Share

2. Status Baru

Lima hari telah berlalu. Hari ini adalah hari terakhir di mana Kakek Farhat dan Kakek Faris dirawat di rumah sakit. Entah kenapa ikatan persahabatan mereka begitu kuat. Mereka sama-sama memiliki riwayat penyakit jantung. Setelah menggelar pernikahan cucunya lima hari yang lalu, kesehatan mereka juga berangsur membaik. Ada perasaan lega di hati Adnan dan Fasya melihat itu. Setidaknya pengorbanan mereka tidak sia-sia.

"Ayo, suapan terakhir, Kek. Buka mulutnya." Fasya kembali menyuapi kakeknya.

"Makasih ya, Nduk. Kakek sayang sama kamu." Kakek Farhat tersenyum dan mengelus kepala Fasya sayang.

"Mulai sekarang Kakek harus janji untuk jaga kesehatan. Nenek sama Fasya nggak mau liat Kakek sakit lagi kayak gini."

Fasya mengangguk setuju saat mendengar ucapan neneknya.

"Pasti, Kakek akan jaga kesehatan. Kakek masih mau liat cicit Kakek nanti," ucapnya dengan terkekeh pelan.

Fasya berdeham dan beranjak untuk meletakkan piring kotor di atas nakas. Dia memilih untuk menghindar dari pada mendengar percakapan mengenai pernikahan yang baru ia lakukan lima hari yang lalu. Sejak saat itu pun, Fasya tidak lagi melihat Adnan. Entah kemana perginya pria itu karena ia tidak melihatnya di sekitar Kakek Faris. Mungkin itu yang terbaik, Fasya masih belum bisa bertemu ataupun melihat Adnan untuk saat ini. Dia masih mengingat tatapan kebencian pria itu untuknya.

***

Sambil membawa tas kakeknya, Fasya mulai keluar dari ruang inap. Kakeknya sudah lebih dulu keluar dengan bantuan kursi roda. Saat berada di luar, langkahnya terhenti karena terkejut melihat keberadaan Adnan. Pria itu mendadak muncul setelah berhari-hari menghilang.

"Ayo, Nduk. Kita pulang diantar Nak Adnan."

"Bukannya Kakek Faris juga mau pulang?" tanya Fasya bingung.

"Kakek diantar Tante saya," jawab Adnan singkat.

Fasya hanya bisa mengangguk mengerti. Dia menggenggam tasnya erat bingung harus melakukan apa.

"Ayo, kita ke mobil." Adnan mengambil alih kursi roda Kakek Farhat dan mendorongnya.

Fasya dan neneknya memilih untuk berjalan di belakang. Melihat cucunya yang melamun, Nenek Atika mengelus bahu Fasya pelan. Dia tersenyum untuk menenangkan cucunya yang perasaannya kembali kacau ketika melihat Adnan. Dia sangat tahu itu.

"Kamu nggak papa?" tanyanya.

Fasya tersenyum tipis dan memeluk bahu neneknya, "Aku nggak papa, Nek."

"Makasih udah bikin Kakek seneng. Semoga hidup kamu juga bahagia ya, Nduk. Nenek selalu berdoa untuk kamu."

"Makasih, Nek." Fasya kembali tersenyum dan mengelus bahu neneknya, memberi tahu jika dirinya sedang baik-baik saja saat ini.

Di dalam mobil, suasana begitu hening. Kakek Farhat memilih untuk tidur sebentar bersama nenek di kursi belakang. Saat ini hanya ada Fasya dan Adnan yang terjaga. Apa yang telah terjadi di antara mereka seolah menambah rasa canggung di dalam mobil ini. Fasya berusaha untuk santai karena Adnan sendiri juga enggan berbicara dengannya.

"Kita sampai."

Lamunan Fasya buyar saat mereka sudah sampai. Dengan cepat dia keluar dari mobil dan membangunkan Kakek. Lagi-lagi dengan sigap Adnan membantu Kakek Farhat untuk masuk ke dalam rumah sederhana milik mereka.

"Biar Nenek yang anter Kakek ke kamar. Kamu bikinin Adnan minum, Nduk."

Fasya kembali menurut dan berlalu ke dapur. Sesampainya di sana dia merutuk saat tidak tahu minuman apa yang diinginkan Adnan. Saat akan kembali ke ruang tengah dia menggeleng tegas.

"Nggak! Ngapain tanya? Kan dia tamu." Fasya mengangguk meyakinkan diri.

Kopi menjadi pilihan Fasya. Sepertinya pria seperti Adnan adalah pecinta kopi. Setelah selesai, dia kembali ke ruang tengah. Fasya kembali merutuk saat melihat Adnan hanya sendiri. Ternyata neneknya belum juga kembali.

"Kopi, Mas."

Adnan mengangguk, "Makasih," ucapnya singkat.

Mereka kembali duduk dengan hening. Fasya hanya bisa memainkan tangannya gelisah. Ada sifat baru yang ia ketahui dari Adnan, yaitu pendiam. Bahkan pria itu tidak peduli dengan keadaan canggung di sekitarnya dan memilih untuk tetap diam. Fasya tahu jika keadaan mereka sedang tidak baik. Namun apa meraka harus terus seperti ini tanpa mencari jalan keluar?

"Nenek denger kamu baru pulang dari Singapura tadi pagi ya, Nan?"

Adnan mengangguk mendengar pertanyaan Nenek Fasha. Dia menyesap kopinya pelan. Tidak ada komentar yang keluar dari mulutnya. Fasya menghela napas lega, ternyata pria itu memang menyukai kopi.

"Pasti capek langsung ke rumah sakit dan anter Kakek pulang tadi. Makasih ya."

"Nggak masalah, Nek."

"Kalau kamu capek, bisa istirahat dulu di kamar Fasya," ucap nenek lagi.

Fasya langsung terbatuk mendengar itu. Dia menatap neneknya tidak percaya. Setelah itu dia melihat Adnan yang menatapnya bingung.

"Kenapa, Nduk? Kok kaget gitu. Kan Adnan suami kamu."

"Ah, aku lupa, Nek." Fasya mengumpat dalam hati dan mendunduk.

"Nggak usah, Nek. Saya langsung pulang aja," ujar Adnan.

"Kok cepet? Kalau gitu ayo Fasya cepet kemasi barang-barang kamu. Bawa yang penting-penting aja dulu, sisanya bisa nyusul. Kasian Nak Adnan harus istirahat."

Fasya kembali terkejut mendengar itu. "Mau ke mana, Nek?"

Nenek Atika berdecak, "Mau ke mana lagi? Ya ke rumah suami kamu. Kalian kan udah nikah, masa tinggalnya pisah?"

Tubuh Fasya langsung lemas mendengar itu. Entah kenapa dia tidak berpikir hingga sejauh itu. Dia pikir pernikahan ini hanya sebatas status, bukan dilakukan dengan serius.

"Tapi, Nek. Aku masih mau tinggal di sini."

"Jangan aneh-aneh kamu. Ayo, cepet ke kamar."

Fasya mulai merengek, "Nggak mau, Nek. Aku masih mau rawat Kakek."

"Jangan alesan, Kakek udah sehat. Ada Nenek juga di sini. Kamu jangan bikin jantung Kakek kumat lagi."

Fasya mulai panik. Dia sungguh tidak mau pergi. Tinggal berdua bersama Adnan? Itu seperti mimpi buruk untuknya. Fasya tidak mau. Dia tidak bisa hidup berdua dengan pria kejam tanpa ekspresi seperti Adnan.

"Kalau nggak ada barang yang kamu bawa, kita pergi sekarang. Saya agak buru-buru." Adnan melirik jam tangannya.

Tangan Fasya terkepal. Pria itu tidak terkejut dengan hal ini. Sepertinya Adnan sudah tahu jika merera akan tinggal bersama. Lagi-lagi Fasya merutuk, kenapa Adnan tidak berusaha untuk menolak dengan segala cara?

"Sebentar," ucap Fasya yang langsung berjalan menuju kamarnya.

Matanya kembali memanas tapi Fasya mencoba untuk menahannya. Dia sudah lelah menangis. Dengan kesal Fasya mulai memasukkan barang-barang yang sekiranya akan ia pakai. Mulai dari pakaian hingga perlengkapan kuliahnya.

"Demi apapun, gue punya dosa apa sampe hidup gue kayak gini?" gumam Fasya memasukkan buku-bukunya dengan kesal.

Dia tahu jika pernikahan terjadi juga atas izin darinya. Fasya sudah setuju untuk melakukan pernikahan. Namun entah kenapa dia tidak mau menjalankan kehidupan pernikahan yang sebenarnya. Dia benci karena Adnan yang terkesan diam tanpa melakukan apapun ataupun menolak. Apa hanya dirinya sendiri yang berjuang untuk mencari jalan keluar di sini?

"Bisa agak cepet? Saya sudah ada janji."

Gerakan tangan Fasya terhenti saat melihat Adnan sudah berada di pintu kamarnya. Matanya menyipit dengan tangan yang kembali terkepal.

"Kamu nggak bakal selesai kalau nggak berhenti sumpahin saya dalam hati," ucap Adnan lagi.

"Siapa yang nyumpahin Mas Adnan. Jangan geer!" Fasya kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak.

"Saya tau, telinga saya panas soalnya."

Fasya kembali menatap Adnan tajam. Jika tidak bisa menahan diri, sudah sedari tadi dia ingin melempar buku setebal lima cm itu ke arah Adnan.

"Lima menit, saya tunggu di mobil," ucap Adnan santai dan berlalu pergi.

"Kalau mau cepet, bantuin kek! Dasar hantu!"

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status