Home / Romansa / Mendadak jadi istri kakak tiriku / Bab. 5 Perasaan yang kini perlahan berubah

Share

Bab. 5 Perasaan yang kini perlahan berubah

Author: Ralonya
last update Last Updated: 2025-05-31 22:26:28

Jonathan bergegas keluar rumah begitu menerima telepon dari Fidya. Langkahnya cepat, diseret kecemasan—bukan sepenuhnya karena rindu, tapi ketidaksiapan menghadapi kehadirannya yang tiba-tiba. 

  Fidya sudah berdiri di depan rumah Ratna, menyeret koper besar. Begitu melihat Jonathan, ia langsung menghampiri tanpa peduli pandangan sekitar. 

  "Kenapa kamu harus datang ke sini?" seru Jonathan. 

  "Aku bukan kenangan yang bisa kamu lipat, simpan, lalu lupakan. Aku bagian dari hidupmu, Jonathan. Kamu tahu itu," ujar Fidya, tenang, tapi menusuk. "Aku tidak bisa membiarkanmu di sini bersamanya. Kita bisa tinggal di apartemenmu. Aku sudah siap." 

  Jonathan tertawa pahit. "Lucu. Dulu kamu bahkan tidak sudi menginap semalam pun. Sekarang kamu mendadak punya banyak waktu?" 

  "Aku sadar, Jona. Aku telat, tapi aku sadar. Aku ingin memperbaiki semuanya,” ucapnya lebih lembut. "Aku cuti untukmu. Karena aku tidak rela dia mengambilmu dariku, apalagi kalau kamu harus sekamar dengannya." 

  Jonathan memejamkan mata sejenak. Luka itu menganga kembali. "Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah aku sudah menikah?" 

  Belum sempat Fidya menjawab, pintu rumah terbuka. Laura dan Ratna berdiri di ambang, menatapnya dingin. 

  "Apa urusanmu ke rumahku?” Ratna bicara datar, tapi tegas. 

  "Selamat siang, Eyang, Ma." Fidya menyodorkan tangan dengan senyum sopan, tapi Laura berpaling, membuat senyumnya kecut. Tangannya kembali ia tarik. 

  "Pergi dari rumahku. Di sini bukan tempat penampungan yang bisa seenaknya dimasuki orang asing!" usir Ratna. 

  Fidya menarik napas tajam. "Saya bukan orang asing, Eyang. Saya pacar Jonathan selama sembilan tahun. Saya berhak ada di sini!" 

  "Jonathan sudah menikah. Kamu hanya mempermalukan diri sendiri." 

  Fidya mengepal jemarinya. "Menikah karena jebakan! Gadis itu menjerat Jonathan. Kalian tahu siapa Jonathan, bagaimana dia menjaga kehormatan keluarga. Dia tidak akan tidur dengan sembarang wanita... Bagaimana bisa kalian termakan permainan kotor gadis itu?" 

  "Cukup, Fidya!" Jonathan menarik tangan Fidya menjauh. Tapi wanita itu mencabut tangannya kasar. 

  "Aku ingin di sini, Jonathan. Aku tidak rela kalau kamu harus sekamar dengan gadis murahan itu!" 

  "Jaga ucapanmu, Nona Fidya. Yang kamu bilang gadis murahan itu adalah menantuku!" tegur Laura lantang. Fidya cukup terkejut karena ini pertama kalinya dia mendengar Laura menaikan nada suaranya. 

  "Pergi dari rumahku! Kalau kamu masih merengek di sini, akan kupanggil satpam untuk mengusirmu," ancam Ratna. Sorot tajamnya sempat membuat gementar, tapi Fidya tidak akan mundur semudah itu sebelum menarik Jonathan pergi bersamanya. 

  Fidya melirik Jonathan. Pria itu menarik napas, menatap ibunya. "Ma, aku antar Fidya pulang. Aku akan segera kembali." 

  "Tidak!" potong Laura cepat. "Biarkan dia sendiri. Dia bukan tanggung jawabmu." 

  "Ma, hanya sebentar." 

  Senyum tipis mengembang di bibir Fidya. Tapi Ratna memotong dengan tajam. 

  "Hanya sebentar, setelah itu kembali malam ini juga. Aku tidak ingin punya dua menantu darimu. Paham!" 

  Dari balkon lantai atas, Amel melihat semuanya. Telinganya menangkap setiap kalimat—bahkan yang tidak terdengar pun terasa dari sorot mata mereka. Ada rasa yang mencubit dadanya—cemburu, takut, sekaligus marah. Perasaan yang belum pernah dia akui, bahkan pada dirinya sendiri. 

  Ketika mobil Jonathan menjauh, dia menyadari kalau hatinya tidak hanya ingin Jonathan tinggal, tapi juga tidak ingin pria itu dimiliki oleh orang lain. Termasuk Fidya.

Ia mendekap perutnya sendiri, berusaha meredam nyeri yang entah datang dari mana. Ia berjalan masuk ke dalam, menutup pintu balkon, menuju meja rias. Tidak ada satupun obat yang dia miliki di laci.

‘Jangan mengganggunya,’ bisik benaknya. ‘Dia tidak akan suka kalau kamu bersikap manja.’

‘Tapi, bagaimana kalau sakitnya makin parah? Bagaimana kalau Jonathan tidak pulang malam ini?’

Ia menatap ponsel. Jemarinya gemetar. Beberapa detik ia hanya menatap layar kosong, menimbang harga dirinya yang sudah berkali-kali ia telan bulat-bulat. Dengan satu tarikan napas panjang, Amel mengambil ponsel. Menekan kontak yang sudah ia hafal letaknya.

Nada tunggu terdengar. Jantungnya berdetak kencang.

Sekilas, ia membayangkan Jonathan mengabaikan panggilannya. Mungkin dia akan mematikan telepon atau merasa kesal. 

Tapi saat suara Jonathan menjawab, dadanya terasa sedikit lebih lapang.

“Halo?”

Amel menutup mata rapat-rapat, menahan gejolak malu yang menyesak di kerongkongan. Suaranya keluar pelan, nyaris bergetar.

“Kakak di mana?”

“Ada apa?” suara Jonathan terdengar kaku, tapi ia bisa merasakan kekhawatiran tipis di balik nada itu.

Ia menarik napas pelan, berusaha agar suaranya tidak pecah. “Maaf... boleh minta tolong? Perutku sakit. Stok obat habis. Bisa belikan pereda nyeri sebelum pulang?" Ia berharap Jonathan tidak mendengar betapa rapuh nada suaranya. Betapa dia sangat ingin lelaki itu kembali.

Lalu suara Jonathan terdengar lebih jelas, lebih serius.

“Sakit sekali?”

"Masih bisa ditahan, tapi... rasanya sedikit tidak nyaman." 

Di sela jeda itu, ia bisa mendengar suara perempuan lain. Fidya. Suaranya tinggi, menusuk telinga.

“Dia pasti bohong! Supaya kamu pulang!”

Amel menunduk, meremas kuat ponsel itu. Suara Jonathan terdengar lebih tenang, lebih tegas.

“Baik kalau begitu.”

Setelah sambungan terputus, ia mendekap ponsel di dada. Jawaban yang diberikan Jonathan membuat gemuruh di relung hatinya meluap tak menentu. Ia meletakkan ponselnya di atas meja. Tangannya menggenggam perut yang nyeri, tapi hatinya jauh lebih sesak dari rasa sakit itu. 

  Sunyi. Bahkan detik jam pun terasa menertawakannya. 

  Ia duduk di tepi ranjang. Tubuhnya gemetar—bukan karena sakit... tapi karena suara Fidya di latar telepon masih terngiang, seperti bisikan iblis yang menyelinap ke jantungnya. 

  "Dia pasti bohong!" 

  Kalimat itu menusuk. Membakarnya. 

  "Aku bohong?" bisiknya, tertawa getir. "Aku yang dihancurkan, dibungkam, dipaksa menikah... dan sekarang aku dianggap pembohong?" 

  Tangannya meremas ujung selimut. Matanya menatap pintu yang masih tertutup rapat, seolah Jonathan masih ada di balik sana. Tapi tidak. Dia telah memilih pergi bersama perempuan itu. 

  "Aku istrimu. Aku yang memakai nama belakangmu. Aku... yang mengandung darahmu." Napasnya memburu. Dadanya naik turun cepat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menangis, tapi tangis itu tertahan oleh rasa memiliki yang tumbuh dari luka yang belum sembuh. 

  "Dia pikir bisa ambil kamu dariku setelah semua yang terjadi? Setelah aku dihancurkan? Tidak! Kamu sudah berjanji seumur hidup denganku, kak. Jangan ingkar!”

  Matanya penuh tekad yang membara. 

  “Wanita itu tidak boleh mendapatkanmu kembali! Kalian tidak boleh kembali lalu bahagia di saat aku hancur." 

  Amel bangkit. Ia melangkah ke lemari, membuka pintunya dengan tangan gemetar. Tapi di mata yang memantul dari cermin, tak ada lagi wajah perempuan lemah yang dulu hanya bisa pasrah. 

  "Aku bukan pilihan yang kamu sesali. Aku adalah kenyataan yang harus kamu jaga. Kamu milikku sekarang… dan aku akan melawan siapa pun yang mencoba merebutmu." 

  Ia kenakan cardigan tipis, satu tangan menutup perutnya dengan perlindungan penuh. Wajahnya suram tapi tajam. Rambut acak, mata sembab—tapi sorot nya dingin. 

  "Aku tidak akan diam lagi, Kak Jonathan… Aku tidak akan biarkan satupun perempuan menyentuhmu, bahkan kalau itu mantanmu sekalipun." Ia berbalik, melangkah ke pintu. 

  **

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 121. Halusinasi

    Hari-hari berlalu. Sudah tiga hari Amel menetap di rumah tuanya itu. Meski hidup sendiri, ia tak pernah benar-benar merasa sendirian. Ada Santi dan beberapa tetangga yang selalu hadir dengan cara-cara sederhana. Setiap pagi, Santi sering menyapanya lebih dulu, sekedar berbincang tentang cuaca atau tanaman di halaman. Siang hari, ia datang sambil membawa sepiring lauk, selalu dengan alasan yang sama yaitu, “Saya masak kebanyakan, Amel. Sayang kalau tidak dimakan.” Sore harinya, Santi kerap mengetuk pintu, mengajak Amel duduk di teras sambil minum teh bersama. Hari ini, Santi memperkenalkan seorang pria paruh baya padanya. “Ini namanya Pak Wawan, Amel. Dia bisa perbaiki kran air kamu yang macet. Katamu semalam air tidak keluar, kan?” ujarnya ringan. Amel tertegun, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbak Santi. Saya sungguh terbantu.” Malam pun tiba. Suasana sedikit ramai berkat suara petugas ronda yang berkeliling sambil menabuh kentongan, membuatnya merasa jauh lebih aman. Ditam

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 120. Perhatian secara diam-diam

    Dari balik pintu yang tertutup rapat, suara Jonathan terdengar parau, “ Aku pergi, tapi tidak untuk bercerai. Karena sampai kapan pun, kamu tetap istriku, Amel.” Amel tersentak. Kedua tangannya perlahan turun dari wajahnya, tapi air mata masih mengalir deras di pipi. Tangisnya mereda, namun kalimat itu seperti stempel yang tak bisa dihapus olehnya. Jonathan tahu kalau gadis itu akan menolak mentah-mentah jika ia muncul terang-terangan untuk menemuinya. Maka, cara satu-satunya hanyalah menjaganya dari jauh. Tanpa Amel sadari. Ia menjual beberapa asetnya, lalu menyuruh orang kepercayaannya mengontrak beberapa rumah kosong yang terbengkalai, hanya agar ada “tetangga” di sekitar Amel. Dari luar terlihat seperti tetangga baru biasa, padahal semua itu hanyalah peran yang ia ciptakan agar Amel tidak lagi terjebak dalam sepi. Orang-orang yang diam-diam disuruh Jonathan sesekali muncul, menyapa, atau sekedar mengobrol ringan dengan Amel. Seperti pagi ini, saat Amel membuka pintu samping r

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 119. Jangan pergi lagi

    Angin malam menyusup masuk dari celah pintu kayu yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rumah tua itu sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar bersahutan. Di luar, gelap menguasai halaman karena lampu jalanan dan teras mati, meninggalkan bayangan pekat. Amel berdiri kaku di ruang tamu sederhana, dadanya terasa sesak. Tubuhnya membeku ketika langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang. Sebuah tangan menahan pintu, mencegahnya menutup. Jonathan berdiri di sana, tersenggal seolah baru saja berlari menembus malam. Bahunya naik-turun, sorot matanya meski lelah, tapi tak bisa menyembunyikan emosi yang menusuk. “Amel,” panggil Jonathan, suaranya serak, tapi tegas. “Aku selalu bisa menemukanmu.” Lutut Amel hampir kehilangan daya ketika tatapan tajam pria itu menembus dirinya, seolah menelanjangi segala pertahanannya. Pintu kayu yang rapuh masih ditahannya, berderit pelan saat Amel berusaha menutupnya, tapi sia-sia—tenaga

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 118. Merindukannya

    Satu jam kemudian. Berita tentang Jonathan memenuhi layar televisi dan media online. [Jonathan Sailendra, Direktur utama Sailendra Corp, resmi mengundurkan diri setelah tersandung skandal yang mengguncang dunia bisnis. Dewan direksi menyatakan langkah ini perlu diambil untuk menjaga stabilitas perusahaan.]Di dalam sebuah taksi yang melaju meninggalkan kawasan apartemen mewah, Amel menatap layar ponselnya. Wajahnya memucat, ia menekan bibirnya, menahan isak meski air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Segalanya telah rusak. Dirinya bahkan Jonathan yang telah kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena pergi saat semuanya diambil darimu,” gumam Amel. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di pangkuan. Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela, menatap gedung-gedung besar yang berlari mundur dengan cepat. Penthouse megah yang begitu ia banggakan kini hanya meninggalkan luka. Ia tak sanggup lagi menetap di sana.Tiga jam perjalanan ia habiskan dalam diam, hingga akhirnya, taksi i

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 117. Mari hancur bersama

    Pagi itu, kantor pusat Sailendra seperti sarang lebah yang terusik. Semua orang sibuk berbisik, menatap layar ponsel, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah penuh tanya ketika Jonathan melintas. Langkah Jonathan terasa berat saat memasuki lobi. Ia bisa merasakan tatapan menusuk dari karyawan-karyawannya. Beberapa pura-pura sibuk menunduk, sebagian lain saling berbisik, jelas membicarakannya. Ponselnya tak berhenti bergetar—panggilan, pesan, notifikasi berita. Foto-foto itu sudah menghiasi portal bisnis dan media gosip, lengkap dengan judul sensasional. Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut tak kalah dengan Jonathan yang baru saja tiba.“Selama empat hari ketidakhadiranmu mereka sudah mengajukan petisi pemecatanmu,” ucapnya, nada suaranya berat.Jonathan membuang napas kasar, kepalanya menunduk sesaat. “Aku tahu.”Raden gelisah, langkahnya maju setengah. “Ini sangat buruk. Mereka mungkin akan menendangmu keluar hari ini juga.”Jonathan mengangguk pelan, sorot matanya menaja

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 116. Foto yang tersebar luas

    Amel baru saja selesai melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Tangannya bekerja cepat, meski hatinya terasa semakin berat. Saat pintu utama terdengar terbuka lalu tertutup pelan, Amel tahu Jonathan sudah kembali. Ia tak ingin tahu kemana pria itu pergi hingga selarut ini. Dalam benaknya hanya ada satu jawaban yang membuat dadanya kembali remuk: pasti ia menemui wanita itu.Air matanya menggenang, tapi tangannya tetap bergerak memasukan baju terakhir sebelum menutup koper dengan satu hentakan tegas. Ia mendorong koper itu ke sudut ruangan. “Aku tidak pernah menyangka, dia akan tega melakukan itu padaku,” gumam Amel parau. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca. Amel sudah mantap dengan keputusannya, ia harus pergi. Ia tak sanggup lagi berada di bawah atap yang sama dengan Jonathan. Hatinya sudah terlalu hancur. Namun lamunannya buyar ketika ponselnya di atas meja bergetar. Sekali, dua kali, lalu berderet tanpa henti. Notifikasi memenuhi layar, seolah tak memberinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status