Angin malam menyusup masuk dari celah pintu kayu yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rumah tua itu sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar bersahutan. Di luar, gelap menguasai halaman karena lampu jalanan dan teras mati, meninggalkan bayangan pekat. Amel berdiri kaku di ruang tamu sederhana, dadanya terasa sesak. Tubuhnya membeku ketika langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang. Sebuah tangan menahan pintu, mencegahnya menutup. Jonathan berdiri di sana, tersenggal seolah baru saja berlari menembus malam. Bahunya naik-turun, sorot matanya meski lelah, tapi tak bisa menyembunyikan emosi yang menusuk. “Amel,” panggil Jonathan, suaranya serak, tapi tegas. “Aku selalu bisa menemukanmu.” Lutut Amel hampir kehilangan daya ketika tatapan tajam pria itu menembus dirinya, seolah menelanjangi segala pertahanannya. Pintu kayu yang rapuh masih ditahannya, berderit pelan saat Amel berusaha menutupnya, tapi sia-sia—tenaga
Satu jam kemudian. Berita tentang Jonathan memenuhi layar televisi dan media online. [Jonathan Sailendra, Direktur utama Sailendra Corp, resmi mengundurkan diri setelah tersandung skandal yang mengguncang dunia bisnis. Dewan direksi menyatakan langkah ini perlu diambil untuk menjaga stabilitas perusahaan.]Di dalam sebuah taksi yang melaju meninggalkan kawasan apartemen mewah, Amel menatap layar ponselnya. Wajahnya memucat, ia menekan bibirnya, menahan isak meski air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Segalanya telah rusak. Dirinya bahkan Jonathan yang telah kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena pergi saat semuanya diambil darimu,” gumam Amel. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di pangkuan. Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela, menatap gedung-gedung besar yang berlari mundur dengan cepat. Penthouse megah yang begitu ia banggakan kini hanya meninggalkan luka. Ia tak sanggup lagi menetap di sana.Tiga jam perjalanan ia habiskan dalam diam, hingga akhirnya, taksi i
Pagi itu, kantor pusat Sailendra seperti sarang lebah yang terusik. Semua orang sibuk berbisik, menatap layar ponsel, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah penuh tanya ketika Jonathan melintas. Langkah Jonathan terasa berat saat memasuki lobi. Ia bisa merasakan tatapan menusuk dari karyawan-karyawannya. Beberapa pura-pura sibuk menunduk, sebagian lain saling berbisik, jelas membicarakannya. Ponselnya tak berhenti bergetar—panggilan, pesan, notifikasi berita. Foto-foto itu sudah menghiasi portal bisnis dan media gosip, lengkap dengan judul sensasional. Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut tak kalah dengan Jonathan yang baru saja tiba.“Selama empat hari ketidakhadiranmu mereka sudah mengajukan petisi pemecatanmu,” ucapnya, nada suaranya berat.Jonathan membuang napas kasar, kepalanya menunduk sesaat. “Aku tahu.”Raden gelisah, langkahnya maju setengah. “Ini sangat buruk. Mereka mungkin akan menendangmu keluar hari ini juga.”Jonathan mengangguk pelan, sorot matanya menaja
Amel baru saja selesai melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Tangannya bekerja cepat, meski hatinya terasa semakin berat. Saat pintu utama terdengar terbuka lalu tertutup pelan, Amel tahu Jonathan sudah kembali. Ia tak ingin tahu kemana pria itu pergi hingga selarut ini. Dalam benaknya hanya ada satu jawaban yang membuat dadanya kembali remuk: pasti ia menemui wanita itu.Air matanya menggenang, tapi tangannya tetap bergerak memasukan baju terakhir sebelum menutup koper dengan satu hentakan tegas. Ia mendorong koper itu ke sudut ruangan. “Aku tidak pernah menyangka, dia akan tega melakukan itu padaku,” gumam Amel parau. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca. Amel sudah mantap dengan keputusannya, ia harus pergi. Ia tak sanggup lagi berada di bawah atap yang sama dengan Jonathan. Hatinya sudah terlalu hancur. Namun lamunannya buyar ketika ponselnya di atas meja bergetar. Sekali, dua kali, lalu berderet tanpa henti. Notifikasi memenuhi layar, seolah tak memberinya
Jonathan membeku. Ia menggeleng cepat, seolah menolak kata demi kata yang masuk ke telinganya.“Jangan katakan itu, Amel.”Ia melangkah maju, berdiri di hadapan Amel. Tangannya terulur, meraih tangan Amel menggenggamnya begitu erat hingga gadis itu meringis menahan sakit.“Jangan lakukan ini padaku, Amel. Aku sangat mencintaimu. Jangan memintaku menceraikanmu. Aku tidak bisa melakukannya,” ujar Jonathan parau, nyaris putus asa. Amel menghentakkan tangannya, melepaskan genggaman Jonathan dengan kasar.“Jonathan, aku sudah tidak ingin menjadi istrimu lagi. Jadi lebih baik kita bercerai. Aku akan urus surat cerainya!” Matanya bergetar hebat, namun ada keteguhan di dalamnya. “Tolong hargai keputusanku.”Jonathan menggeleng kuat, wajahnya memucat, napasnya tersengal. “Tidak, Amel… jangan katakan itu.” Suaranya pecah, hampir memohon. “Aku tidak sanggup kalau harus berpisah darimu.”Ia memegangi kedua tangan Amel lagi meski gadis itu berusaha menyingkir. Tubuh Jonathan bergetar hebat, matan
Amel segera menarik tangannya kasar. “Berhenti menyentuhku!” suaranya melengking di ruangan itu.Jonathan terdiam, tubuhnya membeku. “Amel, jangan seperti ini.”“Lalu aku harus bagaimana?” Amel menatapnya penuh luka. “Anak kita sudah tidak ada… dan aku—aku tidak ingin disentuh olehmu! Kamu menjijikkan!” Ia bahkan mengabaikan luka fisiknya dengan terus memaksa diri berseru nyaring. Jonathan menatap nanar. “Amel—”Amel menggeleng, menahan nyeri di perutnya. “Jangan sebut namaku! Kenapa setiap kali aku mencoba percaya padamu, selalu ada luka baru? Sampai akhirnya aku kehilangan bayiku.”Kata-kata itu membuat dada Jonathan seperti diremuk dari dalam. Ia menunduk, menahan air mata yang hendak jatuh.“Aku tidak ingin melihat wajahmu, jadi tolong pergi dari sini!”Amel memalingkan wajah, menutup matanya rapat. Air mata tetap mengalir deras di pipinya. Dalam hati ia menjerit, merindukan kehangatan yang sama dari pria di hadapannya, tapi luka pengkhianatan dan kehilangan terlalu dalam untuk m