Share

Malam Pelampiasan

"Sam, nggak perlu gitu juga kali sama peserta." Selepas Rara keluar dari ruangan, Samuel langsung dikonfrontasi oleh Nathan. Namun pemuda itu hanya mengedikkan bahu. Dia bukan tidak suka dengan penampilan peserta bernama Rara barusan, mengingat permainan piano gadis itu begitu sempurna. Hanya saja, suasana hatinya sedang tidak baik. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Bianca dan bagaimana caranya bisa menemui kekasihnya itu dan bicara tentang peristiwa kemarin.

Bianca sama sekali tidak mau mengangkat telepon. Puluhan pesannya pun tak dibalas. Terakhir, nomernya justru diblokir oleh wanita itu.

"Aku cabut dulu, ya ... ada urusan penting," ujar Samuel dengan entengnya seraya beranjak dari duduknya.

"Loh, ini peserta audisi masih banyak, Sam," protes Josef saat melihat Samuel bersiap untuk meninggalkan ruangan.

"Kalian atur ajalah. Aku oke sama siapa pun yang lolos nanti." Setelah mengucapkan hal itu, Samuel benar-benar keluar meninggalkan ruangan itu tanpa peduli reaksi kawan-kawannya.

Tujuannya hanya satu, melajukan mobilnya menuju apartemen Bianca. Dia membelah jalanan kota yang padat hingga sampai di tempat yanb dia tuju. Namun, menemui Bianca ternyata tidak semudah yang dia duga. Ada bodyguard yang berjaga di depan pintu apartemennya. Sepertinya Bianca sudah mempersiapkan hal ith untuk mengantisipasi kedatangannya.

"Dia di dalam, kan?" Samuel menatap sinis dua pria berbadan besar yang menghadangnya.

"Nona Bianca sedang keluar, Pak." Salah seorang bodyguard menjawab.

"Nggak usah bohong sama saya, saya tahu dia di dalam. Minggir, saya mau ketemu dia."

"Nggak bisa, Pak. Nona Bianca tidak berkenan bertemu dengan bapak. Maaf ya, Pak."

"Brengsek! Berani kalian menghalangi saya?"

"Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas kami."

Samuel naik pitam. Didorongnya salah seorang bodyguard dengan keras. Konflik pun tak bisa dihindari. Meskipun begitu, dua pria itu tidak memukuli Samuel, hanya saja, dengan badan mereka yang jauh lebih besar darinya, mereka dengan mudah menyeret Samuel keluar dari gedung apartemen.

Sialnya, di luar gedung telah menunggu kerumunan wartawan yang siap menyerang Samuel dengan berbagai pertanyaan. Meskipun Samuel dengan sigap menghindari kejaran para pemburu berita itu, tetap saja saat dia hendak masuk ke dalam mobilnya, dia terjebak di antara mereka.

"Aku nggak ada komentar apa pun, okay?" tegas Samuel.

"Sebentar saja, Sam. Beberapa pertanyaan aja."

"Nggak ada!" Samuel benar-benar kesal dibuatnya. Para wartawan itu seakan tidak akan melepaskannya sampai dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan.

"Kabarnya dengan Pak Ronald Sinaga gimana? Apa kamu sudah ada kesepakatan damai dengan dia?"

"Lalu hubunganmu dengan Bianca gimana, Sam? Dengar-dengar setelah Pak Ronald keluar dari rumah sakit, Bianca dan Pak Ronald akan menikah."

Mata Samuel membulat mendengar ucapan salah seorang wartawan. Bianca berencana menikah dengan Ronald, yang benar saja. "Dari mana kalian dapat berita sampah itu?" tanyanya marah, meskipun di dalam hati kecilnya cukup merasa penasaran.

"Bianca sendiri yang mengabarkan rencana pernikahannya dengan Pak Ronald semalam di rumah sakit."

Semalam. Semalam saat Samuel mendekam dalam sel, rupanya Bianca telah mengumumkan rencana pernikahannya dengan pria itu. Samuel memaki dalam hati. Tangannya mengepal keras. Ingin rasanya dia menghantam apa saja yang ada di sekitarnya untuk meluapkan amarah yang memuncak.

"Tentang hal itu aku nggak tahu. Sudah, ya," ujarnya seraya mendorong salah seorang wartawan yang berdiri di dekat pintu mobilnya. Samuel segera masuk dan melajukan mobilnya dengan kencang.

"Brengsek! Brengsek kamu, Bi!" makinya seraya memukul-mukul roda kemudi.

"Salahku apa sama kamu, Bi? Kenapa kamu bisa kaya gini?" Samuel terus meracau seraya terus mengemudikan mobilnya menuju entah ke mana. Dia tidak habis pikir dengan kekasihnya itu. Apa yang kurang dari dirinya. Dia bisa memberikan apa pun yang diminta oleh Bianca, tapi kenapa wanita itu memilih untuk meninggalkan dirinya dengan cara sadis seperti ini. Bahkan satu penjelasan saja tidak bisa Samuel dapatkan dari mulut Bianca.

Malam itu Samuel habiskan dengan minum-minum di sebuah bar elite yang ada di rooftop sehuah hotel bintang lima langganannya. Dia sudah tidak bisa berpikir lagi. Hidupnya kacau dan terasa hampa.

"Hi, Sam."

Samuel menoleh ke sampingnya, di mana seorang wanita cantik kini duduk di sampingnya sambil menyunggingkan senyum. Samuel berusaha mengingat siapa dia, tapi ingatannya hanya sampai pada wanita yang dulu mungkin pernah menghabiskan semalam bersamanya, sebelum dia bersama Bianca.

"Pasti kamu nggak ingat aku, ya?" kekeh wanita itu.

"Sorry, kayaknya udah lama banget ya kita pernah ketemu?" tanya Samuel ragu-ragu.

"Iya lah, udah lama banget. Dua tahun lalu. Tapi aku masih inget banget malam itu kok. Aku Sarah."

"Aah, Sarah ... ya, ya ... apa kabar?" Samuel mencoba berbasa-basi, meskipun dia sama sekali tidak mengingat nama itu.

"Aku denger berita tentang kamu ...."

Samuel mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapan Sarah. "Aku lagi nggak ingin ngomongin itu." Dia teguk sloki berisi cairan berwarna krem dengan cepat, lalu mendorongnya ke arah bartender, meminta untuk diisi kembali.

"Maaf. Tapi, aku boleh duduk di sini, nemenin kamu minum?" tanya Sarah.

"Terserah kamu," sahut Samuel asal. Namun satu hal yang berhasil memasuki ingatannya, bahwa Sarah ini adalah wanita penghibur papan atas yang dulu pernah dia sewa sekali. Pantas saja dia berkeliaran di tempat-tempat orang-orang berduit menghabiskan waktu bersenang-senang, atau seperti dirinya yang sedang dirundung masalah pelik.

Obrolan antara Samuel dan wanita itu pun mengalir seiring malam yang semakin larut dan sloki demi sloki mereka habiskan. Entah siapa yang mengajak, keduanya kini justru berpindah ke dalam kamar hotel dan bergumul di atas ranjang dengan panasnya.

"Oh, Sam ... kamu masih liar seperti malam itu," lenguh Sarah, saat Samuel menghujaninya dengan ciuman dan sentuhan-sentuhan di seluruh lekuk badannya.

Samuel memang liar jika sudah berada di atas ranjang. Namun, malam itu yang ada di benaknya hanya ada Bianca. Dia lampiaskan seluruh amarah dan gairah yang menggelora dalam dada pada wanita bertubuh sintal itu. Bianca yang sedang dia gumuli.

Dari ekspresi wajah menahan kenikmatan, erangan, lenguhan, hembusan napas, sentuhan panas, semua yang dia lihat dan rasakan malam itu hanya Bianca.

"Kamu cantik, Bi ... kamu cantik banget," erang Samuel seraya menggigit telinga, pipi dan bibir Sarah. Wanita itu membalas dengan tidak kalah liarnya, membuat Samuel merasa dirinya berada di atas angkasa, terombang-ambing dalam gairah yang semakin lama semakin menuju ke puncaknya. Samuel semakin mempercepat gerakannya tanpa terkendali.

Ranjang empuk berbalut kain putih itu menjadi saksi Samuel menjemput nikmat tiada tara. Bersamaan dengan gelombang kenikmatan yang tak lagi mampu dia bendung, Samuel mengerang menyebutkan satu nama yang memenuhi relung hatinya.

"Biancaa!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status