Share

Berjanjilah

Author: Kinantitha
last update Last Updated: 2025-04-08 09:35:01

"Apartemen ini aku beli atas nama kamu. Jadi, jangan sungkan!" Terang Kavi, sembari mempersilakan Feli masuk ke dalam hunian dengan tipe duplex tersebut.

Felicia seketika menghentikan langkahnya, tatkala Kavi memberitahukan status kepemilikan tempat tinggal barunya ini.

"Namaku?" Beo Felicia tak percaya. Bola matanya yang cokelat itu bahkan ikut terbelalak karena terkejut.

Kavi mengangguk santai dan terus melangkah dengan satu tangan menenteng tas pakaian milik Felicia, sementara yang satunya masuk ke dalam saku celananya.

"Apartemen ini akan menjadi milikmu, sebagai salah satu kompensasi yang aku berikan karena kamu sudah menyusui Richie."

"Tapi Mas, apa ini tidak berlebihan?"

Kavi kembali menggeleng. "Berlebihan gimana? Kamu menyusui Richie untuk menjamin masa depannya. Ini, belum ada apa-apanya di bandingkan dengan itu semua."

Langkah Kavi terus membawa Felicia menuju sebuah kamar di lantai satu apartemen tersebut. Belum banyak dekorasi yang berubah, karena apartemen ini baru ia beli kemarin.

"Semuanya masih standart, aku belum sempat mengatur dekorasinya."

"Ini sudah lebih dari cukup," sahut Felicia, penuh syukur. Ia bahkan tak mampu menutupi binar takjub dan harunya dihadapan Kavi yang kini menatapnya dengan penuh puja.

"Apartemen ini punya tiga kamar dan kamu bebas memilih kamar mana yang akan kamu gunakan sebagai kamar pribadi. Namun, kalau aku boleh menyarankan, sebaiknya kamar ini digunakan sebagai kamar Richie, karena dekat dengan dapur."

"Hmm, aku juga berpikir demikian."

"Oke! Kalau begitu, aku bisa mulai meminta barang-barang Richie di antar ke sini. Kamu bisa bantu aku menyusunnya, kan?" Kavi menatap Felicia teduh penuh harap dan langsung mendapat anggukan dari Feli.

....

Tanpa terasa hari sudah beranjak gelap. Wajah lelah Felicia dan Kavi jelas tercetak sekarang. Keduanya saling memandang, lalu melempar senyum puas.

Semua perabot dan pernak-pernik di apartemen baru ini akhirnya telah selesai mereka tata sesuai dengan keinginan.

"Haaah, akhirnya selesai juga!" Kavi merebahkan tubuhnya di atas sofa yang di tata tepat di depan televisi berukuran 60 inc tersebut.

Kemejanya basah, rambutnya juga berantakan, meski aroma tubuhnya masih tetap sama harum. Ya, maklum saja, parfum yang ia gunakan seharga tiket pesawat Medan-Denpasar.

"Kamu mau kopi atau ..."

"Hmm, Americano dingin!" Sahur Kavi dengan mata yang terpejam, seolah tengah melepas lelah.

Felicia mengangguk, lalu melangkah menuju pantry yang ada di sudut Utara apartemen tersebut.

Meracik kopi memanglah keahlian seorang Felicia. Entah itu langsung dari biji kopi, atau bahkan kopi sachet sekalipun. Semuanya bisa terasa lebih enak bila Felicia yang membuatnya.

Felicia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru apartemen yang konon katanya dibeli atas namanya. Rasa takjub, syukur, sekaligus khawatir, semuanya menjadi satu dalam benak dan pikirannya.

Segalanya terasa begitu cepat berubah. Akhir-akhir ini, takdir benar-benar membuatnya jungkir balik dengan semua kejutan-kejutannya.

Suami dan anaknya yang meninggal, di usir oleh mertua padahal jelas rumah itu dibeli atas namanya, karena merupakan kompensasi yang Ratna berikan padanya, seolah sebagai mahar dari Daniel untuk menjamin kehidupan Felicia selanjutnya, meski tanpa Kavi, putranya.

Tapi, lihatlah apa yang terjadi sekarang. Kavi justru kembali menjadi pahlawan baginya di waktu yang tak terduga. Seperti saat pertemuan mereka 10 tahun lalu, di masa putih abu-abunya.

"Sudah siap?" Suara Kavi, sontak membuyarkan lamunan Felicia yang masih melanglang buana.

Felicia tersentak, linglung sejenak, hening tak segera menjawab. "Ah, ya, silakan." Felicia, menggeser gelas kristal berbentuk silinder itu kehadapan Kavi.

"Melamun? Mikirin apa?" Kavi bertanya santai dengan senyum lembut yang turut menyertai. Lalu, mulai meneguk es Americano-nya.

Felicia menggeleng.

"Hmm, jangan terlalu banyak pikiran. Nanti ASI kamu gak keluar, loh." Tegur Kavi lagi, membuat Felicia membelalakkan matanya.

"Dih!"

Kavi terbahak. "Kan, emang iya loh. Aku pernah baca katanya, kalau ibu menyusui stress ASI nya gak bakal keluar banyak."

Felicia menghela napas berat. Kavi memang benar. Namun, entah mengapa rasanya membahas hal seperti ini dengan mantannya ini terasa begitu canggung.

"Kapan kamu bawa Richie ke sini?" Tanya Felicia, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Kavi kembali meneguk minumannya. "Hmm, sepertinya tidak dalam waktu dekat."

Felicia mengerutkan dahinya, sebelum pertanyaan kembali ia serukan, dengan satu alisnya terangkat. "Kenapa?"

Kavi bangkit dari duduknya, beranjak menuju lemari pendingin, mencari sesuatu yang bisa ia makan untuk mengganjal perutnya yang keroncongan.

"Aku mau buat nasi goreng, kamu laper gak? Atau kita pesan makanan aja, pake aplikasi?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Felicia yang penasaran dan bingung, Kavi justru menawari Felicia makan apa.

"Mas?" Panggil Felicia pelan dan Kavi tahu pasti, bahwa Felicia tak ingin Kavi mengalihkan pembicaraan pada topik lain.

"Aku akan mengambil jatah ASI Richie setiap hari. Sementara, Richie akan tinggal di rumah utama." Kavi, menjelaskan sembari mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak nasi gorengnya.

Felicia hening, sejenak otaknya mencerna dan mulai memahami tujuan Kavi. Ya, memang tidak mungkin menitipkan Richie disini secara terus menerus mengingat Bu Ratna pasti akan mempertanyakan dimana cucunya itu berada dan pada akhirnya akan mendesak mencari tahu siapa ibu susunya.

"Kok diem? Ngerti kan maksud aku?" Kavi tersenyum geli melihat ekspresi Felicia yang termenung dengan tatapan kosong.

"Lalu, mengapa aku harus tinggal disini? Ini terlalu besar untuk aku seorang diri," ujar Felicia.

Kavi membalikkan tubuhnya, menghadap Felicia. Ia menatap wanita di depannya ini dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Sesekali aku akan membawa Richie datang ke sini."

"Bila hanya sesekali, kita mungkin bisa menyewa hotel atau apartemen seperti ini, tidak perlu membeli," Felicia, masih merasa canggung bila harus menerima semua ini, bila nyatanya ia tak mengurus Richie sepenuhnya.

"Aku ingin kamu juga hidup dengan nyaman sepanjang hari," sahut Kavi, kembali sibuk menyiapkan bumbu.

Felicia terdengar mengesah. "Tinggal sendiri di sini rasanya terlalu berlebihan, mengapa tak mengambil ukuran yang lebih kecil?"

"Emangnya suatu hari nanti kamu gak pengen punya keluarga?"

"Ha?"

"Hmm, emangnya kamu gak pengen nikah lagi, punya anak lagi?"

Felicia memutar bola matanya malas.

"Fel!" Panggil Kavi, sembari memutar kembali posisi tubuhnya.

"Hmm," Feli menatap dalam Kavi, menantikan kalimat lainnya keluar dengan ekspresi penasaran.

"Kali ini ... bila sesuatu apapun itu terjadi padamu, berjanjilah untuk jujur mengatakan semuanya padaku. Jangan tiba-tiba menghilang lagi."

Felicia kembali hening, tak menyangka bila Kavi menjadi begitu serius.

"Mari bekerja sama!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak jadi Ibu Susu Bayi Mantanku   Giman?

    Kavi seketika bangkit dari tempat duduknya, terkejut dengan kehadiran sang mantan ibu mertua yang kini berdiri dengan tatap penuh selidik dihadapannya. "Ma-ma?" Kavi terbata menyapa wanita bergaun emerald. "Hmm." "Ini temen aku, Ma." Terang Kavi dengan nada suara yang lebih stabil. Riska, menatap lekat Felicia yang kini menunduk dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajahnya yang sendu mengingatkannya pada seseorang. Riska seolah tidak asing dengan Felicia. "Duduk, Ma. Kita makan bareng?" Tawar Kavi santun, seraya menarik satu juga kursi di sisinya, berhadapan dengan Felicia yang semakin resah. "Hmm, gak usah. Mama mau langsung pulang. Tadi ke sini, cuma pengen beli dessert aja." Tolak Riska tanpa mengalihkan pandangannya pada Felicia. "Ah, ya." "Richie apa kabar Kav?" "Baik, Ma. Sehat." "Hmm, syukurlah. Sesekali kamu bawa lah dia ke rumah. Jangan lupakan kalau Mama ini juga neneknya." "Iya, Ma." "Hmm, bawa saat peringatan kematian Sylvi." "Iya, Ma." "Kav, Sylvi belum

  • Mendadak jadi Ibu Susu Bayi Mantanku   Siapa Dia

    "Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t

  • Mendadak jadi Ibu Susu Bayi Mantanku   Senyaman Kamu

    Kavi hendak meletakkan telepon genggamnya setelah memastikan Felicia baik-baik saja di apartemen tersebut. Namun, saat telepon genggam itu baru saja bersentuhan dengan meja nakas di sisi tempat tidurnya tiba-tiba berdenting dan bergetar, menandakan sebuah notifikasi kembali masuk. "Mas, aku takut!" Isi pesan balasan dari Felicia. Sesaat Kavi terhenyak, lalu tersenyum simpul setelahnya. Seperti dugaannya, wanita itu nyatanya belum berubah. Felicia masih sama penakutnya di tempat baru. "Aku ke sana?" Tawar Kavi masih dengan ekspresi sumringah. Penuh harap, kalau-kalau Felicia memintanya menemani. Sedetik, dua detik, pesannya tak kunjung dibalas, membuat Kavi yang tadinya sumringah, kini mulai mengerutkan dahi. Tak sabar."Gak usah, ini sudah mau pagi." Akhirnya Felicia membalas. Membuat semangat Kavi runtuh. "Hmm, ya sudah kalau begitu. Kamu coba tidur ya." "Iya." "Fel!" Kavi kembali mengirim pesan. "Telepon aja kalau ada apa-apa ya. 24 jam, hapenya gak aku silent." "Hmm, iya, M

  • Mendadak jadi Ibu Susu Bayi Mantanku   Aku Takut!

    "Kenapa kamu gak ajak aja ibu susu Richie tinggal disini, Kav?" "Dia juga butuh privasi, Mi." "Tapi kita kan jadi repot harus sedia suster lagi." Kavi mengesah pelan, tak langsung menjawab. Ratna memang sangat rewel. Ibunya ini tak ada habisnya mengeluh. "Lebih repot lagi kalau gak ada ibu susu yang sesuai untuk Richie, Mam." Radhi menyela. "Sudahlah, hal-hal kecil seperti itu jangan selalu Mami jadikan sumbu pertengkaran. Hal yang paling penting saat ini, Richie bisa terpenuhi kebutuhan ASI-nya sementara Kavi bisa fokus bekerja mengurus perusahaan." Ratna memutar bola matanya malas. Suaminya ini memang semakin hari semakin tak sejalan dengannya. Apalagi sejak Ratna diketahui menyusun rencana perpisahan Kavi dan kekasihnya yang bernama Felicia. Radhi benar-benar marah pada Ratna, karena nyaris membuat Kavi depresi dan bunuh diri. "Daddy hanya ingin berpesan, agar kamu benar-benar memperhatikan kesehatan ibu susu Richie. Asupannya, harus benar-benar kamu perhatikan agar Richie j

  • Mendadak jadi Ibu Susu Bayi Mantanku   Berjanjilah

    "Apartemen ini aku beli atas nama kamu. Jadi, jangan sungkan!" Terang Kavi, sembari mempersilakan Feli masuk ke dalam hunian dengan tipe duplex tersebut.Felicia seketika menghentikan langkahnya, tatkala Kavi memberitahukan status kepemilikan tempat tinggal barunya ini. "Namaku?" Beo Felicia tak percaya. Bola matanya yang cokelat itu bahkan ikut terbelalak karena terkejut. Kavi mengangguk santai dan terus melangkah dengan satu tangan menenteng tas pakaian milik Felicia, sementara yang satunya masuk ke dalam saku celananya. "Apartemen ini akan menjadi milikmu, sebagai salah satu kompensasi yang aku berikan karena kamu sudah menyusui Richie." "Tapi Mas, apa ini tidak berlebihan?" Kavi kembali menggeleng. "Berlebihan gimana? Kamu menyusui Richie untuk menjamin masa depannya. Ini, belum ada apa-apanya di bandingkan dengan itu semua."Langkah Kavi terus membawa Felicia menuju sebuah kamar di lantai satu apartemen tersebut. Belum banyak dekorasi yang berubah, karena apartemen ini bar

  • Mendadak jadi Ibu Susu Bayi Mantanku   Mari kita Sepakat

    "Terlambat?" Suara Ratna menyambut sang putra yang baru beberapa langkah memasuki ruang makan keluarga dengan 12 kursi di sana. "Gimana kondisi Richie? Kapan kamu bawa pulang?" Kali ini pertanyaan ayahnya yang terdengar khawatir. Kavi tak langsung membalas, ia memberikan salam dan kecup hangat terlebih dahulu pada kedua orang tuanya, lalu menarik kursi tepat di sisi kanan sang ayah. "Richie baik-baik saja," jawab Kavi, seraya mengangkat cangkir kopi yang telah tersaji dihadapannya. "Syukurlah, Daddy begitu mencemaskannya." "Hmm.""Bagus kalau begitu. Bawa Richie pulang saat acara 40 harian Vani," ujar Ratna yang lebih seperti perintah. "Ya, Mami benar Vi, keluarga Hasto pasti akan senang melihat cucu mereka." Radhi menimpali. Kavi mengangguk. "Hmm, aku mengerti." "Lalu, apa kamu sudah mendapatkan ibu susu untuk Richie? Usahakan untuk tidak memberikan susu formula hingga usianya 2 tahun, Vi." "Kalau bisa, biarkan ibu susu Richie tinggal bersama kita, agar segala nutrisinya dap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status