Dua buah mobil berhenti tepat didepan rumah Lastri, salah seorang anak buah Nio turun dan membuka sendiri pagar yang menghalangi jalan masuk mereka.
"Silahkan tuan," ucapnya setelah pagar terbuka.
Nio turun dari mobilnya, namun ia bersama anak buahnya dihadang beberapa penjaga rumah Lastri. "Kalian bereskan, saya masuk dulu."
"Tunggu," saat tangan salah seorang anak buah Lastri ingin menggapai tubuh Nio, dengan sangat cepat para anak buah Nio menyerang mereka dengan membabi buta.
Nio dengan perlindungan dua orang anak buahnya masuk dengan sangat santai menerobos paksa rumah Lastri. Sedang Lastri yang berada didalam rumahnya merasa terganggu dengan suara keribuatan dari luar rumahnya.
"Siapa sih, ribut sekali," gumamnya yang berjalan ingin melihat keributan tersebut.
"Selamat malam nyonya Lastri," sapa Nio yang berpapasan dengan Lastri.
"Jadi kamu yang membuat keribuatan malam-malam dirumah saya!"
"Ya, tentu saja saya. Sia
Mata Nio terbelalak saat melihat kini ponselnya hancur berkeping-keping, nasib yang sangat buruk untuk ponselnya yang tadinya baik-baik saja. Dengan susah payah Nio menelan salivanya, secara bergantian ia memandangi ponsel dengan istrinya."Sayang," lirihnya."Apa? Mau marah, iya?""Bukan begitu yank ta-"Percuma ada ponsel kalau hubby sama sekali nggak bisa dihubungin, apa bedanya dengan hubby nggak punya ponsel sama sekali!"Nio hanya bisa menghela nafasnya, ia mengerti arti dari kemarahan istrinya. Nio tak menyangka jika Sabrina akan sekhawatri ini hingga membuatnya begitu emosi."Sayang, maafin aku ya," bujuk Nio yang kini mendekap tubuh istrinya."Kalau gampang bilang maaf pasti juga gampang ngulangin lagi kan."Melepas pelukannya, Nio bersumpah didepan istrinya dengan sangat bersungguh-sungguh. "Aku janji nggak akan ada kedua kalinya, beneran yank.""Janji," ulang Sabrina meyakinkan dirinya."Janji. Maaf ya,
"Lepaskan adikku!"Marshel yang kebetulan berada disekitar toko awalnya tak menyangka jika akan bertemu dengan perempuan yang dicurigai sebagai adiknya. Namun baru saja ia melangkah hendak menghampirinya, beberapa orang laki-laki datang menghadang adiknya tersebut.Dadanya bergemuruh saat melihat orang lain menyakiti Sabrina, bahkan ia yang biasanya bisa mengendalikan emosi kini tak bisa menahan kemarahannya."Siapa laki-laki ini, kenapa mengaku sebagia kakakku," batin Sabrina dalam bekapan mereka."Lepaskan nona kami," teriak dua orang pengawal Sabrina yang juga ikut datang."Menyingkir kalian semua atau saya matiin wanita ini," ancam mereka semua."Brengsek, kita nggak bisa ambil resiko! Kita nggak bisa mengorbankan adik saya," ucapnya yang membuat para pengawal Sabrina kebingungan."Kalian mundurlah, " lanjut Marshel.Tak ingin membahayakan nona mudanya, kedua pengawal itu mundur dan bersembunyi dibelakang Marshel."S
Flash back :Sejak diperjalanan menuju rumah sakit, Marshel sudah menduga kondisinya tidak akan baik-baik saja. Maka dari itu ia sempat menghentikan mobilnya dan menghubungi teman dokternya."Halo.""________""Tolongin gue, gue butuh bantuan loe kali ini," pinta Marshel menahan sakitnya."_____ ""Please.""_______ ""10 menit, 10 menit lagi kami berdua tiba. Tolong periksa kecocokan darah kami, " pintanya."____ ""Thanks," memutus sambungan telponnya.Setelah mendapat persetujuan dan bantuan dari temannya, Marshel bergegas mengendarai mobilnya kembali menuju rumah sakit. Namun sayangnya saat sudah dihalamannya, tenaga Marshel mulai melemah dna bahkan ia rasanya tak bisa lagi menggendong tubuh adiknya.Namun beruntung seorang laki-laki datang mengambil adiknya dari gedongannya sebelum pada akhirnya tubuhnya luruh tak sadarkan diri.Flash back off!Mata Marshel berkaca-kaca
Lena begitu panik saat mendengar kabar jika putranya tengah berada dirumah sakit karena luka tusuk, kehilangan putrinya sewaktu dulu membuat Lena berlebihan dalam kekhawatirannya. Tubuhnya berkeringat dingin, bahkan ia juga begitu ketakutan sambil mengumamkan nama putrannya."Tenanglah, sebentar lagi kita akan sampai. Aku yakin putra kita baik-baik saja," Rizal tak mampu melihat kekhawatiran istrinya yang sudah terlalu menyulitkan dirinya sendiri, trauma itu masih terus menghantui istrinya meskipun belasan psikiater telah merawatnya."Marshel, Marshel baik-baik saja! Dia hanya bercanda dengan kita kan yah," tanya Lena yang ingin meyakinkan dirinya sendiri.Rizal tak lagi menyahuti istrinya, karena sebanyak apapun ia menjelaskan situasinya sebanyak itu juga istrinya akan menerima ketakutannya. Hanya pelukan yang saat ini dapat diberikannya, dekapan sayang yang dengan tulus ia curahkan untuk pemilik hatinya.Tanpa diduga, sesampainya dikamar rawat ternyata
Sabrina sudah sadar dan Antonio segera meminta dokter untuk memeriksa kondisi istrinya secara menyeluruh, termasuk keadaan otaknya yang sempat mendapat perhatian khusus dari dokter."Bagaimana hasilnya dok," tanya Nio yang didampingi Rizal diruang dokter."Sesuai dengan apa yang anda curigai tuan, istri anda memang mengalami hilang ingatan. Dan ini cukup serius," ucap dokter."Maksut dokter gimana ya," tanya Rizal."Kondisi ini sudah berangsur-angsur sangat lama bagi pasien pak, untuk masa pemulihan ini sendiri tidak bisa dilakukan secara cepat karena akan berbahaya.""Maksud dokter gimana ya, saya nggak paham. Apa yang akan terjadi pada istri saya jika kami memaksakan ingatannya?""Maka anda hanya akan menyiksa istri anda tuan dan itu bisa berakhir dengan kematiannya."Dada Nio tiba-tiba terasa sangat sesak saat mendengar kata kematian yang diucapkan oleh dokter, ia ingin sekali membantu Sabrina kembali mengingat keluarganya dan kemb
Syan begitu senang karena Aldo selalu memperhatikannya, bahkan tak jarang suaminya itu begitu memanjakan dirinya. Kini apapun yang diinginkan Syan pasti akan dipenuhi, dan juga kini hubungan Aldo dengan Sabrina menjauh semenjak ulah Carisa."Sayang aku pengen makan buah semangka deh, tapi semangkanya yang ada dideket kampus kamu itu," pinta Syan sambil mengelus perut buncitnya."Iya, tapi nanti ya habis kuliah belinya. Hari ini aku ada kuis dikelas," sahut Aldo yang tengah sibuk mengenakan sepatunya."Okelah, tapi belinya tiga ya?""Sekalian tokonya juga bakal aku beliin," canda Aldo yang membuat Syan tersipu malu.Aldo mengecup pipi istrinya lalu keluar dari dalam kamar dan segera melesat menuju kampusnya. Akibat kehebohan tempo hari, kini semua anak kampus tahu jika Aldo sudah menikah dan segera memiliki anak."Sebenarnya Syan itu manis juga anaknya, kalau nggak dipengaruhin orang tuanya juga baik," gumam Aldo sambil berkendara
Lastri murka, apa yang baru saja didengarnya membuat amarahnya memuncak seketika. Bagaimana bisa cucu kandungnya enggak memanggilnya nenek, tapi kini malah memanggil orang asing sebagai neneknya."Jangan keterlaluan kamu Nio," murka Lastri yang langsung mendatangi Nio dan mencengkeram kerah bajunya dengan begitu erat."Coba nyonya Lastri katakan, apa yang saya lakukan hingga menurut anda keterlaluan," santainya bertanya."Kamu, kalian semua mempengaruhi cucu saya! Cucu kandung saya, dia Sasa itu cucu saya," teriaknya marah."Siapa juga yang mengatakan Sasa itu bukan cucu anda?""Kelewatan kamu Nio, saya bersumpah saya akan mengambil Sasa bagaimanapun caranya," matanya dengan tajam menatap Nio yang hanya tersenyum melihat kemarahannya."Penjagaaa," teriak Nio dengan lantangnya namun ekspresinya masih sama.Tiga orang laki-laki datang pada tuannya, dengan tubuh gagahnya mereka berdiri dan siap menerima perintah dari tuan mudanya. Lastri
Lastri tak tahu lagi bagiamana cara menghadapi putrinya itu, rasanya ia tak yakin jik putrinya itu pernah melahirkan seorang bayi dari rahimnya sendiri."Apa salahku sampai putriku gila seperti ini," gumamnya yang berjalan mondar-mandir didalam kamarnya."Aku harus menyusun rencana lagi untuk mengambil Sasa dari mereka semua. Bagaimanapun caranya Sasa harus tinggal bersama saya, saya nenek kandungnya," tekannya dengan penuh amarah.Sudah hampir dua minggu setelah kejadian tersebut, hari-hari Sabrina selalu berseri-seri terlebih saat ini ada Lena, Rizal juga Marshel yang selalu ada menemaninya. Hari-harinya selama didalam kampus pun tak ada yang mengkhawatirkan, hingga dua pengawalnya kini tak perlu menungguinya didepan kelasnya.Namun hal dalam waktu dua minggu itu Nio masih terus mencari bukti dalang dari apa yang dialami istrinya. Ia yakin jika ini adalah ulah Max, tapi karena tak ada bukti yang mengarah padanya makan Nio juga tak bisa menuduhnya secara