Share

Bab 2. Tolong, Kembalikan Nizar!

Ainun menghela napas panjang. Aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya saat ini, tetapi jika menganggap aku perebut pacar orang, itu salah. Aku tidak pernah membenarkan pacaran meskipun katanya syar'i dan lamaran adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam agama.

Apa aku mulai egois? Entahlah. Mungkin karena aku mulai mencintai Nizar sejak kemarin. Akan tetapi, aku juga tidak ingin jika persahabatan kami rusak hanya karena lelaki. Lantas siapa yang patut disalahkan? Aku yang menerima pinangan itu atau Ainun yang berharap pada manusia?

"Nizar yang salah. Dia sudah membuatku melambungkan harapan yang tinggi padanya. Aku sudah pernah bilang untuk tidak membahas masa depan bersama, jangan sampai berujung tidak jodoh. Namun, dia meyakinkanku kalau kami akan menikah. Nizar mengaku sedang menabung untuk masa depan kami, memintaku pada Tuhan agar disandingkan dengannya." Ainun menjeda dengan helaan napas panjang. Aku tahu dadanya menyimpan sesak yang luar biasa. "Alia ... tolong, kembalikan Nizar padaku!"

Aku tersentak tidak percaya. Bagaimana mungkin aku mengembalikan Nizar pada Ainun, sementara dia bukan benda mati? Apa Ainun tidak memikirkan semua itu? Lagi pula, aku ini seorang wanita dan yang berhak memutuskan lamaran adalah pihak lelaki. Ini akan merusak nama baikku sekeluarga.

"Tolong, tinggalkan dia demi aku. Kamu pasti tahu perasaan aku gimana, Lia. Kita sudah lama bersahabat, aku yakin kamu bisa memahami aku." Kembali Ainun menatapku dengan mata berbinar seakan mengharap keinginannya terkabul.

Terpaksa aku mengangguk walau perih merajai hati. Semua terlalu tiba-tiba padahal baru kemarin kami menjamu keluarga Nizar pada acara lamaran yang berlangsung lancar. Tanggal pernikahan sudah ditentukan, sebagian keluarga sudah diberitahu ayah.

Jika lamarannya dibatalkan karena aku meminta Nizar kembali pada Ainun, bukankah mencoreng nama baik keluarga? Aku menelan saliva ketika mataku beradu pandang dengan Ainun yang bermata indah sesuai namanya Nur Ainun Jamilah.

"Kalau saja Nizar melamar gadis lain yang tidak aku kenal, mungkin sakitnya tidak akan sama. Bagaimana jika kalian menikah kelak, Nizar akan melewati rumahku menuju ke sini, lalu aku hadir sebagai tamu undangan dan ikut menyaksikan ijab qabul kalian? Tidak, Alia. Itu terlalu menyakitkan."

"Aku akan mencobanya, Ai. Kamu yang sabar, ya. Aku paham bagaimana perasaan kamu. Nizar pasti masih mengajar di sekolah, jadi aku akan mengabarinya sore nanti. Semoga saja semua berjalan mulus dan Nizar bisa kembali sama kamu," jawabku pelan.

Hati semakin berdenyut nyeri. Aku menarik napas panjang berusaha menelan kesedihan yang mendera. Pengakuan Ainun bagai sebuah pedang yang menghunus tubuhku berulang kali. Ini antara cinta dan persahabatan dan aku tidak bisa memilih keduanya.

"Kamu yakin?"

Aku mengangguk. "Kalau Nizar nikah sama aku, ada dua orang yang tersakiti. Sementara kalau dia nikah sama kamu, hanya satu yang tersakiti. Aku tidak peduli tentang luka karena sudah pernah melaluinya. Selama kamu bahagia, aku pasti bahagia, Ainun."

Sekarang gadis berkerudung merah itu mengambangkan senyumannya, lalu memelukku erat. Dia terisak, bahunya terguncang. Aku ikut merasakan kepedihan itu, juga karena takut menghadapi amarah mama dan ayah jika keputusan ini sudah kusampaikan pada Nizar.

Aku juga penasaran kenapa Nizar tiba-tiba saja melamarku padahal hubungannya dengan Ainun belum diselesaikan. Apakah dia ingin merusak persahabatan kami? Mungkinkah Nizar setega itu? Entahlah, semua masih menjadi tanda tanya dan aku tidak mau berprasangka sendiri karena sebagian prasangka adalah dosa.

Ainun mengurai pelukan, lalu menyeka air mata. Wajahnya terlihat lega, tidak seperti tadi. Aku bisa melihat cinta di mata gadis itu, memang teramat besar tertuju pada Nizar Abdullah. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan tampan, tidak pernah memiliki cacat apapun ketika orang-orang bercerita tentangnya.

Dia yang kusangka seperti malaikat, ternyata punya kesalahan. Ya, dia menabur harapan di dalam hati Ainun. Sepotong hati yang kini rapuh oleh kenyataan yang melukai hatinya. Sekali lagi, aku bisa memahami keadaan Ainun  dan mencoba untuk membalut lukanya. Aku sungguh-sungguh ingin mengembalikan Nizar..

***

Sore hari di dalam kamar, aku membuka aplikasi hijau dan mencari kontak Nizar Abdullah. Kami tidak pernah bertukar pesan jika bukan perkara penting, makanya aku sedikit gemetaran. Setelah pernah terluka oleh cinta dalam diam yang aku jaga dalam doa, sekarang aku takut jika luka itu kembali datang menyapa dengan orang berbeda.

Pesan terkirim, aku tidak berbasa-basi, melainkan langsung meminta Nizar untuk membatalkan lamaran tanpa menyertakan alasannya. Beberapa menit menunggu, pesanku belum juga centang biru. Mungkin dia masih dalam perjalanan pulang atau sedang mandi.

Tangan dan kaki sudah mulai dingin karena hati berselimut rasa penasaran. Berulang kali aku mengecek pesan itu, tetapi tidak kunjung ada balasan. Entahlah, mungkin Nizar sudah tahu kalau Ainun datang ke sini dan memintaku untuk mengembalikan dia padanya.

Sebuah notifikasi Whats-App membuyarkan lamunan. Dengan gerak cepat, aku langsung menyambar benda pipih yang tergeletak di meja belajar itu, lalu membuka balasan pesan dari Nizar. Aku menarik napas panjang sebelum benar-benar membaca kata demi kata yang tersusun menjadi beberapa kalimat itu.

Nizar : Kenapa, Lia? Kemarin kamu mengatakan 'iya', bahkan aku tidak sengaja melihatmu menunduk untuk menyembunyikan senyuman. Kenapa sekarang kamu menolak sementara tanggal pernikahan kita sudah ditentukan? Ibu sama bapak sudah mengabari keluarga besar. Pikirkan sekali lagi. Kalau aku punya salah, katakan, biar aku perbaiki.

Aku kembali menghela napas panjang sambil membaca balasan Nizar berulang-ulang. Sebenarnya, aku tidak tahu harus menjawab apa lagi demi menutupi fakta kalau Ainun lah yang meminta. Akan tetapi, kalau terdesak, aku pasti jujur daripada disangka egois atau ada masalah lain.

Nizar : Ustazah Halimah sudah tahu? Atau mungkin orangtuamu juga belum tahu?

Pesan kedua yang dikirim Nizar membuatku semakin bingung. Ustazah Halimah adalah sosok guru yang sangat aku segani. Beliau memang menganggap aku ini seperti anak sendiri karena takdir dari Allah belum memberinya keturunan setelah sepuluh tahun pernikahan, tetapi aku tetap segan padanya.

Kemarin beliau turut hadir di acara lamaranku dan terlihat jelas kalau Ustazah Halimah sangat bahagia. Pantaskah aku merusak kebahagiaan dari guru dan tentu saja kedua orangtuaku? Ah, rasanya sungguh berat menjalani kehidupan yang seperti ini. Ketika orang lain dilema memilih dua lelaki salih, aku sendiri bingung harus melepaskan Nizar demi Ainun atau sebaliknya.

Aku : Kita tidak pantas menikah. Kamu hanya cocok menikah dengan Ainun. Kembali padanya, aku tidak suka kebahagiaan yang menyakiti hati wanita lain.

Pesan itu aku kirim beriring air mata, tetapi tidak menunjukkannya pada Nizar. Lelaki itu harus yakin kalau aku baik-baik saja. Ya, demi sahabat tercinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status