Akhirnya kau bangun juga, Ruby!"
Suara berat nan dingin itu menginterupsi seluruh ruangan hingga membuatnya senyap. Perawakan tinggi dengan wajah yang tegas membuat siapa pun tak berani menatap sosok itu. Sosok yang membuat bulu kuduk Ruby berdiri karena auranya yang menakutkan. Siapa dia?Semenjak lelaki asing itu masuk, Ruby tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah tampan itu. Ruby masih tidak percaya ada patung Yunani tengah berjalan dengan ekspresi datarnya seolah menusuk Ruby yang tengah duduk tenang."Yang Mulia datang?" Elina membungkuk sembilan puluh derajat dengan senyum haru terpatri di bibir manisnya. Sementara Ruby hanya mengernyit. "Keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat Darian!"Ruby masih terpaku di tempatnya. Otaknya bertanya-tanya tentang lelaki yang sudah ada di depannya saat ini. Gadis itu sedikit mendongak untuk membalas tatapannya."Hm," satu gumaman dengan seribu makna ambigu itu diangguki semua pelayan termasuk Elina. Mereka keluar tanpa menatap orang asing itu, dan Elina hanya tersenyum manis melirik Ruby sebelum keluar dan menutup pintu menyisakan Ruby berdua dengan orang yang dia panggil sebagai Yang Mulia itu.Lelaki itu mendekat membuat Ruby terkesiap. Mata kucingnya menatap waspada. Jika berbuat macam-macam maka bangku yang ia duduki akan melayang."Kau tidak memberi hormat padaku?" tanya lelaki itu mengambil langkah lebar.Pekikannya tertahan di tenggorokan saat mata elang itu menyorotnya dalam. Ekspresi datarnya cukup untuk mengintimidasi Ruby yang ringkih. Sontak gadis itu beringsut mundur saat ia mulai mendekat."Aku ... a-aku ...." Ruby bangkit dari duduknya yang hampir terjungkal lalu membungkuk sembilan puluh derajat seperti yang Elina lakukan. Kemudian dia kembali menatap lelaki itu dengan tatapan waspada."Kenapa menatapku seperti itu? Kau mau merengek minta hukumanmu dikurangi karena mencelakai orang?" sentaknya langsung ke inti tanpa menanyai Ruby apakah dia baik-baik saja atau mendengarkan Tabib yang baru saja keluar dari ruangannya.Lelaki itu terlihat tidak sabaran."Apa sih?" gumam Ruby mendelik.Entah kenapa wajah lelaki ini membuat dadanya bergemuruh benci. Otaknya terus menyebutkan ia harus menampar orang yang dipanggil 'Yang Mulia' ini sampai pingsan seperti preman di dekat rumahnya. Meski miskin, ia tidak suka dituduh sembarangan.Ruby menghela nafas sembari menetralkan detak jantungnya yang tidak beraturan, "ada apa ya, Yang Mulia? Apa saya .... sudah berbuat kesalahan? Saya yang baru saja bangkit dari lubang kematian ini?" balik tanya gadis itu terdengar dramatis."Bagaimana kabarmu, Ruby?" tanya lelaki itu setelah menghembuskan nafas pendek.Pada akhirnya lelaki itu mengalah sesudah merubah mimik wajahnya kembali datar setelah mendapat sindiran keras. Bagaimana pun, Ruby adalah sahabatnya, dia memang tidak tahu tempat demi melampiaskan rasa ingin tahunya."Saya, " Ruby berpikir sejenak untuk menjawab selembut mungkin, "baik." Tuturnya disertai senyuman manis ala bangsawan yang biasa ia lihat dalam drama.Memang benar selama sehari di sini ia baik-baik saja dan di layani dengan baik. Saat mandi air panas tubuh penatnya selalu di pijat dan di lulur hingga membuatnya yang biasa tak terawat bersih bersinar seperti kaca kantoran.Sementara lelaki itu tiba-tiba teringat sesuatu, apakah benar sahabatnya ini lupa ingatan? Gaya bicara dan tatapannya terasa asing. Apakah benar ini orang yang sama waktu ia selamatkan dari danau? Kenapa rasanya sangat berbeda?"Bisa kau jelaskan kenapa kau melarikan diri malam itu?" tanya lelaki itu lagi tidak tahan. Seraya melipat tangan di depan dada seperti polisi yang tengah mengintrogasi penjahat. Sementara Ruby semakin bingung dengan arah pembicaraan ini."Tunggu-tunggu! Apa saya tengah di introgasi sekarang? Saya ... bahkan saya tidak ingat apa yag terjadi sebelumnya pada diri saya, Yang Mulia yang terhormat!" jelas Ruby menggebu. Dia bingung harus menjawab apa.Kenapa juga dia langsung bertanya demikian.Tersulut emosi, Theron mencengkram tangan Ruby yang ingin menghindar darinya, "jangan berbohong padaku Ruby! Kau pikir aku percaya dengan sandiwaramu itu? huh?""Apa yang anda lakukan? Lepas! S-sakit!" Lirih Ruby memberontak. Bukan hanya satu tangan, kini lelaki itu mencengkram kedua tangan Ruby dengan tenaganya."Dan membiarkanmu lari lagi? Ruby sayang ... rencanamu sangat mudah ditebak," katanya lagi penuh penekanan."Apa? Jangan menuduhku sembarangan, ya!" sewot Ruby tidak terima."Itu memang benar!" tandasnya lagi.Lelaki ini selalu berbicara sesukanya tanpa memberikan penjelasan apa pun untuknya. Ruby semakin bingung, kepalanya mulai pusing. Perutnya mulai tidak enak."Apanya yang benar? Dengan keadaan yang lemah ini kau pikir aku bisa lari? Bukankah semua orang bilang aku pingsan selama satu minggu? Kalau memang kunjunganmu hanya dengan menanyakan tentang masalah melarikan diri, sebaiknya kembali saja nanti. Aku lapar! Jangan sampai kau yang kumakan!" ketus Ruby panjang lebar.Theron tercengang di tempatnya. Jelas saja, ia terpaku. Ruby yang biasanya lemah lembut dan jarang marah. Kali ini memakinya karena, lapar? Ini adalah Ruby?sahabatnya? Siapa yang menemukan gadis macan di depannya ini?"Ruby?""Lepas!" Gadis itu semakin berontak."Tidak!" Theron bersikeras."Lepas atau kugigit!" ancam Ruby."Coba saja!" Tantang Theron.Namun, saat Ruby membuka mulut perutnya yang menggigit. Lambungnya tiba-tiba sakit. Ini pasti penyakitnya yang sedang kambuh."Akh!" pekik Ruby melemah. Bahkan kakinya juga ikut tidak berdaya."Ruby? Kau baik-baik saja?" Theron panik. Ia dilanda kebingungan. Apakah ini benar? Ruby memang sakit?Tanpa berpikir panjang lagi ia mengangkat Ruby ke tempat tidur. Membaringkan tubuh gadis itu yang kini meringkuk meremas perutnya sendiri. Bibir pucat serta keringat dingin yang membasahi dahinya, membuat Theron semakin khawatir."Kupanggilkan Tabib, ya?" cicit Theron menatap keadaan Ruby yang semakin memperihatinkan.Seharusnya ia tidak menanyakan hal itu. Seharusnya ia menuruti apa kata tabib untuk tidak menanyakan hal yang memberati Ruby untuk ke depannya. Ini memang salah Theron. Ia terlalu gegabah."Tidak usah. Cukup kau keluar dari sini saja," cicit Ruby pelan."Kau mengusirku?"Ruby menggeleng lemah, bagaimana lagi ia bisa menghindarkan lelaki ini dari bom yang ingin meledak. "Tolong, pergi saja!"Theron menangkat sebelah bibirnya dengan tatapan menusuk, "memangnya kau anggap apa aku?"Ruby bangkit untuk mendorong Theron menjauh darinya, "mingg—"-Tusssss-Hal tidak terduga baru saja terjadi. Pantat lucu dan semok Ruby telah mengeluarkan gas beracun. Gadis itu menahan nafas dengan wajah memerah, "ehhemm!"Sementara Theron tidak bergeming, dan kemudian melepaskan genggamannya pada tangan Ruby, "kau lapar, 'kan? akan kupanggilkan pelayan."Ruby memejam saat Theron keluar dari kamarnya. Astaga! Mau ditaruh mana mukanya saat bertemu dengan lelaki itu lagi.Kematian Grand Duke Ramon Darian dan Grand Duchess Diana Swayneza kini telah menyebar luas. Kabarnya, mereka berdua meninggal karena kecelakaan saat menuju pusat kota Eurõbia. Tepatnya di wilayah Santora dengan hutan terpanjang di kerajaan Darian. Akan tetapi, siapa tahu ini adalah kecelakaan yang sebenarnya, atau telah disiapkan oleh seseorang? Ruby menggenggam erat anyelir putih dengan kedua tangannya. Gaun hitamnya tertarik menyapu tanah musim semi. Dibiarkan beberapa daun hinggap. Wajah lesunya jelas menunjukkan kekhawatiran. "Kau yakin dengan ini? Ruby ... sudah lama kau tidak mengunjungi pemakaman dan—" "Aku baik-baik saja," potong Ruby kemudian. Theron menggeleng lemah, ia yakin saat ini Ruby takut. Semenjak kematian Ibunya, Ruby tidak pernah menghadiri pemakaman siapa pun sejak saat itu. Dia selalu mengurung dirinya saat terdengar kabar kalau orang terdekat mereka telah gugur waktu peperangan. Atau pelayan Istana yang selalu menjaga mereka. "Aku bisa meletakkan bungamu d
Musim semi empat tahun lalu. Awal musim semi yang masih terasa dingin ini seakan memanggilnya, menggodanya dengan rangkaian bayangan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang daunnya sudah tumbuh berpucuk. Dan akhirnya, ia pergi keluar Istana tanpa diketahui oleh siapa pun. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya hingga rambut cokelat yang dikepang itu menari-menari di bawah mentari sore. Sudah lama ia tidak ke sini. Tempat yang membuatnya merasa tenang. Di pinggir danau yang tak jauh dari Istana. Tempat yang membuat Ruby merasa nyaman dan jujur akan dirinya sendiri. Mengeluarkan keluh kesahnya selama berada di Istana. Bagaimana para pelayannya, Theron, Ratu Miranda, dan tentu saja tentang perasaannya. "Sejujurnya, aku sudah lupa bagaimana wajah Ibuku," celetuk Ruby di tengah heningnya suasana. "Yah ... setiap ingatan manusia memang akan pudar selama berjalannya waktu." Warna jingga dari mentari sore menyinari wajah
Theron tahu ia harus segera bertindak. Akan tetapi, hatinya ragu entah karena apa. Permintaan Ruby, pertanyaan Zalina membuat otak Theron beku. Ia bahkan tidak bisa lagi memikirkan pekerjaan yang telah menumpuk di meja kerjanya. Seandainya ia bisa berteriak, maka ia akan mengatakan ia juga tidak tahu. Katakanlah ia adalah orang yang tidak berpendirian di dunia ini. Di satu sisi ia merasa bersalah pada Zalina, dan satu sisi ia ingin Ruby terus berada di sisinya. Tidak mungkin ia memiliki selir, 'bukan? Ia tidak akan setega itu pada dua gadis ini. "Kau harus secepatnya memutuskan ini, Theron. Memangnya apa lagi yang kau tunggu? Keduanya sudah sehat. Aku tidak mengerti alasanmu menunda sayembara ini," ucap Raja Aeterius menghadap sang anak yang masih menunduk. "Apa karena gadis itu?" Raja Aeterius menatap sang anak dengan selidik. Menerka apa yang membuatnya ragu. "Siapa?" tanya balik Theron. Sementara sang Ayah hanya mendesah pasrah. Rupanya pikiran sang anak belum sampai. Atau mem
"Yang Mulia, apa anda mencintai saya?" Pertanyaan itu muncul begitu saja lewat belah bibir Zalina. Dadanya luar biasa sakit. Benaknya dipenuhi pertanyaan yang berbeda setiap waktu, dan benang merahnya hanya di satu pertanyaan. Apa cinta itu ada di hati Theron? Zalina tahu kata itu tak pernah terucap. Ia tahu bahwa lelaki itu masih memandang Ruby sedemikian lekat meski mulutnya melontarkan emosi. Mereka, seperti dua orang yang kehilangan arah. Dan dirinya masuk di sela-sela keduanya. "Yang Mulia saya bertanya ... " "Jangan melawannya," lirih Theron. Lelaki itu termenung di tempatnya. Sorot matanya terlihat menyedihkan. Pria yang biasanya menunjukkan ketegasan itu kini menatap Zalina dengan nanar. Gumamannya membuat gadis itu semakin bingung. Apa maksudnya? Siapa yang ia lawan? "Jangan melawannya. Ruby ... dia bukan tandinganmu," lanjut Theron membuat dada Zalina sesak. Air matanya menetes. Meski mensugesti dirinya dengan fakta bagaimana Theron membawanya ke Istana dan memperlaku
Kata orang, hidup ini penuh dengan berbagai kejutan. Awalnya, Ruby tidak mempercayai hal itu karena jalan hidupnya yang terlalu flat. Tidak ada yang spesial. Hingga saat ia terbangun di tubuh orang lain, tinggal di era yang jauh berbeda dengan era milenial, menjalani, dan mempelajari hidup yang bukan miliknya. Terkadang, Ruby pikir ini hanyalah ilusi semata. Dan terkadang, ia melihat dunia ini begitu nyata sehingga merasa tubuh ini benar-benar miliknya. Mungkin ini adalah masa lalu yang harus diperbaiki. Dunia yang penuh tipu muslihat ini adalah rintangannya. Serta, perasaannya pada lelaki ini yang tak kunjung pudar meski awalnya rasa benci mendominasi. "Sudah puas menggoda lelaki lain, huh?" Apa perasaan itu bisa ia manfaatkan? Mengejar cinta yang Ruby miliki dulu dan merebut kembali tempatnya, atau menjauh seperti rencana awalnya karena bahaya yang ada di dalam Istana ini? Tanpa sadar musik telah berhenti. Membuat atensi orang-orang yang ada di aula jatuh pada Theron yang datang
Setelah Roseline pergi menemui keluarganya, Ruby juga pamit. Ia tidak melihat Ayahnya di mana pun. Apa pria masih di perjanalan dinas dan belum kembali? Menggelengkan kepala, Ruby naik ke lantai dua untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Ratu Miranda secara langsung. "Selamat ulang tahun Yang Mulia Ratu yang terhormat. Bila berkenan, terimalah hadiah saya yang tidak seberapa ini." Ruby membungkuk anggun saat Ratu berdiri menghampirinya. Memeluknya sayang. Sementara Ruby memejamkan mata. Rasa rindu pada orang rumah di dunianya dulu kini membuat sesak karena pelukan Ratu. Ia tahu, rindunya kian bertambah karena tak mendapat jawaban. Dan saat Ratu Miranda mengurai pelukan mereka, Ruby tersenyum. "Hadiah terbaikmu adalah pesta ini, Ruby. Dan ini adalah hadiah terbaik untukku. Terima kasih, Arunika pasti bahagia melihatmu di atas sana." ucap Ratu Miranda menggenggam kedua tangannya. Arunika, atau sebut saja Duchess Arunika Edelmiro yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ibu dari R