Tangis Wahda pecah.
Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung.
"Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.
Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!"
Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda.
"Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti.
"Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."
Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."
Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap.
"Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya.
***
Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda.
"Kenapa?" tanya Sanad.
"Kita hanya sebagai orang luar, rasa aneh saja, tiba-tiba mereka bercerai. Di perkumpulan keluarga besarmu, aku pernah dengar mereka sangat iri dengan pasutri itu. Suami memiliki karir cemerlang, Wahda juga seorang dokter dan terlihat harmonis."
"Begitulah manusia. Hanya melihat luaran saja. Kita tidak tahu mungkin di dalamnya mereka sedang menyimpan banyak masalah."
Teratai merapatkan badannya. "Kamu tahu sejarah percintaan Wahda dengan Bagus?"
Sanad memajukan wajahnya, sehingga Teratai termundur. "Kamu mulai belajar ngerumpi?"
Teratai memasang wajah manyun. Ia menyandarkan punggungnya. "Kamu tau, pekerjaanku dari kecil harus sering menganalisis arah mata angin, mencoba mereka cuaca esok hari dengan melihat bintang dan setiap perubahan. Kalau hanya mengandalkan sumberdayanya, mungkin sampai sekarang aku masih diam di danau. Repotnya, kebiasaan itu terbawa ke suatu yang bukan urusanku. Namun, apa salahnya aku belajar dari pengalaman mereka."
Sanad tersenyum. "Aku tidak begitu tahu. Kamu sendiri tau, aku bukan tipe peduli pada orang lain. Kalaupun aku sedikit akrab dengan Wahda, itu karena dia memang agresif. Dari sifat dia, aku mengira dia yang mengejar-ngejar Bagus. Jadi mungkin Bagus menerima dia karena putus asa dengan mantan. Lalu ketika kembali bertemu mantan …. Terlebih lagi jika melihat mantan yang …. Entahlah." Sanad menyudahi spekulasinya. "Menurutmu?"
Beberapa saat Teratai terdiam. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Sanad. "Dibanding agresif, menurut aku Wahda itu memiliki hati yang hangat, periang dan penuh perhatian. Dapat dibayangkan bagaimana perhatiannya kepada orang yang dia sayanginya. Aku menduga, dia tidak melanjutkan studi spesialis juga karena cintanya yang luar biasa kepada Bagus. Hanya saja, aku tak menyangka, kalau dari sudut laki-laki itu disebut agresif."
Sanad menatap tangannya yang diremas Teratai. "Kenapa? Ada yang kau takutkan?"
"Enggak. Aku hanya teringat masa laluku. Cinta memang mendorong kita untuk berbuat sesuatu yang kadang sangat luar biasa. Namun, tidak semua yang kita lakukan itu mendapatkan apresiasi yang bagus."
Teratai menghela napasnya. "Untung cinta segalanya bagiku itu Evan."
Sanad mengernyit protes. "Evan?!"
Teratai mengangguk, lalu berpaling, menyembunyikan bibirnya yang hampir melengkung. Melihat laki-laki itu cemburu menyenangkan juga.
Sanad menghempaskan napasnya. Ia menyandarkan punggungnya, dan menoleh keluar. "Rupanya aku masih belum bisa mendapatkanmu seutuhnya."
Cup.
Sebuah kecupan mampir di pipinya. Keane yang sejak tadi fokus pada jalan, kini mengintip lewat kaca spion.
Sanad menatap wajah Teratai.
"Jangan khawatir. Selama Evan bersama kita, kamu akan mendapatkan diriku sepenuhnya," goda Teratai.
Sanad berdecak mengejek. "Bilang saja, kamu juga tidak bisa menolak dari pesonaku!"
Teratai mencebik. "Narsis."
Sanad Tertawa. Ia merengkuh bahu Teratai. "Bagaimana dengan kafenya?"
Teratai menghela napasnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bahu Sanad. "Masih sepi.”
Awalnya Tera membangun kafe itu hanya untuk minat. Di mana ia bisa santai bekerja dan belajar sambil menghabiskan hari, menunggu Evan. “Kamu tahu alasan mendirikan kafe itu, tetapi kenapa ketika sepi, jadi masuk kepikiran?”
Sanad kembali terkekeh. "Itu manusiawi, memikirkan untung rugi. Jangan terlalu dipikirkan. Selama tempat itu membuatmu nyaman, jalani saja. Anggap saja itu sebagai kantor kerjamu, kamu tetap memerlukannya, meski mengeluarkan biaya. Bagaimana dengan proses uyah wadinya?"*
"Masih proses uji coba. Alhamdulillah, Acil Nurul sudah menemukan formula rasa yang pas dan bisa kering. Hanya saja untuk sementara, menunggu berapa lama uyah itu bertahan."
Uyah wadi adalah garam untuk rujak. Khusus olahan dari Bangkau, uyah wadi diolah dari air garam rendaman ikan yang diasinkan. Setelah direndam semalaman, ikan diangkat, dibersihkan dan siap dijemur. Airnya diolah menjadi uyah wadi yang dicampuri air asam sebagai penghilang amis, kunyit untuk mempercantik warna dan serai untuk memberikan khas rasa.
"Biasanya berapa lama bertahan?"
****
catatan penulis: mungkin dua tokoh membuat cerita sedikit membingungkan. Mendadak Talak memang seri dari Bahagia Setelah Terusir (Sanad dan Teratai). Jadi sebaiknya berkunjung juga ke sana, romance Sanad dan Teratai tak kalah manis dari Wahda.
Novel:
Bahagia setelah terusir
Kamu berhak bahagia
dan Setelah kau pergi, ketiga novel ini tokohnya saling berhubungan.
Terima kasih atas perhatiannya
Bahagia Setelah terusi
“Dokter, Sonia kritis.” Mataku membelalak. Setelah itu tidak jelas lagi Mama Sonia berucap apa, hanya terdengar deru tangis. “Tante, aku pergi dulu.”Aku bergegas membuat ponsel ke dalam tas dan langsung berdiri. “Kritis? Siapa yang kritis?" tanya Tante Fatima. Arsa dan semua ada di situ ikutan menoleh. "Pasien aku, Tante," ucapku sambil menyalami tangan Tante Fatima. Tante Fatima mengerutkan kening. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. "Aku pergi, Tante. Assalamu alaikum.""Tunggu!" Langkahku terhenti. "Arsa, antar Wahda ke rumah sakit," titah Tante Fatima.Arsa melongo. "Aku bawa mobil sendiri, Tante," selaku sambil kembali bergegas. "ARSA!" Kali ini suara Tante Fatima menggelegar. "Dia panik begitu, sangat berbahaya mengemudi." Teratai terdiam dengan piring lauk masih di tangan. Caroline melongo. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dibicarakan."Iya, Tante," sahut Arsa dengan wajah sewot. Aku langsung berlari ke depan. Tidak ada waktu melihat wajah terpaksa
Aku tidak mendengar lagi perbincangan Tante Fatima dengan Caroline. Perhatianku teralih pada Arsa yang berjalan mendekati ibu. "Assalamu'alaikum, Tante. Bagaimana kabar Tante? Sehat?"Saat ia ngobrol dengan ibu, ingin rasanya aku menghilang. Diabaikan setelah sekian lama bersahabat, rasanya sangat menyakitkan. Sayangnya, aku tak punya hak untuk mengeluh, apalagi membela diri karena semua ini bermula dariku. Beruntung MC cepat memanggil dia, sehingga dia cepat berlalu dan aku dapat bernapas lega. Aku tidak bisa membayangkan, di mana menaruh muka setelah diabaikan di depan orang banyak. “Tante, kami mau naik dulu,” izin Arsa pada Tante Fatima. Tante Fatima mengangguk. Arsa mengulurkan tangan pada Caroline seperti yang kulihat di film Barat. Betapa anggun dan elegant. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah mereka hingga sampai ke atas panggung. “Selamat malam semuanya.” Salam Arsa langsung disambut dengan tepuk meriah. Ia memperkenalkan diri juga Caroline Poni. Ternyata Caroline s
"Dicari-cari ternyata di sini." Teratai muncul dengan selembar undangan di tangan.Tiba-tiba jantungku mencelos."Kenapa?" "Undangan buatmu."Aku menerima dengan wajah penuh tanya. "Ulang tahun August Market. Besok malam." Aku mengangguk. "Terima kasih ya.""Kau harus datang," jawab Teratai sambil memegang pundakku lalu masuk ke dalam ruko. Sepeninggalan Teratai, aku mengembuskan napas pelan. Lalu mencermati undangan hitam yang bertintakan warna emas itu. Mengapa tadi tiba-tiba jantungku terasa lepas saat melihat undangan ini? Padahal dilihat sampulnya saja sudah jelas ini bukan undangan perkawinan. Aku menggelengkan kepala atas kekonyolan sendiri.Jadi Arsa ke sini demi menghadiri ulang tahun August? Itu artinya dia akan balik lagi ke Amerika? ***"Dokter!" Sapa gadis kecil yang duduk di kursi roda ketika aku keluar dari ruang praktik. "Sonia, kenapa keluar?""Maaf, Dokter. Dari tadi dia merengek mau ke sini," ucap ibunya yang mendorong kursi roda yang diduduki Sonia. Aku t
Aku telah meluncur ke bandara dan jangan menyusulku. Kurasa kita harus memikirkan ulang hubungan kita. Benarkah yang kita lakukan ini?Sanggupkah kita menerima dunia masing-masing? Sanggupkah kita menerima masa lalu pasangan?Aku memahami jiwamu, tapi aku juga ingin diprioritaskan dari siapa pun. Aku egois, tapi aku tak bisa memaksamu meninggalkan duniamu.Seberapa keras pun aku berpikir, aku ingin kamu hanya untukku. Dulu kita berpikir, selama kita saling bergantung, cinta itu belakangan. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Ternyata ketergantungan, masih kalah dengan cinta dan hati.Kalaupun ketergantungan itu ada, bukankah kita bisa tetap bersama tanpa harus menikah? Terlebih lagi kita telah terikat hubungan darah. Seberapa pun jengkelnya, kita tidak akan bisa mengabaikan karena memiliki hubungan darah. Dari genetik yang sama.Sengaja kutinggalkan cincin itu. Jika sepeninggalanku kau bertemu laki-laki yang membuat jantungmu berpacu cepat seperti yang kau inginkan, laki-laki yan
"Wah, sore ini Arsa datang. Kami mau menjemputnya, kamu mau ikut?" Pertanyaan Teratai membuatku syok. Diam, tetapi di dalam bergemuruh hebat. Betapa aku merindukan laki-laki itu. Arsa mau datang? Mengapa dia tidak mengabariku? Sepertinya dia benar-benar membenciku? Dia sudah tak menganggapku lagi. "Kok bengong?! Masa tunangan nggak dijemput?"Aku masih bungkam. Tunangan? Benar juga, kami memang belum menyampaikan situasi kami kepada orang tua.Atas nama tunangan, aku bisa saja menjemputnya. Hanya saja, masihkah dia menganggapku tunangan? Sedang kabar kepulangannya saja tidak mengabariku. Bagaimana kalau dia datang dengan perempuan lain? Tentu akan sangat menyakitkan."Wah, kau bawa mobil sendiri ya. Aku ikut, ada yang mau kucari di Banjarmasin." Tiba-tiba gadis es kutub muncul dari persembunyiannya. Aku mengangguk linglung. ***Berkali-kali aku meremas tanganku yang terasa dingin. Badanku tak bisa diam duduk di kursi panjang. Sesekali aku melirik Adeena yang sibuk dengan ponselny
Ponsel Wahda berdering ketika ia sedang memasang high heelsnya. Sambil memegang memasang, ia menjepit ponsel dengan bahunya. "Iya, Kak. Ada apa?""Wahda, Bagus hilang?" seru Naura. Wahda tersentak. "Apa? Kok bisa? Kakak ke mana?""Cuma ditinggal sebentar ke kamar mandi. Pas keluar dia sudah nggak ada. Aku cari-cari juga sekitar nggak ketemu. Bantu aku aku, rumah sakit luas sekali."Wahda memerhatikan jam di tangannya. Masih ada sejam lagi."Baiklah. Aku akan ke sana. Kakak cari seputar rumah sakit ya. Oh iya, laporkan juga juga kepada perawat di sana, biar mereka bantu cari.""Iya."Dengan cepat ia melepaskan high heelsnya, lalu mengganti dengan sneaker. ***Di rumah sakit ia bertemu dengan Angel yang juga panik. "Belum ketemu?"Angel menggeleng. "Kita berpencar cari di luar ya," pinta Angel. Wahda mengangguk. "Kakak tunggu di sini. Kalau dia datang telpon kami," seru Angel kepada Naura yang baru saja muncul dengan napas memburu."Angel, aku kira dia sedang berusaha mengembalik