Lena begitu panik saat mendengar kabar jika putranya tengah berada dirumah sakit karena luka tusuk, kehilangan putrinya sewaktu dulu membuat Lena berlebihan dalam kekhawatirannya. Tubuhnya berkeringat dingin, bahkan ia juga begitu ketakutan sambil mengumamkan nama putrannya.
"Tenanglah, sebentar lagi kita akan sampai. Aku yakin putra kita baik-baik saja," Rizal tak mampu melihat kekhawatiran istrinya yang sudah terlalu menyulitkan dirinya sendiri, trauma itu masih terus menghantui istrinya meskipun belasan psikiater telah merawatnya.
"Marshel, Marshel baik-baik saja! Dia hanya bercanda dengan kita kan yah," tanya Lena yang ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Rizal tak lagi menyahuti istrinya, karena sebanyak apapun ia menjelaskan situasinya sebanyak itu juga istrinya akan menerima ketakutannya. Hanya pelukan yang saat ini dapat diberikannya, dekapan sayang yang dengan tulus ia curahkan untuk pemilik hatinya.
Tanpa diduga, sesampainya dikamar rawat ternyata
Sabrina sudah sadar dan Antonio segera meminta dokter untuk memeriksa kondisi istrinya secara menyeluruh, termasuk keadaan otaknya yang sempat mendapat perhatian khusus dari dokter."Bagaimana hasilnya dok," tanya Nio yang didampingi Rizal diruang dokter."Sesuai dengan apa yang anda curigai tuan, istri anda memang mengalami hilang ingatan. Dan ini cukup serius," ucap dokter."Maksut dokter gimana ya," tanya Rizal."Kondisi ini sudah berangsur-angsur sangat lama bagi pasien pak, untuk masa pemulihan ini sendiri tidak bisa dilakukan secara cepat karena akan berbahaya.""Maksud dokter gimana ya, saya nggak paham. Apa yang akan terjadi pada istri saya jika kami memaksakan ingatannya?""Maka anda hanya akan menyiksa istri anda tuan dan itu bisa berakhir dengan kematiannya."Dada Nio tiba-tiba terasa sangat sesak saat mendengar kata kematian yang diucapkan oleh dokter, ia ingin sekali membantu Sabrina kembali mengingat keluarganya dan kemb
Syan begitu senang karena Aldo selalu memperhatikannya, bahkan tak jarang suaminya itu begitu memanjakan dirinya. Kini apapun yang diinginkan Syan pasti akan dipenuhi, dan juga kini hubungan Aldo dengan Sabrina menjauh semenjak ulah Carisa."Sayang aku pengen makan buah semangka deh, tapi semangkanya yang ada dideket kampus kamu itu," pinta Syan sambil mengelus perut buncitnya."Iya, tapi nanti ya habis kuliah belinya. Hari ini aku ada kuis dikelas," sahut Aldo yang tengah sibuk mengenakan sepatunya."Okelah, tapi belinya tiga ya?""Sekalian tokonya juga bakal aku beliin," canda Aldo yang membuat Syan tersipu malu.Aldo mengecup pipi istrinya lalu keluar dari dalam kamar dan segera melesat menuju kampusnya. Akibat kehebohan tempo hari, kini semua anak kampus tahu jika Aldo sudah menikah dan segera memiliki anak."Sebenarnya Syan itu manis juga anaknya, kalau nggak dipengaruhin orang tuanya juga baik," gumam Aldo sambil berkendara
Lastri murka, apa yang baru saja didengarnya membuat amarahnya memuncak seketika. Bagaimana bisa cucu kandungnya enggak memanggilnya nenek, tapi kini malah memanggil orang asing sebagai neneknya."Jangan keterlaluan kamu Nio," murka Lastri yang langsung mendatangi Nio dan mencengkeram kerah bajunya dengan begitu erat."Coba nyonya Lastri katakan, apa yang saya lakukan hingga menurut anda keterlaluan," santainya bertanya."Kamu, kalian semua mempengaruhi cucu saya! Cucu kandung saya, dia Sasa itu cucu saya," teriaknya marah."Siapa juga yang mengatakan Sasa itu bukan cucu anda?""Kelewatan kamu Nio, saya bersumpah saya akan mengambil Sasa bagaimanapun caranya," matanya dengan tajam menatap Nio yang hanya tersenyum melihat kemarahannya."Penjagaaa," teriak Nio dengan lantangnya namun ekspresinya masih sama.Tiga orang laki-laki datang pada tuannya, dengan tubuh gagahnya mereka berdiri dan siap menerima perintah dari tuan mudanya. Lastri
Lastri tak tahu lagi bagiamana cara menghadapi putrinya itu, rasanya ia tak yakin jik putrinya itu pernah melahirkan seorang bayi dari rahimnya sendiri."Apa salahku sampai putriku gila seperti ini," gumamnya yang berjalan mondar-mandir didalam kamarnya."Aku harus menyusun rencana lagi untuk mengambil Sasa dari mereka semua. Bagaimanapun caranya Sasa harus tinggal bersama saya, saya nenek kandungnya," tekannya dengan penuh amarah.Sudah hampir dua minggu setelah kejadian tersebut, hari-hari Sabrina selalu berseri-seri terlebih saat ini ada Lena, Rizal juga Marshel yang selalu ada menemaninya. Hari-harinya selama didalam kampus pun tak ada yang mengkhawatirkan, hingga dua pengawalnya kini tak perlu menungguinya didepan kelasnya.Namun hal dalam waktu dua minggu itu Nio masih terus mencari bukti dalang dari apa yang dialami istrinya. Ia yakin jika ini adalah ulah Max, tapi karena tak ada bukti yang mengarah padanya makan Nio juga tak bisa menuduhnya secara
Syan hari in tak pergi kekampusnya, entah mengapa ia malas sekali melakukan kegiatan apapun hari ini. Setiap kali Aldo memintanya mandi ia akan menolaknya dengan alasan janin yang dikandungnya, seperti saat ini juga saat Carisa memintanya mandi ia masih menggunakan alasan yang sama untuk menolaknya."Ma, papa kemana? Kok aku belum lihat papa dari semalam," tanya Syan pada mamanya."Papa kamu ada perjalanan bisnis, " sahutnya sambil menyuapi anaknya makan."Berapa lama kali ini mah.""Katanya cuma sebulan aja.""Oh."Tapi tanpa Carisa tahu ternyata suami bukan hanya melakukan perjalanan bisnis seperti yang diucapkan, Max kali ini juga pergi mengunjungi istri keduanya Irma.Sudah 5 tahun ternyata Max mengkhianati pernikahannya dengan Carisa, tanpa sepengetahuan Carisa ia melakukan pernikahan kedua dengan Irma dan memiliki seorang putri dari pernikahan tersebut."Berapa lama kali ini kamu bersama kami," tanya Irma saat menik
Selly terus saja mengawasi anaknya dari kejauhan, dan sesuai dengan rencana dari sang mama jika hari ini ia akan menjemput Sasa dan membawanya pergi bersama. Ia terus menunggu diseberang sekolah, berharap Antonio segera pergi dan ia bisa mendekati anaknya."Brengsek, kenapa nggak pergi juga sih. Panas," keluhnya mengipasi wajahnya dengan tangan.Lama menunggu akhirnya mereka semua pergi juga, Bulan yang pada awalnya ingin menemani cucunya sekolah terpaksa membatalkan niatnya. Ia harus pergi bersama Darma suaminya untuk menghadiri perjamuan di Bandung hari ini juga."Papi nanti turunin aku didepan aja, supir perusahaan udah jemput juga kok," ucap Nio."Ehm, " singkat Darma.Sasa mengikuti kelasnya dengan patuh seperti biasanya, namun entah mengapa ditengah pelajaran ia menangis dan menjadi ketakutan sendiri. Sang guru berusaha menenangkannya namun Sasa justru menangis dan menghindarinya."Telpon orang tuannya saja bu," ucap guru yang lainnya.
"Dia anak saya!"Ucapan Selly menekankan status dirinya bagi Sasa, semua guru hanya bisa menatap mereka bedua. Tak satupun dari mereka yang berani melerai saat melihat sorot membunuh dari Selly pada Sabrina."Anda salah orang, Sasa adalah anak saya! Lepaskan tangan anda dari saya," balas Sabrina.Selly tak menghiraukan ucapan Sabrina, ia malah dengan sengaka mengeratkan cengkramannya hingga Laisa memekik kesakitan. Sasa marah melihat mamanya diperlakukan kasar."Lepaskan mama aku," teriaknya sambil memukuli tangan Selly."Saya mama kamu, bukan dia," bentak Selly."Jangan berani membentak anak saya, anda hanya beruntung saja bisa melahirkan dia," lirihnya namun menekan setiap katanya."Akhhhhh," teriak Selly saat Sasa menggigit tangannya."Tolong perketat penjagaan sekolah ini, saya hanya tidak ingin suami saya memindahkan anak saya ke sekolah lain," pesannya sebelum membawa Sasa keluar."Nyonya Sabrina kalau marah serem
Selly terdiam dan hanya menuruti kemana mereka ingin membawanya, pisau itu masih sangat nyaman berada dipinggangnya."Stop," seru laki-laki tersebut.Selly menghentikan mobilnya, ia bahkan tak bisa menggerakan kepalanya karena rasa takutnya. Tubuhnya bergetar hebat, namun ia terus menahannya agar tak terlalu terlihat."Siapa kalian ini, apa yang kalian mau dari saya?""Cukup mudah. Jangan pernah mengusik nona kami. Perhatikan sikap anda, jangan sampai kita bertemu lagi.""Siapa nona kalian, apa hak dia melarang saya," kesalnya yang tersulut emosi.Laki-laki itu menusukkan ujung pisaunya hingga membuat Selly mendesis kesakitan. Tangannya mencengkeram kuat kemudinya, matanya terpejam untuk mereda rasa sakit yang kini dirasakannya."Baik, baik. Saya tidak akan menganggu nona kalian lagi.""Ingat kata-kata anda ini.""Iya, saya tahu.""Kita pergi sekarang," serunya yang diikuti oleh para anak buahnya kelua