“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mba Renata itu? Kenapa dia dengan mudahnya bicara seperti itu?” tanya Susan yang sudah kembali lagi ke dalam kamar tamu.Tadinya, dia ingin meminta maaf pada Renata karena sudah bicara terlalu kasar. Padahal, saat ini pun posisinya sedang menumpang di rumah wanita itu. Namun, belum sampai langkah kaki Susan ke meja makan, dia sudah mendengar semua yang diucapkan oleh Renata kepada mbok Minah tadi.Di meja makan, Renata masih tersedu sedu karena merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia sudah merasakan titik terendah dalam hidupnya sebagai seorang wanita. Berharap pada wanita lain untuk bisa mengandung anak suaminya. Semuanya itu tentu saja tidak lah mudah, tapi dia terus mencoba untuk menanggung sakitnya sendiri dan hanya ingin memperlihatkan senyumannya.“Mbok Nah, aku ke kamar dulu. Aku mau bicara lagi sama mas Evan.”“Nanti aja, Mba. Sepertinya mas Evan juga lagi dalam suasana hati yang nggak baik sekarang. Nggak usah membahas ha
Satu hari setelah kepergian Renata ke Bali dan untuk pertama kalinya dia tidak bersama dengan Evan. Sudah bisa dipastikan bahwa akan banyak pertanyaan dan juga gosip menyebar di kalangan para sahabat dan kolega bisnisnya. Selama ini Renata dan Evan selalu terlibat bersama dalam acara apapun dan tidak pernah hanya hadir seorang diri.Di rumah, Evan sudah bersiap untuk pergi bekerja dan tidak menemukan dasi yang biasa dia gunakan di dalam kamarnya. Evan merasa Renata sengaja tidak mempersiapkan pakaian kerjanya seperti biasa dan itu membuatnya kesal.“Mbok ... bisa bantu aku carikan dasi warna maroon yang biasa aku pakai itu nggak? Aku nggak nemu di kamar, mungkin masih ada di laundry room.” Evan berkata dengan pasrah sambil memasang kancing kemejanya di depan wanita tua itu.“Duh, gimana ini, Mas? Mbok Nah lagi goreng ini, takutnya gosong. Tapi, di ruang menyetrika ada Susan yang lagi bantu-bantu juga. Coba Mas Evan tanya sama dia aja, mungkin dia bisa bantu,” jelas mbok Minah yang mem
Evan melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang biasa dipakai untuk menyetrika dan di sampingnya ada mesin cuci otomatis seperti yang biasa dipakai oleh tukang laundry di luaran sana. Terdengar oleh Evan senandung indah dari dalam ruangan itu, pertanda memang ada sesesorang di dalam sana.“Suaranya bagus juga kalau nyanyi.” Evan berkata dengan sangat pelan dan mengetuk pintu ruangan itu.Tidak ada sahutan dari dalam dan tetap hanya ada suara seorang wanita yang sedang bernyanyi lagu sedih. Evan merasa bahwa sepertinya Susan menyanyikan lagu itu untuk mengungkapkan perasaannya saat ini.Evan melirik jarum jam di tangan kirinya dan sudah jam tujuh lewat tiga puluh menit. Biasanya, jam segini Evan sudah selesai sarapan dan bersiap untuk pergi ke kantor. Namun, hari ini bahkan dasi saja dia belum memakainya dan masih harus mencarinya. Perlahan, Evan menarik kenop pintu dan mendorong pintu itu ke dalam.Terlihat seorang gadis berpakaian daster kensi yang berdiri membelakanginya dan ma
Susan menatap Evan dengan lekat dan tak berkedip sama sekali, karena tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh pria itu selanjutnya. Terlebih lagi, Susan teringat dengan pertengkaran antara Evan dan Renata tempo hari dan melibatkan dirinya juga. Jadi, Susan tidak punya keberanian untuk bertanya hal apa yang bisa dia lakukan untuk membalas jasanya kepada Evan.“Apa dasinya udah ketemu, Mas Evan?” tanya mbok Minah yang mendadak datang dan menepis kecanggungan antara Susan dan Evan.Evan menoleh ke arah pintu masuk dan melihat mbok Minah yang juga menjadi serba salah seperti sudah memergoki sepasang kekasih dan tidak sepantasnya dilihat. Namun, Evan dengan cepat membuat jarak pada Susan dengan mengayunkan langkah ke arah pintu masuk itu.“Udah, Mbok Nah. Udah rapi belum? Aku sarapan dulu, ya Mbok Nah.” Evan berkata dengan sedikit canggung dan hal itu bisa ditangkap dengan jelas oleh mbok Minah.“Iya, Mas. Sarapannya udah Mbok Nah siapin sejak tadi. Buruan gih, udah mau jam delapan. Mas Eva
Susan masih memikirkan yang tadi dikatakan oleh mbok Nah. Wanita tua itu tidak menjelaskan lebih detail maksud dari ucapannya tadi. Susan yang sedang menyetrika pakaian menjadi tidak tenang dan terus memikirkannya. Mbok Minah berkata bahwa pria akan lebih mencintai darah dagingnya dari pada apapun.“Aku nggak mau serakah nantinya kalau ternyata aku jadi suka dan nggak mau melepaskan mas Evan. Seperti yang terjadi dalam film india itu. Tapi, kalau dipikir-pikir kok memang mirip juga dengan kisahku sekarang, ya? Ah, udahlah! Yang penting kan aku nggak mau!” gumam Susan dan kemudian menghela napas panjang lalu melanjutkan pekerjaannya.Memang tidak ada yang menyuruhnya bekerja dan melakukan pekerjaan yang sebenarnya sudah ada pekerjanya sendiri walau bukan mbok Minah. Namun, Susan tetap merasa tidak bisa tenang begitu saja karena sekarang posisinya dia sedang menumpang di rumah Evan dan Renata.Setelah satu keranjang pakaian kering itu selesai dan tersusun rapi di meja yang tersedia, Sus
“Tapi, bersikaplah biasa aja dan seperti kamu nggak tau apa-apa tentang masalah ini, Nak!” ucap mbok Minah pula setelah melihat Susan berusaha menetralkan rasa keterkejutannya itu.“I-iya, Mbok Nah. Aku nggak mungkin ikut campur tentang masalah itu!” balas Susan yang terus terang saja masih merasa kasihan kepada Renata.Wanita dengan segala kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupnya, ternyata masih tetap saja ada kurangnya. Dia bukan saja tidak mampu memberikan anak untuk suaminya dalam jangka waktu tertentu, tapi untuk selamanya. Sebagai seorang wanita, jelas saja Susan juga merasa perih dan juga iba pada kenyataan hidup yang harus dijalani Renata.Mbok Minah menangkap sesuatu yang tidak biasa pada raut wajah Susan saat ini. Dia mengerti bahwa sisi kepedulian Susan sebagai sesama wanita sedang tergugah mendengar kenyataan pahit itu. Bukannya sengaja ingin memanfaatkan keadaan, tapi mbok Minah juga sangat ingin membantu Renata dan Evan. Meskipun dengan cara yang harus terlalu dalam sep
“Bukan apa-apa sih, Ren. Aku kan ngingetin Talita doang biar nasibnya nggak sama kek kamu gitu. Jangan sampai kejadian gitu maksdunya loh, kan lebih baik diantisipasi dari sekarang,” jawab Dinda yang tak nampak seperti orang berdosa sama sekali di sana.Talita menggigit bibir bagian bawahnya dengan pelan karena dia juga merasa bahwa ucapan Dinda terlalu keras dan menyakitkan pastinya didengar oleh Renata. Namun, mereka semua memang sudah tahu tabiat dan juga cara berbicara Dinda selama ini. Memang terlalu wor dan pedas tapi mengena tepat pada sasaran.Bukan sekedar ucapan belaka yang nggak ada buktinya atau sekedar omongan belaka. Kini Renata seperti sedang terpojokkan di antara Talita dan Dinda. Ingin sekali dia marah dan mengamuk di sini, tapi Renata cukup tahu diri bahwa dia sedang berada di tempat keramaian.“Kalian terlalu menyudutkan aku dengan alasan tak jelas. Kalian terlalu ingin ikut campur masalah rumah tanggaku, terutama kamu Dinda!” ucap Renata yang balas menyerang Dinda
“Sayang. Apa itu Susan?” tanya Renata dengan jantung berdebar kencang dan seperti tak bisa percaya dengan pendengarannya saat ini.Di seberang sana, karena terkejut dengan kedatangan Susan yang mendadak membawakan susu hangat untuknya, di saat dia dan Renata sedang saling berbicara dengan mesra pula di sambungan telpon, akhirnya Evan tidak sengaja menekan tombol merah dan akhirnya panggilan mereka terputus begitu saja.“Susan? Maaf, merepotkan kamu.” Evan yang gugup itu langsung meletakkan ponselnya dan juga langsung mengatur duduknya di sisi ranjang.“Iya, Mas. Mbok Nah bilang Mas Evan lagi ga enak badan, perutnya lagi bermasalah. Jadi, aku diminta tolong sama mbok Nah untuk nganterin susu ini.” Susan menjelaskan semuanya kepada Evan.“Oh iya, maaf aku langsung masuk aja. Tadi, aku udah ngetuk pintu tapi mungkin Mas Evan nggak dengar,” lanjutnya menjelaskan karena tidak ingin Evan salah paham dan menganggapnya lancang masuk ke dalam kamar pribadi yang seharusnya tidak dimasuki oleh o