Amel menunduk, menatap jemarinya yang gemetar. Suaranya pelan, nyaris hanya bisikan di antara jarak keduanya.
“Kalau aku mulai berharap…” napasnya bergetar, “aku takut aku akan lupa bagaimana rasanya membencimu.” Tatapan Jonathan melunak, seolah ingin merangkul semua ketakutan yang memenuhi dada gadis itu. “Aku tidak pernah ingin kamu membenciku,” ucap Jonathan lirih. Amel mendongak. Mata mereka bertemu. “Tapi kalau aku tidak membencimu… aku tidak tahu lagi apa yang akan tersisa di dalam diriku.” Jonathan mendekat, mengangkat tangannya perlahan, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Amel. Sentuhannya begitu hati-hati, seperti takut gadis itu akan hancur di bawah jemarinya. “Aku tidak akan memaksamu memaafkanku. Tapi izinkan aku menebus semuanya… walau hanya sedikit.” Tatapan Jonathan bukan lagi hanya rasa bersalah, tapi sesuatu yang lebih dalam—lebih lembut. Amel meremas ujung baju yang ia kenakan, seolah itu satu-satunya yang bisa menahan semua yang berkecamuk dalam dirinya. “Dan kalau pada akhirnya aku jatuh hati padamu?” suaranya nyaris pecah. Jonathan menarik napas perlahan. Ia mendekat hingga nyaris bersentuhan. “Maka aku akan bertanggung jawab,” bisiknya di antara helaan napas yang tercampur. “Dan aku berjanji… aku tidak akan pernah melepaskanmu.” “Lalu bagaimana dengan Fidya?” Jonathan terdiam, kejadian tadi saat menemui wanita itu kembali berputar. Teriakan, tangisan, dan permohonan putus asa terekam jelas, kembali mencabik hatinya, namun keputusannya telah bulat. Malam itu dia meyakini Fidya kalau dia tidak bisa menceraikan Amel dan menyuruh wanita itu pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Terdengar egois, namun begitulah keadaan yang harus mereka jalani. “Aku sudah melepasnya pergi.” Suara itu terdengar berat. Amel paham, Jonathan juga butuh waktu. “Disaat aku menyebut namamu di altar, aku telah berjanji pada sang pencipta, kalau kamu adalah seumur hidupku.” Untuk pertama kalinya sejak malam itu, hatinya tidak hanya penuh luka—tapi juga sesuatu yang samar, hangat, dan menakutkan. Dan saat bibir Jonathan menyentuh ujung alisnya dengan kecupan ringan, ia merasa seakan seluruh benteng yang susah payah ia bangun… retak pelan-pelan. ** Suasana setelah sarapan tetap sunyi. Keheningan di tiap sudut membawa ketenangan semu bagi Amel yang berdiri di balkon. Angin pagi membelai wajahnya lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar dari kebun anggur di bawah sana. Langkah kaki menghentak pelan di belakangnya, mengusik ruang hening yang ia ciptakan. Amel menoleh cepat, dan mendapati sosok yang membuatnya ingin bersembunyi: Marcell. “Gimana rasanya jadi nyonya Sailendra, adik tiriku?” Suaranya datar, namun ada sengatan sinis di balik senyum miringnya. Amel menegang. Napasnya tercekat. “Maaf, kak?” Marcell mendekat perlahan, aura tidak menyenangkan menguap dari setiap gerakannya. “Gadis polos sepertimu ternyata cukup pintar menjebak. Aku kira kamu cuma bocah penurut yang suka menunduk waktu Jonathan bicara. Tapi ternyata, kamu juga bisa telanjang di depannya.” Ucapannya menusuk harga diri Amel. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. “Jangan sok tahu,” katanya pelan, mengandung getir yang ditahan. “Kakak tidak tahu apa yang terjadi malam itu!” “Oh?” Marcell menyeringai. “Kalau begitu, tunjukkan padaku. Biar aku lihat sendiri seberapa polos kamu sebenarnya.” Tangan Marcell mencengkram lengan Amel keras, membuat gadis itu meringis tertahan. “Sakit! Kak Marcell, lepas!” Tangis kecil mulai menggumpal di tenggorokannya, namun matanya mencoba tetap tegar. “Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu itu!” geram Marcell. Tatapannya tajam, sedingin es kutub yang tak tersentuh empati. “APA YANG KAU LAKUKAN, MARCELL!” Suara itu meledak dari arah pintu. Jonathan bergegas, mendorong tubuh Marcell menjauh hingga cengkramannya terlepas. Amel langsung memegangi tangannya yang memerah, menahan isakan yang hampir lolos dari bibir gemetarnya. Jonathan menatap adiknya dengan tatapan yang siap membunuh. “Apa-apaan kamu, huh?” “Oh, santai. Aku cuma mau... bersenang-senang,” jawab Marcell ringan, seolah tidak ada yang salah. “Bukan begini caranya!” “Lalu bagaimana? Mengajaknya ke ranjang juga?” “MARCELL!” Suara Jonathan meledak. Tapi bukan Marcell yang tersentak, melainkan Amel. Matanya membelalak seolah tak percaya, tubuhnya mundur selangkah. Jonathan berbalik cepat. “Amel, masuk ke kamar sekarang juga.” Amel tidak menjawab. Ia menunduk dan segera pergi, seperti bayangan yang tertiup angin. Setelah gadis itu menghilang di balik pintu, Marcell terkekeh pelan. “Bagaimana rasanya menikahi adik tiri kita?” tanyanya dengan nada menjijikkan. Wajah Jonathan menegang, rahangnya mengeras. Ia menahan diri dengan susah payah. “Tenang. Aku cuma bertanya. Atau... hormon kehamilannya sudah bikin kamu gampang tersulut?” Jonathan nyaris kehilangan kendali. “Berhenti mengoceh omong kosong. Lebih baik siapkan dirimu untuk kerja. Jangan habiskan waktu di Bar dengan para wanita.” Marcell tertawa. “Setidaknya aku tidak sampai menghamili gadis random di luar sana!” Tinju Jonathan mengepal keras. Satu detik lagi, dan ia akan mendaratkannya ke wajah Marcell. Marcell tertawa, keras dan mengejek, lalu menepuk bahu Jonathan seperti sedang menyampaikan lelucon. “Kamu tahu…” suaranya merendah, tapi nadanya berubah serius—berbeda dari sebelumnya. “Kamu selalu ambil semua yang aku mau… dan sekarang, kamu ambil dia juga.” Jonathan mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Marcell menatap mata Jonathan lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, tidak ada senyum sinis di wajahnya. Hanya kesepian dan kepahitan yang nyaris tidak terbaca. “Aku suka Amel, Jonathan. Ah, bukan, tapi ingin memilikinya.” Jonathan terdiam. Tubuhnya menegang. Marcell menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, lebih berat, “bahkan sebelum dia jadi adik tiri kita… jauh sebelum kamu mengenalnya. Dan sampai sekarang... rasa itu tidak pernah hilang.” Hening menggantung di antara mereka seperti badai yang belum pecah. Lalu Marcell melangkah menjauh, namun sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sedikit dengan senyum getir di sudut bibirnya. “Hidup itu tidak pernah adil, ya? Kamu punya semuanya. Tapi kali ini, aku tidak akan berdiam diri. Akan kurebut semuanya. Bahkan Amel juga darimu.” **Lampu-lampu kota memantul di kaca, memecah cahaya jadi bias yang tak jelas bentuknya. Amel duduk bersandar di ranjang, tubuhnya letih, matanya sembab. Baru saja dia habiskan beberapa sendok nasi yang ditawarkan oleh Marcell. Cukup dengan paksaan hingga dia mau membuka mulut untuk makan. Setelah perdebatan panjang, pria itu mengalah. Dia meletakan sendok makan di dalam piring yang nasi dan lauknya masih tersisa banyak. “Bagaimana perutmu, masih nyeri?” tanya Marcell memecah keheningan. Amel menggeleng lirih. Tatapannya masih kosong, menatap jendela yang mengelap. “Kalau sakit bilang padaku, jangan ditahan,” ucap Marcell lagi, tapi Amel tak menanggapi. Lalu pintu kamar terbuka pelan, Jonathan berdiri di ambang. Wajahnya lelah, napasnya terdengar berat seakan ia berlari menuju ke sini. “Amel?” panggilnya pelan. Sudut matanya menangkap Marcell yang duduk di samping ranjang. Wajah itu begitu tenang penuh kemenangan. Amel membiarkan pria itu masuk dengan tergesa. Seperti dugaannya, pr
Senja merambat pelan di jendela kamar rawat. Cahaya jingga memantul di lantai keramik, menimbulkan kesan sepi yang mendalam. Sudah lebih dari sembilan jam sejak Jonathan berpamitan pagi tadi. Katanya akan kembali saat jam makan siang, tapi kini malam hampir jatuh, pria itu belum juga datang. Hanya siang tadi Laura sempat berkunjung untuk membawa makan siang lalu pulang sejam yang lalu. Kata Laura Jonathan telah meninggalkan kantor sejak siang. Amel meremas sudut selimut, menatap kosong meja kecil tempat sup ayam tadi pagi—seolah jejak perhatian kecil itu kini hanya ilusi. Ia menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan, mencoba menghibur diri. Mungkin Jonathan sedang sibuk. Atau ada kerjaan di luar kantor dan belum sempat menemuinya sesuai janji.Lalu ponselnya bergetar di meja. Jantungnya berdegup kencang saat tangannya meraih benda pipih itu. Ada secercah harapan di sana kalau denting notifikasi itu adalah milik Jonathan. Namun yang dia dapati adalah notifikasi portal gosip digit
Pintu kamar itu sudah menutup beberapa menit lalu, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Amel masih menatap daun pintu, seolah di baliknya Jonathan akan muncul lagi membawa sesuatu yang pasti. Namun yang tersisa hanya sisa aroma sup ayam dan jejak langkah yang tak akan kembali dalam waktu dekat.Di pangkuannya, kartu kecil dengan tulisan tangan itu masih tergenggam erat. Entah bagaimana, satu kalimat sederhana itu sedikit meredam perasaannya yang telah remuk. Ia menarik napas, menunduk. Tapi sebelum ia sempat memulihkan diri, suara ketukan kembali terdengar. Pelan, tapi jelas.Amel menoleh cepat—ada sedikit harap yang tak mau padam. Namun yang muncul bukan Jonathan. Sosok tinggi bersetelan hitam itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata gelap yang tak pernah bisa ia terka sepenuhnya.Marcell.Sekilas, wajahnya tampak lebih letih dari biasanya. Namun ada ketenangan dingin di sana—ketenangan yang selalu membuat Amel merasa antara aman dan takut.“Aku boleh masuk?” t
Ucapan tegas itu membuat suasana sempat membeku. Amel kehilangan kata-katanya. Hanya ada kepedihan di sana, karena ia sadar, apa pun yang dipilih Jonathan nanti, hatinya sudah terlanjur retak.Marcell menatap kakaknya dengan sorot tajam yang dingin siap merebut segalanya. Jonathan diam, rahangnya menegang. Matanya menatap lurus, tapi pandangannya tak lagi setegas biasanya. Ada kekalahan di sana.“Kamu pikir kamu siapa harus ikut campur terlalu dalam!” seru Jonathan.Marcell tidak mengalihkan tatapannya. “Aku hanya menawarkan bantuan. Kalau saja Amel ingin dia bisa datang padaku.”“Dia tidak akan!”“Oh, sungguh?” Marcell mengangkat alis. Lalu menatap Amel. “Kamu masih ingat apa yang aku katakan padamu? Kamu bisa datang padaku kapanpun kamu mau. Aku hanya ada untukmu.” Di balik air matanya, Amel menatap dua pria itu. Dua pria dewasa yang sama-sama mengaku ingin menjaganya, tapi dengan cara yang membuatnya sesak. “Tolong berhenti… kalian berdua.” Suaranya bergetar “Amel—”“Cukup!” ser
Pintu kamar itu terbuka pelan. Amel menoleh menatap sayu sosok yang muncul di sana. Kehadirannya menyesakkan—bukan hanya karena semua luka lama yang ikut masuk bersamanya, tapi karena setitik harapan bodoh yang masih disimpan di sudut hatinya. Jonathan mendekat. “Bagaimana keadaanmu?” suaranya pelan, hampir lembut. “Kamu datang untuk apa?” Amel menyambutnya dengan suara tidak mengenakan. Parau dan dingin. Senyum tipis yang sempat muncul di wajah Jonathan pun pudar. “Amel, ada apa?” Amel menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Kamu pura-pura bodoh atau bagaimana?” tanyanya. Tenggorokannya tercekat. “Kamu benar-benar akan bersikap tidak tahu apapun?” Jonathan mendekat ke sisi ranjang. “Amel, aku tidak paham maksudmu. Apa yang terjadi?” Matanya menelusuri wajah istrinya yang pucat, matanya bengkak. “Kamu habis menangis?” Amel menghindar saat Jonathan hendak menyentuh pipinya. “Kamu tahu betapa hancurnya aku hari ini?” suaranya meninggi. “Ada apa, Amel?” Jonathan semaki
Cahaya matahari menembus jendela tinggi ruang kerja Sailendra Corp. Memancar begitu berani di tengah pikiran Jonathan yang kacau. Dia berdiri memunggungi meja, di tangannya, laporan investigasi Raden tampak kusut karena cengkeraman yang terlalu erat. Suara Raden terdengar pelan tapi tegas di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi, Marcell memang memanggil beberapa kontak media. Dia bicara dengan dua jurnalis yang dulu dekat dengan Fidya.” Jonathan memejamkan mata, menahan denyut pusing yang menghantam pelipisnya. “Apa yang dia inginkan?” Raden menghela napas. “Aku tidak tahu pasti. Dua jurnalis itu tidak mau memberi informasi apapun meski sudah kuberi tawaran menarik” Hening sejenak. Jonathan menoleh menatap layar komputer di meja. “Dia sepertinya sedang melakukan sesuatu,” ungkapnya. Raden mengangguk pelan. “Dia menemui dua jurnalis itu sebelum berita tentang pernikahan kalian menyebar.” Jonathan menelan ludah. Bukan hanya cemas pada Amel. Tapi juga pada Fidya. Takut ini hany