Mengandung Anak Majikan
Bab 1: Menghilangnya Vanilla"Kenapa kamu menghilang bak di telan bumi, di saat hari pernikahan kita tinggal dua hari lagi?" Samudra berteriak sambil memukul dinding kamarnya.Samudra meremas kepalanya yang serasa mau pecah. Hampir satu jam ia mondar-mandir di kamarnya sendiri seperti orang kehilangan akal sehat. Pikirannya mulai kacau membayangkan beberapa kemungkinan yang tak diinginkannya.Puluhan panggilan yang ia lakukan ke telpon seluler milik Vanilla tak tersambung. Sementara itu, sudah berderet-deret pesan singkat di aplikasi W******p juga tak terkirim ke HP calon istrinya itu.Samudra mencoba mengingat kembali percakapannya dengan Vanilla melalui sambungan telpon dua hari yang lalu."Sam, baru saja aku menemukan sebuah bahtera yang jauh lebih besar dan megah di luar pintu.""Bahtera? Maksud kamu gimana, Sayang?""Kamu nggak tahu apa itu bahtera? Ck." Vanilla menjeda kata dan berdecak."Yang, coba diperjelas maksudnya," pinta Samudra."Aku hanya ingin kamu mendengarkan kisahku malam ini, Sam. Tak lebih.""Oke. Aku akan menjadi pendengar setia bagimu, Van.""Ketika aku mencoba memasuki bahtera itu, aku menemukan banyak sekali keindahan dan harapan yang akan terwujud di dalamnya.""Hm hm, lantas?" Masih dengan manis, Samudra mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut pujaan hatinya."Bahtera nan megah telah membuka pintunya lebar-lebar untukku. Dan aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tak akan mungkin datang lagi di lain waktu. Selamat datang mimpi-mimpi yang akan terwujud untukku.""Van, Honey. Kamu terlalu puitis malam ini. Entah apa maksudmu. Jadi, bisakah kamu menjelaskannya? Tentang bahtera, tentang mimpi-mimpi ....""Samudra ... Samudra. Sayangnya aku tak ingin menjelaskannya padamu, Sayang." Suara Vanilla seperti mencemooh lelaki yang sangat menyayanginya itu."Kenapa? Kan tinggal menjelaskan saja, apa sih susahnya?" tanya Samudra ngotot."Samudra, Sayang. Dengarkan aku, aku akan memasuki bahtera tersebut begitu telpon ini kututup. Selamat malam, Kesayangan.""Jangan tutup, Vanilla ...."Terlambat bagi Samudra.Vanilla pun mengakhiri percakapannya malam itu, meninggalkan seribu tanya dan kebuntuan di kepala Samudra.Karena hatinya semakin dirundung kegelisahan, maka Samudra pun memutuskan untuk pergi ke apartemen Vanilla malam itu. Meskipun ia sedang menjalani tradisi Pingitan, yaitu sebuah tradisi Jawa yang melarang calon pengantin untuk bertemu pasangannya ataupun pergi dari rumah masing-masing.*Samudra membelah jalanan kota yang ramai dan bermandikan cahaya lampu malam. Dengan kecepatan tinggi, ia berhasil menyalip beberapa mobil dan motor yang melaju di depannya. Ia tak mempedulikan klaksonan dari pengemudi lain yang coba memperingatkan dirinya karena sedikit ugal-ugalan di tengah jalan.Setelah 45 menit berpacu dengan waktu, Samudra pun sampai di sebuah apartemen di daerah selatan kota. Apartemen yang dibelinya untuk Vanilla tiga bulan yang lalu. Dengan tergesa ia memarkirkan mobilnya, lantas ia berlari keluar dari mobil dan masuk ke dalam lift.Tiba di lantai 17, secepat kilat ia menerobos keluar dari pintu lift yang belum terbuka sempurna.Dengan kunci duplikat apartemen yang Samudra miliki, membuatnya dengan mudah memasuki unit apartemen Vanilla tersebut."Van, Honey. Di mana kamu?" suara Samudra menggema memenuhi ruangan apartemen.Kosong, tak ada sambutan dari dalam. Hanya sunyi dan gelap yang menyambut kedatangan Samudra.Samudra menghidupkan semua lampu yang ada di unit apartemen itu. Seketika cahaya menerangi ruangan. Dibukanya lemari pakaian Vanilla. Ternyata banyak pakaian Vanilla yang tak berada di tempatnya.Samudra menelisik ke atas lemari, yang biasanya terdapat travel bag besar di sana. Ternyata benda itu tak ada di tempatnya. Samudra semakin panik. Ia menduga, bahwa Vanilla pergi meninggalkan apartemennya dengan membawa banyak pakaian dan barang-barang pribadinya."Argh ... Vanilla ... Vanilla!" Samudra berteriak seperti orang kesurupan. Dihantamnya lemari kayu itu sekuat tenaga berkali-kali, sehingga ia merasakan kesakitan.Samudra mengaktifkan telpon selulernya, kemudian ia mencoba kembali menghubungi nomor Vanilla. Hingga panggilan ketiga, ia belum mendapatkan jawaban. Namun, Samudra belum patah semangat. Hingga pada panggilan keempat, akhirnya panggilan itu tersambung.Dada Samudra berdegup kencang menantikan Vanilla menerima panggilannya."Halo." Terdengar suara Vanilla pelan di ujung telpon, dan itu membuat Samudra sangat excited."Vanilla, Honey, kamu di mana? Aku seharian sudah mencoba menghubungimu, tapi HP-mu tak aktif. Cepat pulang, please. Bukan kah kamu tahu sebentar lagi kita akan menikah? Cepat katakan kamu ada di mana, kalau perlu biar aku jemput sekarang juga, oke?" Samudra memberondong pertanyaan yang bertubi-tubi.Sesaat, Vanilla terdiam. Terdengar nafas Vanilla menghembus, kemudian ia berkata, "Maafkan aku, Sam. Aku tak bisa menghadiri pernikahan kita besok!"Bagai tersengat arus listrik ribuan mega watt, otak Samudra hampir meledak demi mendengar perkataan Vanilla."Vanilla, kumohon, jangan bergurau," ucap Samudra meredam gemuruh di dadanya."Aku serius.""Vanilla, katakan, di mana kamu sekarang?" Suara Samudra mulai naik beberapa oktaf."Samudra, berhenti mencariku. Aku tak akan pernah bersamamu lagi." Kali ini suara Vanilla teedengar tegas dan keras."Kamu nggak bisa mempermainkan aku, Vanilla. Sekali lagi katakan, di mana keberadaanmu sekarang? Aku berjanji akan memenuhi semua syarat yang kamu minta, asalkan kamu mau kembali." Samudra memohon-mohon bagai pengemis yang tak punya harga diri lagi."Aku katakan sekali lagi, detik ini adalah yang terakhir kali kita berbicara. Dan lupakan aku untuk selamanya." Sambungan telpon pun diputus oleh Vanilla.Aaargh.Samudra melolong setinggi langit seperti Singa yang terluka. Harga dirinya terasa tercabik-cabik justru oleh kekasih hati yang ia puja dan sanjung selama ini.Samudra merasakan dunia seolah runtuh menindih dan menguburnya hidup-hidup. Bagaimana reaksi kedua orang tuanya jika tahu musibah yang sedang dihadapinya sekarang? Ia dan keluarganya telah memenuhi kemauan Vanilla untuk menanggung semua biaya pernikahan mereka 100 persen.Ditengah kepanikan, kesakitan dan kemarahannya, Samudra masih mencoba berpikiran jernih untuk bertanya kepada beberapa teman Vanilla yang dikenalnya. Akan tetapi hasilnya nihil, tak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan Vanilla.*Perempuan cantik berwajah oriental itu sedang berdiri di jendela besar kamarnya yang berada di lantai 30. Mata indahnya bersinar bak kilauan mutiara. Kulitnya yang seputih pualam seolah berkilau indah diterpa semburat jingga sinar mentari dari ufuk barat.Senyum seindah Bidadari tercipta dari bibir merah ranum milik Vanilla, ketika ia menikmati pemandangan Menara Eifel yang tersaji di depan matanya."Apakah kamu senang?" terdengar satu suara di balik punggung Vanilla."Iya, aku senang sekali. Kamu tahu? Berkeliling dunia ke tempat-tempat yang indah adalah keinginanku sejak kecil.""Setelah kamu puas menikmati romantisme Paris, kita akan melanjutkan perjalanan kita ke Barcelona, Milan, Roma, dan seluruh kota hebat di Eropa.""Wow, thanks atas hadiah yang sangat indah ini," ujar Vanilla bermanja.Vanilla tak menyesali keputusannya pergi meninggalkan Samudra, karena cukong tua yang memberinya bahtera megah itu telah memberikan segala yang ia inginkan saat ini. Deposito 1 M, Logam mulia 1 KG, kalung bertahtakan berlian, tas branded, dan keliling dunia ke mana pun yang diinginkannya. Dengan syarat, Vanilla mau menjadi simpanan lelaki tua berkewarganegaraan Singapura itu.Bukan kah salah Samudra, jika Vanilla sampai meninggalkan lelaki tampan berusia 27 tahun itu? Mengapa Samudra tak setajir Mr. Tan yang baru dikenal Vanilla tiga minggu yang lalu itu? Pikiran-pikiran aneh yang menguasai kepala Vanilla membenarkan tindakan keji yang telah dilakukannya.Vanilla, seorang gadis yatim piatu sejak kecil yang hidup menderita tanpa kasih sayang orang tuanya, begitu mendamba kehidupan gemerlap sejak dirinya memasuki usia remaja. Meskipun ia harus menempuh jalan yang menentang norma agama dan etika.Mengandung Anak Majikan 32"Gimana kondisi kaki anak saya ini, Dok?" tanya Nyonya Hapsari saat dokter visit ke ruang rawat inap pasien malam itu."Setelah melihat hasil rontgent, ternyata ada retak sedikit di pergelangan kakinya, Bu. Jadi tidak terlalu parah." Dokter yang mengenakan lab jas putih tersebut menjelaskan kondisi kaki Samudra kepada orang tuanya.Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan dari dokter."Baik lah, Bapak dan Ibu, selama Samudra mengikuti prosedur perawatan yang sudah diatur, insyaa Alloh keadaan kakinya nanti akan pulih seperti sedia kala lagi," ucap dokter tersebut."Terima kasih banyak atas penjelasaanya, Dok." Tuan Danureja menjabat tangan sang dokter sebelum ia meninggalkan ruangan Samudra.Tuan Danureja menghela napas lega setelah dokter itu berlalu."Untung nggak parah, Sam. Kamu bikin jantungan Ibu saja. Besok-besok kalau mau betangkat kerja, Ibu bawain bekal aja dari rumah," repet Nyonya Hapsari."Samudra bukan anak
Mengandung Anak Majikan 31"Tuan Danureja sama Nyonya Hapsari kenapa jalannya terburu-buru seperti itu, ya? Apa jangan-jangan anak beliau ada yang sakit di sini? Tapi siapa?" Sambil bersembunyi di sebuah tiang besar, Mbok Jum bertanya-tanya pada dirinya sendiri."Kalau ada Tuan dan Nyonya di sini, berarti ada Warso juga. Wah, aku mesti hati-hati ini, jangan sampai salah satu dari mereka ada yang melihatku di sini," gumam Mbok Jum.Setelah Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari tak terlihat lagi dari pandangan mata Mbok Jum, maka ia pun meneruskan langkahnya menuju kantin yang berjarak tinggal beberapa langkah lagi di depannya itu."Teh hangat dua ya, Bang," pesan Mbok Jum kepada penjaga kantin. Ia pun mengambil satu pack roti sobek manis, dua buah arem-arem, dan satu botol air mineral berukuran besar."Berapa semuanya, Bang?" Penjaga kantin itu menghitung semua belanjaan Mbok Jum, lalu berkata, "Total semuanya 36.000, Bu."Mbok Jum mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Setelah mendap
Mengandung Anak Majikan 30Orang-orang yang sedang berlalu lalang di sekitar kejadian tabrakan itu, cepat mengerumuni Samudra dan si pengendara motor yang sama-sama terjatuh ke aspal karena insiden tabrakan tersebut.Samudra meringis kesakitan sambil memegangi lutut dan pergelangan kakinya. Sementara itu, si pengendara motor langsung berdiri dan menghampiri Samudra."Hei, pakai mata dong kalau mau nyebrang. Nggak maen nyelonong aja kayak kerbau!" maki si pengendara motor yang ternyata adalah seorang pemuda seumuran Samudra."Kerbau matamu! Kau itu yang ngebut nggak lihat-lihat ada orang mau nyebrang!" Samudra ganti memaki, tak mau kalah.Cuaca siang yang sangat panas menyengat kulit, semakin membuat panas hati dengan adanya cek cok di pinggir jalan yang ramai penuh polusi dari asap knalpot kendaraan."Nyolot Lu, ya!" si pengendara motor itu tahu-tahu mencengkeram kerah baju Samudra. Tangan kanannya terkepal hendak menghantam tubuh Samudra. Beruntung ada beberapa dari kerumunan orang i
Mengandung Anak Majikan 29Mbok Jum terdiam. Ia belum tahu maksud pembicaraan dari Suster itu."Kuning, kunig gimana maksudnya, Sus?" tanya Mbok Jum."Cucu Nenek mengalami bayi kuning, Nek." Suster tersebut menjeda katanya, "hal ini disebabkan karena cucu Nenek itu kurang cairan.""Terus, gimana Sus?" tanya Mbok Jum terlihat bingung."Sekarang dia masuk inkubator dan disinar Nek. Apakah ibu si bayi sudah bisa ke sini, Nek?""Saya belum tahu, Sus. Dia masih ada di rumah Bidan Nurlela sekarang.""Kalau dia sudah sehat dan bisa ke sini, kabari langsung, Nek. Karena si bayi ini akan cepat pulih kalau dia mendapat ASI dari sang ibu.""Oh gitu ya. Ya udah, saya telpon dulu anak saya itu ya, Sus." Mbok Jum pun meninggalkan Suster itu untuk menghubungi Shafira."Halo, Nduk." Suara Mbok Jum memburu."Halo. Si mbok, ada apa?" jawab Shafira di ujung telpon."Kamu udah sehat belum?""Hmm ... saya tanya Bu Bidan dulu ya, Mbok.""Cepetan ya, ini si mbok lagi minjem HP punya pak sekuriti rumah sakit
Mengandung Anak Majikan 28"Kalau boleh tahu, Ibu ini siapanya si adek bayi, ya?" tanya dokter anak."Saya neneknya, Bu Dokter. Ibunya si bayi masih ada di rumah Bu Bidan, karena masih belum pulih kesehatannya sehabis melahirkan tadi pagi, Bu dokter," jawab Mbok Jum secara rinci."Oh, baik. Saya mengerti, Ibu. Saya lanjutkan lagi penjeladan tentang kondisi bayinya ya, Bu. Jadi, bayinya ini kan berat lahirnya di bawah normal, oleh karena itu secepatnya kita ambil tindakan untuk merawatnya di Intensive Care selama beberapa hari."Dokter anak tersebut memberikan penjelasan secara rinci kepada Mbok Jum. Sesekali, Mbok Jum mengangguk-angguk tanda mengerti. Kemudian, ia pun keluar dari ruang praktek dokter setelah sesi konsultasi mengenai kondisi sang cucu."Suster, boleh nggak saya melihat cucu saya di dalam?" tanya Mbok Jum bertanya kepada seorang suster jaga yang sedang menatap layar komputer di mejanya.Perawat jaga itu menghentikan aktifitasnya sejenak dari depan layar komputer, lalu
Mengandung Anak Majikan 27"Karena berat badan bayi sangat rendah, maka dia rentan terhadap penyakit, Bu. Oleh karena itu, saya sarankan agar dibawa ke rumah sakit, agar mendapat pemeriksaan medis secara menyeluruh dari dokter anak, Bu," ujar Bidan Nurlela memberikan saran.Mbok Jum terlihat memahami apa yang disampaikan oleh Bidan Nurlela barusan. Tapi, nampaknya ia ragu karena memikirkan biaya rumah sakit yang pastinya mahal."Hmm ... kira-kira biaya rumah sakitnya mahal nggak, Bu Bidan?" tanya Mbok Jum sambil memandangi cucunya yang dibaringkan di dalam box bayi di samping bed Shafira."Shafira punya kartu BPJS?" Bidan Nurlela menatap Shafira."Nggak punya, Bu," jawab Shafira lirih.Bidan Nurlela tampak berpikir sejenak."Jadi, gimana ini, Bu? Bayinya dirawat sendiri aja atau mau gimana?" Bidan Nurlela pun ragu dengan pertanyannya sendiri.Mbok Jum mendekati Shafira, lalu bertanya, "Gimana, Nduk? Kita bawa ke rumah sakit nggak bayinya?""Daripada nanti kenapa-napa, lebih baik kita