"Biasanya berapa lama bertahan?"
"Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil."
"Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?"
"Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja."
"Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."
Teratai mengangguk.
"Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"
Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba."
"Nanti aku coba telpon Arsa."
***
"Sanad mengundangmu ke kafe Teratai. Barangkali kamu menyukai. Aku sering santai ke sana."
Gerakan Wahda terhenti mendengar cerita Arsa. Ia kembali memasukkan pakaiannya ke dalam box pakaian yang telah disiapkan Arsa.
"Masih sepi, tapi lumayan untuk santai. Tempatnya juga nyaman."
Wahda meluruskan badannya ke arah Arsa. "Arsa, kamu sering ke kafe Teratai?"
Arsa mengangguk. Ia mengambil alih box yang dipegang Wahda.
“Kamu masih menyimpan rasa pada Teratai?” tanya Wahda. Gerakan Arsa terhenti. Ia kembali meletakkan box itu ke atas ranjang, lalu menjentikkan jarinya ke jidat Wahda.
“Aku masih normal. Aku memang playboy. Tapi tidak akan mengembat punya saudaraku sendiri.”
“Aku tanya apa yang kau masih punya rasa sama Teratai,” sungut Wahda sambil mengusap dahinya yang sakit.
“Sudahlah. Kalau sudah kita pergi sekarang."
Wahda meraih tangan Arsa. "Sa, aku serius. Kalau memang kamu masih menyukainya, lebih baik berhenti sekarang. Jangan lagi ke tempatnya."
Arsa mengembuskan napasnya. "Aku tau kamu masih trauma dengan sesuatu yang bernama rasa. Tapi jangan samakan aku dengan suamimu yang tidak tahu terima kasih itu. Kuakui, aku tidak bisa mengenyahkan perasaanku padanya begitu saja, tapi aku mempunyai cara untuk membentengi diri. Adapun aku sering ke sana, karena tempat itu memang cocok untuk santai. Aku juga sering ajak cewek-cewek aku ke sana."
"Cewek-cewek?!" ejek Wahda.
Arsa memasang wajah cengir. "Bukan salahku kalau aku ganteng," ucap Arsa sambil membetulkan kerah bajunya.
Mata Wahda membelalak, lalu menjulurkan lidahnya.
"Sudahlah. Kita balik sekarang."
Wahda mengangguk, lalu mengedarkan pandangannya sejenak, memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal.
***
Wahda dan Arsa memelankan langkahnya. Di luar terlihat orang berkerumun, dan beberapa orang perawat menatap sekilas pada mereka lalu saling berbisik. Hingga sampai di teras rumah sakit, keduanya saling bersitatap.
Di depan mereka, Bagus dengan mengenakan setelan jas biru malam berdiri sambil memegang buket besar berisi mawar merah. Wahda menduga mawar di dalam buket itu ada ratusan. Di belakang Bagus ada Angel yang terus memberikan senyuman.
Bagus mendekat, lalu berjongkok, meletakkan sebelah lututnya ke lantai, dengan tengadah ia menyerahkan buket besar itu kepada Wahda.
“Apa ini?” tanya Wahda.
“Terimalah. Ini sebagai permohonan maafku. Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi, ya.”
Angel mendekat. “Wahda, percayalah kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Aku akan resign dan pergi dari sini."
Wahda terdiam, menatap mawar merah yang masih terarah padanya, meminta disambut. Perlahan tangannya terangkat menyentuh buket itu.
Arsa menatapnya dengan dengusan ejek. “Dasar, bucin,” omelnya.
Mata Bagus berbinar cerah.
Namun, siapa sangka, tangan Wahda mendorong buket itu ke arahnya. “Kita sudah menjadi orang asing. Tidak mungkin lagi kita bersatu.”
Bagus berdiri. “Jika memang demikian, aku akan kembali menikahimu. Aku tak bisa hidup tanpamu.”
Wahda tersenyum sinis. “Sebagai apa? Istri yang terus melayanimu, tanpa kamu peduli dia mau apa?! Apa bedanya dengan pembantu?!”
“Bukan begitu. Jangan samakan seorang istri dengan pembantu! Aku tidak pernah memandangmu seperti itu,” sanggah Bagus.
“Oke, aku tanya padamu. Sebutkan satu saja makanan favoritku. Jika benar, aku akan mempertimbangkannya.”
Bagus tergagap. Ia membuka mulut, tetapi tidak ada huruf yang keluar darinya. Tiba-tiba ia menyadari, mungkin inilah yang paling tolol dalam seumur hidupnya.
“Tidak tahu kan?!” sela Wahda. “Gus, aku melayanimu lima tahun, masa kamu tidak tahu satupun makanan kesukaanku?!"
“Oke, aku salah. Tapi, apa yang kulakukan ini bukankah sudah berusaha menyenangkanmu? Beri aku satu kesempatan lagi," pinta Bagus.
“Jadi ini bukan permintaan maaf yang tulus? Menyenangkan?” ejek Wahda. “Kau pikir ini apa? Drama? Ini memalukan! Apa kamu tidak lihat, kita jadi perhatian orang-orang?!”
Bagus tergagap. Ia memutar pandangannya. Puluhan mata tertuju padanya. Kemudian ia menatap Angel. Angel memperlihatkan wajah bersalah.
Wahda tersenyum sumbang. “Jadi kamu melakukan ini juga atas saran Angel?”
Bagus tidak menjawab. Namun dari kilatan matanya, Wahda sudah tahu jawabannya.
“Gus, rupanya kamu benar-benar buta tentangku. Kemana saja selama lima tahun ini?!” Wahda berpaling ke arah Arsa. “Sa, yuk!”
Arsa mengangguk. Ia melangkah maju sambil masih mendekap box berisi peralatan Wahda.
Bagus termangu. Menatap Wahda yang menjauh dan memasuki mobil Arsa.
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.”
Arsa terbang ke Jakarta setelah tiga hari resepsi perkawinan. Bahkan kamar pengantin pun masih utuh, dia sudah pergi. Mengesalkan, tapi apa boleh buat. Aku juga sudah mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit. Tinggal menuntaskan hari kerja. *** Aku mengerjap pelan. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tanganku terasa kram. Ternyata tanganku dijadikan bantal oleh Arsa. Aku mencoba menggeser, ia malah meletakkan kepala di dadaku. "Kenapa tidak kasih kabar kalau pulang?" "Dadakan. Aku sangat merindukanmu," sahutnya sambil memejamkan mata dan memeluk erat. "Tapi, tunggu sebentar. Badanku pegal sekali." Begitulah keadaan kami yang berasal dari satu kakek dan mempunyai banyak kesamaan. Ternyata dia juga punya sifat manja kronis. Aku mengikutinya ke Jakarta begitu pekerjaanku selesai. Aku memutuskan langsung program kehamilan dan tidak bekerja sementara waktu. Ternyata di sini, sebulan saja aku sudah bosan setengah mati. Seharian aku sendirian di rumah. Tinggal di komplek elite
Aku tersenyum mengejek. "Kekanakan sekali. Lalu dengan mengajakku nikah, kau pikir aku langsung menjadikanmu prioritas? Ars, aku dokter, kesehatan pasien panggilan nuraniku." Arsa mendekat. Aku terlanjur membentuk pertahanan diri. “Minimal kita sama-sama berusaha untuk saling mendekat. Saling berkorban selangkah demi selangkah.”“Kau lihat tadi bagaimana perasaanku terhadap Sonia. Mungkin suatu saat kejadian malam itu akan terulang lagi.”“Setidaknya, kau juga meluangkan waktu untukku. Perhatianmu hanya untukku.”Aku menghempaskan napas. Kenapa aku baru tau Arsa memiliki sisi seperti ini? “Beri aku waktu. Ini masih terlalu mengagetkan bagiku.” Aku memeriksa jam di layar ponsel. “Sebaiknya kita pulang sekarang.” Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tiba-tiba saja hatiku sensitif sekali. Seperti menyimpan tumpukan amarah. Mengujiku? Yang benar saja.“Wah!” panggil Arsa sambil berusaha meraih lenganku ketika kami sampai di depan rumah. Spontan saja lenganku menjauh. Ia memperlihat
Getaran dadaku kembali bergelombang. Aku menahan napas supaya tidak lagi menangis. “Tadi dia menelponku, memintaku ke rumah sakit. Aku janji padanya setelah mengantar rantang ke rumah Tante. Siapa sangka akan seperti ini.” Lagi-lagi aku menghela napas. Sangat terasa tubuhku lemah sekali. Entah berapa lama aku menangis. “Dia tidak akan menyalahkanmu. Jadi jangan menyalahkan diri,” sahutnya sambil menoleh padaku. Matanya mulai bergulir lembut. “Besok dia ulang tahun. Aku telah membelikan kado untuknya Tapi ....” Aku kembali terisak. Ia menarik kepalaku, tetapi aku mengelak. Aku menghirup udara dingin kuat-kuat, lalu menghempaskannya. Aku melakukan itu berkali-kali, sampai dadaku sedikit lega.“Terima kasih. Kau bisa pergi sekarang. Maaf, telah mengganggu waktumu.”Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk belakangku dari debu. Arsa juga berdiri. “Aku akan mengantarmu.”“Tak perlu. Kau pergilah. Aku mau pergi ke suatu tempat.”“Mau ke mana? Aku akan mengantarmu. Aku tidak akan membiarkanmu b
“Dokter, Sonia kritis.” Mataku membelalak. Setelah itu tidak jelas lagi Mama Sonia berucap apa, hanya terdengar deru tangis. “Tante, aku pergi dulu.”Aku bergegas membuat ponsel ke dalam tas dan langsung berdiri. “Kritis? Siapa yang kritis?" tanya Tante Fatima. Arsa dan semua ada di situ ikutan menoleh. "Pasien aku, Tante," ucapku sambil menyalami tangan Tante Fatima. Tante Fatima mengerutkan kening. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. "Aku pergi, Tante. Assalamu alaikum.""Tunggu!" Langkahku terhenti. "Arsa, antar Wahda ke rumah sakit," titah Tante Fatima.Arsa melongo. "Aku bawa mobil sendiri, Tante," selaku sambil kembali bergegas. "ARSA!" Kali ini suara Tante Fatima menggelegar. "Dia panik begitu, sangat berbahaya mengemudi." Teratai terdiam dengan piring lauk masih di tangan. Caroline melongo. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dibicarakan."Iya, Tante," sahut Arsa dengan wajah sewot. Aku langsung berlari ke depan. Tidak ada waktu melihat wajah terpaksa
Aku tidak mendengar lagi perbincangan Tante Fatima dengan Caroline. Perhatianku teralih pada Arsa yang berjalan mendekati ibu. "Assalamu'alaikum, Tante. Bagaimana kabar Tante? Sehat?"Saat ia ngobrol dengan ibu, ingin rasanya aku menghilang. Diabaikan setelah sekian lama bersahabat, rasanya sangat menyakitkan. Sayangnya, aku tak punya hak untuk mengeluh, apalagi membela diri karena semua ini bermula dariku. Beruntung MC cepat memanggil dia, sehingga dia cepat berlalu dan aku dapat bernapas lega. Aku tidak bisa membayangkan, di mana menaruh muka setelah diabaikan di depan orang banyak. “Tante, kami mau naik dulu,” izin Arsa pada Tante Fatima. Tante Fatima mengangguk. Arsa mengulurkan tangan pada Caroline seperti yang kulihat di film Barat. Betapa anggun dan elegant. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah mereka hingga sampai ke atas panggung. “Selamat malam semuanya.” Salam Arsa langsung disambut dengan tepuk meriah. Ia memperkenalkan diri juga Caroline Poni. Ternyata Caroline s
"Dicari-cari ternyata di sini." Teratai muncul dengan selembar undangan di tangan.Tiba-tiba jantungku mencelos."Kenapa?" "Undangan buatmu."Aku menerima dengan wajah penuh tanya. "Ulang tahun August Market. Besok malam." Aku mengangguk. "Terima kasih ya.""Kau harus datang," jawab Teratai sambil memegang pundakku lalu masuk ke dalam ruko. Sepeninggalan Teratai, aku mengembuskan napas pelan. Lalu mencermati undangan hitam yang bertintakan warna emas itu. Mengapa tadi tiba-tiba jantungku terasa lepas saat melihat undangan ini? Padahal dilihat sampulnya saja sudah jelas ini bukan undangan perkawinan. Aku menggelengkan kepala atas kekonyolan sendiri.Jadi Arsa ke sini demi menghadiri ulang tahun August? Itu artinya dia akan balik lagi ke Amerika? ***"Dokter!" Sapa gadis kecil yang duduk di kursi roda ketika aku keluar dari ruang praktik. "Sonia, kenapa keluar?""Maaf, Dokter. Dari tadi dia merengek mau ke sini," ucap ibunya yang mendorong kursi roda yang diduduki Sonia. Aku t