Share

Bab 4 (mimpi aneh)

Mimpi aneh.

Suasana hari ini begitu tenang, tetapi tidak dengan hati Ruby. Rasa gelisah menghantuinya. Mimpi itu, bukankah memiliki dialog yang sama? Jika malam itu Ruby hanya mendengar, kali ini ia memerankannya sendiri. Perdebatan itu terjadi di dalam kamar ini. Dengan lelaki yang mengunjunginya tempo hari.

"Baiklah, anggap saja aku Ruby dan aku mencintai pria 'Yang Mulia' itu. Lalu, aku mundur karena dia sudah memiliki kekasih. Zalina, 'kan? Dia kandidat Putri Mahkota selain aku. Dan kenapa aku harus bunuh diri hanya karena putus cinta? Bodoh!" Gumam Ruby mondar-mandir mengelilingi kamarnya.

"Lalu, kalau sudah tau si 'Yang Mulia' itu pasti memilih kekasihnya kenapa aku harus ikut sayembara ini? Apa-apaan? Mereka ingin aku menanggung malu? Di mana keluargaku? Ke mana mereka? Apa mereka membuangku? Bukankah aku anak tunggal? Kenapa tega sekali, sih." Lanjutnya lagi diakhiri dengan memukul meja rias.

"Dan jika aku bukan orang yang dia suka, anggap saja lah ini perjodohan seperti di film-film, kenapa dia terlihat khawatir saat perutku sakit kemarin? Seharusnya dia langsung membunuhku agar bisa bersatu dengan kekasihnya. Baiklah, mungkin itu memang rasa kemanusiaan yang tinggi," katanya lagi membenarkan.

"TAPI KENAPA JUGA DIA MAU MENYELAMATKANKU DI DANAU? Bagaimana dia tahu aku di sana? Memangnya hubunganku dengan si 'Yang Mulia' itu seperti apa sih? Oh iya, bukankah kami bersahabat?" gumam Ruby diakhiri kekehan renyah.

-cklek-

Ruby kontan menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka, menampilkan siluet gadis pelayan dengan poni yang membingkai wajah cantiknya. Elina terasa tidak pantas menjadi pelayan, ia lebih rela kalau gadis itu adalah salah satu bangsawan di negeri ini alih-alih pelayan.

"Nona mau jalan-jalan sebentar? Kata Tabib, itu akan membantu ingatan nona lekas pulih," tutur Elina dengan senyuman dan tubuh membungkuk.

"Ide bagus!"

Inilah yang Ruby inginkan. Jalan-jalan untuk melepas penat setelah berpikir keras tentang jalan percintaannya yang amat klise. Benar 'kan? Gadis yang dijodohkan dan sang kekasih hati. Ini seperti cerita di novel, 'bukan? Dan mungkin saja, saat ini ia berperan sebagai antagonis.

Ruby memejam. Giginya bergelatuk. Kesal. Tangannya mengepal kuat dan memukul pahanya pelan. Pantas saja semua pelayan taman Istana sekarang menyorotnya demikian. Ruby antagonisnya. Dia penjahat. Entah ini transmigrasi novel atau film, yang pasti alurnya sudah sangat klise.

Dan ia tidak punya pengalaman jadi bangsawan. Tiba-tiba, ia merasa buruk rupa ditatap sedemikian benci.

"Elina!" panggil Ruby datar setelah ia duduk dan Elina tetap berdiri di sampingnya. Hening sesaat, Ruby mengulum bibir sebelum berucap.

"Seperti apa aku dulu?" tanya gadis itu berusaha menahan pertanyaan yang mengisi benaknya. Ia tidak ingin dicurigai oleh sesuatu yang mustahil terjadi di dunia ini. Orang-orang tidak mungkin percaya. Bisa-bisa ia dianggap gila.

"Dulu?" tanya Elina sedikit bingung, tetapi sejurus kemudian ia menjawab. "Nona adalah orang yang baik, ceria, dan berwibawa. Saya selalu mengagumi nona bahkan sebelum menjadi pelayan anda. Kepintaran anda sudah tersebar ke seluruh pelosok Darian, nona."

'Tapi Ruby yang ini bodoh, Elina.' batin Ruby.

"Begitukah? Kau terdengar berlebihan," Ruby terkekeh.

Entah kenapa aktingnya terlihat sangat buruk sekali. Gadis itu meringis. Susah juga jadi para bangsawan. Elina pasti bohong. Mana ada pelayan yang menjelek-jelekan majikannya. Yang ada lehernya nanti dipotong.

"Tidak nona! Saya mengatakan yang sebenarnya. Nona adalah orang terbaik yang saya temui di kerajaan ini. Saya dan Zooya selalu mengagumi anda." Elina menunduk. duduk di tanah tanda penghormatannya membuat Ruby kelabakan.

"Eh? Apa yang kau lakukan? Maksudku ... duduk di sini saja, jangan di tanah!" Kata Ruby menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Begitukah cara pelayan memberi kesetiaannya?

Elina menggeleng, "saya tidak berani nona, ini adalah formalitas kerajaan dan—"

"Kau mulai berani membantahku?" ketus Ruby keluar begitu saja dari mulutnya, lalu ia tersadar setelah Elina mengerjap pelan dengan tatapan takut.

"Ah ... sudahlah. Sebaiknya kau berdiri seperti semula," titah Ruby dan Elina mengikuti perintahnya.

"B-baik nona."

Ruby kembali menatap ke arah depan. Memandang jembatan serta sungai yang mengalir di bawahnya, gadis itu menghela nafas pelan, "lelaki tempo hari itu ... yang mengunjungiku waktu itu, Putra Mahkota, 'bukan? Sahabatku?"

"B-benar, nona."

"Ah, sayang sekali, aku melupakan nama si tampan itu. Bisa kau memberitahuku? Namanya pasti indah," tutur Ruby dengan senyum pasif. Ia jengkel sendiri.

"Maaf," Elina mendekat dan membisikkan nama lelaki itu ke dalam rungunya dengan lembut. "Yang Mulia Putra Mahkota Theron Vladimir Darian kesejahteraan selalu meliputi kota Darian karena matahari dimiliki oleh kekaisaran."

"Theron?" gumam Ruby. Sepertinya nama itu tidaklah asing di pendengarannya.

"Ruby?"

Ah pengganggu. Baru saja Ruby dapat petunjuk dari Elina. Susah sekali ia menemukan waktu berharga dengan Elina yang tidak disertai beberapa pelayan lainnya. Gadis itu berdecak, kemudian menoleh dan ia tersentak gugup. Buru-buru keduanya membungkuk pada Theron—sang Putra Mahkota Darian.

"Keselamatan dan kesejahteraan bagi Yang Mulia Putra Mahkota Darian." Elina membungkuk di iringi Ruby yang juga membungkuk hormat pada Theron. Gadis itu mencuri pandang sekilas. Bahkan wajah datar Theron tidak berubah dari pertama kali ia bertemu.

"Apa yang kau lakukan di sini? Menjalankan rencanamu?" Theron bertanya dengan wajah datar dan tangan terlipat di dada menatap Ruby tajam. Sungguh, Ruby tidak gemetar.

"Ren ... cana?" Ruby mengernyit bingung menatap Theron yang masih saja sedatar papan triplek yang ada di kamarnya dulu. "Maksud Yang Mulia?"

Kenapa Theron selalu saja mencurigainya? Saat pertama kali bertemu juga lelaki itu sangat ketus dan bahkan menuduhnya dengan hal yang tidak Ruby pahami. Memangnya masalah apa yang terjadi sebelumnya? Ia sang antagonis harus tau masalahnya.

Lelaki itu menyeringai. Ekspresi andalannya selain datar, "jangan berpura-pura bodoh, aku sangat mengenalmu, Ruby. Kau tidak mungkin melakukan hal yang sia-sia."

Tatapan Ruby berubah jengkel. Ia memutar bola matanya malas lalu menatap Elina yang hanya menunduk meremas jemarinya yang lain di depan gaun. Gadis itu ingin membuka suara, tapi ketakutan jelas memprovokasinya hingga keberanian tertelan di kerongkongan.

"Saya memang sedang tidak melakukan hal yang sia-sia," tutur Ruby membenarkan perkataan Theron.

"Saya jalan-jalan kemari atas permintaan Tabib kerajaan agar ingatan saya lekas pulih. Dan saya tidak melakukan apa yang baru saja anda tuduhkan, Yang Mulia."

"Kau pikir aku percaya? Pelayan Elina!" panggil Theron tegas membuat kedua gadis itu tersentak sesaat.

"Katakan yang sebenarnya jika kau masih memperdulikan keluargamu di desa," ucapnya membuat Elina bersimpuh di tanah dan Ruby termangu.

"Apa ... apa ... yang sedang kalian lakukan?" Ruby bingung. Otaknya bergerak lambat.

"Saya menghadap pada Yang Mulia Putra Mahkota kalau yang dikatakan nona Ruby memang benar. Dewa dari langit Darian akan melindungi keluarga saya selagi saya berkata jujur. Saya akan bersujud jika anda perlu meyakinkan sekali lagi, Yang Mulia."

Ruby menganga menyaksikan kejadian di depan matanya. Serta penuturan Elina tidak mampu membuat Theron goyah, atau sedikit raut wajahnya merasa iba. Elina baru saja bersaksi membawa nama Dewa dan juga keluarganya.

Bagaimana bisa, Theron mengancam Elina sampai seperti itu? Demi hal yang menurut Ruby sangat tidak penting.

Apa hukum kerajaan memang seperti ini?

Theron masih mempertahankan wajahnya sedemikian datar menatap Elina tanpa rasa iba sedikit pun. Merasa tidak ada jawaban, Elina mulai menundukkan wajahnya untuk mencium kaki Theron demi kebenaran. Sampai kapan pun, Elina akan membela kebenaran. Bahkan sampai akhirnya ia akan seperti Zooya.

"Elina!" Tidak tahan. Ruby bersimpuh memegang pundak Elina yang hampir saja menyentuh sepatu bersih Theron.

Sesama orang miskin, ia juga pernah melakukan hal demikian pada rentenir.

"Jangan! Apa yang kau lak—sshhhh!"

Belum sempat Ruby menyelesaikan perkataannya, sakit kepala tiba-tiba menyerang membuat pandangannya berputar.

Ruby mendesis, sesekali ia menggeram menahan sakit yang amat menyiksa bahkan tidak peduli pada sekitarnya yang menjadikan mereka tontonan di taman istana. Perseteruan antara Ruby dan Theron memang tidak bisa dilewatkan. Sementara Elina sangat khawatir dengan keadaan Ruby.

"Nona!"

"Arghhhh!"

"Ruby?"

Theron bersimpuh menyambut tubuh Ruby yang hampir saja jatuh ke tanah. Sementara gadis itu masih memegangi kepalanya yang teramat sakit membuat rasa bersalah dalam diri Theron mencuat ke permukaan. Jika saja, jika saja ia mendengarkan apa kata Tabib kerajaan.

Ruby melihat perdebatan lagi. Ia dan Theron.

"Zooya!" panggilnya pada pelayan yang terkapar tak berdaya di sebuah ruangan.

"Nona," lirih pelayan itu sendu.

"Katakan padaku apa salah Zooya? Apa karena dia menyebutkan fakta kau sampai menyiksanya seperti ini?" marah Ruby menggebu. Dirinya menangis. Air mata membanjiri lantai yang ia pijaki.

"Itu penghinaan Ruby!" tegas Theron dengan mata menyalak.

"Penghinaan? Lalu apa yang kulalui selama ini? Pujian menurutmu hah?" balas Ruby tidak kalah.

"Arghhhh!" teriak Ruby kini. Kepalanya terasa ingin pecah saat bayangan-bayangan itu muncul di kepalanya.

"Semua ini karena kekasih sialanmu itu, 'kan?" kata Ruby lagi memercik amarah.

"DIAM!" bentak Theron.

"Aku benci padamu. Sangat. Benci." ucap Ruby di akhir sebelum bayangan itu mulai memudar dan pandangannya kembali terang.

"Ruby? Lihat aku! Sadarkan dirimu!"

Ruby mengerjap pelan. Sesaat setelah pandangannya kembali normal wajah khawatir Theron yang ia dapati saat pertama kali. Wajah yang entah kenapa membuat Ruby muak. Ia benci. Sangat. Lantas ia melepaskan diri dari dekapan Theron.

"Jangan menyentuhku, bajingan!" umpatnya penuh penekanan.

Meski masih sedikit terhuyung, ia malah memanggil Elina untuk membantunya, menepis bantuan Theron sekuat tenaga walaupun masih lemah. Lelaki itu terpaku menatap mata Ruby dengan pandangan yang sangat ia kenali, dan membiarkan Elina membantu Ruby untuk berdiri sedangkan ia masih bersimpuh.

Saat pamitan Elina mengudara, barulah Theron kembali tertarik pada masa sekarang. Ia menoleh berharap Ruby setidaknya berpaling agar Theron bisa menebak keadaan gadis itu. Akan tetapi, sampai detik terakhir punggung gadis itu menghilang.

Ruby tidak lagi menoleh padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status