Mag-log inJonathan bergegas keluar rumah begitu menerima telepon dari Fidya. Langkahnya cepat, diseret kecemasan—bukan sepenuhnya karena rindu, tapi ketidaksiapan menghadapi kehadirannya yang tiba-tiba.
Fidya sudah berdiri di depan rumah Ratna, menyeret koper besar. Begitu melihat Jonathan, ia langsung menghampiri tanpa peduli pandangan sekitar. "Kenapa kamu harus datang ke sini?" seru Jonathan. "Aku bukan kenangan yang bisa kamu lipat, simpan, lalu lupakan. Aku bagian dari hidupmu, Jonathan. Kamu tahu itu," ujar Fidya, tenang, tapi menusuk. "Aku tidak bisa membiarkanmu di sini bersamanya. Kita bisa tinggal di apartemenmu. Aku sudah siap." Jonathan tertawa pahit. "Lucu. Dulu kamu bahkan tidak sudi menginap semalam pun. Sekarang kamu mendadak punya banyak waktu?" "Aku sadar, Jona. Aku telat, tapi aku sadar. Aku ingin memperbaiki semuanya,” ucapnya lebih lembut. "Aku cuti untukmu. Karena aku tidak rela dia mengambilmu dariku, apalagi kalau kamu harus sekamar dengannya." Jonathan memejamkan mata sejenak. Luka itu menganga kembali. "Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah aku sudah menikah?" Belum sempat Fidya menjawab, pintu rumah terbuka. Laura dan Ratna berdiri di ambang, menatapnya dingin. "Apa urusanmu ke rumahku?” Ratna bicara datar, tapi tegas. "Selamat siang, Eyang, Ma." Fidya menyodorkan tangan dengan senyum sopan, tapi Laura berpaling, membuat senyumnya kecut. Tangannya kembali ia tarik. "Pergi dari rumahku. Di sini bukan tempat penampungan yang bisa seenaknya dimasuki orang asing!" usir Ratna. Fidya menarik napas tajam. "Saya bukan orang asing, Eyang. Saya pacar Jonathan selama sembilan tahun. Saya berhak ada di sini!" "Jonathan sudah menikah. Kamu hanya mempermalukan diri sendiri." Fidya mengepal jemarinya. "Menikah karena jebakan! Gadis itu menjerat Jonathan. Kalian tahu siapa Jonathan, bagaimana dia menjaga kehormatan keluarga. Dia tidak akan tidur dengan sembarang wanita... Bagaimana bisa kalian termakan permainan kotor gadis itu?" "Cukup, Fidya!" Jonathan menarik tangan Fidya menjauh. Tapi wanita itu mencabut tangannya kasar. "Aku ingin di sini, Jonathan. Aku tidak rela kalau kamu harus sekamar dengan gadis murahan itu!" "Jaga ucapanmu, Nona Fidya. Yang kamu bilang gadis murahan itu adalah menantuku!" tegur Laura lantang. Fidya cukup terkejut karena ini pertama kalinya dia mendengar Laura menaikan nada suaranya. "Pergi dari rumahku! Kalau kamu masih merengek di sini, akan kupanggil satpam untuk mengusirmu," ancam Ratna. Sorot tajamnya sempat membuat gementar, tapi Fidya tidak akan mundur semudah itu sebelum menarik Jonathan pergi bersamanya. Fidya melirik Jonathan. Pria itu menarik napas, menatap ibunya. "Ma, aku antar Fidya pulang. Aku akan segera kembali." "Tidak!" potong Laura cepat. "Biarkan dia sendiri. Dia bukan tanggung jawabmu." "Ma, hanya sebentar." Senyum tipis mengembang di bibir Fidya. Tapi Ratna memotong dengan tajam. "Hanya sebentar, setelah itu kembali malam ini juga. Aku tidak ingin punya dua menantu darimu. Paham!" Dari balkon lantai atas, Amel melihat semuanya. Telinganya menangkap setiap kalimat—bahkan yang tidak terdengar pun terasa dari sorot mata mereka. Ada rasa yang mencubit dadanya—cemburu, takut, sekaligus marah. Perasaan yang belum pernah dia akui, bahkan pada dirinya sendiri. Ketika mobil Jonathan menjauh, dia menyadari kalau hatinya tidak hanya ingin Jonathan tinggal, tapi juga tidak ingin pria itu dimiliki oleh orang lain. Termasuk Fidya. Ia mendekap perutnya sendiri, berusaha meredam nyeri yang entah datang dari mana. Ia berjalan masuk ke dalam, menutup pintu balkon, menuju meja rias. Tidak ada satupun obat yang dia miliki di laci. ‘Jangan mengganggunya,’ bisik benaknya. ‘Dia tidak akan suka kalau kamu bersikap manja.’ ‘Tapi, bagaimana kalau sakitnya makin parah? Bagaimana kalau Jonathan tidak pulang malam ini?’ Ia menatap ponsel. Jemarinya gemetar. Beberapa detik ia hanya menatap layar kosong, menimbang harga dirinya yang sudah berkali-kali ia telan bulat-bulat. Dengan satu tarikan napas panjang, Amel mengambil ponsel. Menekan kontak yang sudah ia hafal letaknya. Nada tunggu terdengar. Jantungnya berdetak kencang. Sekilas, ia membayangkan Jonathan mengabaikan panggilannya. Mungkin dia akan mematikan telepon atau merasa kesal. Tapi saat suara Jonathan menjawab, dadanya terasa sedikit lebih lapang. “Halo?” Amel menutup mata rapat-rapat, menahan gejolak malu yang menyesak di kerongkongan. Suaranya keluar pelan, nyaris bergetar. “Kakak di mana?” “Ada apa?” suara Jonathan terdengar kaku, tapi ia bisa merasakan kekhawatiran tipis di balik nada itu. Ia menarik napas pelan, berusaha agar suaranya tidak pecah. “Maaf... boleh minta tolong? Perutku sakit. Stok obat habis. Bisa belikan pereda nyeri sebelum pulang?" Ia berharap Jonathan tidak mendengar betapa rapuh nada suaranya. Betapa dia sangat ingin lelaki itu kembali. Lalu suara Jonathan terdengar lebih jelas, lebih serius. “Sakit sekali?” "Masih bisa ditahan, tapi... rasanya sedikit tidak nyaman." Di sela jeda itu, ia bisa mendengar suara perempuan lain. Fidya. Suaranya tinggi, menusuk telinga. “Dia pasti bohong! Supaya kamu pulang!” Amel menunduk, meremas kuat ponsel itu. Suara Jonathan terdengar lebih tenang, lebih tegas. “Baik kalau begitu.” Setelah sambungan terputus, ia mendekap ponsel di dada. Jawaban yang diberikan Jonathan membuat gemuruh di relung hatinya meluap tak menentu. Ia meletakkan ponselnya di atas meja. Tangannya menggenggam perut yang nyeri, tapi hatinya jauh lebih sesak dari rasa sakit itu. Sunyi. Bahkan detik jam pun terasa menertawakannya. Ia duduk di tepi ranjang. Tubuhnya gemetar—bukan karena sakit... tapi karena suara Fidya di latar telepon masih terngiang, seperti bisikan iblis yang menyelinap ke jantungnya. "Dia pasti bohong!" Kalimat itu menusuk. Membakarnya. "Aku bohong?" bisiknya, tertawa getir. "Aku yang dihancurkan, dibungkam, dipaksa menikah... dan sekarang aku dianggap pembohong?" Tangannya meremas ujung selimut. Matanya menatap pintu yang masih tertutup rapat, seolah Jonathan masih ada di balik sana. Tapi tidak. Dia telah memilih pergi bersama perempuan itu. "Aku istrimu. Aku yang memakai nama belakangmu. Aku... yang mengandung darahmu." Napasnya memburu. Dadanya naik turun cepat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menangis, tapi tangis itu tertahan oleh rasa memiliki yang tumbuh dari luka yang belum sembuh. "Dia pikir bisa ambil kamu dariku setelah semua yang terjadi? Setelah aku dihancurkan? Tidak! Kamu sudah berjanji seumur hidup denganku, kak. Jangan ingkar!” Matanya penuh tekad yang membara. “Wanita itu tidak boleh mendapatkanmu kembali! Kalian tidak boleh kembali lalu bahagia di saat aku hancur." Amel bangkit. Ia melangkah ke lemari, membuka pintunya dengan tangan gemetar. Tapi di mata yang memantul dari cermin, tak ada lagi wajah perempuan lemah yang dulu hanya bisa pasrah. "Aku bukan pilihan yang kamu sesali. Aku adalah kenyataan yang harus kamu jaga. Kamu milikku sekarang… dan aku akan melawan siapa pun yang mencoba merebutmu." Ia kenakan cardigan tipis, satu tangan menutup perutnya dengan perlindungan penuh. Wajahnya suram tapi tajam. Rambut acak, mata sembab—tapi sorot nya dingin. "Aku tidak akan diam lagi, Kak Jonathan… Aku tidak akan biarkan satupun perempuan menyentuhmu, bahkan kalau itu mantanmu sekalipun." Ia berbalik, melangkah ke pintu. **9 bulan kemudian. Di ruang bersalin, semua menunggu dengan cemas di depan pintu. Ratna, Laura, dan Raden—mereka semua tak ingin melewatkan momen penting itu.Tapi di tengah keheningan itu, tiba-tiba, suasana berubah menjadi genting ketika terdengar suara tangisan Jonathan dari dalam ruangan.Wajah mereka seketika pucat dan panik. Laura menggenggam erat tangan rapuh Ratna, mencoba menenangkan diri sendiri sekaligus orang di sampingnya.“Apa yang terjadi di dalam? Kenapa Jonathan menangis di sana?” tanya Laura dengan suara gemetar, matanya menatap Ratna penuh kekhawatiran. Ia juga hampir tak kuasa menahan tangis karena mulai memikirkan bagian terburuk. Ratna semakin cemas. Suara tangisan Jonathan terdengar begitu keras hingga membuat jantungnya ikut berdebar.“Semoga cucu dan menantuku baik-baik saja, Tuhan… Kami memohon padaMu,” doa Laura lirih, suaranya dipenuhi harap dan kecemasan.Sementara itu, di ruang bersalin, Amel yang tengah menahan sakit juga harus menenangkan Jonathan yang
Beberapa bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Amel dan Jonathan berjalan begitu harmonis. Namun, pagi itu Amel terbangun dengan tubuh yang terasa lemah, perutnya mual, dan muntah-muntah untuk kesekian kalinya. Wajahnya pucat, tubuhnya lunglai, hingga membuat Jonathan benar-benar khawatir.“Ayo kita ke rumah sakit,” ucap Jonathan cemas, bahkan sudah bersiap untuk menggendong Amel.Amel menggeleng pelan. “Tidak perlu, aku baik-baik saja,” jawabnya lirih.“Tapi, Amel—”“Aku hanya butuh istirahat sebentar. Nanti juga membaik,” ujarnya mencoba menenangkan Jonathan.Belum sempat Jonathan membalas, suara ketukan terdengar di pintu. Laura muncul sambil memberi kabar bahwa sarapan sudah siap. Dengan langkah pelan, Amel dan Jonathan menuju ruang makan.Namun begitu mencium aroma masakan dari dapur, rasa mual Amel semakin menjadi-jadi. Perutnya bergejolak hebat, membuatnya segera berlari ke wastafel. Ia memuntahkan isi perutnya di sana, merasa tak enak hati karena harus melakukannya di depan Ra
“Usia kehamilanku semakin bertambah, dan aku butuh tanggung jawabmu, Jonathan,” desis Fidya penuh penekanan.Jonathan tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh ke arah Amel. Tatapan mereka bertemu, dan Amel mengangguk pelan, memberi izin.Jonathan mengeluarkan sebuah alat perekam dari sakunya. Ia meletakkannya di atas meja, mendorongnya perlahan ke arah Fidya.Fidya mengernyit, wajahnya menegang penuh kebingungan. “Benda apa ini?”“In rekaman yang menyimpan kebenaran tentang kehamilanmu,” jawab Jonathan. Begitu tombol play ditekan, suara dalam rekaman memenuhi ruangan. Wajah Fidya pucat seketika, matanya membelalak tak percaya. Ia mengenali suara itu. Itu suaranya dan suara Marcell. Tidak bisa disangkal lagi.“Ini tidak benar, Jona. Kamu harus percaya padaku,” ucapnya terbata, panik.Jonathan menatapnya penuh luka sekaligus kecewa.“Aku pernah berpikir kau wanita terhormat, Fidya. Seseorang yang tidak akan merendahkan dirinya hanya demi menjebakku. Tapi ternyata aku salah.” “Jona…”
Namun sebelum rencana Jonathan untuk ikut menemani Fidya ke rumah sakit terlaksana, Raden justru menemukan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan. Ia kembali membuntuti Fidya secara diam-diam. Meski tidak bisa masuk ke dalam lapas untuk menyaksikan langsung pertemuan Fidya dan Marcell, ia tidak terlalu khawatir, perekam kecil yang ia titipkan pada Nico sudah terpasang rapi di tas Fidya, persis sesuai arahan yang ia berikan sebelumnya. Dan ketika Raden mendengarkan rekaman itu, tubuhnya menegang. Suara Marcell terdengar jelas, dingin dan penuh perhitungan. “Kau harus pertahankan cerita itu, Fidya. Biarkan mereka percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah hasil dari Jonathan. Dengan begitu, posisi kita aman, dan keluarga Sailendra tidak akan bisa menolakmu lagi.”Tak lama, terdengar sahutan Fidya. Suaranya penuh kebencian, penuh dendam yang membara.“Ya! Amel harus menyingkir. Aku yang akan masuk ke keluarga Sailendra. Semua orang akan memandangku sebagai istri sah Jonathan. Tidak ada y
Raden menyipitkan mata dari kejauhan. Ia sudah mengikuti Fidya sejak wanita itu keluar dari kafe. Langkahnya ragu saat melihat mobil Fidya berhenti tepat di depan lapas kota. Hatinya langsung dipenuhi tanda tanya besar. “Untuk apa dia ke sini?” gumamnya pelan. Tak butuh waktu lama, Raden melihat Fidya masuk melewati pintu pemeriksaan, lalu menghilang di balik lorong panjang. Raden menunggu dengan sabar, menahan diri agar tidak gegabah. Sekitar setengah jam kemudian, Fidya keluar dengan wajah masam, namun di matanya jelas ada cahaya puas. Raden mengepalkan tangan di samping tubuhnya. “Dia menemui Marcell… berarti dugaan Jonathan benar. Mereka berdua masih bekerja sama.” Kecurigaan itu semakin kuat ketika Raden menyadari betapa hati-hatinya Fidya saat meninggalkan lapas, seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tak menunggu lama, Raden segera menyalakan mobilnya. Ia menghubungi Jonathan dengan suara tegas. “Jonathan, dugaanmu tidak salah. Fidya barusan menemui Marcell. Dan aku yakin
Jonathan menarik napas panjang, menatap mata istrinya yang basah. “Aku akan berusaha membuktikan semuanya, Amel,” ucapnya mantap, meski jauh di dalam hatinya masih ada keraguan yang menusuk. “Aku akan buktikan kalau semua ucapan Fidya itu salah. Kamu hanya perlu percaya padaku.” Amel terdiam, lalu mengangguk. Ia menunduk, tubuhnya sedikit bergetar sebelum akhirnya bersandar pada dada Jonathan. Ia membiarkan tangannya melingkari pinggang pria itu, membiarkan dirinya dikelilingi hangat tubuhnya. Meski hatinya belum sepenuhnya tenang, di dalam pelukan itu ia menemukan sedikit tempat untuk bernapas. Amel tahu, Jonathan tidak akan pernah ingkar. Pria itu akan menepati semua ucapannya. Jonathan merapatkan pelukannya, mencium pucuk kepala Amel seakan menegaskan janjinya. Amel mengangkat wajahnya pelan, matanya masih sembab. “Kenapa kamu begitu yakin untuk membuatku bertahan? Padahal aku tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan padamu, dan juga kamu tidak punya alasan apa pun untuk memilih







