Di balik pintu, Gita terbaring dengan posisi membelakangi, tubuhnya terbungkus selimut tebal, hanya rambut acak-acakan yang terlihat.Raka mendekat pelan, duduk di ujung ranjang.“Maaf ya. Tadi di kantor gue juga dikeroyok pertanyaan absurd soal ‘malam pertama’ dan … ugh, pokoknya kacau. Gue pulang udah capek banget, terus lihat apartemen kayak kapal pecah … jadi gue meledak. Tapi, tetap nggak benar marah kayak tadi.”Gita diam.Raka mengeluarkan kotak makan dari kantong dan membuka sedikit penutupnya agar aroma sambal matahnya menyebar.“Ini, makan dulu. Perut kosong bikin ngambek jadi dua kali lipat capeknya, tahu nggak?”Perlahan, tubuh Gita bergeser. Wajahnya muncul, pipinya masih sedikit basah, tapi melirik ke arah nasi.“Pudingnya rasa apa?” tanyanya pelan.Raka tersenyum lega.“Mangga. Yang kamu suka. Kalau kamu mau … gue suapin.”Gita mengangkat alis, melotot. “Enggak!”Dia mendengus kesal, tapi akhirnya duduk bersandar dengan bantal di punggung. “Gue makan sendiri.”Raka meny
Gita bernapas lega ketika setelah sarapan, kedua orang tuan Raka memutuskan pulang ke Depok, bersama Raka yang akan berangkat kerja. Gadis itu merilekskan tubuh dan pikirannya dari kerumitan urusan tadi malam dan menganggapnya sebagai lelucon garing yang jangan sampai terjadi lagi.Alunan musik lembut menemani kuasnya yang menggores di kanvas, di balkon yang bermandikan cahaya. Gadis itu tenggelam dalam keasikannya menuangkan imajinasi ke atas kanvas. Hingga panggilan telepon mengganggu keasikannya. Dia meletakkan semua peralatan dan menuju meja ruang tamu untuk mengambil ponsel.Ekspresi terkejut terlihat jelas di wajah dan mempertimbangkan apakah akan menerima panggilan telepon itu atau tidak. Telepon mati karena lama tak ada respon. Gadis itu memandangi ponsel dengan gundah. Tapi, begitu ingin dikembalikan ke meja, mada panggil kembali berbunyi. Dia menggeleng kuat, sebelum membuat ekspresi tersenyum. “Sugeng enjing, Bu,” sapanya dengan nada suara riang.Dia mendengarkan suara jaw
Jadi, malam ini Ibu dan Bapak Raka akan menginap di apartemen setelah menghadiri acara pernikahan putri temannya.“Kami sudah siap tidur. Tapi sebelum itu, Bapak cuma mau pastikan …,” Sang ayah menatap tajam ke arah mereka. “Kalian beneran sekamar kan malam ini?”Gita membeku. Raka melirik sambil memasang senyum palsu yang terlalu alami.“Iya dong, Pak!” sahut Raka, cepat.“Bagus.” Ibu Raka tersenyum puas. “Soalnya kami akan tidur di kamar tamu. Jadi kalian ya … di kamar utama. Berdua.”Ber-du-a.Kata itu menggema di kepala Gita seperti suara gong yang dipukul keras. Dia menoleh ke Raka dengan tatapan mengandung banyak bahasa kasar dalam lima dialek Jawa.“Ayo, Git. Masuk kamar. Jangan malu-malu.” Raka tersenyum seperti pengantin baru di sinetron kesukaan emak-emak.Setelah mengucapkan selamat malam yang awkward kepada mertua dadakan, Gita menyeret kakinya masuk kamar Raka. Pintu ditutup pelan.“Kunci pintunya ya!” seru sang Ibu dari luar. “Biar nggak ada yang ganggu … hihi.”Gita ber
Secara otomatis tubuh Gita langsung duduk tegak di tempat tidur, meski matanya masih terpejam. Kepalanya sedikit berkunang-kunang karena buru-buru berubah posisi dari tidur jadi duduk.“Apa?” tanyanya sambil menguap, malas. “Aku masih ngantuk. Bisa diskusinya nanti sore aja?”Ketukan di pintu kamarnya terdengar lebih gencar. “Bapak dan Ibu sudah hampir sampai!” teriak raka kencang. Memastikan agar Gita tidak lupa hal penting ini.“Bapak … Ibu?” gumam Gita mengulangi. Pikirannya melayang ke Jogja sebentar seblum akhirnya kesadarannya pulih. “Ya ampun ….” Langkahnya setengah terbang mencapai pintu kamar dan membukanya secepat kilat. “Sudah di mana?”“Stasiun MRT!” sahut Raka yang sibuk menyeka meja ruang tamu. Pria itu melakukannya dengan sangat teliti dan perlahan. Membuat Gita memandangi dengan takjub.“Aku mandi dulu!” serunya kemudian.“Waktumu hanya lima menit untuk tampil rapi!” Raka mengingatkan sebelum pintu kamar mandi tertutup.“Apa mungkin wanita bisa mandi hanya lima menit
Pagi itu Gita terbangun di depan tivi yang menyala. Hanya cahaya temaran alat itu saja yang menandai bahwa masih ada kehidupan di apartemen gelap gulita itu. Dia bangkit dan pergi ke kamar mandi menunaikan panggilan alam. Lalu menuju kulkas untuk mengguyur tenggorokannya yang kering, sebelum lanjut tidur lagi sebelum matahari muncul. Melihat dengan malas catatan Raka.Sambil menguap, berjalan menuju kamarnya yang semalaman tidak ditiduri. Kemudian rasa kantuk itu lenyap seketika setelah membaca tulisan spidol tebal di depan pintu kamar.Ditariknya kasar kertas itu dan diremas hingga remuk. Kakinya melangkah panjang menuju pintu kamar Raka dan menggedornya sekalian penuh emosi.“RAKAAA …!”Setelah gedoran dan teriakan ketiga, barulah Raka membuka pintu dengan wajah bingung.“Apa sih teriak-teriak malam begini!” tegurnya jengkel. “Nanti kita dikomplain oleh pengelola apartemen!” Suanya kentara tidak terlalu senang.“Ini apa!” teriak Gita lagi. Dia tak peduli komplain Raka. Raka memperh
Gita terbangun dengan rasa asing yang tidak bisa dijelaskan. Bukan karena suara alarm, tapi karena … ada suara panci jatuh dari dapur.Dapur?Refleks dia duduk di ranjang dan melirik sekeliling keheranan. Oh iya. Bukan kamarnya sendiri. Ini … apartemennya Raka. Lebih tepatnya, apartemen mereka berdua sekarang.“Astaga,” desahnya sambil memegangi dahi. “Kenapa rasanya seperti tinggal di reality show murahan?”Ia bangkit dan menyeret kaki ke luar kamar. Begitu melongok ke dapur, ia langsung ingin balik lagi ke kasur dan pura-pura tak melihat.Raka, yang entah kenapa sudah lengkap dengan celemek bergambar ayam pakai dasi, sedang bergulat dengan wajan teflon dan telur.“Apa yang kau lakukan?” tanya Gita sinis, menyipitkan mata sambil menguap lebar.“Jangan begitu dong. Aku berbaik hati untuk membuatkan sarapan perdana kita sebagai ... yah, pasangan eksperimen,” jawab Raka, tanpa menoleh. Dia sedang sangat serius. “Kau mau omelet atau telur setengah matang?”“Aku mau kamu jauh dari dapur!”