Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, menembus malam yang pekat. Keheningan di dalamnya terasa menyesakkan, seolah udara yang dihirup pun berat untuk diterima. Jonathan menggenggam kemudi dengan kuat, matanya terkunci pada jalan yang gelap. Rahangnya menegang menahan sesuatu yang hendak meledak. Di kursi penumpang, Amel duduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk, memeluk diri sendiri seolah berusaha mengumpulkan sedikit kekuatan dari dalam tubuhnya yang rapuh. Matanya sembab, tetapi tatapannya menusuk tajam.“Siapa yang menyuruhmu ke tempat seperti itu, Amel?” suara Jonathan terdengar serak, penuh amarah yang terpendam. Amel menelan ludah dengan susah payah, suaranya gemetar saat ia berusaha menjawab. “Aku sendiri,” jawabnya dengan suara yang hampir hilang.Jonathan menoleh singkat, amarah di wajahnya semakin terlihat. Helaan napas terdengar kasar. “Aku hanya ingin tahu siapa yang menabrak orang tuaku!”“Aku kan sudah bilang, aku akan mengatakan semuanya padamu. Sabar sedikit!”
“Apa maksudmu?” bisik Amel, suara gemetar.Marcell mendekat, wajahnya serius. Tajam. “Kamu pernah tanya kenapa mama dan eyang menjaga rahasia ini tetap aman sampai pihak keamanan paling canggih pun harus turun tangan?”Mata Amel bergetar kecil. Marcell melanjutkan, suara beratnya mengisi ruangan. “Kamu tahu, kan, kalau Jonathan itu selalu melakukan apapun untuk mempertahankan miliknya? Dia tidak jauh beda dariku. Dia punya sisi jahat yang tidak kamu duga. Kalau satu kesalahan kecil itu bisa membuatnya harus kehilangan kursi pimpinan, maka dia akan memilih untuk menutupinya tanpa ada yang tahu.” Amel merasakan tubuhnya kaku. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan tajam. Jika benar, maka terjawab sudah kenapa pria itu bungkam. Ia menggeleng perlahan. “Tidak, bukan dia!” Air mata menggenang di matanya. Marcell mengedikan bahu. “Aku hanya mengeluarkan opiniku. Tapi percayalah, alasan dibalik semua ini pasti tidak sederhana.” Amel membatu di tempatnya. Sedangkan Marcell memberi is
Setelah pengakuan itu, keheningan menggantung di antara mereka seperti kabut pekat. Tak ada pelukan. Tak ada senyum. Hanya tatapan kosong dua pasang mata yang sama-sama kehilangan arah.Tanpa sepata kata, Amel memilih mundur ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir membasahi wajah lelah dan mata yang basah. Di balik cermin, ia menatap bayangannya sendiri, seorang perempuan muda dengan perut yang mulai membuncit dan sorot mata yang kehilangan cahaya.Di ruang lain, Jonathan mengurung diri di ruang kerja. Ia menyibukkan diri dengan tumpukan pekerjaan yang sebenarnya bisa menunggu esok hari. Tapi dadanya bergemuruh, penuh kata-kata yang tak sempat terucap. Ia mencintainya, itu pasti. Tapi cinta, sekeras apapun diucapkan, tak serta-merta menghapus kesalahan. Terlebih jika sebagian dirinya masih menyimpan rahasia.Mereka larut dalam kesibukan masing-masing hingga malam datang. Dan malam ini, untuk pertama kali dalam lima hari terakhir, Jonathan memutuskan untuk tetap ti
Amel baru saja membuka pintu kamar ketika mendapati Jonathan sudah duduk di tepi ranjang. Kemeja putihnya masih terpakai, dasi terlepas, dan lengan kemejanya tergulung kasar ke siku. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—marah, kecewa, cemburu, dan terluka. “Tumben sekali kamu pulang sedu, biasanya tengah malam!” sindir Amel sambil menutup pintu perlahan. “Hari ini jadwalku tidak terlalu padat,” balas Jonathan singkat. Matanya masih menatap Amel dengan intensitas yang membuat risih. “Ada apa, Kak?” “Kamu pergi kontrol kehamilan dengan Marcell.” Amel meletakkan tasnya di kursi, menghindari tatapannya. “Kamu sendiri juga tidak keberatan dengan itu tadi pagi.” “Kamu tidak tanya apa aku keberatan atau tidak,” suaranya meninggi, kemudian menurun cepat seperti berusaha menahan amarah yang mendidih. “Apa kalian berdua begitu dekat sekarang? Sampai perawat-perawat mengira dia suamimu?” Amel menoleh, menatap mata Jonathan dengan penuh pertanyaan. “Ja
Lorong rumah sakit dipenuhi aroma antiseptik dan langkah sepatu yang lalu-lalang. Di atas lantai marmer yang dingin, langkah Marcell terdengar santai. Kontras dengan suasana yang terasa terlalu steril. Ia berjalan di sisi Amel, yang menggenggam map kontrol kehamilan. Perutnya mulai membuncit, dan tangan Marcell sesekali terulur untuk menahan punggung Amel seolah perlindungan itu hak miliknya. “Kamu yakin masih kuat berjalan?” tanya Marcell, suaranya sengaja dilembutkan. “Tadi aku sudah bilang, biar aku ambilkan kursi roda.” Amel tersenyum tipis, lebih karena kelelahan daripada ketenangan. “Aku masih bisa jalan. Lagi pula, ini hanya kontrol biasa.” Marcell terkekeh pelan. “Biasa buat kamu. Tapi buatku, ini luar biasa. Hari ini aku akan melihat calon ponakanku.” Amel tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan menepis sesuatu yang lebih dari sekedar perhatian. Di balik lorong, tersembunyi di antara bayangan vending machine dan pot tanaman plastik yang berdebu, Jonathan berdiri dengan
Jonathan pulang larut malam. Udara dingin menyelimuti rumah yang hampir gelap, hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Ia berjalan pelan, melewati kamar-kamar yang sunyi, sempat berhenti sejenak di depan pintu yang tertutup rapat. Tangannya terangkat, hendak mengetuk, namun ia membatalkannya. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah turun ke ruang kerjanya dan mengunci diri di sana.Amel yang belum tidur mendengar langkah-langkah itu. Ia tahu Jonathan telah pulang. Apalagi suara mesin mobil yang masuk ke pekarangan beberapa menit yang lalu—itu suara mesin mobil Jonathan.Ia berharap pintu kamarnya akan terbuka perlahan, dan Jonathan muncul diambang pintu, meski dengan wajah lelah. Harapan itu sederhana—sekali saja. Tapi harapan itu kembali runtuh, karena langkah kaki itu justru menjauh. Amel memejamkan mata. Rasa sesak menekan dadanya, lebih dari sekadar kecewa. Ini adalah luka yang terus digores tanpa henti.Sementara itu, di ruang kerjanya, Jonathan duduk di hadapan Laura.