"Apartemen ini aku beli atas nama kamu. Jadi, jangan sungkan!" Terang Kavi, sembari mempersilakan Feli masuk ke dalam hunian dengan tipe duplex tersebut.
Felicia seketika menghentikan langkahnya, tatkala Kavi memberitahukan status kepemilikan tempat tinggal barunya ini. "Namaku?" Beo Felicia tak percaya. Bola matanya yang cokelat itu bahkan ikut terbelalak karena terkejut. Kavi mengangguk santai dan terus melangkah dengan satu tangan menenteng tas pakaian milik Felicia, sementara yang satunya masuk ke dalam saku celananya. "Apartemen ini akan menjadi milikmu, sebagai salah satu kompensasi yang aku berikan karena kamu sudah menyusui Richie." "Tapi Mas, apa ini tidak berlebihan?" Kavi kembali menggeleng. "Berlebihan gimana? Kamu menyusui Richie untuk menjamin masa depannya. Ini, belum ada apa-apanya di bandingkan dengan itu semua." Langkah Kavi terus membawa Felicia menuju sebuah kamar di lantai satu apartemen tersebut. Belum banyak dekorasi yang berubah, karena apartemen ini baru ia beli kemarin. "Semuanya masih standart, aku belum sempat mengatur dekorasinya." "Ini sudah lebih dari cukup," sahut Felicia, penuh syukur. Ia bahkan tak mampu menutupi binar takjub dan harunya dihadapan Kavi yang kini menatapnya dengan penuh puja. "Apartemen ini punya tiga kamar dan kamu bebas memilih kamar mana yang akan kamu gunakan sebagai kamar pribadi. Namun, kalau aku boleh menyarankan, sebaiknya kamar ini digunakan sebagai kamar Richie, karena dekat dengan dapur." "Hmm, aku juga berpikir demikian." "Oke! Kalau begitu, aku bisa mulai meminta barang-barang Richie di antar ke sini. Kamu bisa bantu aku menyusunnya, kan?" Kavi menatap Felicia teduh penuh harap dan langsung mendapat anggukan dari Feli. .... Tanpa terasa hari sudah beranjak gelap. Wajah lelah Felicia dan Kavi jelas tercetak sekarang. Keduanya saling memandang, lalu melempar senyum puas. Semua perabot dan pernak-pernik di apartemen baru ini akhirnya telah selesai mereka tata sesuai dengan keinginan. "Haaah, akhirnya selesai juga!" Kavi merebahkan tubuhnya di atas sofa yang di tata tepat di depan televisi berukuran 60 inc tersebut. Kemejanya basah, rambutnya juga berantakan, meski aroma tubuhnya masih tetap sama harum. Ya, maklum saja, parfum yang ia gunakan seharga tiket pesawat Medan-Denpasar. "Kamu mau kopi atau ..." "Hmm, Americano dingin!" Sahur Kavi dengan mata yang terpejam, seolah tengah melepas lelah. Felicia mengangguk, lalu melangkah menuju pantry yang ada di sudut Utara apartemen tersebut. Meracik kopi memanglah keahlian seorang Felicia. Entah itu langsung dari biji kopi, atau bahkan kopi sachet sekalipun. Semuanya bisa terasa lebih enak bila Felicia yang membuatnya. Felicia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru apartemen yang konon katanya dibeli atas namanya. Rasa takjub, syukur, sekaligus khawatir, semuanya menjadi satu dalam benak dan pikirannya. Segalanya terasa begitu cepat berubah. Akhir-akhir ini, takdir benar-benar membuatnya jungkir balik dengan semua kejutan-kejutannya. Suami dan anaknya yang meninggal, di usir oleh mertua padahal jelas rumah itu dibeli atas namanya, karena merupakan kompensasi yang Ratna berikan padanya, seolah sebagai mahar dari Daniel untuk menjamin kehidupan Felicia selanjutnya, meski tanpa Kavi, putranya. Tapi, lihatlah apa yang terjadi sekarang. Kavi justru kembali menjadi pahlawan baginya di waktu yang tak terduga. Seperti saat pertemuan mereka 10 tahun lalu, di masa putih abu-abunya. "Sudah siap?" Suara Kavi, sontak membuyarkan lamunan Felicia yang masih melanglang buana. Felicia tersentak, linglung sejenak, hening tak segera menjawab. "Ah, ya, silakan." Felicia, menggeser gelas kristal berbentuk silinder itu kehadapan Kavi. "Melamun? Mikirin apa?" Kavi bertanya santai dengan senyum lembut yang turut menyertai. Lalu, mulai meneguk es Americano-nya. Felicia menggeleng. "Hmm, jangan terlalu banyak pikiran. Nanti ASI kamu gak keluar, loh." Tegur Kavi lagi, membuat Felicia membelalakkan matanya. "Dih!" Kavi terbahak. "Kan, emang iya loh. Aku pernah baca katanya, kalau ibu menyusui stress ASI nya gak bakal keluar banyak." Felicia menghela napas berat. Kavi memang benar. Namun, entah mengapa rasanya membahas hal seperti ini dengan mantannya ini terasa begitu canggung. "Kapan kamu bawa Richie ke sini?" Tanya Felicia, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Kavi kembali meneguk minumannya. "Hmm, sepertinya tidak dalam waktu dekat." Felicia mengerutkan dahinya, sebelum pertanyaan kembali ia serukan, dengan satu alisnya terangkat. "Kenapa?" Kavi bangkit dari duduknya, beranjak menuju lemari pendingin, mencari sesuatu yang bisa ia makan untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. "Aku mau buat nasi goreng, kamu laper gak? Atau kita pesan makanan aja, pake aplikasi?" Alih-alih menjawab pertanyaan Felicia yang penasaran dan bingung, Kavi justru menawari Felicia makan apa. "Mas?" Panggil Felicia pelan dan Kavi tahu pasti, bahwa Felicia tak ingin Kavi mengalihkan pembicaraan pada topik lain. "Aku akan mengambil jatah ASI Richie setiap hari. Sementara, Richie akan tinggal di rumah utama." Kavi, menjelaskan sembari mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak nasi gorengnya. Felicia hening, sejenak otaknya mencerna dan mulai memahami tujuan Kavi. Ya, memang tidak mungkin menitipkan Richie disini secara terus menerus mengingat Bu Ratna pasti akan mempertanyakan dimana cucunya itu berada dan pada akhirnya akan mendesak mencari tahu siapa ibu susunya. "Kok diem? Ngerti kan maksud aku?" Kavi tersenyum geli melihat ekspresi Felicia yang termenung dengan tatapan kosong. "Lalu, mengapa aku harus tinggal disini? Ini terlalu besar untuk aku seorang diri," ujar Felicia. Kavi membalikkan tubuhnya, menghadap Felicia. Ia menatap wanita di depannya ini dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Sesekali aku akan membawa Richie datang ke sini." "Bila hanya sesekali, kita mungkin bisa menyewa hotel atau apartemen seperti ini, tidak perlu membeli," Felicia, masih merasa canggung bila harus menerima semua ini, bila nyatanya ia tak mengurus Richie sepenuhnya. "Aku ingin kamu juga hidup dengan nyaman sepanjang hari," sahut Kavi, kembali sibuk menyiapkan bumbu. Felicia terdengar mengesah. "Tinggal sendiri di sini rasanya terlalu berlebihan, mengapa tak mengambil ukuran yang lebih kecil?" "Emangnya suatu hari nanti kamu gak pengen punya keluarga?" "Ha?" "Hmm, emangnya kamu gak pengen nikah lagi, punya anak lagi?" Felicia memutar bola matanya malas. "Fel!" Panggil Kavi, sembari memutar kembali posisi tubuhnya. "Hmm," Feli menatap dalam Kavi, menantikan kalimat lainnya keluar dengan ekspresi penasaran. "Kali ini ... bila sesuatu apapun itu terjadi padamu, berjanjilah untuk jujur mengatakan semuanya padaku. Jangan tiba-tiba menghilang lagi." Felicia kembali hening, tak menyangka bila Kavi menjadi begitu serius. "Mari bekerja sama!""Mas?" Felicia cukup terkejut dengan kehadiran Kavi di pagi buta. "Ada apa?" "Richie gimana?" Felicia mengejar Kavi dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasarannya. "Kamu butuh susu untuk Richie?" Bukannya menjawab pertanyaan Felicia untuk kesekian kalinya itu, Kavi justru melemparkan tubuhnya di atas sofa yang berhadapan langsung dengan televisi berukuran besar itu. Napasnya berat, tampilannya juga sangat kusut. "Mas!" Felicia kembali menyeru, kali ini bahkan dengan nada tinggi. "Kamu kenapa?" "Hhhh." Sekali lagi Kavi mengesah berat. Napasnya seolah benar tertahan di dalam dadanya, sulit untuk di bebaskan. Terpenjara bersama dengan isi kepala yang semakin kacau. Felicia ikut mengesah, menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat Kavi yang terlihat sangat kacau kali ini. "Mau kopi?" Tawar Felicia akhirnya, sembari berjalan tanpa menunggu jawaban Kavi. Ia tahu, saat ini pria yang pernah menjadi cinta pertamanya itu sedang tak bisa di ajak bicara. "Felicia, pul
"Fel!" Kavi kembali menyerukan namanya. "Ngelamun?" Imbuhnya sembari menaik-turunkan tangannya di depan wajah Feli yang kini terlihat gugup. "Hmm, ya, ..., kenapa?" "Ck! Emang beneran ngelamun? Kenapa?" "Apanya yang kenapa?" "Kamu kenapa, Fel?" Kavi memutar bola matanya malas. Feli menggeleng. "Gak apa-apa, emang kenapa? Kamu tadi bilang apa?" "Hmm, kamu mau gak, ikut aku ketemu sama temenku itu." Kavi kembali mengulang pertanyaannya. Feli kembali hening, ia belum yakin bertemu dengan orang-orang di dekat Kavi saat ini. "Masalah itu, kita bicarakan nanti ya. Ini sudah malam dan Richie baik-baik saja. Aku juga ingin istirahat," ujar Felicia mengalihkan pembicaraan. "Hmm, oke deh, kalau gitu. Sampai ketemu esok, ya." Kavi lalu mematikan sambungan telepon mereka dan bersiap membersihkan diri dan beristirahat.***Sementara itu di apartemennya, Felicia tak benar-benar tidur. Tubuhnya benar rebah di atas ranjang. Namun, matanya tak kunjung terpejam. Pikirannya masih berkelana, men
Kavi bergegas meninggalkan apartemen. Dengan kecepatan tinggi mobilnya membelah jalanan malam, setelah sang ibu memberikan kabar bahwa Richie putranya mendadak demam, panas tinggi. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja.Tiba di rumah keluarganya, Kavi menerobos masuk ke dalam dan berlari menaiki anak tangga menuju kamar Richie yang telah di periksa oleh dokter keluarga. "Gimana, Fer?" Kavi langsung menyerang Feri sahabatnya yang juga dokter anak itu dengan pertanyaan. Feri yang tengah berbincang dengan Ratna itupun kini membalikkan tubuhnya, menatap langsung ke arah Kavi. "It's oke. Cuma kayaknya ada masalah sama botol susu-nya yang kurang steril atau proses menghangatkan susu. Jadi buat dia kembung. Tapi, tenang aja, aku bakal periksa secara keseluruhan di rumah sakit nanti dari hasil darah yang aku ambil tadi," terang Feri, sejelas-jelasnya. Tak ingin sahabatnya itu semakin panik dan khawatir. Kavi mengangguk lemah dan kembali melangkah mendekati tempat tidur Richie.
Sementara itu di sepanjang perjalanan Rizka terus mengingat-ingat wajah wanita yang tadi bersama dengan mantan menantunya. Wajah yang sangat tak asing menurutnya. "Kenapa, Ma?" Hasto, suaminya bertanya. Sejak masuk ke dalam mobil, ekspresi wajah Rizka memang tak dapat menutupi rasa penasarannya. Rizka menatap sekilas suaminya sebelum kembali menghadap jendela dan menjawab. "Aku bertemu Kavi dengan seorang wanita di restoran tadi." Hasto hening sejenak, dahinya sesat berkerut. Namun, kemudian justru tersenyum tipis. "Terus, masalahnya?" Tanya Hasto seolah itu bukan masalah besar. "Maksud Mas?" Rizka balik bertanya dengan nada yang jelas tak suka. "Putri kita belum empat puluh hari dan dia sudah bersama dengan perempuan lain?" Marah Rizka tak terima. "Bisa saja itu rekan bisnisnya atau ...." "Cih! Rekan bisnis apa? Aku memperhatikan gelagatnya sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menegur dan menghampiri. Kavi begitu perhatian, tatapannya pada perempuan itu jelas lebih hangat d
Kavi seketika bangkit dari tempat duduknya, terkejut dengan kehadiran sang mantan ibu mertua yang kini berdiri dengan tatap penuh selidik dihadapannya. "Ma-ma?" Kavi terbata menyapa wanita bergaun emerald. "Hmm." "Ini temen aku, Ma." Terang Kavi dengan nada suara yang lebih stabil. Riska, menatap lekat Felicia yang kini menunduk dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajahnya yang sendu mengingatkannya pada seseorang. Riska seolah tidak asing dengan Felicia. "Duduk, Ma. Kita makan bareng?" Tawar Kavi santun, seraya menarik satu juga kursi di sisinya, berhadapan dengan Felicia yang semakin resah. "Hmm, gak usah. Mama mau langsung pulang. Tadi ke sini, cuma pengen beli dessert aja." Tolak Riska tanpa mengalihkan pandangannya pada Felicia. "Ah, ya." "Richie apa kabar Kav?" "Baik, Ma. Sehat." "Hmm, syukurlah. Sesekali kamu bawa lah dia ke rumah. Jangan lupakan kalau Mama ini juga neneknya." "Iya, Ma." "Hmm, bawa saat peringatan kematian Sylvi." "Iya,
"Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t