Home / Romansa / Mendadak jadi istri kakak tiriku / Bab 3. Pernikahan yang dipaksakan

Share

Bab 3. Pernikahan yang dipaksakan

Author: Ralonya
last update Last Updated: 2025-05-30 20:50:38

Amel berdiri kaku di depan altar, jemarinya gemetar saat Jonathan menyelipkan cincin di jari manisnya—menguncinya dalam takdir yang tidak pernah ia pilih. Semua ini seperti mimpi buruk: terbungkus bunga dan musik lembut yang tidak mampu menyamarkan luka. 

 Saat keningnya disentuh bibir Jonathan, hatinya mencelos. Kecupan itu lebih terasa seperti stempel pengesahan takdir, daripada ungkapan cinta. Dinginnya menembus kulit, menyisakan getar yang menakutkan. 

 Mereka kini resmi menjadi suami istri—atas dasar luka. 

 Sudah dua bulan sejak malam itu—malam yang tak akan pernah bisa Amel lupakan. Hingga akhirnya, dengan hati yang nyaris hampa, ia berkata “ya” pada sebuah pernikahan yang tidak pernah ia mimpikan. Pernikahan yang lahir dari malam paling gelap dalam hidupnya—karena satu alasan besar yang tak mampu ia abaikan. 

 Di tengah luka yang menganga, Marcell—anak bungsu Laura—melangkah ke panggung pelaminan. Sorot matanya tajam dan dingin. Tatapan Amel bertabrakan dengan mata biru pucat itu. Tubuhnya membeku. 

 “Kukira aku datang ke pernikahan. Tapi ternyata ini pemakaman moral keluarga Sailendra,” ucap Marcell, pelan namun menghantam. Amel menahan napas. 

 “Siapa sangka... kebanggaan keluarga ini ternyata penjahat kel*min,” imbuhnya lagi. 

 Jonathan menoleh. Wajahnya dingin, tapi matanya membara. “Jangan mengoceh yang tidak penting!” Ia menarik Marcell menjauh. Amel menunduk, menghindari tatapan siapa pun, terutama dari Laura yang menggenggam tangannya erat, seolah ingin memberi kekuatan. Namun, genggaman itu justru semakin menekannya. 

 Di pojok ruangan, pertengkaran dua pria itu menyedot perhatian. 

 “Jaga sikapmu,” desis Jonathan, suara tajam. 

 Marcell tergelak, tapi sudut matanya berair. “Aku sudah berbesar hati menerima dia sebagai adik tiri kita. Tapi kamu tidur dengannya?” Ia menggeleng pelan, menyemburkan tawa getir. “Keterlaluan.” 

 “Aku tidak seperti itu!” sangkal Jonathan. “Kamu bahkan tidak lebih baik dariku,” lanjutnya, suara rendah menahan amarah yang mendidih. 

 Marcell mendekat. Tatapannya menajam. “Tapi aku tidak pernah memaksa tubuhku pada seorang gadis.” Satu tepukan keras di bahu, disusul remasan kasar, lalu dia pergi begitu saja. 

 Jonathan berdiri kaku. Napasnya berat. Kepalanya penuh bisikan yang menyalahkan. Pandangannya tertuju ke Amel yang berdiri di samping Laura. Pucat. Gugup. Tidak ada satu pun kebahagiaan di wajah itu. 

 Pernikahan ini bukan pelarian. Ini adalah kuburan dari pilihan-pilihan yang tak pernah mereka punya. 

 ** 

Malamnya, setelah pesta selesai, rumah besar itu sunyi. Amel duduk di sisi ranjang, tempat dimana kesuciannya diambil paksa. Wajahnya masih memakai riasan, baju pengantin belum juga dia lepas, hanya termangu menatap cincin perak yang melingkar di jari manisnya.  Lalu perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. Satu nyawa kecil yang dua minggu lalu nyaris ia singkirkan. 

Dunia seketika runtuh saat dua garis merah itu muncul. Ia panik, ingin kabur dari semuanya. Tapi kemudian Laura menemukan dirinya yang pucat dan muntah di pagi hari—dan sejak itu, segalanya tidak pernah sama. 

Di belakangnya, pintu kamar terbuka. Langkah kaki Jonathan mendekat pelan. Bayangan tinggi itu jatuh di lantai, menelan cahaya lampu. 

“Maafkan aku…” suaranya pelan, hampir tak terdengar.

Amel menatapnya lirih. Pria yang dulu ia hormati sebagai kakak, kini menjadi suaminya—dan luka terbesar dalam hidupnya.

Tangannya meremas jemari sendiri sampai memutih. “Kak…” suaranya pecah. “Kalau waktu bisa diulang… aku lebih memilih tidak pernah membuka pintu malam itu.”

Pria itu diam. 

“Tapi aku akan menanggung ini,” lanjut Amel lirih, menekan perutnya pelan. “Karena anak ini tidak bersalah.”

Ia menunduk, menahan tangis yang pecah perlahan. Jonathan meraih pundaknya, namun Amel bergeser menjauh. Tak ada lagi yang bisa ia percaya, selain detak jantung kecil dalam dirinya.

Malam itu, di kamar yang sepi, Amel tahu: Ia sudah kehilangan segalanya—kecuali keberanian untuk bertahan.

**

Jam menunjuk pukul satu malam dan Amel masih di dalam kamar mandi. Tangannya menggenggam erat pinggiran wastafel. Rias wajahnya telah luntur, tergantikan lelah. Gaun pengantin putih telah tergantung kaku di balik pintu; kini tubuhnya hanya terbungkus piyama longgar. 

Dia sendirian sejak tiga jam yang lalu Jonathan pergi entah kemana. Yang dia tahu, pria itu menemui Fidya setelah tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Hatinya tertawa miris. Meski sudah menikah, prioritas pria itu tetaplah wanita pujaannya. 

 "Mampukah aku mencintai sesuatu yang datang dari luka?" bisiknya lirih.  

  Hening cukup lama sebelum pintu kamar mandi diketuk pelan membuatnya langsung menoleh dengan cepat. 

 “Amel, kamu di dalam?” Suara Jonathan terdengar khawatir. 

 Amel terdiam memandangi pintu putih itu.

 Beberapa detik berlalu, pintu kamar mandi perlahan terbuka. Jonathan muncul dengan wajah letih dan kemeja yang kusut. Dia melangkah mendekat, tapi gadis itu mundur satu langkah. 

 “Jangan mendekat!” bisiknya lirih, buru-buru memalingkan wajah, jantungnya memukul dengan keras. 

 Jonathan menatap perempuan yang kini menjadi istrinya itu. Ia tahu luka Amel belum sembuh. Ia tahu semua ini terlalu cepat dan terlalu rumit. 

 “Aku tidak akan menyakitimu,” ucapnya perlahan. 

 Amel menggeleng. “Bukan soal itu…” Suaranya bergetar. “Aku cuma butuh waktu.” 

 Jonathan menunduk sejenak. Ada rasa bersalah yang menghantam dadanya. 

 “Aku tahu dan aku akan menunggu, tapi jangan dorong aku menjauh.” 

 Amel menatapnya. “Aku tidak sedang mendorongmu. Aku hanya takut, kalau kehadiranmu membuatku perlahan merasa nyaman.” 

 Jonathan mengerutkan kening. “Kenapa, bukankah itu bagus?” 

 “Karena itu akan membuatku berharap lebih padamu.” 

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 43. Detak kecil di dalam perut

    Lorong rumah sakit pagi itu lengang. Aroma antiseptik dan wangi samar dari diffuser lavender menyambut langkah Amel dan Jonathan yang berjalan berdampingan, meski tak saling bergandengan tangan. Amel menunduk pelan, menahan senyum. Perutnya yang baru sedikit menonjol membuat langkahnya sedikit pelan. Jonathan berjalan setengah langkah di belakang, sesekali meliriknya dengan gugup—seperti suami baru yang belum hafal ritme pasangannya. “Ini pertama kalinya kamu ikut kontrol,” gumam Amel, tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. “Hm.” Jonathan mengangguk, tapi mata tajamnya tak lepas dari setiap gerak Amel. Mereka masuk ke ruang praktek dokter kandungan. Ruangan itu hangat dan tertata nyaman. Ada sofa kecil, tirai lembut di jendela, dan alat USG yang terlihat canggih di pojok ruangan. Dokter Dina menyambut mereka dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Bu Amel, Pak Jonathan. Hari ini periksa kehamilan tiga bulan, ya?” sapanya sambil membuka catatan rekam medis. “Iya, dok. Tiga bu

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 42. Jangan biarkan siapa pun masuk

    Amel duduk bersila di atas karpet ruang keluarga. Kotak P3K terbuka di hadapannya, isinya berserakan: perban, plester, kapas, dan cairan antiseptik. Tangan kecilnya bekerja pelan dan teliti, seolah setiap benda harus kembali ke tempat semula dengan rapi. Di sofa, Marcell bersandar santai. Lengan kirinya terentang malas di sandaran, sementara mata tajamnya menatap Amel yang sedang sibuk merapikan isi kotak. “Kamu lembut juga, ya, kalau lagi ngobatin orang,” ucap Marcell dengan suara rendah. Senyum samar menghiasi ujung bibirnya, meski sisi lainnya masih tampak memar, tertutup plester. Amel tidak langsung menjawab. Ujung jarinya berhenti sejenak di atas plester, lalu melipatnya pelan. Bukan karena dia malu, tapi karena hatinya terasa sedikit tak tenang. Lalu terdengar langkah kaki menyentuh lantai marmer, agak terburu-buru membuatnya menoleh. Jonathan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja kerja yang tadi pagi dia pilihkan. Di tangan pria itu ada buket mawar putih tampak mencol

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 41. Bayangan punggung yang menjauh

    Pagi itu, sinar matahari menelusup lembut lewat celah tirai. Amel membuka matanya perlahan. Masih mengantuk, ia mengusap kelopak matanya dan mengedarkan pandangan ke sisi tempat tidur. Kosong. Hanya selimut yang kusut. Ia duduk perlahan, lalu matanya menoleh ke arah balkon. Di balik pintu kaca yang sedikit terbuka, siluet Jonathan berdiri di sana. Satu tangan memegang cangkir kopi, dan tangan satunya lagi bertumpu pada pagar besi. Amel memandangnya tanpa berniat menghampiri. Lalu Jonathan berjalan masuk, angin sempat berhembus masuk saat pintu kaca itu dibuka. “Kamu sudah bangun,” ucap Jonathan, menutup kembali pintu itu. Amel mengangguk tak menjawab. Mereka saling tatap beberapa detik, sebelum Jonathan memutus kontak dan berjalan keluar kamar. Amel memilih beranjak menuju kamar mandi. Di meja makan, suasana seperti sebelum-sebelumnya. Tapi yang membuat hangat, ada sepiring roti di depannya. Amel menoleh pada Jonathan, pria itu hanya melirik sebentar lalu menyesap kopi hitamnya de

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 40. Belajar untuk tidak terlalu berharap

    Langit masih gelap ketika suara pelan dari kamar mandi membangunkan Jonathan dari tidurnya. Ia sempat terdiam, mencoba menangkap suara itu, hingga terdengar bunyi muntahan yang tertahan. “Amel?” Jonathan langsung bangkit dari ranjang, menyibak selimut dengan cemas. Begitu menyadari sisi ranjang kosong, ia buru-buru menuju kamar mandi. Pintu tak tertutup rapat. Ia dorong perlahan. Amel berdiri sambil berpegangan pada pinggiran wastafel. Tubuhnya gemetar, rambutnya menutupi sebagian wajah yang tampak sangat pucat. “Mel,” Jonathan mendekat, suaranya terdengar cemas. “Kamu tidak apa-apa?” Amel mengangguk lemah. “Aku cuma mual, Kak,” suaranya lirih. Jonathan memapahnya pelan, membantu Amel duduk di tepi bathup. Ia ambil handuk kecil dan membasahinya, lalu menyeka pelan kening Amel yang dingin dan basah keringat. Hela napas Amel masih pendek-pendek. Matanya sayu, kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Tanpa banyak bicara, Jonathan menyingkirkan handuk itu, lalu mengangkat tubu

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 39. Rebutan lauk, rebutan hati

    Jonathan menghela napas pelan, menatap Marcell dengan ekspresi jengah. “Amel, bisa tolong ambilkan ayam potong itu untukku?” ucap Marcell santai, namun dengan nada yang tak memberi ruang penolakan. Amel sontak menoleh. Keningnya berkerut, mengingat kejadian tadi siang. Seperti sebelumnya, Marcell menyodorkan piring ke arahnya tanpa bekata lebih, dan tidak juga menariknya jika ayam itu belum berpindah ke atas piring. Tanpa banyak protes, Amel mengangguk dan memenuhi permintaannya. Namun belum selesai, Jonathan ikut menyodorkan piringnya. “Amel, bisa tolong sendokkan nasi? Tanganku agak pegal, habis ngetik laporan panjang barusan,” katanya dengan senyum tipis—terlihat tenang. Amel terdiam sejenak. Ini tidak biasa. Jonathan tidak pernah memintanya seperti ini. Tapi ia tetap berdiri dan melayani keduanya. Nasi untuk Jonathan, sepotong ayam untuk Marcell. Baru saja dia akan kembali duduk, Jonathan kembali menyodorkan piringnya, kali ini lebih cepat. “Ayam gorengnya juga,” ucap

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 38. Kekecewaan yang disembunyikan

    Langit mulai menguning ketika suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Amel yang sedang duduk di ruang tamu menoleh cepat, berharap. Tapi rasa itu segera berubah menjadi gelisah dan ada sedikit rasa kecewa di sana. Meskipun begitu, matanya tak lepas dari daun pintu. Kemudian pintu itu terbuka pelan. Amel bangkit, tapi tidak beranjak mendekat. Tatapannya menyapu Jonathan yang akhirnya pulang. Memperhatikannya yang mendekat dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apapun. Amel masih diam menunggu Jonathan untuk bersuara, tapi sepertinya keraguan lebih dulu menggenggam lidah pria itu, membuatnya justru diam berdiri di sana. “Maaf,” ucap Jonathan begitu pelan. Keningnya mengkerut seperti menahan sesuatu. Amel menunggu, namun yang ia dapat hanya sorot mata kosong, tidak ada penjelasan, tidak ada alasan. “Aku tadi ada urusan mendesak,” tambah Jonathan saat Amel tak menanggapi. Gadis itu tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Memaklumi jika suaminya punya banyak urusan di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status