Ketika malam tiba dan semua larut dalam tidurnya, Sabrina terjaga dalam malam. Duduk termenung ditaman seorang diri, ia memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan semua rencana pernikahan yang sudah ditetapkan.
Setelah pembiraan tadi sudah diputuskan jika pernikahan dirinya dengan Antonio akan diadakan dalam waktu dua minggu lagi. Ada sebuah beban yang mengganjal dihati juga fikirannya, apalagi jika bukan tentang wali nikahnya.
Ia adalah seorang perempuan, ia membutuhkan sosok papa untuk menikahkannya. Tapi kondisinya tak mungkin terjadi, disaat ia sudah tak memiliki siapapun namun namanya masih dalam daftar keluarga Taulin.
"Sabrina," gumam Darma yang baru saja dari dapur.
Darma berjalan mendekati Sabrina, semakin dirinya dekat semakin ia bisa melihat ada raut wajah gusar pada Sabrina.
"Apa yang kamu fikirkan nak," tanyanya mendudukan diri disebelah Sabrina.
"Pah, kenapa belum istirahat," tanyanya.
"Tadi masih ke
Hai semua, terima kasih sudah mau mampir di novel ini. Jangan lupa selalu nantikan kelanjutannya ya. Happy reading guys,
Antonio begitu terkejut dengan apa yang diutarakan Sabrina, bahkan rasanya detak jantungnya sempat terhenti karenanya. Ditariknya Sabrina lebih dekat dengannya, saling menatap satu sama lain mencari rasa nyaman. "Ada apa, kita sudah sejauh ini dan bahkan semua dokumen sudah masuk," tanya Nio. "Saya nggak bisa pak, jangan paksa saya," berusaha melepas cengkraman Nio pada bahunya. Nio mengeratkan cengkramannya, ia membuat Sabrina menatap dirinya lalu berkata," Apa ini masalah wali nikah kamu ?" Sabrina sempat terkejut namun ia segera mengontrol dirinya dan bersikap tenang. Tak bisa dipungkirinya jika itu adalah masalah yang tak bisa ia lepaskan dari fikirannya. Antonio berasal dari keluarga terpandang, sedang dirinya hanyalah anak adopsi yang bahkan terbuang. "Katakan," seru Nio. "Apa lagi, bukankah bapak juga sudah tau alasannya." "Tapi saya rasa bukan hanya itu yang kamu fikirkan saat ini," tebaknya. Sabrina hanya
Semua telah dibicarakan, Sabrina tetap akan menemui Max secara langsung untuk meminta restunya. Antonio yang posesif melarangnya, ia takut jika hal buruk kembali menimpa calon istrinya apalagi luka bakar terakhir kali bahkan belum juga kering. Dan sore ini setelah menemani Sasa bermain, Sabrina bergegas menuju kediaman keluarga Taulin. Tak bisa dipungkirinya jika masih ada rasa takut saat menginjakkan kaki kembali kerumah itu, rumah yang menjadi ketakutannya selama ini. "Nggak gue harus bisa, gue harus berani," serunya menyemangati dirinya sendiri. Tanpa diketahuinya, Nio telah meminta beberapa anak buahnya untuk terus mengawasi Sabrina dari kejauhan. Ia tak ingin kecolongan lagi dan membiarkan Sabrina terluka untuk yang kesekian kalinya. Sabrina masuk kedalam rumah dengan perasaan takutnya, bahkan tubuhnya bergetar saat melangkahkan kakinya. Sabrina masuk disambut oleh tatapan tajam Syan yang sedang bermain ponsl diruang tengah. "Ngapain loe
Sabrina keluar dari dalam rumah Max dengan senyum penuh kesedihannya, ia yang selama ini bersikap baik dan bahkan menerima semua perlakuan mereka harus menelan rasa kecewanya. Sabrina selalu berharap akan ada waktu dimana mereka semua benar-benar menganggap dirinya seorang suadara, tak banyak yang dimintanya dan hanya itu saja. "Sia-sia sudah semua rasa yang gue tahan selama ini, berharap mereka sadar malah gue dibuang," ucapnya tersenyum kecut. Dan pada akhirnya Sabrina pulang dengan rasa kecewa yang teramat dalam, bahkan rasa kecewa itu telah mengikis semua rasa sayang yang dulu dimilikinya untuk mereka. Rasa yang dulu pernah dimilikinya untuk mereka kini sirna tak tersisa. Dalam perjalanan pulangnya Sabrina terus saja memikirkan tindakan Max juga keluarganya, ia yang paham hanya anak adopsi merasa tak pernah disayangi. Lantas ia mempertanyakan untuk apa dulu dirinya diadopsi. Antonio masih menunggu kepulangan Sabrina dengan perasan was-was, wal
Pagi ini semua nampak sibuk dengan aktifitasanya, Sabrina tak dulu di ijinkan oleh Antonio untuk kembali ke kampus. Dan sebagai calon istri yang baik, Sabrina hanya bisa menuruti ucapannya. Arga mendatangi Sabrina yang sedang menyuapi anaknya makan, duduk disebelahnya kemudian ia berkata," Sayang-sayangnya papa lagi ngapain ini." "Pah, jangan deket-deket mama aku," protes Sasa pada Antonio Sabrina hanya tersenyum menanggapi celotehan Sasa, Antonio bukannya mengalah namun ia malah menjadi menggoda anaknya. Dengan usilnya Nio memeluk erat tubuh Sabrina, menjauhkan tubuh wanita itu dari jangkauan anaknya. "Papa minggir, lepasin mamaa," mencoba melepaskan tangan Nio dari Sabrina. Tak mau mengalah, Nio malah menghujani Sabrina dengan banyak kecupan diwajahnya. Sasa merasa kesal dengan tingkah papanya, namun ia tak tahu harus berlaku apa untuk membalasnya alhasil gadis kecil itu menangis dengan begitu kencangnya. Bulan datang dari belaka
"Kenapa nggak boleh, " tanya Sabrina "Gini nak, kan nikahan kamu diajuin jadi otomatis semua persiapan juga maju. Dan hari ini kamu ada pihak gaun yang datang loh," jelas Bulan menerangkan. "Oh gitu ya ma, terus yang antar Sasa ke sekolah siapa dong?" "Urusan itu serahin saja sama aku," sahut Nio dengan yakinnya. "Nggak, terakhir kali jagain Sasa jatuh gitu," sinis Sabrina. "Astaga dendaman banget," gumam Nio. .. Aldo nampak begitu girang saat berhasil menemukan alamat Sabrina yang ditinggalinya, saking girangnya ia segera melajukan mobilnya menuju alamat tersebut. Wajah sumringah itu tiba-tiba saja sirna berganti dengan wajah masam saat seseorang menghubunginya. Syan berulang kali menghubungi Aldo, namun Aldo begitu enggak berurusan lagi dengan Syan yang sudah membosankan menurutnya. Rasa tak suka itu membuat Aldo mengacuhkan semua hal yang berhubungan dengan Syan, tak terkecuali. Syan yang saat ini tengah bera
Syan begitu panik saat menanti namanya dipanggil, namun rasanya ia tak sanggup dan ingin sekali pergi meninggalkan rumah sakit. Namun jika demikian ia juga tak akan pernah tau apakah benar adanya jika dirinya memang mengandung anak Aldo. "Nyonya Syan," panggil seorang petugas membuat Syan begitu terkejut. Dan mau tak mau Syan berjalan masuk kedalam ruang kandungan, rasa ingin tahunya begitu besar hingga mengalahkan rasa ketakutannya saat ini. Syan dipersilahkan duduk dan menjalani semua pemeriksaan, namun saat menunggu hasil begitu membuat jantungnya begitu berpacu tak karuan. Seorang suster datang membawa semua hasil pemeriksaan dirinya, jantung Syan makin berdetak kencang tak karuan hingga ia gugup bertanya," Gi gimana dok hasilnya?" "Tunggu dulu sebentar ya nyonya," seru dokter tersebut. Syan yang panik bermain dengan ujung jaket yang digunakannya, rasa takutnya begitu berlebihan hingga tanpa sadar ia kehilangan kesadarannya.
Semua perjamuan sederhana telah usai, kini hanya tinggal keluarga dengan Burhan yang masih setia menemani keluarga yang sedang bahagia itu."Nak, kenalin dulu ini sahabat papa namanya om Burhan," kenal Darma."Halo om, Sabrina," dengan sopan Sabrina memberi salam."Halo nak, selamat ya. Om seneng banget akhrinya duda dingin itu udah dapat pawangnya," canda Burhan."Gue juga seneng anka gue ada yang ngurusin lagi," tawa Burhan dengan Darma dengan riangnya."Bahagia banget nih, pasti ngomongin aku ya," seru Nio melihat keduanya tertawa.Nio dengan posesifnya memeluk mesra pinggang ramping milik istrinya, membuat Burhan juga Darma hanya bisa menggelengkan kepalanya. Nio bukan lagi remaja atau pengantin baru, ia sudah pernah gagal dalam pernikahannya dahulu. Namun sikapnya ini seolah ini adalah pernikahan pertamanya, yang membuatnya begitu berbunga-bunga dimabuk asmara."Nggak bakal hilang juga istrinya Nio, sampai kence
Pagi yang sangat cerah mengawali hari pasangan suami istri itu dengan begitu romantisnya, Nio yang selalu saja tak ingin kalah dari putrinya selalu saja menempel bagai lem pada Sabrina. Sasa yang kesal dengan sikap papanya selalu saja menangis jika Nio terus saja mengikuti kemana saja Sabrina itu melangkah."Papa keluar," seru Sasa yang begitu kesal dengan Nio yang terus saja memeluk lengan mamanya."Apa sih nak, papa kan diam aja," sahut Nio tak mau kalah."Papa keluar aku mau ganti baju sama mama," mencoba menarik tangan Nio dari mamanya.Nio mengeratkan tangannya pada lengan Sabrina, sedang Sasa dengan kekuatan kecilnya berusaha keras menarik dirinya. Sabrina hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia tak tahu jika suaminya ini mempunyai sifat yang jauh lebih manja dari Sasa anaknya.Bulan juga Darma sudah menunggu sejak tadi di meja makan, namun ketiga orang yang ditunggunya tak kunjung turun dari kamarnya. Bulan bangkit dari kursinya membuat Darma