"Kenapa? Apa sekarang kamu sudah berubah pikiran? Setelah bapak kamu tidak mendapatkan pukulan, kamu berniat untuk mengingkari janjimu, Amara?" berbagai pertanyaan keluar dari mulut Bu Ajeng yang nampak kesal, rentenir itu memajukan bibirnya beberapa senti, tatapannya sinis
"Aku akan menganggap semua hutang kalian lunas, aku juga akan membiarkan kalian tetap tinggal di gubuk reot ini jika kamu menuruti perintahku"
Amara terkejut mendengar perkataan yang baru saja keluar dari mulut Bu Ajeng. Matanya berbinar, harapan untuk membahagiakn keluargnya ada di depan mata
"Be... Be narkah? Gadis itu seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar
Bu Ajeng menganggung pelan,
"Aku ini bukan tipe orang yang suka berbohong. Aku tidak sama seperti kalian yang omongannya tidak bisa dipercaya! Aku akan merobek surat perjanjian hutang piutang ini, jika kamu bersedia melakukan perintaku." Bu Ajeng mengetuk-ngetuk jari telunjuk kanan pada secarik kertas yang dia pegang di tangan kirinya kemudian meletakkan kertas itu di dekat keluarga Pak Bardan
Mendengar penuturan Bu Ajeng, Amara tertawa bahagia, dia menghapus air mata lalu memeluk kedua orang tuanya secara bergantian.
"Apa yang harus aku lakukan?," tanyanya dengan penuh semangat
Bu Ajeng bersidekap, wanita itu menyeringai, menampakan gigi putihnya yang tersusun rapi tetapi nampak menakutkan bagi keluarga Pak Bardan
"Kamu harus menikah dengan putra sulungku, Aditiya!," ucap Bu Ajeng penuh penekanan sedikit memaksa
"Apa? Pekik Amara dan ibunya secara bersamaan, sementara Pak Bardan diam membisu, lelaki tua itu sudah menaruh curiga, di balik iming-iming yang di janjikan Bu Ajeng pasti ada rencana jahat yang terselubung
" Amara ini masih kecil, Bu. Dia masih ingin melanjutkan pendidikan dan menggapai cita-citanya. Di usianya yang sekarang dia belum siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Aplagi, jika dia harus menikah dengan anak Ibu yang..." Bu Sulas tidak melanjutkan ucapannya. Wanita itu takut jika salah bicara dan membuat si rentenir sakit hati, maka keluarganya akan mendapatkan masalah baru lagi
"Anakku yang apa? Anakku yang cacat maksudmu? Biar aku perjelas, seandainya Adit tidak cacat, apa menurutmu aku akan mencarikan istri untuknya perempuan dari keluarga miskin? Anggap saja ini sebuah keberuntungan untuk keluargamu, jika bukan karena aku belum tentu ada keluarga kaya lain yang mau menjadikan keluarga kalian yang hidup serba kekurangan ini sebagai menantu," ucap Bu Ajeng dengan tatapan misterius
Amara bergeming, gadis itu tertunduk lesu, dia diam dalam kebimbangan menyesali janji yang telah terlanjur dia ucapkan. Sikap diam Amara membuat Bu Ajeng jengkel, dia merasa jika Amara akan menolak permintaannya. Tampa pikir panjang wanita dengan sanggul tinggi yang menjulang itu kembali memberi perintah pada anak buahnya
"Lanjutkan pekerjaan kalian yang belum selesai, kali ini jangan beri ampun, jika dia beruntung bisa lolos dari maut, akan aku bawa dia ke kantor polosi dengan tuduhan penipuan. Biarlah lelaki tua itu menyesali kesalahannya di dalam jeruji besi, hitung-hitung sebagai penebusan dosa sebelum dia menghadap tuhan!,"
Mendengar Bu Ajeng memerintah dengan emosi kedua orang suruhannya mendekat, dan mengayunkan tagan di udara, namun, sebelum tangan itu mendarat di tubuh Pak Bardan Amara duduk di hadapan Pak Bardan dan merentangkan tagan, dia bermaksud melindungi bapaknya dari serangan manusia-manusia yang tidak berperasaan itu
"Baik. Aku akan menepati janjiku, tapi Ibu juga harus menepati janji Ibu padaku. Lepaskan keluargaku dari jeratan hutang, dan biarkan mereka hidup tenang di rumah ini!
Air mata mengalir dari mata Pak Bardan yang membengkak, hatinya terasa bagaikan diiris-iris mendengar ucapan putri sulungnya
"Jangan korbankan masa depanmu yang masih panjang hanya demi Bapak, Nak. Biarlah Bapak yang sudah tua ini yang menderita, biarkan Bapak meregang nyawa di tangan Bu Ajeng, atau biarkanlah Bapak di penjara seumur hidup Bapak. Bapak akan menerima semua itu dengan ikhlas, Nak"
"Tidak, Pak. Ijinkan aku berbakti pada Bapak, aku tidak ingin menanggung beban penyesalan seumur hidupku jika terjadi sesuatu pada Bapak. Berikanlah kesempatan padaku untuk menunjukkan baktiku pada keluarga kita. Bapak dan Ibu adalah kehidupanku, aku tidak akan bisa hidup tenang bila membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Bapak. Jika dengan menikah dengan Aditiya bisa menyelamatkan nyawa Bapak, maka aku akan melakukannya!"
"Bagus. Kalau begitu, pernikahan akan dilaksanakan minggu depan, persiapkan dirimu untuk hari besar itu." Bu Ajeng menepuk-nepuk lembut pipi calon menantunya. Hati Pak Bardan dan Bu sulas luluh lantak mendengar ucapan rentenir itu. Begitu pun dengan Amara darah terasa berhenti mengalir di tubuhnya, hatinya terasa membeku, air mata menjadi saksi bisu betapa besar luka yang dia rasakan saat itu
Setibanya di rumah, Bu Ajeng langsung menuju kamar Adit, Bu Ajeng membuka lebar pintu kamar itu tampa mengetuknya, wanita itu menyunggingkan senyum ketika melihat Adit sedang duduk menghadap kaca. Adit mengamati kendaraan yang lalu lalang dari atas kursi rodanya
"Adit, ada yang ingin Ibu sampaikan padamu"
Adit tak menjawab, tatapannya tetap fokus ke luar jendela, menyaksikan hembusan angin yang menyentuh dedaunan yang menimbulkan suara deritan dari ranting kayu, suara itu bagaikan nyanyian dari pohon-pohon yang bergoyang membuat hati Adit sedikit tenang. Rasa kesepian yang selama ini datang dan tak kunjung pergi sedikit berkurang
"Adit, Ibu sudah menemukan perempuan yang akan menjadi istrimu. Dan kalian akan menikah minggu depan!"
Tak ada angin tak ada hujan, ucapan Bu Ajeng bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Tampa kesepakatan tiba-tiba saja dia menetapkan pernikahan untuk Adit. Adit mengepalkan tinju, amarahnya menggebu-gebu. Dalam keadaan seperti sekarang Adit sama sekali tidak punya rencana untuk berumah tangga. Jangankan bertanggung jawab pada istrinya dia bahkan tidak bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri
Aditiya menaikan sudut bibir, tatapannya sinis pada sang ibu
"Aku tidak mau menikah," ketusnya
"Adit, Ibu melakukan semua ini demi kebaikanmu, kamu tidak mungkin menghabiskan sepanjang hidupmu sendirian di kamar ini. Ibu tidak bisa merawat kamu selamanya, Ibu juga harus bekerja banting tulang untuk menghidupi kamu dan juga adikmu," Bu Ajeng berbicara dengan suara lemah lembut tetapi ucapannya mampu menusuk jantung Adit yang paling dalam. Perkataan yang baru saja diucapkan rentenir itu membuat Adit merasa tidak berguna, rasa yang tidak pernah pergi meninggalkannya sejak lelaki itu mengalami kecelakaan
"Kali ini, Ibu tidak butuh persetujuan atau pendapat kamu. Keputusan Ibu sudah bulat, kamu akan tetap menikah dengan gadis pilihan Ibu minggu depan!" tegas Bu Ajeng kemudian meninggalkn kamar putra sulungnya.
***
Tanggal yang di tentukan untuk melangsungkan pernikahan telah tiba, acara sederhana diselenggarakan di kediaman Bu Ajeng. Hanya tetangga dan kerabat dekat yang diundang. Adit duduk di depan penghulu dengan setelan jas warna abu-abu. Dia terlihat gusar menunggu kehadiran wanita yang tidak dia ketahui nama, asal usul juga wajahnya tetapi akan menjadi pengantinnya.
Karena tidak ingin dianggap beban oleh Bu Ajeng, meskipun tidak ingin tetapi Adit tetap menerima perjodohan itu. Setelah menunggu beberapa saat seorang perempuan dengan kebaya putih datang, semua tamu mengarahkan pandangan pada sang mempelai wanita, kecuali Adit. Kebencian mengalahkan rasa penasarannya. Dia sama sekali tidak ingin melihat wajah calon istrinya
Cukup lama Amara berada di dalam kamar mandi, tiga dres berbeda warna dan model, dia pakai secara bergantian. Hingga pilihannya jatuh pada dres selutut dengan warna merah muda. Amara berjalan mengendap, takut jika suara langkah kakinya membangunkan Adit yang sedang tertidur. Amara berdiri di depan cermin, lalu memutar badannya, dia sangat menyukai baju baru pemberian Bik Ijah. Karena keterbatasan ekonomi, Amara jarang, bahkan hampir tidak pernah membeli baju baru. Semua baju yang dia miliki sudah lusuh dan ada bekas jahitan di beberapa bagiannya namun, dia masih tetap memakainya karena tidak memiliki baju lain, yang lebih layak"Bajunya bagus sekali, aku suka," lirihnya, matanya terus menatap pantulan dirinya di cermin, senyum bahagia terukir di bibirnya yang alami karena tak pernah tersentuh gincuTok..tok...tok..."Non, tolong buka pintunya" terdengar suara Bik Ijah di balik pintu kamar"Iya, Bik. Sebentar," Amara berjalan tergesa dan membuka pintu dengan pelan"Huts" Amara menemp
"Bibik gak apa-apa kan?" tanya Amara dengan raut wajah sedihDi luar dugaan, Bik Ijah malah tersenyum, wajahnya nampak berbinar karena bahagia. Bukan karena melihat wajah Bu Ajeng yang memerah menahan malu. Tetapi karena melihat semangat hidup Adit yang mulai pulih"Bibik baik-baik saja, Non" ucapnya, senyum semringah tidak lekang dari bibirnya"Adit dan Amara saling pandang, merasa ada yang aneh dengan tingkah Bik Ijah."Kenapa sih, Bik? Bukannya sedih setelah dijambak majikan malah tersenyum!" protes Amara, serta menyipitkan mataBik Ijah mendekat pada Amara, lalu berbisik"Bibik senang, karena sekarang Den Adit sudah sembuh"Amara yang tidak mengerti maksud ucapan wanita paruh baya itu, menoleh pada Adit yang sedang duduk di lantai, bukannya menemukan jawaban, tetapi dia menjadi semakin bingung dibuatnya. Dia kembali mengarahkan pandagan pada Bik Ijah Namun, tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya..."Sudahlah, ayo kita bantu Den Adit kembali ke kamar!" kata Bik Ijah, yang meng
Bu Ajeng naik pitam mendengar ucapan Bik Ijah. Dadanya naik turun, matanya menyala penuh amarah. "Kurang ajar, berani-beraninya kamu berkata seperti itu padaku. Apa kamu sudah lupa jika aku ini majikanmu. Seharusnya kamu patuh dan menghormatiku, berani sekali kamu mengucapkan kata-kata yang tidak berguna seperti itu padaku." Bu Ajeng mendekat dengan wajah yang memerah, lalu menarik rambut Bik Ijah yang di sanggul, hingga rambut panjang pembantu paruh baya itu terurai"Aw.... Sakit. Tolong lepaskan, Bu," rintih Bik Ijah, suaranya bergetar, tanganya berusaha melepaskan cengkraman tangan Bu Ajeng di rambutnya, namun semakin dia berusaha Bu Ajeng semakin menambah kekuatannya sehingga Bik Ijah hanya bisa pasrah dalam ketidak berdayaanAmara yang tidak tega melihat penderitaan Bik Ijah mendekat pada rentenir itu. Dia bersimpuh dan menundukkan kepala"Bu, jangan sakiti Bik Ijah. Keributan ini terjadi.... karena aku. Jika Ibu mau marah, maka akulah orang yang pantas menerima kemarahan itu, b
Di bawah, Amara yang baru saja keluar dari dapur untuk mengantarkan sarapan Adit, tertegun. Matanya membelalak saat melihat suaminya berada di ujung tangga dengan posisi berbahaya.“Adit! Jangan!” jerit Amara panik. Dia melempar nampan yang ada di tangannya ke lantai. Isi nampan itu berserakan ke segala arah, lantai yang tadinya sudah bersih sekarang menjadi kotor lagi Amara segera berlari, napasnya memburu. Suaranya memecah pagi yang tenang, menggema ke seluruh rumah. Ia mendekat dengan wajah penuh kecemasan.“ADIT, JANGAN LAKUKAN ITU!” teriaknya lebih keras.Seketika itu juga, Bik Ijah yang sedang menyapu di teras langsung mengangkat wajah.“Ya Allah, kenapa tuh Non Amara teriak-teriak,?” gumamnya panik.Bu Ajeng dan Adel yang sedang sarapan di ruang makan juga tersentak.“Ada apa lagi si Amara itu?,” gumam Adel, dengan wajah kesal.Mereka semua sontak bangkit dan berlari menuju sumber suara. Langkah kaki berhamburan. Suasana rumah berubah kacau.Amara akhirnya berhasil mencapai ta
Satu jam telah berlalu, Amarah amara pada Adit sudah reda, dia kembali masuk ke dalam kamar membawa secangkir coklat hangat. Sejak menjadi menantu di rumah itu Bu Ajeng memaksanya untuk merawat Adit. Awalnya, Amara merasa keberatan, Namun tetap melakukan perintah Bu Ajeng, karena tidak ingin membuat rentenir itu marah dan menghina dirinya serta keluarganya yang miskinTok...tok...tok...Amara sengaja mengetuk pintu, dia ingin memastikan apakah Adit masih marah atau amarahnya sudah mereda. Karena tak mendapat jawaban, Amara membuka sedikit pintu secara perlahan, lalu memasukkan kepalanya untuk melihat keadaan di dalam kamarKamar itu masih tetap bersih dan rapi sama seperti saat dia meninggalkannya"Apa Adit tidak benar-benar marah?," tanya Amara di dalam hati. Karena menurut cerita yang dia dengar dari Bik Ijah, Jika sedang emosi, Adit suka melempar dan memecahkan barang-barang yang ada di kamarnya.Amara berjalan pelan mendekat pada Adit yang sedang duduk di atas kursi rodanya di de
Satu bulan telah berlalu. Amara mulai terbiasa dengan sikap kasar Bu Ajeng dan Adel padanya. Di mata mereka Amara tidak lebih dari seseorang yang hadir hanya untuk melunasi hutang. Mereka memperlakukan Amara sama seperti Bik Ijah, pembantu di rumah itu."Bik, apa tidak sebaiknya Adit pindah kamar saja ke kamar tamu, daripada dia menempati kamarnya yang di lantai dua. Di sana dia terkurung bagaikan di penjara, jika dia pindah kamar, paling tidak dia bisa keluar untuk menghirup udara segar" ucap Amara pada Bik Ijah ketika mereka sedang menyiapkan makanan untuk makan malamBik Ijah mendekatkan tubuhnya pada Amara, sehingga tidak ada jarak di antar mereka, tangannya tetap memotong sayuran, tetapi matanya mengelilingi sekitar tempat itu, takut jika ada Bu Ajeng atau Adel yang sedang menguping pembicaraan mereka"Bibik juga sudah pernah bilang begitu pada Bu Ajeng. Tapi beliau tidak setuju dengan saran Bibik. Bibik merasa ada yang aneh dengan sikap Bu Ajeng" ucapnya berbisik"Kira-kira ken