Share

Bab 3 (rasa benci)

Akhirnya kau bangun juga, Ruby!"

Suara berat nan dingin itu menginterupsi seluruh ruangan hingga membuatnya senyap. Perawakan tinggi dengan wajah yang tegas membuat siapa pun tak berani menatap sosok itu. Sosok yang membuat bulu kuduk Ruby berdiri karena auranya yang menakutkan. Siapa dia?

Semenjak lelaki asing itu masuk, Ruby tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah tampan itu. Ruby masih tidak percaya ada patung Yunani tengah berjalan dengan ekspresi datarnya seolah menusuk Ruby yang tengah duduk tenang.

"Yang Mulia datang?" Elina membungkuk sembilan puluh derajat dengan senyum haru terpatri di bibir manisnya. Sementara Ruby hanya mengernyit. "Keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat Darian!"

Ruby masih terpaku di tempatnya. Otaknya bertanya-tanya tentang lelaki yang sudah ada di depannya saat ini. Gadis itu sedikit mendongak untuk membalas tatapannya.

"Hm," satu gumaman dengan seribu makna ambigu itu diangguki semua pelayan termasuk Elina. Mereka keluar tanpa menatap orang asing itu, dan Elina hanya tersenyum manis melirik Ruby sebelum keluar dan menutup pintu menyisakan Ruby berdua dengan orang yang dia panggil sebagai Yang Mulia itu.

Lelaki itu mendekat membuat Ruby terkesiap. Mata kucingnya menatap waspada. Jika berbuat macam-macam maka bangku yang ia duduki akan melayang.

"Kau tidak memberi hormat padaku?" tanya lelaki itu mengambil langkah lebar.

Pekikannya tertahan di tenggorokan saat mata elang itu menyorotnya dalam. Ekspresi datarnya cukup untuk mengintimidasi Ruby yang ringkih. Sontak gadis itu beringsut mundur saat ia mulai mendekat.

"Aku ... a-aku ...." Ruby bangkit dari duduknya yang hampir terjungkal lalu membungkuk sembilan puluh derajat seperti yang Elina lakukan. Kemudian dia kembali menatap lelaki itu dengan tatapan waspada.

"Kenapa menatapku seperti itu? Kau mau merengek minta hukumanmu dikurangi karena mencelakai orang?" sentaknya langsung ke inti tanpa menanyai Ruby apakah dia baik-baik saja atau mendengarkan Tabib yang baru saja keluar dari ruangannya.

Lelaki itu terlihat tidak sabaran.

"Apa sih?" gumam Ruby mendelik.

Entah kenapa wajah lelaki ini membuat dadanya bergemuruh benci. Otaknya terus menyebutkan ia harus menampar orang yang dipanggil 'Yang Mulia' ini sampai pingsan seperti preman di dekat rumahnya. Meski miskin, ia tidak suka dituduh sembarangan.

Ruby menghela nafas sembari menetralkan detak jantungnya yang tidak beraturan, "ada apa ya, Yang Mulia? Apa saya .... sudah berbuat kesalahan? Saya yang baru saja bangkit dari lubang kematian ini?" balik tanya gadis itu terdengar dramatis.

"Bagaimana kabarmu, Ruby?" tanya lelaki itu setelah menghembuskan nafas pendek.

Pada akhirnya lelaki itu mengalah sesudah merubah mimik wajahnya kembali datar setelah mendapat sindiran keras. Bagaimana pun, Ruby adalah sahabatnya, dia memang tidak tahu tempat demi melampiaskan rasa ingin tahunya.

"Saya, " Ruby berpikir sejenak untuk menjawab selembut mungkin, "baik." Tuturnya disertai senyuman manis ala bangsawan yang biasa ia lihat dalam drama.

Memang benar selama sehari di sini ia baik-baik saja dan di layani dengan baik. Saat mandi air panas tubuh penatnya selalu di pijat dan di lulur hingga membuatnya yang biasa tak terawat bersih bersinar seperti kaca kantoran.

Sementara lelaki itu tiba-tiba teringat sesuatu, apakah benar sahabatnya ini lupa ingatan? Gaya bicara dan tatapannya terasa asing. Apakah benar ini orang yang sama waktu ia selamatkan dari danau? Kenapa rasanya sangat berbeda?

"Bisa kau jelaskan kenapa kau melarikan diri malam itu?" tanya lelaki itu lagi tidak tahan. Seraya melipat tangan di depan dada seperti polisi yang tengah mengintrogasi penjahat. Sementara Ruby semakin bingung dengan arah pembicaraan ini.

"Tunggu-tunggu! Apa saya tengah di introgasi sekarang? Saya ... bahkan saya tidak ingat apa yag terjadi sebelumnya pada diri saya, Yang Mulia yang terhormat!" jelas Ruby menggebu. Dia bingung harus menjawab apa.

Kenapa juga dia langsung bertanya demikian.

Tersulut emosi, Theron mencengkram tangan Ruby yang ingin menghindar darinya, "jangan berbohong padaku Ruby! Kau pikir aku percaya dengan sandiwaramu itu? huh?"

"Apa yang anda lakukan? Lepas! S-sakit!" Lirih Ruby memberontak. Bukan hanya satu tangan, kini lelaki itu mencengkram kedua tangan Ruby dengan tenaganya.

"Dan membiarkanmu lari lagi? Ruby sayang ... rencanamu sangat mudah ditebak," katanya lagi penuh penekanan.

"Apa? Jangan menuduhku sembarangan, ya!" sewot Ruby tidak terima.

"Itu memang benar!" tandasnya lagi.

Lelaki ini selalu berbicara sesukanya tanpa memberikan penjelasan apa pun untuknya. Ruby semakin bingung, kepalanya mulai pusing. Perutnya mulai tidak enak.

"Apanya yang benar? Dengan keadaan yang lemah ini kau pikir aku bisa lari? Bukankah semua orang bilang aku pingsan selama satu minggu? Kalau memang kunjunganmu hanya dengan menanyakan tentang masalah melarikan diri, sebaiknya kembali saja nanti. Aku lapar! Jangan sampai kau yang kumakan!" ketus Ruby panjang lebar.

Theron tercengang di tempatnya. Jelas saja, ia terpaku. Ruby yang biasanya lemah lembut dan jarang marah. Kali ini memakinya karena, lapar? Ini adalah Ruby?sahabatnya? Siapa yang menemukan gadis macan di depannya ini?

"Ruby?"

"Lepas!" Gadis itu semakin berontak.

"Tidak!" Theron bersikeras.

"Lepas atau kugigit!" ancam Ruby.

"Coba saja!" Tantang Theron.

Namun, saat Ruby membuka mulut perutnya yang menggigit. Lambungnya tiba-tiba sakit. Ini pasti penyakitnya yang sedang kambuh.

"Akh!" pekik Ruby melemah. Bahkan kakinya juga ikut tidak berdaya.

"Ruby? Kau baik-baik saja?" Theron panik. Ia dilanda kebingungan. Apakah ini benar? Ruby memang sakit?

Tanpa berpikir panjang lagi ia mengangkat Ruby ke tempat tidur. Membaringkan tubuh gadis itu yang kini meringkuk meremas perutnya sendiri. Bibir pucat serta keringat dingin yang membasahi dahinya, membuat Theron semakin khawatir.

"Kupanggilkan Tabib, ya?" cicit Theron menatap keadaan Ruby yang semakin memperihatinkan.

Seharusnya ia tidak menanyakan hal itu. Seharusnya ia menuruti apa kata tabib untuk tidak menanyakan hal yang memberati Ruby untuk ke depannya. Ini memang salah Theron. Ia terlalu gegabah.

"Tidak usah. Cukup kau keluar dari sini saja," cicit Ruby pelan.

"Kau mengusirku?"

Ruby menggeleng lemah, bagaimana lagi ia bisa menghindarkan lelaki ini dari bom yang ingin meledak. "Tolong, pergi saja!"

Theron menangkat sebelah bibirnya dengan tatapan menusuk, "memangnya kau anggap apa aku?"

Ruby bangkit untuk mendorong Theron menjauh darinya, "mingg—"

-Tusssss-

Hal tidak terduga baru saja terjadi. Pantat lucu dan semok Ruby telah mengeluarkan gas beracun. Gadis itu menahan nafas dengan wajah memerah, "ehhemm!"

Sementara Theron tidak bergeming, dan kemudian melepaskan genggamannya pada tangan Ruby, "kau lapar, 'kan? akan kupanggilkan pelayan."

Ruby memejam saat Theron keluar dari kamarnya. Astaga! Mau ditaruh mana mukanya saat bertemu dengan lelaki itu lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status