Share

Tampa belas kasih

Author: Embun pagi_37
last update Last Updated: 2025-07-22 19:09:36

Buk

Buk

Kedua lelaki itu memukli Pak Bardan dengan bengis, tampa belas kasih. Tak ada gurat rasa bersalah pada kedua orang suruhan Bu Ajeng itu. Pak Bardan yang sudah berumur enam puluh tahun itu sama sekali tidak melakukan perlawanan, lelaki tua itu seakan pasrah pada nasib buruknya, hanya rintihan kesakitan yang keluar dari bibirnya yang mengeluarkan darah segar 

"Bapak, Bapak...," teriak Bu Sulas ketika melihat pukulan dan tendangan mendarat di tubuh suaminya yang tak berdaya. Sikap pasrah Pak Bardan membuat hati Bu Sulas semakin sakit, bukan karena tubuhnya yang sudah renta yang membuatnya diam saja, tetapi semangat hidupnya yang meredup. Pak Bardan merasa menjadi orang yang paling tidak berguna di dunia, dia tidak bisa berbuat apa-apa saat orang lain mengusir keluarganya dari rumah mereka sendiri. 

"Bu, tolong janga sakiti suamiku. Tolong maafkan kesalahan kami. Kami akan meninggalkan rumah ini jika itu yang Ibu mau, tapi tolong selamatka suamiku, Bu. Aku mohon." Bu Sulas bersimpuh di hadapan Bu Ajeng, air mata mengalir deras di pipinya, namun, Bu Ajeng sama sekali tidak menghiraukan ucapan Bu Sulas. Bu Ajeng sibuk mengibas-ngibaskan kipas di wajahnya yang memerah karena panas terik matahari, matanya terus memandangi pada anak buahnya yang sedang menghajar Pak Bardan. Bu Ajeng tersenyum senang, setiap rintihan yang keluar dari mulut Pak Bardan membuat Bu Ajeng merasa puas.

"Berhenti! Jangan pukul bapakku lagi!." Amara melepas begitu saja sepeda ontel yang sejak tadi dipeganggnya

Dubrak...

Sepeda yang sudah usang itu pun seketika jatuh di tanah. Amara tak lagi menghiraukan jika sepeda tua yang menjadi alat transportasinya itu rusak. Keluarga Pak Bardan selama ini hidup dalam kekurangan di saat orang lain memiliki mobil dan juga sepeda motor, keluarga Pak Bardan hanya memiliki satu buah sepeda tua, itu pun sudah tak layak pakai.

"Jangan sakiti bapakku." ucap Amara sambil berlari kencang, gadis itu menarik lengan salah satu lelaki yang memakai jaket kulit warna hitam itu sekuat tenaga agar menjauh dari Pak Bardan, tetapi tubuh lelaki itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Tak ingin sang bapak kehilangan nyawa Amara menghambur dan memeluk tubuh Pak Bardan yang penuh luka, Amara berusaha melindungi Pak Bardan dari serangan brutal kedua orang suruhan Bu Ajeng

"Pergi dari sana jika kamu tidak ingin ikut terluka!," tegas salah satu dari kedua orang itu. Wajahnya yang dipenuhi brewok menambah penampilan lelaki itu semakin menakutkan di tambah lagi  tubuhnya yang besar dan tinggi membuat orang-orang yang berhadapan dengannya akan bergidik ngeri. Amara diam, dia tidak menggubris peringatan lelaki itu. Jika dia harus terluka demi menyelamatkan nyawa bapaknya kenapa tidak, pikirnya

Lelaki dengan wajah brewok itu kesal karena Amara tidak mengindahkan ucapannya, dengan raut wajah yang penuh emosi dia menarik paksa tubuh Amara yang sedang memeluk erat bapaknya. Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu mencoba memberi perlawanan namun, apa daya kekuatan lelaki itu jauh lebih besar. Lelaki itu mencengkeram lengan Amara dengan kuat, hingga Amara meringis menahan rasa sakit pada lengan kirinya. Gadis itu mencoba memberikan perlawananan dengan segenap kekuatannya, meronta mencoba melepaskan tangan lelaki itu yang menempel padanya tetapi tangan itu menempel dengan  kuat sehingga usaha Amara hanya buang-buang tenaga saja. Setelah berada cukup jauh dari Pak Bardan lelaki itu mendorong tubuh Amara hingga tubuh mungil Amara terhempas ke tanah

Orang-orang suruhan Bu Ajeng tak henti-hentinya menghadiahi tubuh Pak Bardan dengan pukulan serta tendangan. Mereka sama sekali tidak menaruh iba pada lelaki tua yang sudah tak berdaya itu, bagian wajah Pak Bardan sudah membengkak, luka memar memenuhi seluruh bagian wajahnya yang keriput itu, cairan kental berwarna merah menutupi wajahnya hingga sulit dikenali. Melihat kondisi bapaknya yang mengenaskan Amara berlari mendekat pada Bu Ajeng

 "Bu, tolong selamatkan bapakku, Bu. Tolong, Bu.  Aku mohon selamatkan bapakku." Amara bersujud penuh harap di kaki sang rentenir, air mata membanjiri pipinya. Tetapi Bu Ajeng bergeming, rentenir itu tetap menikmati pertunjukan yang sedang dia selenggarakan

"Sebagai gantinya....aku akan melakukan apa pun yang Ibu minta," ucap Amara kembali di tengah keputus asaan yang mendera batinnya. Mendengar ucapan Amara jiwa licik Bu Ajeng meronta-ronta, senyum misterius mengembang di bibir wanita yang berprofesi sebagai lintah darat tersebut

"Benarkah?," tanya Bu Ajeng, senyum jahat masih belum sirna dari bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala

Amara mengangguk pelan. Saat ini hanya Bu Ajeng satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan orang tuanya dari dua orang preman yang tidak punya hati nurani itu

"Aku berjanji. Aku akan menuruti semua keinginan Ibu, tapi tolong, perintahkan orang-orang itu untuk menjauh dari bapakku," ucap Amara mengiba mengharap belas kasih dari wanita licik yang sedang berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Bu Ajeng berjongkok lalu memegang dagu Amara dan memiringkan wajah gadis itu ke kanan dan ke kiri matanya menyorot setiap inci bagian tubuh Amara dari kepala hingga ujung kaki

"Baiklah. Akan aku pegang janji yang baru saja kamu ucapkan. Jangan pernah mengingkarinya!." Bu Ajeng menempelkan tangan di wajah Amara lalu menekan kuat pipi gadis itu hingga mulut Amara sedikit terbuka

Plok, plok...

Bu Ajeng menepuk tangan beberapa kali untuk memanggil anak buahnya. Setelah kedua orang itu mengarahkan pandangan padanya, Bu Ajeng memiringkan sedikit kepalanya ke kiri dan menaikan alis, sebagai kode supaya kedua orang itu berhenti memukul Pak Bardan. Keduanya bergeser menjauh dari Pak Bardan tampa membantah sepatah kata pun

Amara dan Bu Sulas berlari mendekat pada Pak Bardan yang terbaring lemah di tanah. Ibu dan anak itu membantu Pak Bardan duduk lalu memeluk orang terkasih mereka. Amara mengeluarkan saputangan dari sakunya, dengan tangan yang gemetar dan air mata yang tak henti mengalir dia membersihkan wajah Pak Bardan dari noda darah. Melihat keluarga itu menangis dan saling memeluk untuk memberi kekuatan pada jiwa mereka yang rapuh, Bu Ajeng berdecak kesal

"Aku sudah menuruti permintaanmu, sekarang giliranmu untuk memenuhi janji yang telah kamu ucapkan. Jika kamu tidak ingin lelaki tua bangka itu kehilangan nyawa, maka kamu harus menuruti semua ucapanku!," Bu Ajeng berbicara seraya mengarahkan jari telunjuknya pada keluarga Pak Bardan. Bu Ajeng berbicara tegas dan penuh penekanan

Bu Ajeng kembali naik darah dan merasa tersinggung ketika melihat ketiga orang itu masih menangis dan tidak menghiraukan ucapannya. 

"Sudah.  Jangan lebay, gak usah kebanyakan drama. Aku sudah mengampuni pak Bardan sekarang giliranmu untuk menepati janji yang telah kamu ucapkan padaku!" 

Embun pagi_37

Silahkan tinggalkan jejak, supaya saya tau kalau novel ini ada yang baca

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Menikahi Pria Cacat   Tangis Amara

    Adit menggeleng pelan, tatapannya tak lepas dari wajah Amara"Kamu.... Sangat cantik""Benarkah..."Amara tersipu malu, dan berbalik, dia menatap wajahnya di cermin, wajahnya sedikit memerah mendengar pujian Adit. Biasanya Adit hanya akan mengatainya kuper, kampungan dan aneh. Amara yang tadi tersenyum, tiba-tiba menangis, membuat Adit bingung melihat perubahan itu, yang terjadi secara tiba-tiba"Apa ada yang salah dengan ucapanku?," tanyanya, lelaki itu merasa bersalah"Aku...aku kangen sama keluargaku. Aku rindu masakan Ibu, aku rindu senyuman Bapak, Aku juga rindu rengekan Asih, adikku." Amara menghapus air mata yang membasahi pipinyaAdit menghela napas, dia sama sekali tidak berdaya, dan tidak dapat berbuat apa-apa****Malam telah larut. Hujan yang sejak tadi sore mengguyur deras, kini hanya tersisa gerimis yang menetes pelan di atap rumah Bu Ajeng. Lampu kamar redup. Hanya cahaya remang dari lampu tidur yang menerangi sudut-sudut ruangan.Di sana, di atas kursi, Amara duduk me

  • Mendadak Menikahi Pria Cacat   Perubahan tampilan Amara

    Cukup lama Amara berada di dalam kamar mandi, tiga dres berbeda warna dan model, dia pakai secara bergantian. Hingga pilihannya jatuh pada dres selutut dengan warna merah muda. Amara berjalan mengendap, takut jika suara langkah kakinya membangunkan Adit yang sedang tertidur. Amara berdiri di depan cermin, lalu memutar badannya, dia sangat menyukai baju baru pemberian Bik Ijah. Karena keterbatasan ekonomi, Amara jarang, bahkan hampir tidak pernah membeli baju baru. Semua baju yang dia miliki sudah lusuh dan ada bekas jahitan di beberapa bagiannya namun, dia masih tetap memakainya karena tidak memiliki baju lain, yang lebih layak"Bajunya bagus sekali, aku suka," lirihnya, matanya terus menatap pantulan dirinya di cermin, senyum bahagia terukir di bibirnya yang alami karena tak pernah tersentuh gincuTok..tok...tok..."Non, tolong buka pintunya" terdengar suara Bik Ijah di balik pintu kamar"Iya, Bik. Sebentar," Amara berjalan tergesa dan membuka pintu dengan pelan"Huts" Amara menemp

  • Mendadak Menikahi Pria Cacat   Terpaksa berbohong

    "Bibik gak apa-apa kan?" tanya Amara dengan raut wajah sedihDi luar dugaan, Bik Ijah malah tersenyum, wajahnya nampak berbinar karena bahagia. Bukan karena melihat wajah Bu Ajeng yang memerah menahan malu. Tetapi karena melihat semangat hidup Adit yang mulai pulih"Bibik baik-baik saja, Non" ucapnya, senyum semringah tidak lekang dari bibirnya"Adit dan Amara saling pandang, merasa ada yang aneh dengan tingkah Bik Ijah."Kenapa sih, Bik? Bukannya sedih setelah dijambak majikan malah tersenyum!" protes Amara, serta menyipitkan mataBik Ijah mendekat pada Amara, lalu berbisik"Bibik senang, karena sekarang Den Adit sudah sembuh"Amara yang tidak mengerti maksud ucapan wanita paruh baya itu, menoleh pada Adit yang sedang duduk di lantai, bukannya menemukan jawaban, tetapi dia menjadi semakin bingung dibuatnya. Dia kembali mengarahkan pandagan pada Bik Ijah Namun, tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya..."Sudahlah, ayo kita bantu Den Adit kembali ke kamar!" kata Bik Ijah, yang meng

  • Mendadak Menikahi Pria Cacat   Benih Cinta yang mulai tumbuh

    Bu Ajeng naik pitam mendengar ucapan Bik Ijah. Dadanya naik turun, matanya menyala penuh amarah. "Kurang ajar, berani-beraninya kamu berkata seperti itu padaku. Apa kamu sudah lupa jika aku ini majikanmu. Seharusnya kamu patuh dan menghormatiku, berani sekali kamu mengucapkan kata-kata yang tidak berguna seperti itu padaku." Bu Ajeng mendekat dengan wajah yang memerah, lalu menarik rambut Bik Ijah yang di sanggul, hingga rambut panjang pembantu paruh baya itu terurai"Aw.... Sakit. Tolong lepaskan, Bu," rintih Bik Ijah, suaranya bergetar, tanganya berusaha melepaskan cengkraman tangan Bu Ajeng di rambutnya, namun semakin dia berusaha Bu Ajeng semakin menambah kekuatannya sehingga Bik Ijah hanya bisa pasrah dalam ketidak berdayaanAmara yang tidak tega melihat penderitaan Bik Ijah mendekat pada rentenir itu. Dia bersimpuh dan menundukkan kepala"Bu, jangan sakiti Bik Ijah. Keributan ini terjadi.... karena aku. Jika Ibu mau marah, maka akulah orang yang pantas menerima kemarahan itu, b

  • Mendadak Menikahi Pria Cacat   Semangat baru

    Di bawah, Amara yang baru saja keluar dari dapur untuk mengantarkan sarapan Adit, tertegun. Matanya membelalak saat melihat suaminya berada di ujung tangga dengan posisi berbahaya.“Adit! Jangan!” jerit Amara panik. Dia melempar nampan yang ada di tangannya ke lantai. Isi nampan itu berserakan ke segala arah, lantai yang tadinya sudah bersih sekarang menjadi kotor lagi Amara segera berlari, napasnya memburu. Suaranya memecah pagi yang tenang, menggema ke seluruh rumah. Ia mendekat dengan wajah penuh kecemasan.“ADIT, JANGAN LAKUKAN ITU!” teriaknya lebih keras.Seketika itu juga, Bik Ijah yang sedang menyapu di teras langsung mengangkat wajah.“Ya Allah, kenapa tuh Non Amara teriak-teriak,?” gumamnya panik.Bu Ajeng dan Adel yang sedang sarapan di ruang makan juga tersentak.“Ada apa lagi si Amara itu?,” gumam Adel, dengan wajah kesal.Mereka semua sontak bangkit dan berlari menuju sumber suara. Langkah kaki berhamburan. Suasana rumah berubah kacau.Amara akhirnya berhasil mencapai ta

  • Mendadak Menikahi Pria Cacat   Harapa Baru

    Satu jam telah berlalu, Amarah amara pada Adit sudah reda, dia kembali masuk ke dalam kamar membawa secangkir coklat hangat. Sejak menjadi menantu di rumah itu Bu Ajeng memaksanya untuk merawat Adit. Awalnya, Amara merasa keberatan, Namun tetap melakukan perintah Bu Ajeng, karena tidak ingin membuat rentenir itu marah dan menghina dirinya serta keluarganya yang miskinTok...tok...tok...Amara sengaja mengetuk pintu, dia ingin memastikan apakah Adit masih marah atau amarahnya sudah mereda. Karena tak mendapat jawaban, Amara membuka sedikit pintu secara perlahan, lalu memasukkan kepalanya untuk melihat keadaan di dalam kamarKamar itu masih tetap bersih dan rapi sama seperti saat dia meninggalkannya"Apa Adit tidak benar-benar marah?," tanya Amara di dalam hati. Karena menurut cerita yang dia dengar dari Bik Ijah, Jika sedang emosi, Adit suka melempar dan memecahkan barang-barang yang ada di kamarnya.Amara berjalan pelan mendekat pada Adit yang sedang duduk di atas kursi rodanya di de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status