel bertanya dengan raut wajah penasaran. Wanita itu duduk di samping Bu Ajeng. Matanya menatap penuh selidik pada sang ibu
Aura wajah Adel yang semula ceria berubah cemberut ketika melihat Bik Ijah masih berdiri mematung di hadapannya.
" Kenapa kamu masih berdiri di situ? Sana kembali ke dapur. Kepalaku jadi pusing jika melihat wajahmu terlalu lama!," Adel berkata dengan nada keras. Mulut gadis itu tak kalah pedas dari mulut ibunya.
"Bik Ijah melangkahkan kaki tampa sepatah kata pun. Wanita itu sudah terbiasa menghadapi sikap buruk ibu dan anak yang menjadi majikannya. Sejak Bik Ijah bekerja sebagai pembantu di rumah tersebut, hanya Adit dan ayahnya yang bersikap baik pada Bik Ijah. Tetapi sayang Pak Bagas, suami dari Bu Ajeng tidak berumur panjang. Beliau meninggal lima tahun yang lalu karena mengalami serangan jantung.
"Ibu belum menjawab pertanyaanku, kenapa tiba-tiba Ibu ingin menikahkan Bang Adit?," Adel kembali mengulang pertanyaan yang sama setelah Bik Ijah meninggalka mereka.
"Bik, Ijah yang mendengar pertanyaan Adel, menghentikan langkah. Wanita itu bersembunyi di balik dinding untuk menguping pembicaraan yang membuatnya penasaran.
"Benar, Nak. Ibu ingin mencarikan perempuan desa sebagai jodoh Adit. Supaya ada yang akan merawatnya sepanjang waktu, agar dia tidak punya kesempatan lagi untuk terus mengulangi kebodohan yang sama. Ibu capek jika harus mengurus dia terus menerus, belum lagi kalau ada orang yang menolak membayar hutang kepada Ibu. Kepala Ibu rasanya mau pecah kalau memikirkan terlalu banyak masalah. Karena itulah Ibu akan mencarikan pendamping untuk abangmu"
"Lalu, kenapa harus mencari perempuan kampung untuk menjadi menantu Ibu? Tidak selevel dengan kita, Bu. Aku tidak mau kalau ada orang yang mengejek kita karena menjadikan orang miskin sebagai keluarga," protes Adel dengan menekuk tangan di dagu, gadis itu juga memanyunkan bibirnya.
"Ibu sengaja mencari perempuan kampung, supaya gampang diatur. Lagi pula, kalau perempuan yang sudah mengenyam dunia pendidikan sampai jenjang sarjana kamu pikir mau menjadi istri abang kamu yang lumpuh itu?"
Bik Ijah yang menguping percakapan ibu dan anak itu menutup mulutnya karena terkejut mendengar jawaban Bu Ajeng.
"Bu Ajeng tidak pernah berubah, entah kenapa dia tidak pernah menyukai Den Adit. Apa jangan-jangan Den Adit bukan anak kandungnya Bu Ajeng?," berbagai pertanyaan muncul dalam benak Bik Ijah
*****
Sementara di tempat lain. Pak Bardan dan juga istrinya sedang dirundung kesedihan. Bu Ajeng akan kembali datang untuk menagih hutang, sementara mereka belum memiliki sepeser pun uang untuk diberikan kepada rentenir wanita itu.
"Ibu sampai tidak bisa tidur sudah beberapa hari ini, Pak. Ibu selalu kepikiran dengan ucapan Bu Ajeng," ucap Bu Sulas dengan nada khawatir. Wajah wanita itu terlihat pucat, area bawah matanya sudah menghitam dan cekung karena kurang tidur
"Sama, Buk. Bapak juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Di mana kita akan akan tinggal jika sampai rumah ini diambil oleh Bu Ajeng?." Pak Bardan menyulut rokok yang terselip di antara dua jarinya, lalu menghembuskan asapnya ke udara. Lelaki tua itu berharap jika pikirannya yang sedang kacau bisa hilang bersama kepulan asap yang terbawa angin entah kemana.
"Bagaimana kalau kita lapor polisi saja, Pak. Mungkin mereka bisa membantu kita. Ini sudah termasuk pemerasan, Pak," raut wajah Bu Sulas sedikit berbinar. Ada secercah harapan untuk mempertahankan tempat tinggalnya. Karena terlalu serius mereka sampai tidak menyadari kalau putri sulung mereka ternyata sudah berdiri di depan pintu dan menguping pembicaraan mereka yang selama ini hanya menjadi rahasia mereka berdua.
"Siapa yang sudah memeras kita?," pertanyaan Amara mengejutkan kedua orang tuanya. Pasalnya, selama ini mereka tidak pernah menceritakan masalah hutang keluarga pada anak-anak mereka.
"Amara! Kamu sudah pulang? Kamu masuk rumah kenapa tidak mengucapkan salam, Nak?," Bu Sulas sengaja mengalihkan pembicaraan
"Tadi aku sudah mengucap salam, Bu. Akan tetapi tidak ada yang menjawab, mungkin karena Bapak dan Ibu terlalu serius bercerita sehingga tidak mendengar salamku." Amara duduk di kursi yang ada di samping Pak Bardan.
"Bu, mungkin ini sudah waktunya kita memberitahukan pada Amara apa yang sedang dialami keluarga kita saat ini." Pak Bardan menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan
"Apakah kita sedang dalam masalah?," tanya Amara dengan raut wajah khawatir
Keesokan paginya setelah kaki Adit dipijat untuk yang pertama kalinya. Amara menemani suaminya untuk menikmati udara segar di kampung halamannya, Amara dengan penuh kesabaran dan kasih sayang mendorong kursi roda Adit, melewati jalan kampung yang dikelilingi hamparan sawah yang hijau"Kamu gak kapok kan?," tanya Amara, ketika merek berjalan sudah agak jauh"Kapok? Kenapa?""Tadi, sewaktu kakimu di pijat... Aku lihat kamu sangat kesakitan"Adit terkekeh, ada rasa bahagia yang menjalar di hatinya. "Kamu perhatian banget sama aku. Aku beruntung banget ya, Ra. Bisa berjodoh sama kamu," ucapnya"Aku gak akan pernah kapok, walaupun tadi aku sangat kesakitan. Aku akan terus berusaha agar aku bisa berjalan, aku ingin membahagiakan kamu. Kamu adalah semangat hidupku, Ra. Kamu adalah takdir terindah, yang di ukir Tuhan dalam rangkaian cerita hidupku. Aku sayang banget sama kamu, Ra "Ucapan itu begitu sederhana, tetapi bagi Amara terasa bagai aliran listrik kecil yang menjalar dari telinga h
Bik Ijah menatap Amara dan Adit secara bergantian, kedua orang itu juga masih setia menunggu jawaban pembantu rumah itu. Setelah diam membisu beberapa saat, Bik Ijah menggeleng pelan"Maaf, Bibik tidak tau siapa perempua ini," ucapnya dengan raut wajah sedih, karena telah mengecewakan Adit dan juga AmaraAdit menghembuskn napas kasar, dan mengacak-acak rambutnya yang telah tertata rapi"Ah... Sial! Kita tidak akan pernah tau siapa perempuan itu," ucapnya frustasi"Jangan menyerah dulu, Den. Kita masih punya harapan. Mulai sekarang aku akan mengawasi setiap gerak gerik Non Adel dan juga Bu Ajeng. Aku akan mengabari kalian jika ada sesuatu yang mencurigakan dari mereka""Yang dikatakan bibik benar, sekarang kita harus tetap pada rencana awal kita, agar Bu Ajeng tidak curiga, jika kita telah mengetahui rencana jahatnya. Kita akan tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara waktu, di sana kita akan menjebak orang suruhan Bu Ajeng," tegas Amara. "Bibik setuju dengan Non Mara. Kita harus
"Ibu payah, kenapa tidak Ibu suruh aja orang untuk mempe*k*sa anak kampung itu. Dengan cara seperti itu aku yakin, Bang Adit akan merasa jijik dan meninggalkan istrinya yang sudah ternoda. Dan Amara juga akan menderita, dia akan menanggung malu dan di hina, serta di cibir orang2 di sekitarnya sepanjang hidupnya. Bukankah itu terdengar sangat sempurna, Bu?" Adel berbicara dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dia dengan begitu teganya berencana menghancurkan hidup Amara, dan ingin menjatuhkannya ke dasar jurang kehidupan yang paling dalam. membayangkan penderitaan Amara membuat Adel merasa senangBu Ajeng menjentikkan ujung jarinya, matanya berbinar bahagia. Mendengar ide dari putrinya membuatnya sangat bersemangat, dia sependapat dengan anaknya, dengan cara seperti itu, kebencian dan dendamnya pada sang menantu yang dianggap sebagai ancaman bisa terbalaskan"Kamu memang anak Ibu yang paling pinter, " ucapnya, lalu mengecup kening Adel."Aku akan meminta Joko melakukan seperti apa ya
"Kenapa Ibu marah? Bukankah seharusnya Ibu senang jika aku bisa kembali berjalan seperti dulu?," Adit berbicara dengan lembut, dia berusaha keras menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya, dia tidak mau membuat keributan. Karena nanti pasti Amara yang akan terkena imbasnya, dia harus tetap bersabar, hingga benar2 sembuh dan bisa melindungi Amara dari Adel dan juga ibunyaMendengar pertanyaan Adit, Bu Ajeng sadar jika dia sudah melakukan kesalahan, tentu saja dia harus memperbaiki kecerobohannya itu dengan memainkan sandiwara baru"Adit.. Bukan begitu maksud Ibu, belajar berjalan setelah sekian lama duduk di kursi roda.. Itu akan sulit. Ibu hanya tidak ingin melihatmu menderita selama menjalani prosesnya yang tidak mudah, karena kamu belum tentu berhasil, dari pada nanti sudah bersusah payah dan tidak membuahkan hasil. Maka dari itu Ibu mencegahmu, Ibu sayang sama kamu, Nak. Percayalah, Ibu tidak punya maksud lain." Bu Ajeng terpaksa mengukir senyum palsu di bibirnya, untuk meng
"Masalah yang satu belum selesai, sekarang datang lagi masalah baru. Jika tau akan menjadi seperti ini, aku tidak akan mendatangi rumah Joko. Lelaki bren*sek itu telah berani mengancamku. Dia kembali mengungkit kejadian di masa lalu yang sudah aku lupakan" Sepanjang perjaan Bu Ajeng tak henti2nya menggerutu. Kemarahanya pada Joko begitu besar, dadanya terasa sesak seperti sedang di himpit batu, Bu Ajeng melampiaskan dengan memukul-mukul stir mobil yang sedang dia kemudikan, untuk membantu mengurangi bebannya***Di tempat lain, Adit dan Amara sedang duduk di taman belakang rumah, canda tawa menghiasi kebersamaan mereka yang telah disatukan oleh cintaAdit menggenggam erat jemari Amara, matanya menatap jauh pada seekor burung kecil yang hinggap di atas pohon cemara yang tumbuh subur di sudut tempat itu"Aku ingin sembuh," ucapnya pelan, tetapi masih bisa terdengar jelas di telinga Amara yang langsung menoleh padanya. Amara menaikkan sedikit alisnya, ingin mendengar kembali kata2 yang
Bu Ajeng merasa mual ketika mengingat setiap kata pujian yang diucapkan Adit untuk istrinya. Kata2 itu bahkan masih terus terngiang di telinga Bu Ajeng sampai sekarang, rasa bencinya yang mendalam bukan hanya untuk Amara, tetapi juga sudah merambat pada Adit. Dia sangat tidak suka melihat mental Adit yang sempat terpuruk mulai pulih, karena itu merupakan ancaman besar baginya dan Adel. "Aku harus segera menjalankan rencanaku. Jika perlu, aku akan menyingkirkan gadis kampung itu, agar dia tidak bisa lagi menjadi penyemangat hidup untuk Adit"Bu Ajeng keluar rumah mengendarai mobilnya, kali ini dia keluar bukan untuk menagih hutang, melainkan untuk menemui seseorang yang dia anggap bisa menjadi senjatanya untuk menghancurkan hubungan Amara dan AditMobil yang dikendarai Bu Ajeng melaju dengan kecepatan sedang, berbaur dengan ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalannan. Setalah berkendara selama tiga puluh menit, Bu Ajeng akhirnya tiba di tempat tujuan, dia memarkirkan mobilnya di