Share

Menerima Lamaran Kekasih Sahabatku
Menerima Lamaran Kekasih Sahabatku
Penulis: Bintu Hasan

Bab 1. Pertanyaan dari Sahabat

Ainun : Lelaki yang melamar kamu kemarin itu namanya Nizar Abdullah, ya?

Pesan dari Ainun cukup membuatku terkejut, pasalnya aku belum menceritakan perihal lamaran kemarin pada siapa pun termasuk Ainun meskipun kami sahabatan. Mama yang melarang karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan mengingat tetangga kami suka ber-ghibah.

Tangan ini gemetar ketika Ainun menelepon. Beberapa detik diam, akhirnya aku berhasil menekan ikon hijau.  Aku menempelkan benda pipih itu di telinga kanan, terdengar suara Ainun yang terus berucap, "halo?"

"Iya, Ainun. Kenapa?"

"Lelaki yang melamar kamu kemarin namanya Nizar Abdullah, 'kan? Aku tahu dari Rania karena katanya tidak sengaja lewat di depan rumah kamu, terus ada tetangga yang bilang kamu ada acara lamaran dari lelaki yang bernama Nizar Abdullah. Benar, dia Nizar Abdullah yang pernah aku ceritakan?"

"I-iya." Hanya kata itu yang bisa aku keluarkan. Lidah terasa kelu, aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik pertanyaan Ainun.

Kedua kaki terasa lemas padahal sejak tadi aku merasa bahagia karena tidak sabar menjalani pernikahan dengan Nizar Abdullah. Sosok lelaki yang menjadi idaman para wanita karena terkenal dengan kebaikannya pada siapa saja.

Apalagi aku sudah lama berdoa agar dijodohkan dengan lelaki baik sepertinya yang bisa menuntun ke surga Ilahi. Namun, aku merasa kebahagiaan ini tidak akan lama. Hati hanya bisa berharap kepada Tuhan agar selalu menjaga nama baikku dalam keadaan apa pun.

"Aku sebenarnya nggak enak menyampaikan ini sama kamu, tetapi kenyataannya aku dan Nizar pernah berjanji untuk menikah. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba melamarmu karena hubungan kami baik-baik saja. Hanya ada masalah kecil dan kurasa itu tidak mungkin membuat kami harus melupakan janji yang sudah terucap tiga tahun yang lalu."

Pengakuan Ainun bagai sambaran petir di siang bolong. Satu minggu yang lalu Nizar bilang tidak memiliki hubungan istimewa dengan siapa pun karena aku menanyakan kedekatannya dengan Ainun selama ini. Aku percaya saja, beranggapan Nizar tidak mungkin pacaran karena tahu aktivitas itu dilarang dalam agama.

Namun, jika kembali dipikirkan, sudah banyak remaja yang paham agama dan tahu keharamannya, tetapi masih saja pacaran dengan alasan sesuai syari'at alias tidak ada sentuhan fisik yang bisa menjatuhkan mereka dalam dosa zina. Padahal dosa zina bukan hanya tangan yang saling bersentuhan saja melainkan mata yang saling memandang terutama ketika diiringi nafsu.

"Nizar melarangku memberitahumu, begitu juga dengan Diqi. Maaf, aku tidak bisa menahan diri dengan terus memendamnya karena aku sangat mencintai Nizar. Dia belahan jiwaku, kami sudah merencanakan masa depan bersama. Lia, tolong pikirkan bagaimana perasaan aku. Beberapa tahun kemarin, kamu juga ditinggal nikah sama lelaki yang kamu cintai, 'kan? Kalau kamu tahu rasanya disakiti, kenapa kamu menyakiti?" lanjut Ainun lagi dengan suara serak seperti menahan air mata.

Aku berusaha menguatkan diri. Ainun adalah sahabatku, begitu juga dengan Diqi yang kerap kali mengerjai kami dengan banyak cara karena di masa sekolah dulu dia memang usil apalagi ketika wanita yang dicintainya berpaling pada lelaki lain. Entah kenapa, nasib kami semua sama.

"Kamu lagi bercanda, kan, Ainun? Aku tahu kamu nge-prank aku gara-gara merahasiakan lamaran ini. Please, deh, udahin dramanya. Aku bisa nebak ujungnya kayak gimana," balasku berlinang air mata.

"Tidak. Aku tidak bercanda. Demi Allah, Lia. Aku dan Nizar pernah berjanji untuk menikah meskipun tidak ada lamaran resmi. Katanya, tunggu dia selesai wisuda dulu. Aku juga kaget melihat story Whats-App kamu menulis nama Nizar Abdullah dalam Bahasa Arab. Ternyata–"

"Tidak, Ainun. Itu bukan Nizar." Aku memejamkan mata ketika mendengar pengakuan dan sumpah dari Ainun.

Rasanya sangat sakit, tetapi tentu dia lebih sakit daripada aku. Jujur, kalau saja tahu Nizar itu memiliki hubungan yang belum diselesaikan dengan Ainun, lamarannya tentu kutolak meskipun dia dipercaya baik dan tidak pernah marah. Namun, untuk menyakiti sahabat sendiri adalah sesuatu yang selalu aku hindari selama ini.

Aku tidak tahu bagaimana Ainun sekarang, tetapi tentu perasaannya sangat hancur. Aku juga salah karena mengunggah story seperti tadi. Namun, entahlah. Aku melakukannya agar tetangga yang mencintaiku memilih mundur saja.

Di dalam kamar ini, aku menyeka air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Beberapa kali aku menggigit bibir agar tidak ada yang mendengar isakan kecilku. Ini kejutan yang besar, sebuah takdir yang tidak pernah aku bayangkan.

"Kalau bukan Nizar Abdullah, lalu siapa? Alia, aku memohon dengan sangat supaya kamu mengerti. Kalau kamu tidak percaya, baiklah, aku akan datang ke rumahmu hari ini juga." Panggilan terputus sepihak.

Jarak antara rumahku dengan Ainun tidak terlalu jauh. Baik aku, dia atau pun Nizar masih tinggal dalam satu kecamatan yang sama. Aku menghela napas kasar, lalu melangkah cepat menuju meja rias ingin melihat pantulan diri di sana. Mata yang berbinar itu meredup, kini basah oleh air mata.

***

Ainun : Aku di depan.

Pesan Whats-App itu dia kirim setelah lima belas menit berlalu. Untung saja siang ini tidak ada orang di rumah. Ayah sibuk bekerja, sementara mama berangkat ke kecamatan sebelah untuk kondangan di rumah sahabatnya.

Aku mengatur napas yang memburu, lalu melangkah gontai ke luar kamar menuju pintu utama. Begitu daun pintu terbuka lebar, Ainun langsung memelukku. Aku tidak bisa melihat matanya karena dia memakai kacamata photocromic yang langsung menggelap ketika terpapar sinar matahari.

"Masuk dulu, Ai!" Aku menarik tangannya lembut menuju sofa.

Kami duduk di kursi yang sama. Begitu Ainun membuka matanya, ada sejumput nyeri yang merebak cepat di dalam dada. Allah, benarkah semua yang Ainun ceritakan di telepon tadi? Jika iya, apakah semua ini rencanamu untuk memisahkan aku dengan Nizar dengan membuka fakta kalau lamaran kemarin menyakiti hati wanita lain?

"Ai ... kamu ...." Tenggorokanku bagai tercekat. Aku tidak sanggup meneruskan pertanyaan yang tersimpan dalam benak.

"Nizar tahu kita sahabatan, tetapi kenapa malah melamar kamu? Hubungan kami renggang gara-gara ibunya meminta Nizar untuk fokus pada pekerjaan dulu, tetapi kenapa malah melamarmu? Bukankah sama saja dia bakal fokus sama istrinya ketika sudah menikah nanti?" Air mata Ainun kembali berderai.

"Kenapa harus kita? Aku tidak suka masalah seperti ini, Ai. Demi Allah, aku tidak ada maksud menyakitimu." Aku menunduk. "Bolehkah kukatakan kalau mungkin saja semuanya adalah takdir?"

Tangan yang sebelumnya digenggam oleh Ainun sudah dia lepas. Aku menatap matanya yang menyiratkan amarah. Ada apa dengannya? Sungguh, aku tidak bersalah karena tidak tahu apa-apa. Ainun pun selalu mengaku kalau dirinya tidak dekat dengan siapa pun.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
S Rainces
tidak ada salahnya jika laki-laki yg di cintai melamar sehabat kita sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status