Share

3. Sebuah Perjanjian

Di dalam mobil, Fasya tampak memainkan tangannya gelisah. Sesekali dia melirik Adnan yang tengah menyetir di sampingnya. Dia ingin bertanya tapi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan karena ini menyangkut masa depan hidupnya.

"Jadi?" tanya Fasha pada akhirnya.

Adnan hanya melirik sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Untuk saat ini kita jalanin dulu sampai keadaan membaik," ucapnya.

"Apa yang harus dijalanin?" tanya Fasya bingung.

Adnan menghela napas kasar, "Pernikahan ini. Setidaknya di depan Kakek kita harus menjalankan peran suami-istri."

"Kalau di belakang Kakek?"

"Terserah kamu. Kita jalan sendiri-sendiri."

Fasya tersenyum lega mendengar itu. Mungkin ucapan Adnan ada benarnya. Lebih baik mereka bersandiwara terlebih dahulu sampai keadaan kembali normal. Setelah itu mereka akan memikirkan kembali apa yang harus dilakukan untuk lepas dari pernikahan konyol ini.

"Aku tinggal di rumah Mas Adnan?" tanya Fasya lagi.

"Hm."

"Kalau untuk tidur?" Fasya tampak berhati-hati saat menanyakan itu.

"Kamu punya kamar sendiri."

Fasya lagi-lagi menghela napas lega. Dia duduk bersandar dengan tersenyum. Hal itu tak luput dari pandangan Adnan. Dia melirik dan menggeleng pelan melihat tingkah Fasya. Gadis itu tidak berusaha untuk menutupi kebahagiaannya karena bisa jauh darinya.

"Kamu pikir kita bakal jalanin pernikahan yang sebenarnya? Jangan harap."

Fasya membuka matanya dan menatap Adnan aneh, "Siapa yang berharap? Jangan pede!"

"Selama kita tinggal satu rumah, jangan pernah ganggu saya," jelas Adnan.

"Begitu juga sebaliknya," ucap Fasya.

"Deal."

Mobil mulai melambat saat sudah sampai di sebuah rumah dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Fasya sempat terkejut melihat itu. Dia tidak tahu jika Adnan akan sekaya ini. Tentu saja! Fasya pernah mendengar dari kakeknya jika keluarga Atmadja adalah keluarga yang cukup terpandang karena kerajaan bisnisnya. Fasya meringis menyadari itu. Ternyata tingkat ekonomi di antara mereka sangat jauh berbeda. Kakek Fasya hanya pemilik peternakan sapi di desa. Itu saja harta yang mereka miliki saat ini untuk bertahan hidup di kota.

Awalnya kakek dan nenek Fasya hidup di desa. Namun setelah orang tua Fasya meninggal karena kecelakaan akhirnya mereka memilih untuk pindah ke kota demi merawat Fasya yang masih bersekolah di bangku SMP. Hal itu terus berlanjut hingga Fasya melanjutkan kuliahnya.

Setelah mobil terparkir di halaman, tanpa banyak bicara Adnan langsung turun meninggalkan Fasya yang kebingungan. Gadis itu dengan cepat menyusul dan membuka bagasi mobil. Dia kembali merutuk saat Adnan tidak membantunya sama sekali dan langsung masuk ke dalam rumah.

Saat mengeluarkan tasnya, ada dua orang yang datang dan langsung membantunya. Fasya tersenyum melihat para pekerja di rumah Adnan yang sigap membantunya.

"Terima kasih ya, Pak.. Bu. Sudah dibantu."

"Sama-sama, Bu."

Fasya terkejut, "Jangan panggil saya 'ibu', Pak."

"Kan Ibu sudah jadi istri Pak Adnan," ucap wanita itu dengan ragu.

Fasya menggigit bibirnya pelan. Tidak mungkin jika dia berkata jika pernikahan ini hanyalah sandiwara. Namun tetap saja, Fasya merasa masih terlalu muda untuk dipanggil Ibu.

"Panggil Fasya aja, Bu. Saya masih imut soalnya," ucapnya dengan geli.

"Nggak berani saya, Bu. Gimana kalau Mbak Fasya aja?"

Fasya tampak berpikir, "Lebih enak didenger. Ya udah, nggak apa-apa."

"Kalau gitu perkenalkan, Mbak. Nama saya Bibi Sari, asisten rumah tangga di sini. Kalau ini Pak Yanto, satpam sekaligus suami saya."

Fasya mengangguk mengerti dan tersenyum, "Salam kenal ya Bibi Sari.. Pak Yanto."

"Kalau gitu Mbak Fasya masuk aja dulu. Biar barangnya kita yang bawa nanti."

Fasya mengangguk dan tersenyum manis. Dia berlalu menuju pintu utama dengan membawa tas kecil berisi alat riasnya. Pintu yang terbuka lebar membuat Fasya langsung berjalan masuk. Langkahnya terhenti saat melihat Adnan sedang duduk berhadapan dengan Kakek Faris.

"Loh, Kakek di sini?" Dengan cepat Fasya mendekat dan mencium tangan Kakek Faris.

"Iya. Kakek mau liat kamu sama Adnan," jawabnya sambil mengelus kepala Fasya.

"Kenapa nggak istirahat aja, Kek?Kakek baru pulang dari rumah sakit soalnya."

"Kakek udah sehat kok. Gimana keadaan Kakek kamu?"

Fasya tersenyum manis, "Alhamdulillah, Kakek juga baik."

Kakek Faris kembali tersenyum. Dia meraih tangan Fasya dan menggenggamnya erat. "Terima kasih ya, Sya. Udah mau kabulin permintaan Kakek. Kakek seneng akhirnya kamu yang jadi istrinya Adnan."

Fasya tersenyum masam, "Nggak apa-apa, Kek. Selama itu bisa buat Kakek Faris dan Kakek Farhat senang dan sehat."

"Tuh, kamu liat, Nan. Fasya itu baik, nggak salah Kakek pilih dia."

Fasya tersenyum malu mendengar  pujian itu.

"Iya," jawab Adnan pasrah. "Kalau gitu ayo Kakek pulang, aku antar. Istirahat di rumah, jangan ke mana-mana dulu."v

Kakek Faris mencegah Adnan untuk berdiri. "Nggak perlu, Kakek udah telepon Edi buat jemput. Kamu pasti capek hari ini, istirahat aja." Kakek Faris beralih pada Fasya, "Kamu juga istirahat ya."

"Iya, Kek." Fasya mengangguk patuh.

Tak lama kemudian terdengar bunyi klakson mobil dari halaman. Selang beberapa detik, muncul Edi, supir Kakek Faris sudah berdiri di depan pintu.

"Kalau gitu Kakek pulang dulu. Kalian yang rukun ya," ucapnya menepuk bahu Adnan dan Fasya bergantian.

"Hati-hati, Kek."

Saat akan masuk ke dalam mobil, Kakek Faris kembali berbalik dan berjalan mendekat.

"Kakek lupa sesuatu," bisiknya pada Adnan dan Fasya.

"Apa, Kek?

"Kakek pesen cicit ya."

Fasya terbatuk mendengar itu. Dia menatap Adnan yang masih terlihat santai dengan wajah datarnya.

"Iya, Kek. Sekarang Kakek pulang ya, terus istirahat," jawab Adnan.

Fasya melambaikan tangannya saat mobil sudah berlalu pergi. Setelah benar-benar menghilang dari pandangannya, senyum yang sedari tadi ia tampilkan langsung menghilang.

"Ikut saya."

Fasya menatap Adnan yang sudah berlalu masuk ke dalam rumah. Dengan langkah tergesa dia mengikuti Adnan. Pria itu membawanya ke lantai dua dan berhenti di depan pintu berwarna coklat kayu.

"Ini kamar kamu."

Dengan ragu, Fasya mulai membuka kamarnya. Mulutnya terbuka lebar saat melihat kamar yang Adnan berikan. Jauh dari ekspetasinya. Dia pikir Adnan akan memberikan kamar yang tak layak mengingat jika mereka saling membenci, tapi ternyata pria itu memberikan kamar yang cukup bagus. Sedikit lebih bagus dari kamar lamanya.

"Ini kamar aku?"

"Iya. Kalau nggak suka kamu bisa rubah tatanan kamar ini asalkan satu, jangan berisik ataupun ganggu saya."

"Oke!" Fasya tersenyum senang dan mulai berjalan masuk. Dia melihat kamarnya dengan teliti. Setidaknya Adnan masih memanusiakan dirinya.

"Makasih ya, Ma—s." Fasya berbalik dan kalimatnya mengganting saat sadar jika Adnan sudah pergi.

Fasya mencibir, "Dasar demit! Tiba-tiba muncul, tiba-tiba ilang."

Fasya mengedikkan bahunya dan merebahkan dirinya di atas kasur. Dia memejamkan matanya untuk menikmati rasa nyaman di punggungnya. Akhir-akhir ini dia kurang tidur karena harus menjaga kakeknya. Beruntung jika dia tengah libur semester kali ini.

"Permisi, Mbak." Suara ketukan pintu membuat Fasya kembali bangkit. Ternyata Bibi Sari yang datang.

"Ini barangnya di taruh mana, Mbak?"

"Taruh sini aja, Bik." Fasya dengan cepat membantu mengangkat barangnya. "Makasih ya, Bik."

"Sama-sama, Mbak. Oh iya, tadi kata Pak Adnan kalau Mbak Fasya laper bisa langsung minta ke Bibi ya, soalnya Bapak nggak pulang malam ini."

Fasya mengangguk mengerti. Dia memilih untuk menurut dan tidak banyak bertanya. Toh mereka sudah melakukan perjanjian untuk tidak saling mengusik satu sama lain.

"Sekali lagi makasih ya, Bi."

"Sama-sama, Mbak. Saya keluar dulu."

Fasya mengangguk dan mulai menutup pintu. Dia menatap barang-barangnya dan menghela napas kasar. Dia tidak bisa beristirahat jika melihat barangnya seperti ini.

"Oke, Fasya. Semangat! Hidup baru akan dimulai."

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status