Langkah-langkah mereka bergema di lorong pabrik yang panjang. Suara mesin berdengung, bercampur dengan aroma logam yang panas dan serat kain yang khas, memenuhi udara sekitar.Kazuya melangkah paling depan, suaranya terdengar tenang saat menjelaskan setiap area yang mereka lalui.“Ini tempat produksi utama,” ucapnya singkat tanpa ada niat untuk menjelaskan secara detail.Martin hanya diam, tak menjawab. Bukannya memperhatikan proses produksi yang berlangsung, Martin justru menatap punggung tegap Kazuya. Rasa sesal itu kembali menyeruak, menusuk dadanya. Dalam hitungan hari, hubungan yang dulunya begitu erat kini seolah terputus. Putra yang dulu begitu dia jaga, kini terlihat seperti orang asing. Sementara itu, Bastian yang berjalan paling belakang turut merasakan kecanggungan itu, namun memilih untuk diam.Hingga langkah mereka berakhir di bagian gudang pengepakan barang.“Ini tempat terakhir. Semua hasil produksi akan di simpan di sini, sebelum nantinya didistribusikan,” ucap Kazuy
“Papa..” panggil Kazuya lirih hampir tak terdengar. Melihat kembali wajah pria yang selama ini dianggap ayahnya, cukup membuat hatinya mencelos.Di sisi lain, Martin tampak mematung untuk sesaat. Namun dalam hitungan detik raut wajahnya kembali dingin, segera mengalihkan pandangannya ke depan.“Maaf nyonya Helena, Tuan Martin,” sapa sang kepala gudang seraya menunduk hormat. “Maaf kami mengganggu waktu anda, saya hanya..”“Gery, duduklah! Ajak Kazuya masuk dan.. tutup pintunya!” perintah Helena yang langsung dituruti oleh kepala gudang.Kini Kazuya terjebak dalam situasi yang tak diinginkan. Dari awal ingin menghindar, namun justru orang yang dihindari telah muncul di hadapannya.Kazuya duduk di sofa memanjang di sudut ruangan, sementara Martin duduk di kursi depan meja kerja Helena, dengan Bastian yang berdiri di belakangnya.“Maaf obrolan kita terjeda Tuan Martin,” ucap Helena kembali duduk di kursi. Tangannya mulai bergerak di atas papan keyboard. “Sejak tiga bulan terakhir, produk
“Maaf Nyonya Helena, saya rasa itu tidak mungkin. Saya tahu betul seperti apa suami saya. Dia tidak mungkin..” “Kau pikir suamimu itu lurus-lurus aja?” Helena memotong ucapan Clay, tersenyum remeh. “Sudahlah, kita itu harus hidup sesuai realita. Tak ada lelaki jujur di dunia ini, kita harus terima itu.” Clay mengulas senyum tipis, berusaha menunjukkan sikap setenang mungkin meski dadanya berdebar tak menentu. Meski hatinya berusaha menyangkal ucapan Helena tidaklah benar, namun tetap saja pikiran negatif kembali meracuni. “Saya tetap percaya sama suami saya. Kebetulan anda datang kemari, saya bermaksud ingin mengembalikan paket yang anda kirim tadi pagi,” ucap Clay seraya melangkah menuju pintu kamarnya. Namun saat hendak meraih gagang pintu, Helena kembali memanggilnya. “Hei tunggu!” Helena melangkah menghampiri. “Maksud kedatanganku kali ini ingin memberi tawaran kerja untuk suamimu. Tentunya dengan gaji yang lebih besar.” Clay terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya memut
“Apa maksudmu?” Kazuya menatap balik wanita yang sudah berdiri di sisinya. Suaranya datar, tapi menusuk.“Paket yang aku kirim tadi pagi. Itu untukmu,” jawab Helena mengulas senyum menggoda. Melangkah lebih dekat agar Kazuya bisa melihat dengan jelas pesonanya yang memikat.Blouse warna merah muda yang dia kenakan, sengaja dibiarkan terbuka di bagian atas agar pria itu bisa melihat bongkahan ranum miliknya. Helena yakin, tak ada satu pria pun yang bisa menahan godaan ini. Helena menahan nafas saat tatapan Kazuya tertuju padanya. Sengaja menggigit bibir bawahnya untuk menambah kesan seksi menggoda.Namun harapan itu pupus ketika Kazuya memilih untuk tidak menanggapi. Memalingkan wajah dan kembali fokus pada pekerjaannya.Helena mendesah kesal, senyum sedikit memudar dari bibirnya.“Kazuya..” panggilnya, namun pria itu tetap diam tak merespon.Kazuya membungkukkan tubuh, setengah berjongkok. Hendak meraih dus yang telah ditutup rapi, bersiap untuk membawanya ke dalam mobil box. Namun t
Clay tersentak mendengar suara Kazuya di balik pintu. Buru-buru menyembunyikan kotak paket itu di belakang tubuhnya. Lalu segera memutar tubuh menghadap pintu yang bergerak terbuka.Sosok sang suami muncul dengan wajah yang terlihat masih setengah mengantuk.“Kamu lagi apa sih?” tanya Kazuya seraya melihat suasana di luar. Langit masih belum terang. Udara pagi yang dingin, juga kicauan burung menandakan jika hari masih terlalu pagi.Clay menelan ludah, menggigit bibir bawahnya. Merapatkan kotak paket di belakang tubuhnya, berharap suaminya itu tak melihat.“Ti-tidak, aku hanya ingin ke warung depan,” jawab Clay sedikit terbata.“Ini masih terlalu pagi. Kamu lapar?” tanya Kazuya menebak.Clay mengangguk pelan.“Biar aku yang ke warung depan. Kamu tunggu di kamar,” ujar Kazuya seraya meraih pundak sang istri dan menuntunnya masuk ke kamar.Kazuya meminta istrinya untuk kembali berbaring di kasur, namun Clay menolak, memilih untuk duduk.Kazuya seraya merendahkan tubuhnya, bersimpuh di l
“Kita masuk dulu!” Kazuya meraih pundak sang istri, menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang.Tatapan Clay mengikuti pergerakan suaminya. Bibirnya tertutup rapat, namun raut wajahnya seolah menunggu penjelasan sang suami.Setelah menutup pintu kamar, Kazuya bergegas menghampiri sang istri. Duduk bersimpuh di depan Clay.“Tadi sebelum pulang, aku di panggil Helena. Atasanku, ingat?” ujar Kazuya memulai penjelasan. Kedua tangannya menggenggam erat tangan sang istri yang terkulai di atas paha.Clay terdiam tak menjawab, namun tetap mendengar. Dadanya bergemuruh hebat. Jika memang benar atasan suaminya yang berbuat, lalu mengapa dia melakukannya?Masih melekat jelas dalam ingatannya, pertemuan tak sengaja dengan wanita yang menjadi pemilik pabrik tempat suaminya bekerja. Sikap ramah Helena tak memercikkan sedikitpun kecurigaan di hati Clay. Dia tahu, wanita matang seumuran Helena tak mungkin memiliki ketertarikan pada pemuda yang usianya jauh lebih muda darinya.Kazuya menghela nafas singk