Home / Romansa / Mendadak jadi istri kakak tiriku / Bab 4. Pengakuan Marcell

Share

Bab 4. Pengakuan Marcell

Author: Ralonya
last update Last Updated: 2025-05-31 21:32:49

Amel menunduk, menatap jemarinya yang gemetar.  Suaranya pelan, nyaris hanya bisikan di antara jarak keduanya.

“Kalau aku mulai berharap…” napasnya bergetar, “aku takut aku akan lupa bagaimana rasanya membencimu.”

Tatapan Jonathan melunak, seolah ingin merangkul semua ketakutan yang memenuhi dada gadis itu.

“Aku tidak pernah ingin kamu membenciku,” ucap Jonathan lirih.

Amel mendongak. Mata mereka bertemu. “Tapi kalau aku tidak membencimu… aku tidak tahu lagi apa yang akan tersisa di dalam diriku.”

Jonathan mendekat, mengangkat tangannya perlahan, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Amel. Sentuhannya begitu hati-hati, seperti takut gadis itu akan hancur di bawah jemarinya.

“Aku tidak akan memaksamu memaafkanku. Tapi izinkan aku menebus semuanya… walau hanya sedikit.” 

Tatapan Jonathan bukan lagi hanya rasa bersalah, tapi sesuatu yang lebih dalam—lebih lembut.

Amel meremas ujung baju yang ia kenakan, seolah itu satu-satunya yang bisa menahan semua yang berkecamuk dalam dirinya.

“Dan kalau pada akhirnya aku jatuh hati padamu?” suaranya nyaris pecah.

Jonathan menarik napas perlahan. Ia mendekat hingga nyaris bersentuhan.

“Maka aku akan bertanggung jawab,” bisiknya di antara helaan napas yang tercampur. “Dan aku berjanji… aku tidak akan pernah melepaskanmu.”

 “Lalu bagaimana dengan Fidya?” 

Jonathan terdiam, kejadian tadi saat menemui wanita itu kembali berputar. Teriakan, tangisan, dan permohonan putus asa terekam jelas, kembali mencabik hatinya, namun keputusannya telah bulat. Malam itu dia meyakini Fidya kalau dia tidak bisa menceraikan Amel dan menyuruh wanita itu pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Terdengar egois, namun begitulah keadaan yang harus mereka jalani. 

“Aku sudah melepasnya pergi.” Suara itu terdengar berat. Amel paham, Jonathan juga butuh waktu. “Disaat aku menyebut namamu di altar, aku telah berjanji pada sang pencipta, kalau kamu adalah seumur hidupku.”

Untuk pertama kalinya sejak malam itu, hatinya tidak hanya penuh luka—tapi juga sesuatu yang samar, hangat, dan menakutkan.

Dan saat bibir Jonathan menyentuh ujung alisnya dengan kecupan ringan, ia merasa seakan seluruh benteng yang susah payah ia bangun… retak pelan-pelan.

**

Suasana setelah sarapan tetap sunyi. Keheningan di tiap sudut membawa ketenangan semu bagi Amel yang berdiri di balkon. Angin pagi membelai wajahnya lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar dari kebun anggur di bawah sana. 

 Langkah kaki menghentak pelan di belakangnya, mengusik ruang hening yang ia ciptakan. Amel menoleh cepat, dan mendapati sosok yang membuatnya ingin bersembunyi: Marcell. 

 “Gimana rasanya jadi nyonya Sailendra, adik tiriku?” Suaranya datar, namun ada sengatan sinis di balik senyum miringnya. 

 Amel menegang. Napasnya tercekat. “Maaf, kak?” 

 Marcell mendekat perlahan, aura tidak menyenangkan menguap dari setiap gerakannya. “Gadis polos sepertimu ternyata cukup pintar menjebak. Aku kira kamu cuma bocah penurut yang suka menunduk waktu Jonathan bicara. Tapi ternyata, kamu juga bisa telanjang di depannya.” 

 Ucapannya menusuk harga diri Amel. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. 

 “Jangan sok tahu,” katanya pelan, mengandung getir yang ditahan. “Kakak tidak tahu apa yang terjadi malam itu!” 

 “Oh?” Marcell menyeringai. “Kalau begitu, tunjukkan padaku. Biar aku lihat sendiri seberapa polos kamu sebenarnya.” Tangan Marcell mencengkram lengan Amel keras, membuat gadis itu meringis tertahan. 

 “Sakit! Kak Marcell, lepas!” Tangis kecil mulai menggumpal di tenggorokannya, namun matanya mencoba tetap tegar. 

 “Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu itu!” geram Marcell. Tatapannya tajam, sedingin es kutub yang tak tersentuh empati. 

 “APA YANG KAU LAKUKAN, MARCELL!” 

 Suara itu meledak dari arah pintu. Jonathan bergegas, mendorong tubuh Marcell menjauh hingga cengkramannya terlepas. Amel langsung memegangi tangannya yang memerah, menahan isakan yang hampir lolos dari bibir gemetarnya. 

 Jonathan menatap adiknya dengan tatapan yang siap membunuh. “Apa-apaan kamu, huh?” 

 “Oh, santai. Aku cuma mau... bersenang-senang,” jawab Marcell ringan, seolah tidak ada yang salah. 

 “Bukan begini caranya!” 

 “Lalu bagaimana? Mengajaknya ke ranjang juga?” 

 “MARCELL!” Suara Jonathan meledak. Tapi bukan Marcell yang tersentak, melainkan Amel. Matanya membelalak seolah tak percaya, tubuhnya mundur selangkah. 

 Jonathan berbalik cepat. “Amel, masuk ke kamar sekarang juga.” Amel tidak menjawab. Ia menunduk dan segera pergi, seperti bayangan yang tertiup angin. 

 Setelah gadis itu menghilang di balik pintu, Marcell terkekeh pelan. “Bagaimana rasanya menikahi adik tiri kita?” tanyanya dengan nada menjijikkan. 

 Wajah Jonathan menegang, rahangnya mengeras. Ia menahan diri dengan susah payah. 

 “Tenang. Aku cuma bertanya. Atau... hormon kehamilannya sudah bikin kamu gampang tersulut?” 

 Jonathan nyaris kehilangan kendali. “Berhenti mengoceh omong kosong. Lebih baik siapkan dirimu untuk kerja. Jangan habiskan waktu di Bar dengan para wanita.” 

 Marcell tertawa. “Setidaknya aku tidak sampai menghamili gadis random di luar sana!” 

 Tinju Jonathan mengepal keras. Satu detik lagi, dan ia akan mendaratkannya ke wajah Marcell. 

 Marcell tertawa, keras dan mengejek, lalu menepuk bahu Jonathan seperti sedang menyampaikan lelucon. “Kamu tahu…” suaranya merendah, tapi nadanya berubah serius—berbeda dari sebelumnya. “Kamu selalu ambil semua yang aku mau… dan sekarang, kamu ambil dia juga.” 

 Jonathan mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” 

 Marcell menatap mata Jonathan lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, tidak ada senyum sinis di wajahnya. Hanya kesepian dan kepahitan yang nyaris tidak terbaca. 

 “Aku suka Amel, Jonathan. Ah, bukan, tapi ingin memilikinya.” 

 Jonathan terdiam. Tubuhnya menegang. 

 Marcell menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, lebih berat, “bahkan sebelum dia jadi adik tiri kita… jauh sebelum kamu mengenalnya. Dan sampai sekarang... rasa itu tidak pernah hilang.” 

 Hening menggantung di antara mereka seperti badai yang belum pecah. Lalu Marcell melangkah menjauh, namun sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sedikit dengan senyum getir di sudut bibirnya. 

 “Hidup itu tidak pernah adil, ya? Kamu punya semuanya. Tapi kali ini, aku tidak akan berdiam diri. Akan kurebut semuanya. Bahkan Amel juga darimu.” 

 **

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 121. Halusinasi

    Hari-hari berlalu. Sudah tiga hari Amel menetap di rumah tuanya itu. Meski hidup sendiri, ia tak pernah benar-benar merasa sendirian. Ada Santi dan beberapa tetangga yang selalu hadir dengan cara-cara sederhana. Setiap pagi, Santi sering menyapanya lebih dulu, sekedar berbincang tentang cuaca atau tanaman di halaman. Siang hari, ia datang sambil membawa sepiring lauk, selalu dengan alasan yang sama yaitu, “Saya masak kebanyakan, Amel. Sayang kalau tidak dimakan.” Sore harinya, Santi kerap mengetuk pintu, mengajak Amel duduk di teras sambil minum teh bersama. Hari ini, Santi memperkenalkan seorang pria paruh baya padanya. “Ini namanya Pak Wawan, Amel. Dia bisa perbaiki kran air kamu yang macet. Katamu semalam air tidak keluar, kan?” ujarnya ringan. Amel tertegun, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbak Santi. Saya sungguh terbantu.” Malam pun tiba. Suasana sedikit ramai berkat suara petugas ronda yang berkeliling sambil menabuh kentongan, membuatnya merasa jauh lebih aman. Ditam

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 120. Perhatian secara diam-diam

    Dari balik pintu yang tertutup rapat, suara Jonathan terdengar parau, “ Aku pergi, tapi tidak untuk bercerai. Karena sampai kapan pun, kamu tetap istriku, Amel.” Amel tersentak. Kedua tangannya perlahan turun dari wajahnya, tapi air mata masih mengalir deras di pipi. Tangisnya mereda, namun kalimat itu seperti stempel yang tak bisa dihapus olehnya. Jonathan tahu kalau gadis itu akan menolak mentah-mentah jika ia muncul terang-terangan untuk menemuinya. Maka, cara satu-satunya hanyalah menjaganya dari jauh. Tanpa Amel sadari. Ia menjual beberapa asetnya, lalu menyuruh orang kepercayaannya mengontrak beberapa rumah kosong yang terbengkalai, hanya agar ada “tetangga” di sekitar Amel. Dari luar terlihat seperti tetangga baru biasa, padahal semua itu hanyalah peran yang ia ciptakan agar Amel tidak lagi terjebak dalam sepi. Orang-orang yang diam-diam disuruh Jonathan sesekali muncul, menyapa, atau sekedar mengobrol ringan dengan Amel. Seperti pagi ini, saat Amel membuka pintu samping r

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 119. Jangan pergi lagi

    Angin malam menyusup masuk dari celah pintu kayu yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rumah tua itu sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar bersahutan. Di luar, gelap menguasai halaman karena lampu jalanan dan teras mati, meninggalkan bayangan pekat. Amel berdiri kaku di ruang tamu sederhana, dadanya terasa sesak. Tubuhnya membeku ketika langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang. Sebuah tangan menahan pintu, mencegahnya menutup. Jonathan berdiri di sana, tersenggal seolah baru saja berlari menembus malam. Bahunya naik-turun, sorot matanya meski lelah, tapi tak bisa menyembunyikan emosi yang menusuk. “Amel,” panggil Jonathan, suaranya serak, tapi tegas. “Aku selalu bisa menemukanmu.” Lutut Amel hampir kehilangan daya ketika tatapan tajam pria itu menembus dirinya, seolah menelanjangi segala pertahanannya. Pintu kayu yang rapuh masih ditahannya, berderit pelan saat Amel berusaha menutupnya, tapi sia-sia—tenaga

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 118. Merindukannya

    Satu jam kemudian. Berita tentang Jonathan memenuhi layar televisi dan media online. [Jonathan Sailendra, Direktur utama Sailendra Corp, resmi mengundurkan diri setelah tersandung skandal yang mengguncang dunia bisnis. Dewan direksi menyatakan langkah ini perlu diambil untuk menjaga stabilitas perusahaan.]Di dalam sebuah taksi yang melaju meninggalkan kawasan apartemen mewah, Amel menatap layar ponselnya. Wajahnya memucat, ia menekan bibirnya, menahan isak meski air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Segalanya telah rusak. Dirinya bahkan Jonathan yang telah kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena pergi saat semuanya diambil darimu,” gumam Amel. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di pangkuan. Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela, menatap gedung-gedung besar yang berlari mundur dengan cepat. Penthouse megah yang begitu ia banggakan kini hanya meninggalkan luka. Ia tak sanggup lagi menetap di sana.Tiga jam perjalanan ia habiskan dalam diam, hingga akhirnya, taksi i

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 117. Mari hancur bersama

    Pagi itu, kantor pusat Sailendra seperti sarang lebah yang terusik. Semua orang sibuk berbisik, menatap layar ponsel, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah penuh tanya ketika Jonathan melintas. Langkah Jonathan terasa berat saat memasuki lobi. Ia bisa merasakan tatapan menusuk dari karyawan-karyawannya. Beberapa pura-pura sibuk menunduk, sebagian lain saling berbisik, jelas membicarakannya. Ponselnya tak berhenti bergetar—panggilan, pesan, notifikasi berita. Foto-foto itu sudah menghiasi portal bisnis dan media gosip, lengkap dengan judul sensasional. Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut tak kalah dengan Jonathan yang baru saja tiba.“Selama empat hari ketidakhadiranmu mereka sudah mengajukan petisi pemecatanmu,” ucapnya, nada suaranya berat.Jonathan membuang napas kasar, kepalanya menunduk sesaat. “Aku tahu.”Raden gelisah, langkahnya maju setengah. “Ini sangat buruk. Mereka mungkin akan menendangmu keluar hari ini juga.”Jonathan mengangguk pelan, sorot matanya menaja

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 116. Foto yang tersebar luas

    Amel baru saja selesai melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Tangannya bekerja cepat, meski hatinya terasa semakin berat. Saat pintu utama terdengar terbuka lalu tertutup pelan, Amel tahu Jonathan sudah kembali. Ia tak ingin tahu kemana pria itu pergi hingga selarut ini. Dalam benaknya hanya ada satu jawaban yang membuat dadanya kembali remuk: pasti ia menemui wanita itu.Air matanya menggenang, tapi tangannya tetap bergerak memasukan baju terakhir sebelum menutup koper dengan satu hentakan tegas. Ia mendorong koper itu ke sudut ruangan. “Aku tidak pernah menyangka, dia akan tega melakukan itu padaku,” gumam Amel parau. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca. Amel sudah mantap dengan keputusannya, ia harus pergi. Ia tak sanggup lagi berada di bawah atap yang sama dengan Jonathan. Hatinya sudah terlalu hancur. Namun lamunannya buyar ketika ponselnya di atas meja bergetar. Sekali, dua kali, lalu berderet tanpa henti. Notifikasi memenuhi layar, seolah tak memberinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status